Kasihan Negara yang Butuh Pahlawan (Vaksin Obat Virus Menular Mematikan, karena Sejumlah Negara Lain Justru Mampu Bebas dari Wabah Pandemik TANPA VAKSIN)

ARTIKEL HUKUM
Seorang tokoh, lama sebelum ini, pernah berkata “Sungguh kasihan negara yang membutuhkan pahlawan”—karena artinya negara itu adalah negara yang tengah “bermasalah”, karenanya butuh sosok semacam “jagoan” atau “superhero” untuk mengatasi masalah pelik yang selama ini menjerat negara bersangkutan. Ketika Negara Tiongkok-China telah berhasil mengatasi wabah pandemik Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) atau yang juga kerap disebut sebagai “Virus Corona Tipe 2”, bukan lewat pendekatan vaksin ataupun obat, namun lewat kebijakan tegas “memutus rantai penularan”, justru produsen vaksin asal China hendak melakukan eksperimen dengan menjadikan Warga Indonesia di Negara Indonesia sebagai “kelinci percobaan” uji klinis, dianggap oleh Pemerintah Indonesia sebagai “secercah harapan” untuk mengatasi pandemik COVID-19 yang melanda Indonesia (baca : Jalan pintas super-instan alternatif kebijakan “lock down”, tidak ingin dan tidak bersedia berkorban “lock down” seperti sejumlah negara, namun mengharap dapat terbebas dari wabah, suatu paradigma penuh “kecurangan”, disamping suatu harapan yang “berlebihan” dan tidak proporsional serta tidak pada tempatnya).
Mengapa produsen vaksin asal China tersebut, tidak melakukan uji klinis vaksin seluruh tahapannya di China, terhadap warga China sendiri, berhubung galur atau strain genetik COVID-19 di China dan di Indonesia jelas berbeda, dimana strain COVID-19 di Indonesia rata-rata tidak menampakkan gejala bagi orang terjangkit, berbeda dengan COVID-19 yang menjadi sumber bahan baku vaksin produsen vaksin asal China tersebut. Kedua, “vaksin” dimaksud belum dapat disebut sebagai vaksin, namun “bakal vaksin” atau “calon vaksin” semata, karena belum lolos uji klinis tahap akhir yang memakan waktu tahunan—sehingga terlampau prematur ketika otoritas Indonesia menganggap “vaksin” tersebut adalah “dewa penolong” bagi umat manusia di Indonesia yang pada mulanya begitu percaya diri akan “kebal dari virus menular mematikan”. Vaksin adalah vaksin, namun “bakal vaksin” bukanlah vaksin, itu yang harus kita pertegas dalam kesempatan ini.
Otoritas Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia menyatakan, vaksin hanya dibutuhkan dan hanya bisa diuji pada orang yang sehat, bukan orang yang sakit (premis mayor). Ia juga menyebutkan, bahwa masyarakat di China sudah sehat semua, sehingga produsen vaksin asal China tersebut menguji-coba vaksin di Indonesia terhadap warga-masyarakat Indonesia (premis minor). Bukankah logika kedua pernyataan tersebut, menjadi saling kontradiktif secara silogisme logika paling sederhana?
Jika masyarakat / rakyat di Indonesia, sedang sakit karena wabah COVID-19, mengapa justru produsen vaksin asal China tersebut diundang dan hendak menjadikan Warga Indonesia sebagai laboratorium uji klinis “calon vaksin”? Jika vaksin hanya dibutuhkan oleh orang sehat, maka yang paling tepat menerima dan diberikan vaksin ialah rakyat China sendiri, bukan rakyat Indonesia yang kini sedang “sakit dan berdarah-darah”. Ada apa, dengan otoritas di Indonesia ini? Rupanya, ada sedikit kebenaran fakta, dalam teori konspirasi bahwa COVID-19 bukanlah “by nature”, namun “by design”—salah satunya sikap pemerintah Indonesia yang demikian “pro” terhadap produsen vaksin asal China tersebut, tanpa sedikit pun keraguan ditampakkan oleh pemerintah Indonesia, sekalipun uji klinis belum tuntas.
