Ketika Narapidana Koruptor Buron Menjadi KONSULTAN bagi POLRI, Penjahat menjadi Tutor bagi Polisi, POLISI KORUP

ARTIKEL HUKUM
Bukan soal mampu atau tidak mampu meringskus seorang kriminal maupun koruptor kelas kakap, namun selalu perihal mau atau tidaknya menegakkan hukum (adanya prasyarat itikad baik politik penguasa di sini). Negara Indonesia seolah tidak memiliki Kepala Negara, atau kalau pun terdapat figur Kepala Negara yang dipilih secara demokratis dan langsung oleh segenap rakyat ternyata, hanya tampak seolah sebagai “pajangan manekin” belaka yang tidak perlu dipatuhi oleh “kaki-tangan” jajaran kabinetnya sendiri, namun semata untuk “umbar pidato” guna menghibur dan menyenangkan publik—suatu jabatan yang tidak lagi tampak “prestise”, karena ternyata kata-kata dan instruksi seorang presiden kemudian “dipunggungi” oleh jajaran anak buahnya yang sibuk dengan urusan dan kepentingannya sendiri, dimana sang presiden pun “terpasung” seolah tanpa daya.
Meminjam kata-kata Novel Baswedan : Ternyata seperti ini, wajah penegakan hukum yang sedang dan selama ini dibangun oleh Pak Presiden? (Redaksi : Bisa juga dimaknai sebagai, diprotes dan dikritik rakyat dahulu, baru benar-benar menangkap penjahat dan hukum dijalankan). Sejatinya, menurut penulis secara pribadi, wajah POLRI saat kini adalah hasil kerja sang Kepala Pemerintahan kita selama masa jabatan periode pertamanya beliau menjabat, sehingga kegagalan dan ketumpulan kepemimpinan (leadership) Kepala Pemerintahan kita terbukti tidak memiliki daya efektif apapun selain seolah menjadi jabatan seremonial belaka, seperti sosok seorang Raja pada sistem pemerintahan di Jepang guna menyenangkan rakyatnya.
Apakah kurang banyak, pilihan Konsulan penyedia jasa konsultasi di republik ini bagi institusi sebesar POLRI (Kepolisian Republik Indonesia) gunakan jasanya guna konseling, sehingga mengapa harus Djoko Tjandra yang diangkat dan ditunjuk oleh Mabes POLRI sebagai konsultan Bareskrim (Badan Reserse Kriminal) POLRI? Apakah artinya POLRI hendak alih profesi menjadi “sarang penyamun” / “markas koruptor” sejenis seorang narapidana (putusan pidana telah inkracht) koruptor “kelas kakap” semacam Djoko Tjandra, karena konsultan POLRI ternyata adalah seorang koruptor buronan?
Kasus Djoko Tjandra, adalah satu kasus “kecil” yang mencuat ke publik. Bisa jadi, banyak “surat sakti” lainnya yang selama ini terbiasa di-“transaksikan” (diperjual-belikan) oleh petinggi POLRI, namun tidak terendus oleh publik. Rupanya, Djoko Tjandra disewa sebagai konsultan bagi para elit petinggi POLRI kita yang merasa penasaran bertanya-tanya “how to” cara berkelit dari jerat hukum, “how to” cara korupsi, bagai jeruk hendak mengkorupsi jeruk?
Mungkin, adalah “korupsi” yang dijadikan sebagai “agama” yang disembah oleh para petinggi POLRI kita, terbukti dari dihapusnya nama Djoko Tjandra dari list daftar “red notice” jaringan interpol internasional, passport kadaluarsa masih juga diterima, imigrasi tidak mencekal buronan, hingga diberikannya “Surat Sakti” berupa surat jalan dari institusi POLRI (ada cap dan stempel resmi POLRI, artinya itu surat resmi POLRI sebagai produk tata usaha negara) bagi Djoko Tjandra. Satu petinggi POLRI sebagai pelakunya, itu benar hanyalah oknum adanya. Namun dua peristiwa yang berkelindan seperti dihapuskannya nama Djoko Tjandra dari aplikasi “red notice” interpol, ditambah terbitnya surat jalan bagi Djoko Tjandra pada saat bersamaan, apakah masih kurang tersistematis dan terorganisir dalam tubuh instansi POLRI itu sendiri? Bukan lagi oknum belaka, namun “berjemaah”.
