KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Jangan Menyalah-Nyalahkan, artinya Anda sedang Menyalahkan Orang yang Anda Larang Menyalah-Nyalahkan

ARTIKEL HUKUM
Ketika angka tingkat laju pertumbuhan warga terjangkit Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia kian menanjak drastis, berbanding terbalik dengan fenomena negara-negara tetangga di ASEAN yang menunjukkan tren terkendali dan stabil tingkat penyebaran prevalensi wabah pandemik COVID-19, masih saja ada warga kita yang menyatakan bahwa kita “jangan menyalah-nyalahkan siapa pun, jangan pula menyalah-nyalahkan pemerintah, kebijakan pemerintah sudah bagus, saya dukung sepenuhnya pemerintah”.
Dapat kita bandingkan dengan Vietnam, pemerintahan di Vietnam menerapkan “lock downMURNI (tanpa kenal kompromi) disaat wabah baru mulai merebak (momentum yang paling tepat), selama cukup beberapa bulan, termasuk dihentikannya segala kegiatan sosial dan ekonomi, dimana hasilnya sangat signifikan, kini warga Vietnam bebas dari ancaman wabah pandemik virus menular mematikan, dan geliat ekonomi warga pun hidup kembali.
Wuhan, China, semula demikian parah dari pandemik, kini berkat kebijakan “LOCK DOWN MURNI” selama cukup tiga bulan lamanya, warga Wuhan kembali bergeliat secara sosial dan ekonomi. Tidak terkecuali kebijakan yang diterapkan Malaysia dan Singapura, ataupun Thailand. Sebaliknya, Indonesia menerapakan kebijakan “separuh hati” yang tanggung-tanggung dan LONGGAR, akibatnya Bangsa Indonesia seolah berjalan dalam kondisi terluka dengan darah yang terus mengucur, menunggu “mati lemas”, kehabisan darah, kehabisan tenaga, kehabisan nafas, dan kehabisan biaya.
Momentumnya pun telah kehilangan momen bila pemerintah hendak beralih dengan menerapkan “lock down” murni (negara “salah urus”, oleh yang “bukan ahlinya”, namun hanya ahli “berpidato” saat kampanye), sebab dana telah terserap untuk kebijakan LONGGAR “separuh hati”. Alhasil, pemerintahan Indonesia yang serba “PLIN-PLAN” menjadikan nasib segenap rakyatnya sebagai ajang pertaruhan penuh spekulasi, bahkan sebuah survei internasional menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara paling berbahaya dari segi wabah menular COVID-19 akibat LONGGAR-nya penerapan kebijakan penanganan penyebaran pandemik ini.
Jelas, bahwa pemerintahan kita terlampau mencari citra “populis”, sementara kita perlu menerapkan kebijakan “gila dan radikal” karena COVID-19 juga “gila dan radikal” tidak menolerir apakah korbannya lansia ataupun masih kanak-kanak—pendekatan “darurat” untuk ancaman yang bersifat “darurat”. Singkat kata, kebijakan LONGGAR Pemerintah Indonesia, TERBUKTI TIDAK EFEKTIF DAN MEMBOROSKAN ENERGI MAUPUN SUMBER EKONOMI RAKYAT KARENA MENJADI DEMIKIAN BERLARUT-LARUT TANPA KEPASTIAN. Sampai kapan pemerintah akan sanggup menggelontorkan dana bantuan? Sampai kapan kita dan Anda akan sanggup bertahan, dalam kondisi “BERLARUT-LARUT” tanpa ketegasan seperti ini? Cepat atau lambat, akan timbul “keletihan”, dan momen untuk berperang menjadi surut (lihat strategi perang karya Zun Tzu, prajurit lawan yang telah kehilangan momen gairah berperangnya, mudah ditaklukkan).