Sejumlah negara terbukti telah berhasil memupus dan memutus rantai penularan lewat kebijakan yang keras dan tegas, tanpa kompromi, tanpa tolerir, sehingga pendekatannya bukanlah pendekatan instan-pragmatis seperti vaksin, namun kebijakan radikal yang berani mempertaruhkan dan mengorbankan kepentingan ekonomi negaranya (selama kurun waktu yang telah dapat dikalkulasi), demi keselamatan segenap rakyatnya, seperti lock down” yang MURNI, bukan layaknya “pembatasan sosial berskala besar” yang ternyata “separuh hati” serta amat sangat longgar—dimana uniknya, ketika prevalensi terjangkit COVID-19 kian meningkat tinggi bulan ke bulan, pemerintah Indonesia baru mulai memikirkan untuk menerapkan sanksi bagi warga pelanggar “protokol kesehatan (menghadapi COVID-19)”, alias sudah JAUH TERLAMBAT DAN SUDAH KEHILANGAN MOMENTUMNYA.
Masyarakat dan peminpin di Negeri Indonesia, tergolong bangsa yang “manja” dan “cengeng”, selalu menginginkan pendekatan dan langkah yang serba instan serta pragmatis adanya, bahkan lebih pandai “menipu diri sendiri” (sudah normal, mereka berkata), tidak benar-benar tampak seperti bangsa yang selama ini memiliki budaya ber-“puasa”, baik “puasa makan” ataupun “puasa keluar rumah untuk mencari hiburan”.
Bukankah, selama ini Bangsa Indonesia telah memiliki “vaksin IMAN” yang digadang-gadang mampu menangkal semua jenis petaka tidak terkecuali wabah pandemik yang demikian dibangga-banggakan oleh Rakyat Indonesia, bahkan mengumbar klaim bahwa makanan “halal lifestyle” menjamin tidak akan tertular virus menular mematikan, disamping klaim bahwa Bangsa Indonesia mengenal betul isi pikiran Tuhan bahwasannya COVID-19 adalah “azab” bagi China (terlampau “lancang”, menyaru sebagai “nabi”? Bahkan mencoba membaca isi pikiran Tuhan, seolah mampu untuk itu?)—mungkin, inilah hukumannya akibat mencoba berspekulasi tentang pikiran Tuhan, dan mencatut nama Tuhan dalam membuat “penghakiman” bagi bangsa lain yang sedang diserang wabah tanpa rasa prihatin dan menaruh iba. Jangan lupa, sekalipun “calon vaksin” bukan terbuat dari “babi”, namun para peneliti produsen asal China tersebut besar kemungkinan “bahan bakar” (makanannya) ialah “babi”.
Kini, terbukti sebaliknya, rakyat dan pemerintah Indonesia justru mengemis-ngemis agar produsen vaksin asal China tersebut rela dan bersedia menjadikan rakyat Indonesia sebagai laboratorium sekaligus “kelinci percobaan”, sekalipun banyak pakar virus yang meragukan efektivitas “vaksin COVID-19” mengingat galur virusnya berbeda, dan fakta bahwa para mantan penderita COVID-19 dapat kembali terjangkit untuk kedua dan kesekian kalinya sehingga antibodi bukanlah solusi utama layaknya kegagalan “vaksin demam berdarah” ataupun “vaksin HIV” yang hingga hampir separuh abad lamanya menemui kegagalan. Perhatikan bahaya laten di sini, bisa jadi COVID-19 (galur asal China) yang dijadikan “bakal vaksin”, justru akan menjadi wabah baru di Indonesia ketika percobaan menemui hasil berupa kegagalan, sehingga menjelma dua wabah pandemik : COVID-19 strain China dan COVID-19 strain Indonesia.
Negara-negara seperti Thailand, China, dan Vietnam, memilih untuk TIDAK “hidup berdampingan” dengan mesin pembunuh (semua ini soal “pilihan dan KONSEKUENSINYA”), juga menerapkan “ZERO TOLERANCE” (tiada kompromi) terhadap “mata rantai penularan” yang disandang oleh warganya sendiri (carrier) maupun “suspect” yakni seluruh warga yang bisa jadi adalah terjangkit yang tidak menampakkan gejala (orang tanpa gejala) sehingga SEMUA WARGA wajib melakukan “lock down” terhadap semesta rakyatnya sendiri tanpa “pandang bulu”, tanpa perlu terlebih dahulu “rapid test”, tanpa pilih-pilih, dan tanpa toleransi alias tanpa terkecuali.
