Legal Standing Ex-Pemilik terhadap Tanah Ex-SHGB

LEGAL OPINION
Ambiguitas Ex-HGB yang Menyaru Layaknya SHM yang Tidak Memiliki Masa Berlaku
Question: Sebenarnya jika sertifikat tanahnya berbentuk HGB (Hak Guna Bangunan), dan sudah habis masa berlakunya, namun belum juga diperpanjang ataupun diperbaharui masa berlaku sertifikatnya oleh pemilik, bukankah artinya objek tanah sudah menjadi “ex-HGB”? Peraturan mewajibkan pemilik HGB untuk sudah mengajukan permohonan perpanjangan masa berlaku HGB, dua tahun sebelum SHGB kadaluarsa.
Jika status hukum objek tanah ternyata sudah menjadi “ex-HGB”, maka bukankah artinya pemiliknya kini telah berubah status menjadi “ex-pemilik”? Jika demikian halnya, apakah “ex-pemilik” masih dapat dianggap memiliki kepentingan atas objek tanah “ex-HGB” seperti untuk menggugat pihak lain yang menempati objek tanah, namun telah ternyata pula belum ada perpanjangan masa berlaku SHGB itu dari Kantor Pertanahan?
Brief Answer: Adanya kepentingan hukum maupun hak untuk mengajukan gugatan, dalam terminologi hukum dikenal dengan istilah “legal standing”. Jika kita konsisten terhadap logika internal peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan yang berlaku di Indonesia, jelas bahwa SHGB adalah berbeda karakter dengan SHM. Bila SHM (Sertifikat Hak Milik) bersifat hak yang permanen dan turun-menurun tanpa dibatasi masa berlaku, maka sebaliknya dan kontras dengan itu, SHGB memiliki batas waktu penguasaan bagi pemiliknya, dan wajib diperpanjang masa berlakunya atau diperbaharui sertifikatnya, dengan ancaman yuridis tanah akan jatuh kembali sebagai “tanah yang dikuasai oleh negara” bila masa berlakunya telah kadaluarsa tanpa diperpanjang ataupun diperbaharui haknya oleh pemiliknya.
Jika, semisal, Kantor Pertanahan ataupun praktik Peradilan justru memberlakukan sama antara SHGB yang telah kadaluarsa sekalipun, dengan sifat karakter paling utama dari SHM, yakni sifat keberlakuannya permanen dan turun-temurus tanpa “BATAS waktu”, maka untuk apa hukum agraria nasional kita mengenal kebijakan disparitasisasi antara SHM dan SHGB?
Betul bahwa “ex-pemegang SHGB” memiliki hak didahulukan untuk mengajukan pembaharuan hak atas tanahnya, yakni “ex-SHGB”. Namun kemungkinan dan kebolehan demikian haruslah dimaknai dan ditafsirkan sebagai bila pembaharuan hak atas tanah tidak digunakan “haknya” oleh “ex-pemilik”, maka diartikan sebagai menelantarkan dan telah melepaskan hak istimewanya untuk didahulukan mengajukan pembaharuan hak atas tanah HGB—tidak boleh dimaknai dan diartikan sebagai ex-pemilik dapat berlarut-larut dengan mengulur waktu hingga bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun membiarkan objek tanah tetap dalam bentuk “ex-HGB” tanpa membayar pemasukan negara karena tidak memperpanjang ataupun memperbaharuinya, namun disaat bersamaan tetap mengklaim sebagai “pemilik” dan mengajukan gugatan, bukan sebagai “ex-pemilik”.
Terdapat “moral hazard” bila terhadap objek tanah “ex-SHGB” diberlakukan dan diperlakukan layaknya SHM, yakni tidak memiliki masa berlaku dan seolah tetap sebagai pemilik yang bersangkutan sekalipun nyatanya telah “kadaluarsa” masa belakunya. Untuk apa memohon perpanjangan ataupun pembaharuan hak, bila pihak ketiga tidak dapat memohon hak atas tanah di atasnya ataupun untuk menempati objek tanah tanpa izin “ex-pemilik” sekalipun objek tanah telah berbentuk “ex-SHGB”?
