Menjadi dan Berniat Baik Ternyata Belum Cukup, Namun SELEKTIF & TEPAT SASARAN TEPAT GUNA

ARTIKEL HUKUM
Jaga Diri Baik-Baik, Itulah Tugas Utama Orang Baik yang Kerap Dijadikan Sasaran MANGSA EMPUK oleh Masyarakat Indonesia
Bila Anda memiliki prinsip hidup, bahwa kebaikan orang lain harus dibalas dengan kebaikan serupa atau kebaikan yang lebih baik, maka Anda sejatinya tergolong manusia langka di republik “agamais” serba “halal lifestyle” ini. Seiring berjalannya waktu, penulis terpaksa menarik kesimpulan bahwa kita harus sangat “pemilih” dalam memberikan kebaikan selama kita masih hidup dan menetap di Indonesia, negeri dimana menjadi orang baik sangatlah sukar (karena kerap dijadikan sasaran “mangsa empuk”) dan negeri dimana orang-orang baik akan sukar melakukan kebaikan (karena akan menjadi “bumerang” bagi orang baik yang berbuat baik itu sendiri karena akan “disalah-gunakan” oleh orang-orang yang menerima kebaikan seolah tidak memiliki ‘rasa malu” mengeksploitasi kebaikan hati penderma alih-alih bersikap “tahu terima kasih”, “tahu diri”, dan “tahu batasan”).
Singkatnya, penerima derma yang cerdas memahami betul, bahwa sifat kebaikan dan kemurahan hati penderma “jangan diboros-boroskan” terlebih dieksploitasi. Kedua, bukanlah orang-orang penerima derma yang merupakan “orang istimewa”, namun adalah orang-orang yang memiliki hati yang dermawan yang merupakan “orang pilihan” (the chosen one). Ketiga, prinsip resiprositas / resiprokal telah lama mengajarkan kepada kita, bahwasannya bangsa yang mengaku-ngaku beradab bercirikan tanda-tanda berupa sikap “menerima dan memberi”, “mengambil dan menyerahkan”, bukan sekadar tahu dan pandai dalam “mengambil, meminta, dan mengeksploitasi hingga manipulasi”—cerminan watak penuh keserakahan.
Ibarat bukan lagi “diberi hati, meminta ampla”, namun juga disaat bersamaan “melunjak” (besar kepala) dengan “meminta pula agar diberikan jantung” (“makan hati dan jantung”), itulah yang kerap dan seringkali penulis alami ketika melakukan kebaikan di republik bernama Indonesia ini—kebaikan hati yang ternyata “disalah-gunakan” oleh Warga Indonesia yang ternyata tidak memiliki moralitas mendasar seperti menghargai dan menghormati kebaikan hati orang lain. Ibarat, seolah-olah adalah “dosa” membiarkan adanya bunga atau buah-buahan yang tumbuh tanpa dipetik dan dirusak.
Dahulu, tatkala masih sangat muda-belia, penulis tergolong orang yang sangat “boros” dalam hal berdana—dimana telah ternyata, berdana keliru pada tempatnya serta keliru pada orangnya, adalah cara berdana yang keliru. Niat boleh baik, namun bila caranya keliru, maka menjadi keliru. Serangkaian pengalaman kemudian membawa penulis pada suatu titik kulminasi pada refleksi hidup, ketika penulis merasa menjadi baik tidaklah cukup, namun harus menjadi manusia “baik secara cerdas”, dimana Sang Buddha telah pernah mengajarkan, bahwa “Berbuat baik artinya tidak merugikan orang lain juga tidak merugikan diri kita sendiri.”
Pepatah dari para pendahulu kita sebetulnya telah lama juga memberikan kita wejangan, agar kita hendaknya hanya berbuat baik kepada seseorang yang memang patut dan layak dari segi “bibit, bebet, dan bobot”. Awalnya, penulis tidak mampu memahami filosofi bijak dan kearifan etika para pendahulu kita tersebut. Mulanya, penulis mengira berbuat baik harus secara “membuta” dan “buta, yang terpenting niat harus baik dan berbuat harus baik, yang penting berbuat kebaikan, jika perlu mengubar kebaikan dan kemurahan hati (seolah menjadi “murahan”). Ternyata, sikap “baik namun bodoh” penulis dikemudian hari kerap menjadi bumerang bagi diri penulis sendiri.