Secara pribadi, penulis telah mampu memprediksi Indonesia akan memasuki “jurang” kerusakan yang ditimbulkan oleh virus menular mematikan ini, tepatnya bermula ketika Bapak Presiden Indonesia selaku Kepala Negara, membuat konferensi pers yang disiarkan kepada publik, melontarkan blunder tiada henti bahwa kita mulai perlu membiasakan diri “hidup berdampingan dengan mesin pembunuh, the new normal”—pada detik itu pula, penulis sudah mampu membayangkan akibat berantainya dari efek psikologi perilaku masyarakat, dimana “penglihatan” penulis benar-benar terjadi saat kini. “Ah, sudah... kita sudah kalah,” demikian penulis membatin saat mendengarkan seorang Kepala Negara mengutarakan pidato yang tidak semestinya diumbar kepada publik kita yang BELUM CERDAS dan PEMBANGKANG. “Belum benar-benar berperang saja, kita sudah menyerah kalah. Tidak tanggung-tanggung, seorang Kepala Negara telah ‘lempar handuk’ sebelum bertarung, moral rakyat menjadi runtuh kini. Seolah, menjadi sia-sia dan tiada artinya warga yang secara sukarela patuh isolasi diri beberapa bulan ini.”
Ketika kita terlampau banyak beralasan (mencari-cari alasan), terlebih dalam posisi penyusun kebijakan negara, maka itulah pintu atau celah masuk bagi fatalisme dari segi keamanan dan keselamatan negara. Negara-negara yang berhasil dan efektif memutus mata rantai penularan wabah pandemik virus mematikan, tidak terkecuali menghadapi dilema yang sama dengan pemerintahan dan rakyat di Indonesia—mulai dari aspek para tenaga kerja maupun pelajar yang pulang dan kembali dari luar negeri butuh mobilitas pulang ke kampung halaman, masalah sisi suplai kebutuhan pokok, kemungkinan penolakan warga atas kebijakan tegas dan keras ber-sanksi, penutupan akses keluar ataupun masuk, isolasi diri dari dunia luar bahkan barang-barang ekspor-impor sekalipun terhenti total, hingga perihal keadaan ekonomi “perut yang kelaparan minta diisi”. Negara lain berhasil mengatasi, mengapa Indonesia memilih tunduk pada berbagai sikap pragmatis?
Bertahan dalam kondisi perut lapar dalam satu atau dua bulan, masih lebih baik daripada apa yang akan terjadi seperti kondisi Indonesia sekarang ini, yakni keadaan berlarut-larut atau berjalan dalam kondisi berdarah dimana darah terus mengucur hingga terancam mati kehabisan darah, yang penulis nyatakan ADALAH BOHONG KLAIM PEMERINTAH YANG MENYATAKAN NEGERI KITA BELUM RESESI LAYAKNYA SINGAPURA—klaim yang tidak wajar, tidak logis, tidak rasional, dan tidak empirik, alias hanya dibentuk jargon demikian oleh para pengusa yang hidup di atas “menara gading”. Banyaknya pengusaha yang jatuh bangkrut, pekerja yang terkena kebijakan pemutusan hubungan kerja, daya beli yang merosot, sudah merupakan indikator nyata resesi, dan tidak butuh Profesor Ilmu Ekonomi untuk membenarkan pernyataan penulis.
Lihatlah China, kini geliat ekonomi di China hampir mendekati pulih dan NORMAL sepenuhnya, karena telah berhasil mengatasi pandemik—China tidak pernah memilih untuk memasuki “New Normal”, namun memilih untuk meraih kembali kenormalan semula. Pendekatannya sangat logis dan dapat diterima akal sehat, yakni “sebulan atau dua bulan puasa ekonomi, namun kondisi ekonomi dapat kembali bangkit pada bulan ketiga atau bulan keempat, daripada berlarut-larut dalam kondisi sakit”—pertimbangan pemerintah China demikian, sangatlah terukur serta rasional.
Apa yang harus dibayarkan oleh China saat wabah pertama kali menjangkiti teritori negara mereka, sangatlah “berdarah-darah” (pada mulanya), berkat sikap tegas pemerintah dan otoritas keamanan di China. Namun kini, kondisi dan situasi ekonomi maupun sosial di China telah relatif hampir pulih sepenuhnya—berkebalikan dari kondisi di Amerika Serikat serta Indonesia yang memutuskan “langkah yang ternyata keliru” (menurut pendapat petinggi WHO, istilah yang penulis kutip apa adanya) karena mengutamakan pendekatan ekonomi ketimbang berfokus mengakhiri dan menyelesaikan terlebih dahulu “duri dalam daging” bernama wabah pandemik.
