KOLABORASI KOMPAK Kepatuhan Rakyat dan Ketegasan Pemerintah, Mampu Mencegah Bencana Nasional Mematikan Apapun

ARTIKEL HUKUM
Belum benar-benar berperang hingga titik darah penghabisan, pemerintah kita lewat pidato Kepala Negara Indonesia, ternyata sudah langsung menyerah secara “prematur” sembari berkata kepada publik (rakyat), “Mari kita hidup berdampingan dengan Virus Corona Tipe-2, The New Normal”. Belum apa-apa, sudah bertekuk-lutut, tidak kreatif dan bukan tipikal negarawan yang berani mengambil resiko dengan menerapkan kebijakan yang TIDAK POPULIS—sekalipun negara-negara tetangga kita di ASEAN seperti Singapura, Vietnam, Thailand, Malaysia, hingga China, menerapkan perjuangan ALL OUT berupa “LOCK DOWNmurni, tanpa kompromi, tanpa mentolerir pelanggaran, dan siap atas konsekuensi pertentangan dari rakyat yang diatur oleh pemerintahnya selaku otoritas negara masing-masing. Jika ada yang lebih pasti dan terbukti efektif diterapkan oleh sejumlah negara, mengapa memilih berspekulasi dengan taruhan hidup rakyat sendiri?
Terkadang, pemerintah yang baik harus bersikap tegas layaknya seperti seorang dokter, berani untuk melarang pasiennya untuk makan gula-gula demi tidak membuat gigi pasiennya berlubang lebih dalam lagi, bukan “menghimbau”. Apa gunanya dan bedanya jika demikian, antara sanksi dari “norma sosial” dan “norma hukum”? Pemerintah kita, di Indonesia, disaat ancaman yang demikian menular dan mematikan seperti wabah pandemik Virus Corona Tipe-2 menjangkiti berbagai populasi penduduk kita di Tanah Air, masih juga pemerintah kita sekadar “menghimbau”, bukan menerapkan prinsip hukum “darurat” untuk keadaan “darurat”—yakni tegas, keras, dan efektif, TANPA KOMPRORI SERTA TANPA TOLERIR ADANYA PELANGGARAN SEKECIL APAPUN.
Menurut para pembaca, manakah yang lebih penting, ketegasan pemerintah terhadap rakyatnya, ataukah kepatuhan rakyatnya kepada perintah pemerintah? Bila pemerintahnya sendiri tidak tegas, tidak konsisten, tidak berkomitmen, maka apa yang perlu dipatuhi oleh rakyat, bila pemerintah hanya sekadar “menghimbau”? Bahkan, pemerintah mempertontonkan aksi korupsi ditengah wabah pandemik menjangkiti rakyat kita, seperti korupsi dana bantuan sosial (bansos) hingga kasus buronan Djoko Tjandra yang berhasil “membeli hukum”. Maka, timbul sikap “tidak kooperatif” dari rakyat, karena rakyat tidak lagi dapat menaruh kepercayaan kepada pemerintahnya yang korup, aturan yang korup, dan penerapan hukum yang sama korup-nya.
Bila kebijakan yang diberlakukan pemerintah telah demikian LONGGAR (kompromistis, bahkan “dapat diperjual-belikan”), namun juga masih hendak lebih DILONGGARKAN, maka apa lagi yang perlu dipatuhi oleh rakyat? Ketika pihak pemerintah tidak tegas dan rakyatnya tidak patuh terhadap sebuah “himbauan” demi kebaikan rakyat itu sekalipun, maka itulah yang disebut sebagai “the perfect disaster”—dan tepatnya, itulah yang kini Indonesia sedang menuju dan mengarah, yang akan kita hadapi atau mungkin sudah tepat di depan wajah kita (bagai pepatah, semut di seberang samudera ditunjuk-tunjuk namun gajah di depan mata tidak terlihat).