Mungkin kisah-kisah sederhana akan lebih menggambarkan dan memiliki kedekatan dengan kehidupan kita di keseharian, tanpa perlu penulis mengulas dari sisi teoretis yang terlampau abstrak untuk dicerna para pembaca. “Yang penting berdana”, pola pikir demikian apakah sudah tepat? Ternyata tidak. Pernah terjadi, seseorang yang baru penulis kenal mengaku-ngaku sedang sakit dan butuh biaya berobat. Penulis seketika itu juga memberikan 1/6 dari total pendapatan bulanan penulis, secara tunai tanpa syarat apapun kepada dirinya.
Belakangan, barulah penulis ketahui dirinya ternyata seorang pecandu obat-obatan terlarang. Menyesal dikemudian hari, hal demikian ibarat penulis semata sedang membuang-buang uang atau membakar uang secara sia-sia tanpa makna. Ternyata, baginya, “berobat = membeli obat-obatan terlarang”. Akan lebih mulia bagi dana penulis, bila penulis menyerahkan dana kepada World Wild Fund demi kelestarian satwa daripada manusia pecandu yang sama sekali tidak berharga bagi dunia ini.
Pernah juga terjadi, penulis secara rutin memberikan dana tunai secara cukup besar untuk urukan penulis saat itu yang merupakan seorang pekerja kantoran, kepada seorang ibu-ibu pemulung barang bekas yang hanya memiliki satu buah kaki dan berjalan dengan bantuan tongkat. Berdasarkan iba, penulis merasa itulah penerima dana yang tepat dan benar-benar membutuhkan, secara rutin setiap kali penulis berjumpa dengan dirinya pada berbagai kesempatan. Ternyata, dibelakang hari penulis barulah mendapati informasi mengejutkan, bahwa ibu-ibu pemulung tersebut adalah salah satu penjarah pada saat kerusuhan sosial Mei 1998 dimana ibu-ibu berkaki atu tersebut adalah penjarah dan ternyata pula mampu menggotong lemari pakaian yang berat dan besar saat terjadinya kerusuhan dan penjarahan massal—entah apa yang akan terjadi, bila ibu-ibu tersebut memiliki dua kaki normal, mungkin satu rumah yang telah akan dijarah olehnya.
Tidak jarang pula penulis memberikan dana kepada pengemis yang menampilkan sosok tubuh kaki yang buntung (menjual “belas-kasihan”). Barulah beberapa waktu kemudian sewaktu penulis pulang dari kantor sehabis bekerja, ternyata pengemis tersebut tidak benar-benar difabel, ia telah menipu banyak orang karena kakinya disembunyikan di belakang sehingga seolah-olah berkaki buntung, meski senyatanya seluruh anggota tubuhnya normal tanpa cacat fisik. Berdana kepada penipu, sama artinya uang donasi “melayang” sia-sia, berhasil “dibodohi” karena kita masih “bodoh”—masih “belum matang”, alias masih “hijau”.
Pernah juga dikabarkan, seorang warga di Bogor berprofeesi sebagai pengemis selama sekian puluh tahun, ternyata ditemukan fakta bahwa dirinya adalah juragan angkutan umum, memiliki rumah mewah, dan “memelihara” dua istri. Bukankah sang penipu tersebut sejatinya telah menipu para donaturnya yang bisa jadi lebih miskin ketimbang sang “pengemis”? Rupanya, harga diri serta nurani dapat digadaikan demi kepentingan pribadi yang sangat tercela dan memalukan, tidak layak untuk mendapat kebaikan hati ataupun uluran tangan barang seperak pun.
Sungguh bodoh kami ini, yang pernah berdana untuk penipu semacam itu. Penulis merasa tertipu dan “bodoh”, namun anggap saja dana yang menjadi sia-sia tersebut adalah biaya “pendidikan” bagi penulis untuk belajar lebih dekat mengenai watak karakter Bangsa Indonesia. Bila rakyat sipil jelatanya saja memamerkan wajah-wajah “penipu”, terlebih perilaku-perilaku yang lebih hina daripada pengemis sejati, maka bagaimana dengan para aparat kelas elit-nya?