Dibutuhkan ketegasan di sini, itulah OBAT sekaligus VAKSIN yang paling rasional dan paling dapat diandalkan kepastian efektivitasnya ketimbang “calon vaksin” yang belum tentu efektif selain sekadar berspekulasi dengan “harapan semu”. Bila sikap disiplin masyarakat tidak dapat diandalkan untuk ditegakkan, maka sikap tegas pemerintah dibutuhkan di sini. Bila rakyat sama “PLIN PLAN” dengan pemerintahnya, maka itulah “DOOM”. Sungguh sulit dipercaya, memasuki bulan keenam wabah pandemik COVID-19 menjangkiti masyarakat Indonesia, belum terdapat satu pun regulasi yang memiliki sanksi pidana maupun “denda besar” yang efektif dapat menjerat dan diberlakukan bagi warganya yang melanggar prinsip “pemutusan rantai penularan”, dimana negara-negara lain rata-rata menerapkan kebijakan perintah ber-sanksi, sekalipun telah sejak lama pemerintah kita menyadari bahwa rakyat kita sangat sukar untuk diatur, kerap melanggar hukum, terlebih sekadar mengindahkan himbauan.
COVID-19 bukanlah wabah yang tidak dapat diatasi dan ditangani secara efektif, sebenarnya itulah pesan implisit yang sudah diwartakan oleh otoritas Wuhan di China kepada dunia global, dengan berhasilnya pemerintah China dalam membuat angka terjangkit wabah dari ratusan ribu pasien per hari menjadi nihil sama sekali dalam kurun waktu beberapa hari dewasa ini, hanya dalam tempo waktu tiga bulan masa “lock down” MURNI di Wuhan. Artinya, COVID-19 bukanlah hal mustahil untuk dilawan dan diperangi, namun NISCAYA. Entah mengapa dan bagaimana, seolah pemerintah kita di Indonesia menutup mata dari fakta empirik demikian, dimana kemudian alhasil harus dibayar mahal oleh rakyat kita sendiri.
Kita tidak perlu terlebih dahulu mengalami pengalaman semacam wabah SARS, untuk bisa siap menghadapi wabah COVID-19, karena sejatinya kita bisa belajar dari pengalaman negara lain. Kita pun punya wabah endemik, yakni Demam Berdarah yang tidak dimiliki negara lain. Terbukti pula, Pemerintah China berhasil mengatasi SARS hanya dalam tempo setengah tahun, dan berhasil mengatasi COVID-19 hanya dalam tempo tiga bulan. Sebaliknya, hingga setengah tahun wabah terjangkit di Indonesia, tiada ada tanda-tanda kunjung mereda bahkan tren prevalensinya kian meningkat hari ke hari dimana kini total angka terjangkit COVID-19 Indonesia telah melampaui total kasus di China.
Perhatikan pula data, mortalitas yang ditimbulkan galur COVID-19 China jauh lebih mematikan daripada galur COVID-19 Indonesia, sehingga jika galur COVID-19 China disuntikkan kepada relavan uji klinis “calon vaksin” produksi produsen asal China, ternyata mengalami kegagalan, dapat dipastikan Indonesia dilanda wabah dua jenis COVID-19 yang saling berbeda galur. Adakah pemerintah kita yang banyak dikelilingi pakar ahli, (mau) menyadari potensi bahaya demikian?
Semula, para pakar mengadang-gadang bahwa virus menular mematikan semacam COVID-19 sukar untuk menjangkit ke Indonesia, mengingat pengalaman SARS tidak sampai menjangkiti negara Indonesia beberapa dekade lampau, ditambah kondisi geografis indoensia yang sudah merupakan “lock down alami” berupa bentang alam sebagai negara kepulauan, kaya akan rempah, plus Indonesia merupakan negara khatuliswa yang dianugerahi gelar sebagai negara dengan paparan sinar UV (ultraviolet) tertinggi di dunia, memiliki dua musim (bahkan ironisnya, wabah COVID-19 justru menanjak tinggi angkanya saat memasuki musim kemarau di Indonesia), rakyatnya “agamais” (seolah rakyat China tidak beragama), dan telah “mencuri start” dengan bisa memulai antisipasi dan membentuk SOP penangkalan wabah untuk memasuki teritori Indonesia serta bagaimana mitigasinya bila wabah tetap dapat menyusup masuk (baca : hasil “kerja santai”).