Ketika Indonesia pada saat ulasan ini disusun, yakni tertanggal 17 Juli 2020, grafik dan kurva peningkatan jumlah kasus baru warga terjangkit Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) mencapai hampir seratus ribu jiwa, dimana setiap harinya ditemukan ribuan kasus baru terjangkit COVID-19, dimana juga laju prevalensinya melampaui warga terjangkit yang sembuh, sehingga akumulasi penderita COVID-19 kian menumpuk kian hari tanpa ada tanda pemulihan angka yang sembuh lebih tinggi ketimbang kasus baru, terlebih untuk dapat disebut sebagai stabil dan terkendali.
Namun, apa yang kemudian terjadi, sang Kepala Negara Republik Indonesia, sekalipun belum benar-benar menerapkan kebijakan tegas selevel “LOCK DOWN”, alias kebijakan “populis” yang demikian LONGGAR adanya, kebijakan “kompromistis” semacam “Pembatasan Sosial Berskala Besar” (namun silahkan dilanggar), sudah menyerah dan berkata kepada publik lewat siaran pers yang disiarkan oleh media luas : “Mari hidup berdampingan dengan mesin pembunuh, The New Normal”.
Tidak bersedia berkorban dengan cara “lock down”, namun mengharap untuk “the new normal” hingga “hidup berdampingan” dengan virus menular mematikan? Jika logika demikian yang kita pakai, maka warga dari negara-negara yang menerapkan “lock down”, akan merasa iri hati dan cemburu. Rupanya, warga negara lain lebih terampil dan lebhi “tahan banting” tanpa bersikap “cengeng” ataupun “manja”, dalam hal “puasa” selama beberapa bulan “lock down”, ketimbang Bangsa Indonesia yang mengaku-ngaku “agamais” dan tidak gentar menghadapi bulan-bulan “puasa”.
Bahkan, belum cukup sampai disitu, seolah hendak mengingkari data yang dirilis oleh pihak pemerintah itu sendiri dan seolah hendak membodohi rakyatnya pemilihnya sendiri, sang Mr. Presiden “PLIN PLAN” ini kembali melontarkan “blunder” pencitraan (sekalipun dirinya sudah tidak lagi butuh pencitraan apapun, kecuali untuk popularitas politik dinasti anak-cucunya), seolah belum cukup bermain-main dengan taruhan nyawa dan ekonomi rakyatnya, yakni menyampaikan kepada pers : “Virus Corona di Indonesia telah terkendali.” Rupanya, bagi sang Bapak Presiden, prevalensi yang meningkat drastis hari ke hari, bulan ke bulan, dianggap sebagai “terkendali”.
Bagaimana mungkin, penguasaan Bahasa Indonesia sang Mr. Presiden Republik Indonesia kita yang dipilih secara demokratis ini, lebih lemah ketimbang anak yang duduk dibangku Sekolah Dasar, yang semua juga sudah mengetahui bahwa terjadi ribuan penderita baru setiap harinya adalah cerminan sebuah “bencana” nasional, bukan “terkendali”. Terkendali dari apa? Bahkan data penderita terjangkit COVID-19 bulan lampau tidak setinggi bulan ini. Sungguh, teladan yang buruk bagi rakyat, dari seorang Kepala Negara di negeri yang tergolong patriakis ini.
Thailand, lewat pemerintahnya, memilih untuk “tidak berdampingan dengan mesin pembunuh”. Sebelum membahas lebih jauh perbandingan praktik antar negara, perlu terlebih dahulu kita pahami, konteksnya ialah Indonesia memiliki “bonus geografi” sebagai negara khatulistiwa dengan paparan sinar ultraviolet-UV tertinggi di dunia, serta memiliki “lock down alami” berupa kepulauan, tidak seperti Thailand.