Penulis belum membahas perihal banyaknya kalangan pencuri dan perampok yang dilakukan oleh rakyat jelata kita di Indonesia, bergentayangan dalam bentuk komplotan dan modus-modus yang bahkan berani “tanpa takut” dan “tanpa malu” mendiskreditkan dan mengintimidasi korbannya—sehingga seolah-olah korbannya yang bersalah dan menjadi takut, bukan sebaliknya pelaku kejahatan yang harus merasa takut berbuat jahat, sekaligus itulah cerminan betapa JAHAT karakter warga dan Bangsa Indonesia. Apakah cerminan wajah bangsa semacam ini, yang layak mendapat uluran tangan? Sama artinya kita memperpanjang umur dan masa hidup para “predator” yang dikemudian hari bisa saja melukai dan merugikan penulis ataupun anak dan cucu penulis.
Rangkaian pengalaman-pengalaman buruk demikian, yang mana pelakunya oleh sesama bangsa sendiri, membawa efek traumatik yang terakumulasi dalam benak penulis semulai dari kecil hingga tumbuh dewasa, sehingga “alam bawah sadar” penulis merasa “tidak aman” (unsecure) setiap kali menjumpai atau ketika berada di tengah-tengah Warga Negara Indonesia, fakta kenyataan “pahit” bahwa penulis bertempat-tinggal di tengah-tengah Masyarakat Indonesia, disamping mulai menaruh “parno” (paranoid) terhadap siapa pun Orang Indonesia yang penulis jumpai di keseharian. Bukanlah salah korban, bila mengalami “trauma akut”. Memang terdapat sebagian Warga Indonesia yang tulus pernah bersikap baik dan menolong penulis ketika penulis benar-benar membutuhkan pertolongan dan tidak pernah saling mengenal sebelumnya, namun jumlah kuantitasnya tidak sebanding dengan berbagai pengalaman buruk penulis oleh “Manusia Indonesia”.
Itu baru contoh sederhana perampokan dan pencurian secara langsung di depan mata korbannya, belum perihal perilaku korupsi (terhadap “uang rakyat”) oleh para penguasa kita, dimana korbannya juga ialah kita selaku segenap rakyat. Moralitas mereka telah rusak “serusak-rusaknya”, ditandai oleh tumpulnya rasa malu maupun rasa takut dan rasa bersalah ketika melakukan kejahatan, terlebih “membalas air susu dengan perampokan”. Sungguh tidak dipercaya, mereka pun masih merasa yakin penuh keyakinan “seyakin-yakinnya” bahwa mereka pada gilirannya akan masuk ke surga—yang pastinya akan penulis “gugat” Surat Keputusan Tata Usaha Surga tersebut ke hadapan Mahkamah Semesta, seolah-olah adalah menjadi “kerugian pribadi korban” yang harus kita tanggung sendiri karena menjadi korban, dan adalah salah korban karena menjadi korban dan dikorbankan.
Kita tidak perlu jauh-jauh membahas penjajahan oleh bangsa lain, yang jelas ialah berbagai tindak kriminil oleh sesama bangsa tidak jarang penulis alami, dimana pelakunya ialah sesama bangsa se-Tanah Air, dimana pula pelakunya sama sekali TIDAK menampilkan wajah takut, rasa bersalah, ataupun rasa malu melakukan kejahatan, merugikan, dan melukai orang lain demi kepentingan dan keserakahan pribadinya (pelakunya bisa berupa etnik pribumi maupun etnik keturunan). Namun akan kita bahas bersama, bahwa ternyata sikap “meminta-minta” pada muaranya dapat menyerupai sebuah “perampokan” dan “pencurian” bila dilandasi niat “menipu” ataupun “keserakahan” kalangan korbannya.
Baru-baru ini terjadi kejadian yang sangat menyentak nurani dan perasaan penulis, sampai akhirnya penulis memutuskan untuk meluangkan waktu kerja dengan menuliskan artikel singkat berisi “curahan hati” (curhat) ini. Suatu pagi, kediaman penulis diganggu oleh suara ketukan pada pintu pagar rumah. Penulis menghentikan aktivitas harian, dan meluangkan waktu sejenak untuk melihat siapa gerangan. Ternyata, seorang ibu-ibu hendak meminta daun murbei / mulberry yang ditanam dan tumbuh pada halaman depan kediaman rumah penulis. Penulis mengizinkan, bahkan penulis memberikan pula “izin istimewa” bagi dirinya untuk memetik dan “patahkan saja ranting-nya, lalu tanam, bisa kok tumbuh di tanah ini tanaman murbei”, demikian jawaban penulis tanpa memakai syarat apapun berupa harga atau sebagainya.