Mungkin, Djoko Tjandra diberikan surat jalan oleh POLRI karena POLRI merestui Djoko Tjandra sebagai “nabi” pembentuk agama baru, “Agama Korupsi”, dimana Djoko Tjandra yang menjadi pengarang “Kitab How to Corrupt”. Mengapa, para koruptor bisa terpiilih menjadi elit petinggi di tubuh POLRI? Jika para petinggi “Jenderal Bintang Satu”-nya saja pro terhadap koruptor, maka bagaimana dengan jajaran tubuh koprs POLRI lainnya? Bila itu yang menjadi teladan dari para pucuk pimpinan Mabes POLRI, bagaimana dengan sikap para satuan kepolisian kita di berbagai daerah?
POLRI kemudian berkelit, menyatakan bahwa “surat sakti” (surat jalan) bagi Djoko Tjandra itu adalah surat surat “palsu” (palsu dari segi apa?), sehingga menjadi tidak berlaku. Menjadi pertanyaan kita dan menjadi kian meragukan itikad serta keseriusan tubuh POLRI, karena ternyata petinggi POLRI yang menerbitkan surat jalan bagi buronan koruptor tersebut jika memang adalah surat “palsu”, mengapa tidak seketika itu juga ditangkap dan disidik sebagai tersangka pelaku tindak pidana PEMALSUAN SURAT, alih-alih digelandang ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam)? Mungkin, itu karena POLRI sendiri tidak atau kurang percaya diri untuk menentukan apakah surat jalan itu adalah asli atau palsu. Jika memang jelas itu adalah surat jalan palsu, mengapa POLRI ragu-ragu untuk seketika menetapkan pasal pidana “pemalsuan surat” bagi pelakunya? Jelas, terjadi “tebang pilih” di sini, hukum terlagi-lagi “tumpul ke atas, dan tajam ke bawah”.
Pihak juru bicara POLRI kemudian berdalih, bahwa surat jalan dari POLRI kepada Djoko Tjandra adalah tidak sah karena surat tersebut adalah “palsu”, dimana pejabat POLRI yang menerbitkan surat jalan tersebut telah dicopot dan diberhentikan karena dianggap melanggar SOP internal institusi POLRI—namun mengapa pihak POLRI tidak secara tegas menyatakan bahwa pejabat POLRI bersangkutan tidak diberhentikan secara “tidak hormat”, sekalipun pelanggaran dan kesalahannya telah demikian fatal, alih-alih dilempar ke Propam untuk menilai disiplin etik kepolisian (perhatikan fungsi dan peran Propam)?
Seperti yang telah penulis singgung di muka, jika surat jalan tersebut benar adalah “palsu”, maka artinya ada pemalsuan surat di sini, yang artinya pula tindak pidana membuat surat palsu disertai delik pemberatan karena pelakunya ialah pejabat kepolisian yang justru bertentangan dengan kewajiban hukumnya dapat seketika itu juga dijerat dan ditahan oleh penyidik kepolisian mana pun pada Bareskrim itu sendiri, bukan fungsi dan peran tugas Propam—seolah-olah POLRI tidak paham fungsi Propam hanyalah untuk urusan disiplin etik, bukan penyidik “pro justisia”. Jika saja benar bahwa, kop surat dan stempel cap basah pada surat jalan bagi Djoko Tjandra adalah asli adanya, maka “palsu” dimananya?
Pertanyaan penulis bagi pernyataan POLRI dalam siaran pers demikian ialah, jika memang “surat jalan bagi Djoko Tjandra adalah palsu”, mengapa Djoko Tjandra bebas masuk dan keluar teritori Indonesia tanpa ada hambatan berarti, bahkan bisa membuat eKTP dalam tempo satu hari? Artinya, surat jalan tersebut sama sekali tidak palsu, namun asli, berhubung surat jalan tersebut mengandung cap resmi instansi POLRI dan diterbitkan oleh pejabat POLRI (tidak penting apakah yang bersangkutan adalah berwenang atau tidak, yang penting pejabat bersangkutan memiliki “bintang satu” Brigjen, Brigadir Jenderal), maka itu adalah produk “tata usaha negara” yang dapat digugat oleh warga masyarakat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), semisal karena petinggi POLRI tersebut tidak berwenang untuk menerbitkan surat jalan demikian sehingga terdapat cacat prosedural.