Secara falsafah, SHB sangat serupa dengan sewa-menyewa itu sendiri, dimana bila masa berlaku “kontrak sewa” (masa berlaku SHGB) telah berakhir, maka status tanah buka lagi sebagai milik dari “ex-pemegang SHGB”, namun “demi hukum” (applied by law) beralih kembali menjadi “tanah yang dikuasai langsung oleh negara” dan dapat dimohonkan hak oleh warga lainnya yang benar-benar efektif menempati ataupun mengelolanya selama setidaknya dua puluh hingga tiga puluh tahun.
PEMBAHASAN:
Negara Indonesia telah lama abai membenahi “Pekerjaan Rumah” (PR) untuk meluruskan praktik salah-kaprah yang bahkan terjadi pada internal instansi pertanahan itu sendiri, dimana SHGB ternyata diperlakukan SAMA seperti layaknya sebuah SHM—dalam pengertian, pihak ketiga tidak dapat mengajukan permohonan hak atas tanah di atas tanah “ex-HGB”, tidak juga dapat menempati / menguasai objek tanah “ex-HGB” tanpa seizin “ex-Pemilik”, bahkan “ex-Pemilik” masih pula oleh praktik Peradilan maupun Kantor Pertanahan dianggap sebagai “pemilik” (permanen layaknya SHM) yang memiliki “legal standing” (hak untuk mempertahankan hak) seperti menggugat.
Salah satu akibat dari abainya pemerintah dan parlemen dalam membenahi hukum pertanahan nasional yang sudah menjelma “benang kusut” karena diabaikan dari sejak Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA) diterbitkan pada tahun 1960, dapat kita jumpai ekses “blunder”-nya sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa pertanahan register Nomor 2574 K/Pdt/2015 tanggal 26 Januari 2016, dimana Penggugat mengklaim sebagai pemilik Objek Sengketa berupa SHGB, dimana Tergugat dinilai menguasai tanah tanpa izin pihak yang lebih berhak.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Surakarta kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 98/Pdt.G/2014/PN.Skt. tanggal 12 November 2014, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan berdasarkan hukum bahwa Para Penggugat adalah pemegang sah hak atas tanah berikut bangunan-bangunan yang berdiri di atasnya sebagaimana tertera dalam Sertipikat HGB Nomor 306 (bekas B.88) seluas ± 837 m² yang terletak di Jalan ... atas nama Para Penggugat;
3. Menyatakan berdasarkan hukum bahwa perbuatan Tergugat I yang tidak mengembalikan objek sengketa I kepada Para Penggugat merupakan Perbuatan wanprestasi;
4. Menyatakan berdasarkan hukum bahwa perbuatan Tergugat II yang tidak mengembalikan objek sengketa II kepada Para Penggugat merupakan Perbuatan wanprestasi;
5. Menyatakan berdasarkan hukum bahwa perbuatan Tergugat III yang tidak mengembalikan objek sengketa III kepada Para Penggugat merupakan Perbuatan wanprestasi;
6. Menyatakan berdasarkan hukum bahwa perbuatan Tergugat IV yang tidak mengembalikan objek sengketa IV kepada Para Penggugat merupakan Perbuatan wanprestasi;
7. Menyatakan berdasarkan hukum bahwa perbuatan Tergugat-V yang tidak mengembalikan objek sengketa V kepada Para Penggugat merupakan Perbuatan wanprestasi;
8. Menyatakan berdasarkan hukum bahwa perbuatan Tergugat-VI yang tidak mengembalikan objek sengketa VI kepada Para Penggugat merupakan Perbuatan wanprestasi;
9. Menghukum Tergugat I atau siapapun juga yang memperoleh hak darinya untuk mengosongkan dan menyerahkan objek sengketa I kepada Para Penggugat dalam keadaan baik tanpa syarat apapun kepada Para Penggugat;
10. Menghukum Tergugat II atau siapapun juga yang memperoleh hak darinya untuk mengosongkan dan menyerahkan objek sengketa II kepada Para Penggugat dalam keadaan baik tanpa syarat apapun kepada Para Penggugat;
11. Menghukum Tergugat III atau siapapun juga yang memperoleh hak darinya untuk mengosongkan dan menyerahkan objek sengketa III kepada Para Penggugat dalam keadaan baik tanpa syarat apapun kepada Para Penggugat;
12. Menghukum Tergugat IV atau siapapun juga yang memperoleh hak darinya untuk mengosongkan dan menyerahkan objek sengketa IV kepada Para Penggugat dalam keadaan baik tanpa syarat apapun kepada Para Penggugat;
13. Menghukum Tergugat-V atau siapapun juga yang memperoleh hak darinya untuk mengosongkan dan menyerahkan objek sengketa V kepada Para Penggugat dalam keadaan baik tanpa syarat apapun kepada Para Penggugat;