Jangankan kita berbicara “gelombang kedua”, masa puncak “gelompang pertama” pun tampaknya belum Indonesia masuki untuk pandemik COVID-19 ini, apalagi berbicara perihal “gelombang kedua, ketiga, keempat”. Fakta telah mengungkapkan kepada kita, kebijakan tegas melawan virus menular mematikan, tidak dapat “separuh hati”, tidak dapat “ditawar-tawar”, tidak dapat “separuh-separuh”, tidak dapat pula parsial, namun harus tegas setegas-tegasnya tanpa kompromi—karenanya, tidak mengherankan, bila trennya menunjukkan negara-negara k0munis berhasil dapat cepat berhasil mengatasi wabah ini, karena hukum dan kebijakan negaranya sangat efektif ketika diterapkan kepada rakyatnya. Thailand dan Taiwan, sekalipun bukan negara k0munistik, namun warganya patuh dan kooperatif, sehingga “obat” semacam vaksin tidaklah mereka butuhkan dan kini terbukti tidak terdapat kasus baru warga yang terjangkit di negara-negara tetangga kita tersebut.
Belajar dari pengalaman di Korea Selatan, ketika aktivitas ekonomi kembali digalakkan dan dibukanya kembali “mall”, maka “gelombang kedua” kembali timbul sehingga “mall” kembali ditutup, hal mana sesungguhnya sudah dapat diperkirakan mengingat sifatnya wabah ini menular dari manusia kepada manusia lewat medium “jarak nafas” (bioaerosol). Kesimpulannya, memutus mata rantai penularan adalah HARGA MATI yang tidak dapat ditawar-tawar, tidak dapat “diuji coba”, termasuk untuk urusan ekonomi. Ketika wabah ini telah efektif terhenti, terputus, maka geliat ekonomi dapat kembali dipersilahkan melaju dalam kecepatan penuh tanpa hambatan, pulih seperti sedia kala. Sebaliknya, ketika wabah masih menghantui dan meneror, aktivitas ekonomi hanya dapat “merangkak”, karena bila melaju dalam kecepatan penuh maka wabah kembali “meledak” atau darah yang kian tercecer habis.
Jika bisa dan dapat diatasi dengan cara-cara diluar vaksin, sebagaimana telah dibuktikan dan terbukti dalam sejumlah negara yang kini telah terbebas dari wabah pandemik COVID-19, mengapa negara Indonesia justru kian mengandalkan vaksin sebagai satu-satunya “dewa penyelamat”? Ada “harga” yang harus dibayarkan oleh rakyat, terhadap sikap tidak tegasnya pemerintah. Tiada ada kebijakan yang lebih tidak populis, daripada kebijakan kompromistis terhadap “wabah menular mesin pembunuh”, terlebih meminta warga untuk hidup berdampingan dengan “mesin pembunuh” ini.
Kini, sejumlah negara seperti Thailand dan China kembali melaju ekonominya dalam kecepatan penuh, Indonesia justru mulai jauh tertinggal, merangkap dan merayap. Bahkan, China kini kembali “tancap gas” penuh berakselerasi dalam pembangunan negerinya, sementara Indonesia masih berjibaku mengatasi wabah pandemik COVID-19. Inikah, yang kita semua inginkan? Bila kita semua setuju bahwa para pembunuh tidak boleh dibiarkan bergentayangan dan menghantui warga, mengapa kita dan pemerintah kita justru mentolerir “mesin pembunuh” bernama COVID-19 untuk terus meneruskan rantai penularannya dan berdampingan hidup dengan kita selaku warga?
Padahal, secara logika, antara “mesin pembunuh” itu dan manusia kriminal pembunuh lainnya, sama-sama membunuh dan ada korban terbunuh, disamping sama-sama jahat-berbahayanya. Jangan katakan, “baru sedikit korban jiwa”, atau sekadar “statistik” belaka. Kita sudah banyak dihantui berbagai penyakit “memusingkan” mulai dari ancaman sakit jantung, kanker, campak, herpes, HIV, demam berdarah, malaria, tubercolosis, dan penyakit mematikan lainnya yang menghantui masyarakat dan komunitas kita sepanjang tahun, mengapa kini ditambah pula “micin” bernama COVID-19?
Jangan kaget, bila angka terjangkit COVID-19 kelak akan tembus ke angka satu juta penduduk di Indonesia, bila tren-nya prevalensinya dan sikap kehidupan masyarakat maupun kebijakan pemerintah kita masih seperti ini (LONGGAR dan merasa seolah KEBAL), terlebih bila kian DILONGGARKAN dan “sudah NORMAL”—The New ABNORMAL. Semoga prediksi penulis, yang bukan cenayang ini, kini keliru sepenuhnya. Semoga para pembaca dapat membantah prediksi penulis lewat sikap nyata.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.