Namun apa yang kemudian terjadi, sungguh diluar dugaan penulis. Mulanya penulis mengharap kebaikan hati penulis berbuah sikap sopan “peminta-minta” yang bersangkutan dalam hal perilaku, akan tetapi ternyata akibat diberikan kebaikan, ternyata berbuah “besar kepala” sang peminta. Tanpa sopan-santun atau basa-basi lagi, ibu-ibu tersebut dengan tangan kosong mematahkan seluruh cabang dan dahan (satu pohon) murbei milik kediaman penulis, sehingga pohon murbei penulis menjadi rusak (dengan potensi resiko tidak dapat kembali pulih dan tumbuh), dimana sekalipun penulis yang terkejut kemudian menegur ibu-ibu tersebut dengan suara perlahan tidak juga digubris, berlanjut pada penulis meneriaki ibu-ibu bersangkutan agar menghentikan ulahnya yang ternyata tidak mampu membedakan antara “ranting” dan “cabang” atau “dahan” pohon, dengan harapan agar yang bersangkutan menghentikan ulah SERAKAH-nya merusak pohon milik kediaman orang lain, akan tetapi yang bersangkutan tetap asyik dengan kesibukannya melakukan apa yang di mata penulis adalah aksi “vandalisme” dan “perampokan” atau “penjarahan” oleh seorang ibu-ibu “sok tuli” (berpura-pura tidak mendengar teguran, seruan, dan teriakan penulis), dimana selanjutnya ibu-ibu tersebut merangkul hasil “jarahannya” menaiki motor yang diparkir di depan kediaman penulis dan pergi berlalu TANPA RASA BERSALAH, DENGAN MEMAKAI WAJAH “INNOCENCE” SERTA BAHKAN TIDAK MENGUCAPKAN SEPATAH-KATA PUN SEPERTI “TERIMAKASIH” ATAUPUN “MAAF TELAH MERUSAK SATU POHON”. Luar biasa! Itu baru aksi “arogansi” seorang ibu-ibu  belum ulah bapak-bapaknya yang menyerupai preman-preman tukang pukul yang tumbuh subur di negeri ini.
Apakah “Manusia Indonesia” memang tidak mampu, membedakan mana perbuatan jahat-tercela dan perbuatan me-malu-kan lainnya? Apakah semua pelaku kejahatan, selalu memasang wajah khas seperti “INNOCENCE” tanpa sedikit pun menunjukkan rasa malu ataupun rasa bersalah? Percaya atau tidak, begitu banyak penulis telah menjumpai pelaku kejahatan yang “hina” demikian, sekalipun penulis dijadikan korbannya, para pelakunya TIDAK PERNAH MENUNJUKKAN RASA PENYESALAN, TERLEBIH WAJAH BERSALAH—mereka bahkan tidak jarang terkesan “bangga”, arogan, “kebal DOSA”, “imun NERAKA”, “menantang KARMA BURUK”, dan senang “menggali lubang kubur sendiri”—suatu “hobi” yang kelewat aneh dan tidak masuk “akal sehat”, menurut hemat penulis. Atau, mungkinkah itu merupakan tanda-tanda atau gejala sindrom “kelainan jiwa” bangsa kita ini? Bahkan, mereka ketika diprotes dan dilawan oleh korbannya sendiri, pelakunya LEBIH GALAK!!! Sehingga jangan pernah Anda coba-coba melawan balik pelaku kejahatan “Made in Orang Indo”, bisa-bisa kepala kita yang “melayang” bukan hanya dompet di saku kita.