Kini, mari kita bandingkan wajah Indonesia dengan kondisi aktual negara “kerajaan” bernama Thailand, para pembaca akan mulai memahami bahwa Republik Indonesia adalah negeri yang “salah kelola”, dikelola oleh pemimpin yang BUKAN AHLINYA, dan tampak demikin kontras menyimak fakta lewat pemberitaan berjudul “Thailand Tak Mau Kecolongan Sejengkal Pun Kasus Baru Penularan Covid-19”, oleh : Luki Aulia, 15 Juli 2020 (saat di mana di Indonesia telah ditemukan total delapan puluh ribu kasus warga terjangkit COVID-19), https:// bebas. Kompas .id/baca/internasional/2020/07/15/thailand-tak-mau-kecolongan-sejengkal-pun-kasus-baru-penularan-covid-19/, diakses pada tanggal 17 Juli 2020:
BANGKOK — Thailand menangguhkan semua penerbangan yang hendak masuk ke Thailad, Selasa (14/7/2020), setelah ada sekelompok tentara Mesir tidak menjalani karantina mandiri, lalu bepergian ke sebuah pusat pertokoan. Belakangan, ketahuan ada satu tentara Mesir yang positif Covid-19. Kasus ini membuat aparat Thailand melacak pergerakan tentara Mesir tersebut hingga Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha pun turun tangan.
Selama 50 hari terakhir Thailand mencatat tidak ada kasus penularan domestik. Ini berkat pemberlakuan kebijakan karantina ketat yang sejauh ini berhasil mengendalikan penyebaran Covid-19. Karena kasus Covid-19 dianggap sudah terkendali, Thailand kembali membuka diri serta menerima pendatang dan wisatawan. Harapannya, sektor pariwisata akan kembali bangkit.
Aparat di negara itu berusaha agar tidak kecolongan sejengkal pun dengan munculnya kasus baru penularan penyakit mematikan tersebut. Langkah itu mereka lakukan saat seorang tentara Mesir tidak mematuhi aturan karantina mandiri. Tentara Mesir itu merupakan anggota dari sekelompok tentara Mesir yang masuk ke Thailand melalui Bandara U-Tapao yang dikelola militer di Provinsi Rayong tanpa menjalani pemeriksaan terkait virus.
Karena itu, mereka harus menjalani karantina mandiri di sebuah hotel sebelum melanjutkan penerbangan pada hari berikutnya. Namun, bukannya berdiam diri di hotel tempat mereka dikarantina, sekelompok tentara Mesir itu berjalan-jalan di sebuah mal terdekat. Belakangan, dari hasil tes diketahui, seorang dari mereka dikonfirmasi positif Covid-19.
Akibat kasus tentara Mesir itu, kini otoritas Thailand bergegas memeriksa sedikitnya 1.700 orang yang berada di mal tersebut dan yang berada atau tinggal di sekitarnya. Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-Ocha mengaku bertanggung jawab atas kelalaian ini dan meminta maaf karena membahayakan keselamatan dan kesehatan masyarakat.
[NOTE : Apakah pemerintah dan Kepala Negara Indonesia, pernah, meminta maaf dan mengaku bertanggung-jawab secara pribadi atas telah “kecolongan” ribuan kasus baru warga terinfeksi dan telah ribuan rakyatnya meninggal akibat terpapar virus menular mematikan ini? itulah perbedaan terbesar antara otoritas dan Kepala Pemerintahan Thailand, dan pemerintahan ataupun Kepala Pemerintahan Indonesia yang bahkan untuk mengatur anak buah sendiri ternyata tidak mampu, seperti kasus bebas keluar-masuknya buronan Djoko Tjandra yang ternyata lebih dhormati dan ditaati perkataannya oleh para petinggi POLRI, Imigrasi, Lurah, hingga Kejaksaan. Presiden yang sangat terhina dan patut dihina.]
Ini terjadi karena orang tidak mau mematuhi aturan yang sudah ada. Semua penerbangan masuk ditangguhkan sampai masalah ini terselesaikan,” ujar Prayuth.