Apakah bisa, mendalilkan (dengan “cuci tangan”), bahwa pejabatnya yang “nakal” tersebut telah dipecat atau dicopot dari jabatannya dan digantikan dengan pejabat lainnya, seolah-olah membuat POLRI berhak untuk menyatakan bahwa surat jalan bagi Djoko Tjandra adalah tidak sah dan palsu? Pertanyaan demikian cukup senada seperti pertanyaan klien penulis lama sebelum ini dalam sebuah sesi konsultasi yang penulis bawakan, yakni : jika kepala kantor pertanahan dicopot atau diganti oleh pejabat lainnya, maka apakah surat keputusannya masih berlaku?
Jawabannya ialah dengan melihat pada “jabatan”, bukan “pejabatnya”—itulah tepatnya yang disebut sebagai keputusan tata usaha negara (KTUN). “Pejabatnya” dapat saja silih-berganti, akan tetapi apa yang dibuat berdasarkan “jabatan”, maka itu sah dan terus berlaku serta memiliki daya berlaku secara hukum disamping daya ikat “keluar dan kedalam” sepanjang belum dicabut oleh pejabat berwenang yang menggantikannya.
Karenanya, POLRI keliru jika hendak mendakwa pejabatnya tersebut dengan pasal pidana pemalsuan, karena surat jalan tersebut tidak palsu adanya—yang ada ialah unsur pidana “penyalah-gunaan jabatan” dan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya selaku aparat penegak hukum. Sekalipun memang sang pejabat / petinggi POLRI bersangkutan tidak berwenang menerbitkan surat jalan demikian, namun tidak dapat secara serta-merta dikatakan bahwa surat jalan demikian adalah “palsu” adanya, karena bagaimana pun kop surat serta cap stempelnya (bisa jadi) adalah asli—terlagi pula, peraturan Kepala POLRI mana yang menyatakan SOP penerbitan “surat jalan” wajib oleh Kepala POLRI ataupun Wakil Kapolri? Bisa saja itu klaim sepihak POLRI, guna menyelamatkan wajah POLRI dari kejadian memalukan ini (rupanya, POLRI masih “tahu malu” juga?).
Ada kesalahan keterlibatan atau setidaknya kontribusi POLRI dalam surat jalan bagi Djoko Tjandra tersebut, yakni selama ini ternyata telah lalai mengawasi dan abai untuk mendisiplinkan jajarannya sendiri—terutama sistem internal audit terhadap penegakan disiplin SOP masing-masing pejabatnya. Sehingga, tidaklah dapat pihak POLRI melepaskan kesalahan serta kelalaiannya semudah aksi “cuci tangan” dengan menjadikan satu orang pejabat pada tubuh instansi bersangkutan sebagai “kambing hitam” guna menutupi “sindikat-terorganisir” yang bersarang di Markas Besar POLRI, dimana kesemua ini menjadi cerminan kegagalan total satu instansi bernama POLRI (yang ternyata tidak patut diberi kepercayaan oleh publik, terlebih terjadi paska persidangan penuh sandiwara para terdakwa penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan) beserta Kepala dan jajaran petinggi POLRI, dimana bila TOP MANAJEMEN POLRI ternyata menggelar “karpet merah” pada buronan koruptor, hingga menghapus list nama Djoko Tjandra pada aplikasi “red notice” interpol internasional, semua itu adalah bukti adanya sindikat tersistematis dalam tubuh POLRI sendiri—suatu bobrok institusi raksasa yang ternyata keropos oleh tikus-tikus pengerat dari dalam lembaganya sendiri dan kini seolah hendak ditutup-tutupi setelah terlebih dahulu mencoba membungkam Novel Baswedan sang “pengkhianat POLRI”, dimana menjadi bukti pula POLRI tidak toleran terhadap “maling ayam”, ternyata sangat kompromistis dan tidak segang menggelar “karpet merah” bagi buronan koruptor “kelas kakap”.