14. Menghukum Tergugat-VI atau siapapun juga yang memperoleh hak darinya untuk mengosongkan dan menyerahkan objek sengketa VI kepada Para Penggugat dalam keadaan baik tanpa syarat apapun kepada Para Penggugat;
15. Menghukum Para Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap hari atas keterlambatan dalam melaksanakan putusan perkara ini kepada Para Penggugat;
16. Menghukum Para Turut Tergugat untuk tunduk pada putusan ini;
17. Menolak gugatan Para Penggugat Konvensi untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Negeri di atas ternyata kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang lewat Putusan Nomor 61/PDT/2015/PT SMG. tanggal 28 April 2015.
Pihak Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Para Tergugat telah turun temurun merawat tanah dan bangunan Objek Sengketa dengan membayar Surat Pajak Bumi dan Bangunan, serta pembayaran sewa-menyewa sejak tahun 1950, merupakan bentuk adanya penelantaran pihak Para Penggugat.
Mengenai status kepemilikan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang diklaim sebagai milik Penggugat, ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang antara lain mengandung pengertian bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan bangunan di atas tanah negara atau milik orang lain, dan dasar pemberian hak. SHGB atas “tanah negara” diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, dengan kewajiban pemegang HGB:
a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;
c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGB kepada negara sesudah HGB itu hapus.
Ternyata pula, terdapat pula ketentuan hukum yang mengatur tentang hapusnya Hak Guna Bangunan, yaitu:
a. Berakhirnya jangka waktu dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya;
b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang;
c. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak atau tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak guna bangunan;
d. Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
e. Tanah hak guna bangunan ditelantarkan.
Para Penggugat tidak pernah menggunakan tanah tersebut dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak, dan faktanya tanah tersebut telah dikuasai oleh orang lain sejak 75 tahun yang lalu, dimana pula Para Penggugat tidak bisa menunjukkan bukti pengurusan dan pemeliharaan terhadap tanah dan bangunan Objek Sengketa.
Tergugat bahkan mengajukan “Rekonpensi” (gugatan-balik), dengan dalil bahwa Para Penggugat telah melakukan penyimpangan dari tujuan pemberian Hak Guna Bangunan yang pernah dimiliki olehnya, serta melakukan penelantaran sehingga hak atas tanah dimaksud oleh Para Penggugat tidak dapat diperpanjang lagi setelah masa berlakunya Hak Guna Bangunan habis pada tanggal 7 Februari 2017.
Dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir saja, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah membaca secara saksama memori kasasi tanggal 19 Juni 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 29 Juni 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti (Pengadilan Tinggi yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta) tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa dari hasil pemeriksaan persidangan, pihak Penggugat telah dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya bahwa sesuai Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 306 objek sengketa adalah milik Penggugat sedangkan pihak Tergugat hanya sebagai penyewa;
- Bahwa lagi pula alasan-alasan kasasi tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal tersebut tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata bahwa putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi: SUNANDAR ARIS CAHJONO dan kawan-kawan tersebut, harus ditolak;
M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. SUNANDAR ARIS CAHJONO, 2. SRI LESTARI, 3. THERESIA EKA RAHAYU, 4. OEI TJWAN NIO (LUSI WULANDARI), 5. RUSMANTO, 6. LYDIA SARI, 7. RONNY EKA WIJAYA, 8. RONNI CANDRA, 9. INTAN INDRAWATI SOESANTO dan 10. INGE TRISNAWATI SOESANTO, 11. YAKOB tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.