Sudah sejak lama, Albert Einstein memberikan kita peringatan, “Adalah gila, mengharapkan hasil yang berbeda dengan tetap memakai cara-cara yang sama.” Mau sampai kapan, kita menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (NAMUN LONGGAR) ini? Bila diterapkan PSBB-LONGGAR ala Indonesia ini saja, terbukti prevalensi warga terjangkit wabah menular COVID-19 terus meningkat grafik dan kurvanya, dengan demikian mencemaskan, apalagi dilonggarkan “apa yang telah LONGGAR” ini? Indonesia telah kalah perang melawan COVID-19 ketika sang Presiden selaku Kepala Negara mengumandakan kepada rakyatnya, “The New Normal”. ABNORMAL disebut sebagai “normal”?
Secara kalkulasi logis, sekalipun seumur hidup PSBB-LONGGAR ini diterapkan secara permanen di republik kita, angka prevalensi terjangkit COVID-19 terus meningkat drastis dengan ribuan warga terjangkit terungkap setiap harinya. Mau sampai kapan? Jika skemanya masih seperti ini, dapat dipastikan dalam kurun tempo kurang dari satu tahun dari sejak wabah menjangkiti teritori Indonesia, angka warga terjangkit dapat tembus ke angka setengah juta populasi penduduk terpapar dan terjangkit.
Tetap saja, warga kita setiap harinya mengumandangkan kontra-narasi, “jangan menyalah-nyalahkan siapa pun, jangan pula menyalah-nyalahkan pemerintah, kebijakan pemerintah sudah bagus, saya dukung sepenuhnya pemerintah”. Dalam bahasan singkat ini, penulis akan membuktikan bahwa warga masyarakat kita ternyata menerapkan apa yang kerap penulis sebut sabagat “standart ber-ganda”, yang sangat berbahaya karena merupakan “virus” dalam tataran pikiran (virus alam pikir). Bahkan kalangan radikal seperti ter0risme, menggunakan kontra-narasi demikian, dengan menyebutkan bahwa COVID-19 semata hanyalah hoax, teori konspirasi. Praktis, kita berkejaran dengan waktu, menghadapi wabah serta kontra-narasi kalangan yang mencoba “memancing di air keruh”, sementara pemerintah kita tidak dapat diandalkan dari segi ketegasan dan kehadirannya.
Ketika wabah pandemik COVID-19 masih sedang tahap-tahap meningkat drastis prevalensinya, pada medio Bulan Juli 2020 di Indonesia, saat ulasan ini disusun, merebak pula pemberitaan terkait “Karpet Merah Pejabat Negara bagi Buronan Djoko Tjandra, buronan kasus hak tagih (cassie) Bank Bali”. Joko Sugiarto Tjandra diberikan pelayanan penerbitan e-KTP atas nama Joko Sugiarto Tjandra dengan hanya menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga milik Joko Sugiarto Tjandra yang tersimpan dalam handphone milik Lurah setempat, yang secara langsung sang Lurah memantau penerbitan e-KTP untuk sang buronan “kelas kakap” ini, dan sang Lurah juga yang menyerahkan langsung e-KTP kepada sang buron. Terhadap buron warga sendiri, republik kita tidak sanggup dan berhasil “DIKANGKANGI”, DITAMPAR, serta DILECEHKAN, maka bagaimana mungkin kita mengharap menjadi “Macan Asia”?
Joko Sugiarto Tjandra ternyata tidak perlu menunggu berhari hari atau bahkan berbulan-bulan dan bertahun-tahun “pulang-pergi” dalam proses pembuatan e-KTP atas nama dirinya, sebagaimana pastilah pernah kita alami sendiri secara langsung. Sebab di hari dia melakukan perekaman, saat itu juga kartu identitas dirinya selesai dicetak, masih “fresh from the oven”, “dipanggang” secara instan, langsung dari tangan sang Lurah yang menggelar “karpet merah” bagi sang buron. Pelayanan istimewa dari sang Lurah tersebut mengakibatkan operator Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kelurahan Grogol Selatan dalam menjalankan pelayanan penerbitan KTP-el atas nama Joko Sugiarto Tjandra, mengabaikan prosedur yang berlaku.