Seharian penuh, batin penulis terguncang hebat, merenungkan peristiwa pagi hari tersebut yang “aneh namun nyata”. “Ada apa dengan penulis”, atau sebenarnya lebih tepatnya “ada apa dengan ibu-ibu SERAKAH bak perampok” yang bak “kesetanan” tersebut? “Ada apa juga dengan orang-orang Indonesia ini? Penulis kemudian menginformasikan kejadian tersebut kepada anggota keluarga, dan menyatakan agar tidak lagi mengizinkan ibu-ibu “kesetanan” tersebut untuk kembali meminta terlebih menjarah dan merusak pohon keluarga kami, yang ternyata ibu-ibu “setan” tersebut sudah sering kali meminta dan memetik daun murbei dari kediaman kami. Membalas “air susu” dengan “perampokan” dan “arogansi menggagahi pemilik rumah”.
Ternyata, kebaikan hati penulis yang memberikan lebih dari sekadar “daun murbei”, yakni penulis berikan izin pula untuk yang bersangkutan mengambil ranting pohon murbei milik kediaman kami untuk diambil dan ditanam pada kediaman yang bersangkutan sendiri, dibalas dengan aksi penjarahan, pengrusakan, aksi “pura-pura tuli”, hingga pamer keserakahan dan arogansi dengan sama sekali tidak mengucapkan “terimakasih” ataupun kata “maaf”, telah mengguncang nurani terdalam penulis—rupanya seperti inilah, wajah dari watak sejati moral yang “bobrok” dari warga dan rakyat negeri ini. Bila satu kejadian, palakunya itu adalah oknum. Namun, dari hampir separuh abad umum hidup penulis yang lahir, tumbuh, dan besar di negeri “agamais” ini, mengapa sikap-sikap kebaikan hati selalu dibalas dengan “air susu balas air tuba”?
Contoh lainnya yang lebih kerap melukai perasaan penulis, ialah ulah para pengunjung website profesi yang penulis bangun dan asuh dengan susah-payah ini. Sudah tidak terhitung lagi jumlah pengorbanan yang penulis kerahkan dari segi waktu, tenaga, energi, kesehatan, serta biaya agar website hukum ini dapat tampil dan hadir, namun alih-alih membalas “air susu” oleh para pengunjung website ini yang menikmati suguhan publikasi hukum yang bermutu tinggi, ribuan pihak kemudian menyalah-gunakan nomor kontak kerja ataupun email profesi penulis semata untuk “memperkosa profesi penulis”, bahkan sebagian diantaranya memakai modus-modus penipuan, pengecohan, hingga pemaksaan agar penulis memberikan pelayanan dan disaat bersamaan menyuruh penulis untuk “mati makan batu” seolah penulis satu-satunya orang yang tidak memiliki hak asasi manusia atas “nafkah”. Membalas “air susu” dengan “perkosaan”, tungguh “bangsa yang tega”. Di mata penulis pribadi, Bangsa Indonesia adalah “bangsa PENJAJAH”.
Sungguh rusak moralitas rakyat dan warga dari Bangsa Indonesia ini, hasil didikan sistem pendidikan yang “bobrok” ditambah pendidikan agama yang hanya memperhatikan segi apa yang dimasukkan ke dalam mulut dan perut namun tidak pernah waspada atas sikap dan ucapan yang dikeluarkan dari dalam mulut mereka. Tiada yang lebih jahat, daripada membalas air susu dengan “perkosaan”, perampokan, aksi “pura-pura tuli”, perusakan, pamer arogansi, ataupun perilaku-perilaku jahat dan tercela memalukan lainnya—terlebih ditambah “micin” berupa sikap-sikap “tanpa rasa malu”, seolah “imun terhadap DOSA”, dan tidak takut berbuat kejahatan dengan merugikan ataupun melukai orang lain.
Sungguh, watak warga republik ini jauh dari kata tahu “malu” atas sikap tidak terpuji yang penuh cela. Terlebih, tampaknya warga republik ini resisten dari rasa “takut” akan dosa, atau mungkin merasa sudah memiliki “vaksin (dari) dosa” sehingga “kebal dosa” sekalipun perbuatan-perbuatannya penuh kejahatan dan keburukan karakter. Atau, mungkin juga mereka bangga, bangga jika dapat melanggar, bangga jika dapat pamer arogansi, bangga jika dapat merugikan orang lain, bangga dapat merampok hak-hak orang lain, bangga jika kebal hukum, bangga jika pelaku dan kelakuan jahatnya tidak dapat diganjar dengan sanksi di tengah kondisi hukum kita yang tidak kalah “korup”-nya, bangga jika kejahatannya ditolerir, bangga jika dirinya tidak mati seketika oleh serangkaian perilaku buruknya (kelemahan “Hukum Karma”, tidak efisien dan tidak efektif dari segi waktu berbuahnya. Itulah sebabnya Sang Buddha memilih untuk “break the chain of kamma” ketimbang melekat pada Hukum Karma yang sejatinya benar-benar ideal).