Inilah, warisan preseden sekaligus teladan nyata dari para petinggi POLRI, bahwa POLRI kita sangat toleran dan menerapkan kebijakan “pintu terbuka lebar” bagi para koruptor “kelas kakap”, namun tidak ada ampun bagi pencuri “kelas teri” yang harus dilempar ke bui yang dingin dan mendekam-membusuk di dalamnya. Jangan pernah jadi “maling sandal” ataupun “maling ayam”, karena hanya Koruptor yang menjadi “sahabat POLRI”—jika perlu sebagai “Konsultan (bagi) POLRI”, lengkap dengan karpet-merah yang digelar beserta pesta penyambutan dan “welcome drink” penuh senyum, keramahan, serta kehangatan disamping perlindungan hukum (“one stop service”), tentunya.
Bila Kepala Pemerintahan kita tidak bersedia dipersalahkan dan juga tidak bersedia bertanggung-jawab atas kesalahan maupun kelalaian anak-buah beserta jajaran kabinet kerjanya, maka mengapa masih menyandang status sebagai Kepala Pemerintahan, mengapa tidak semata menjadi Kepala Negara saja layaknya figur seorang raja yang semata “seremonial” seperti di Jepang dan Thailand? Mengapa juga, biaya “pesta demokrasi” harus semahal ini, hanya untuk seorang Kepala Pemerintahan “pajangan”, ahli pidato yang sungguh berbiaya mahal untuk ditanggung oleh rakyat?
Iblis sekalipun, tidak sejahat kalangan pejabat POLRI maupun jajaran Kepolisian di bawahnya. Seorang iblis, tidak punya kewajiban, sumpah jabatan, ataupun tugas (terlebih digaji) untuk melindungi rakyat dan menegakkan hukum (sebagaimana mestinya). Namun, berkebalikan dengan itu, seorang anggota satuan Kepolisian (tidak terkecuali pejabat POLRI) memiliki tugas, kewenangan monopolistik (untuk menangkap, menahan, menyidik, dan menggunakan senjata api, serta kewenangan melimpahkan perkara pidana kepada Kejaksaan), maupun kewajiban dan tanggung-jawab untuk menegakkan hukum disamping mengayomi serta melayani masyarakat, justru kemudian melindungi dan melestarikan orang-orang jahat, preman pelaku aksi premanisme, hingga menyembunyikan koruptor, itu sama artinya lebih jahat daripada iblis. Bukan soal mampu atau tidak mampu meringskus seorang penjahat (terlebih buron), namun selalu perihal mau atau tidak mau (ini baru menjadi masalah).

UPDATE : Tanggal 30 Juli 2020, Djoko Tjandra ditangkap POLRI saat sang buron berada di Malaysia. Mengapa buron tidak ditangkap saat sang buron berada di Indonesia? Mengapa baru ditangkap dan diringkus setelah rakyat melakukan kritik keras terhadap praktik aparatur penengak hukum yang seolah sembunyi-sembunyi dalam menyembunyikan kalangan kriminil. Bagaimana jadinya, bila tiada pengamat negara yang mengetahui informasi perihal penyelundupan Djoko Tjandra ke dalam teritori Indonesia yang dikawal oleh pihak internal tubuh pejabat POLRI sendiri, maka bisa jadi rakyat tidak mengetahui perihal manuver Djoko Tjandra, sehingga pula tiada akan mencuat kritik keras dari rakyat. Artinya, POLRI sejatinya sanggup dan mampu menangkap penjahat dan buron mana pun, selama ada political will dari pihak POLRI itu sendiri. Ditangkapnya Djoko Tjandra, bukanlah babak akhir, justru menjadi babak baru untuk mengungkap jejaring sindikat dalam tubuh POLRI, Imigrasi, dan Kejaksaan hingga Pejabat Lurah, tidak terkecuali kalangan Pengacara itu sendiri yang menjadi agen dari sang koruptor untuk melobi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.