Thailand, yang setiap hari menerima penerbangan repatriasi, telah mensyaratkan karantina selama 14 hari khusus bagi kelompok pendatang atau orang asing tertentu yang diperbolehkan masuk Thiland, seperti istri, suami, atau pasangan dari warga negara Thailand, para pemegang visa kerja, dan siswa asing. Namun, pengecualian berlaku untuk kru maskapai penerbangan dan diplomat yang diperbolehkan menjalani karantina mandiri.
Covid-19 Membuat Dunia Tidak Akan Kembali Normal.
Sekelompok tentara Mesir yang berjumlah sekitar 30 orang itu tiba di Thailand dengan pesawat militer pada 10 Juli lalu. Mereka baru terbang selama 24 jam dari Chengdu, China. Menurut rencana, mereka akan terbang lagi untuk kembali ke Mesir keesokan harinya. Setelah kasus ini, Kementerian Kesehatan Thailand meminta delapan pesawat militer Mesir yang semula diizinkan melintas Thailand, awal bulan depan, dibatalkan.
Kantor Kedutaan Besar Mesir di Thailand mengeluarkan pernyataan tertulis yang menyampaikan permohonan maaf dan penyesalan yang mendalam. ”Penyesalan tulus yang paling mendalam dan simpati terhadap mereka yang mungkin terkena dampak merugikan akibat insiden tak diharapkan ini,” demikian pernyataan Kedubes Mesir untuk Thailand, Selasa malam.
Aparat Thailand saat ini juga berusaha melacak pergerakan seorang anak perempuan Kuasa Usaha Sudan di negara itu. Ia masuk Thailand pada 10 Juli lalu dan tinggal di sebuah kondominium yang padat penghuni. Ia semestinya tinggal di tempat kediaman fasilitas Kedubes Sudan.
PM Prayut kemungkinan akan membatasi jumlah pendatang ke negaranya sesuai usulan Kerajaan, bulan lalu. Pengunjung atau wisatawan yang diperbolehkan masuk Thailand, untuk sementara, dipertimbangkan hanya bagi mereka yang berasal dari negara-negara di Asia yang jumlah kasus koronanya rendah atau setidaknya sama dengan Thailand.
Kasus Covid-19 di Thailand tercatat ”hanya” 3.200 kasus dan 58 orang tewas. Meski relatif rendah, perekonomian Thailand ikut goyang sama parahnya dengan negara-negara lain di dunia akibat pukulan pada sektor pariwisata yang menjadi andalan pemasukan negara itu. (AFP)
Itulah, yang harus kita bayar untuk sebuah kebijakan serba “populis”, “kerja santai”, tidak berani mengambil kebijakan beresiko sosial tinggi seperti “LOCK DOWN” murni, sekadar berspekulasi dengan masa depan yang dipastikan virus menular tidak akan berhenti secara “ajaib” tanpa usaha keras seperti negara-negara tetangga lainnya, sekadar sibuk mengandalkan retorika politik “The New Normal, hidup berdampingan dengan mesin pembunuh”, dimana yang menjadi korbannya ialah delapan puluh ribu warga kita sendiri, dimana telah meninggal lebih dari tiga ribu jiwa diantaranya—sementara pada tanggal yang sama, kasus Covid-19 di Thailand tercatat ”hanya” 3.200 kasus dan 58 orang tewas.
Rupanya, pemerintah Indonesia tidak hanya menggelar “karpet merah” bagi buronan sekelas koruptor Djoko Tjandra, namun juga memberikan “karpet merah” bagi virus menular mematikan untuk bersarang dan mencengkeram lebih dalam lagi di Indonesia, dengan nyawa rakyatnya sendiri sebagai taruhannya. Terimakasih Bapak Presiden, yang tidak berani menerima tantangan rakyatnya sendiri untuk menegakkan hukum secara tegas, yang telah hampir dua periode dibangun selama masa kepemimpinannya. Jangankan virus mematikan, Djoko Tjandra pun berhasil “mengangkangi” Bapak Presiden kita.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.