Mungkin mereka berpikir dan berasumsi, bahwa jika “meminta” saja diizinkan, mengapa tidak “merampok” dan “menjarah” saja sekalian? Tidak “tanggung-tanggung”. Sama seperti, negeri ini toleran dan kompromistis terhadap Koruptor “kelas kakap”, namun ternyata sangat intoleran terhadap “maling sandal”. Hal demikian sungguh bertentangan dengan prinsip utama ajaran Buddhistik, bahwa dua panduan paling utama bila kita masih mengaku dan memandang diri kita sebagai manusia yang “humanis” bukan “hewanis”, yakni sikap-sikap “tahu malu” dan “takut” berbuat jahat ataupun sikap-sikap yang dapat dicela oleh para bijaksanawan.
Kita, umat manusia, sejatinya tidak membutuhkan aturan hukum yang “segudang” semacam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, sepanjang kedua rambu Buddistik tersebut kita terapkan secara konsisten dan penuh komitmen. Begitu masifnya jumlah peraturan perundang-undangan kita, adalah cerminan betapa buruk “budaya moralitas” bangsa itu sendiri, sehingga merasa perlu dipandu oleh koridor hukum. Menurut Anda, apakah alam surgawi memiliki aturan sebanyak ini?
Sungguh, kita sebagai manusia yang masih dapat merasakan sakit ketika dilukai, bukan “mayat”, tidak dapat tidak kita harus senantiasa bersikap “negatif thinking” (berburuk sangka), selektif dalam menampilkan kebaikan hati (agar tidak menjadi “bumerang) dalam artian “pilih-pilih” terhadap orang yang kita hendak berikan kebaikan, dan “si vis pacem para bellum” dengan selalu menampilkan wajah galak dan disertai taring tajam di wajah kita—apa yang penulis sebutkan terakhir, yakni “bersiap-siaplah perang jika ingin hidup damai”, sungguh relevan ketika kita masih hidup di republik bernama Indonesia ini, karena warganya masih jauh dari kata beradab, yakni bangsa “predator” dan “hewanis” bagi sesamanya, sehingga kita perlu “baik-baik menjaga diri”.
Sekali lagi, kita HARUS BERSIAP-SIAP UNTUK PERANG JIKA INGIN HIDUP DAMAI (di Indonesia). Siap atau tidak siap, suka atau tidak suka, kita harus siap berperang melawan dan terhadap sesama Warga Indonesia, “mumpung” kita belum menjadi “mayat” yang hanya bisa “membisu”, sehingga kita pun tidak perlu mau dijadikan dan diperlakukan seperti seonggok “mayat” yang bodoh dan mudah dibodohi.
Dewasa kini, penulis merasa lebih baik berdana dalam jumlah besar kepada satu pihak yang benar-benar selektif dipilih sebagai penerima dana, dimana penulis telah rutin berdana paling sedikit 10% dari total penghasilan bulanan penulis kepada penerbit buku Dhamma yang telah jelas-jelas kinerjanya dan terbukti merupakan lembaga nirlaba yang bergerak dibidang sosial, tidak pernah lagi penulis berdana untuk “orang-orang sembarangan” ataupun “orang-orang tidak jelas” di republik ini.
Bahkan, penulis merasa lebih baik berdana makanan bagi hewan-hewan di jalan daripada berdana makanan bagi orang-orang Indonesia (predator) yang banyak “bergentayangan” di luar sana—setidaknya seekor anjing tidak akan membalas kebaikan hati dengan “menerkam hidup-hidup”. Bila sudah menjadi seperti ini, maka menjadi salah siapa? Siapa yang patut dipersalahkan, jika bukan bangsa ini sendiri. Karena, apakah mungkin kita justru (kembali) mempersalahkan pihak korban, salah karena “menjadi korban” yang dikorbankan?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.