Bahkan, selevel Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) POLRI yang semestinya bertugas dan berwenang disamping bertanggung-jawab untuk menangkap dan mengadili sang buron, ternyata menerbitkan Surat Jalan (baca : surat sakti) kepada Djoko Tjandra—dimana juga bahkan sebelumnya pihak otoritas Imigrasi tidak melakukan pencekalan kepada Joko Sugiarto Tjandra saat dirinya memasuki Indonesia dan kembali melarikan diri, sekalipun paspor milik Joko Sugiarto Tjandra telah kadaluarsa dan namanya sudah lama menjadi salah satu daftar buronan yang hendak dieksekusi oleh Kejaksaan Indonesia. Apa sebaiknya, hak untuk “main hakim sendiri” dan menggunakan senjata api, dikembalikan ke tangan rakyat saja, karena polisi kita ternyata tidak kalah korup dengan penjahat itu sendiri, sehingga tidak dapat diandalkan untuk penegakan hukum? Bukankah itu sama artinya, betul bahwa negara kita MEMELIHARA dan MELINDUNGI PENJAHAT—bahkan diberikan pula “karpet merah” yang digelar disertai “welcome drink” yang ramah bak sahabat lama sedang berkunjung.
Sebenarnya ada yang cukup mengganjal dan kurang lazim dari institusi Kejaksaan kita. Kejaksaan, secara kewenangannya selain berhak untuk mendakwa, juga notabene sebagai “pengacara negara” untuk menggugat pihak-pihak yang merugikan negara, sekaligus eksekutor terhadap harta milik terpidana kasus korupsi. Jika memang negara telah dirugikan oleh Joko Sugiarto Tjandra, dan telah ada putusan tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap Joko Sugiarto Tjandra, dimana sewaktu-waktu aset milik sang buronan dapat saja disita-eksekusi (tanpa perlu lagi sita jaminan karena putusan pidana sudah inkracht), atau jika perlu mengajukan gugatan perdata terhadap Joko Sugiarto Tjandra, untuk tujuan menyita dan mengeksekusi harta-harta maupun segala aset milik Joko Sugiarto Tjandra.
Diatas keganjilan seluruh keganjilan demikian, yang terlebih ganjil ialah tiada satupun warga kita yang semula setiap harinya selalu berkomentar pro terhadap pemerintah, “jangan menyalah-nyalahkan siapa pun, jangan pula menyalah-nyalahkan pemerintah, kebijakan pemerintah sudah bagus, saya dukung sepenuhnya pemerintah”, kini, saat berita terkait Joko Sugiarto Tjandra kembali berbuat ulah dengan “mengangkangi rakyat Indonesia”, tiada satupun dari warga tersebut yang berbicara dan mengulang kembali lagu lama “jangan menyalah-nyalahkan siapa pun, jangan pula menyalah-nyalahkan pemerintah, kebijakan pemerintah sudah bagus, saya dukung sepenuhnya pemerintah”.
Apakah jika demikian, artinya Tuhan yang harus dipersalahkan, karena menciptakan Joko Sugiarto Tjandra, lengkap dengan sifat jahat dan korup dari Joko Sugiarto Tjandra—lengkap juga dengan para pejabat jahat dan KORUP dari para pejabat negara kita? Jelas bahwa Joko Sugiarto Tjandra akan turut “latah” seperti penuturan warga kita, “jangan menyalah-nyalahkan siapa pun, jangan pula menyalah-nyalahkan pemerintah, kebijakan pemerintah sudah bagus, saya dukung sepenuhnya pemerintah”.
Kasus-kasus korupsi terus berulang dan terjadi di Indonesia, terjadi secara sistematif, masif, serta “berjemaah” oleh dan ditengah-tengah pejabatnya yang dipilih secara langsung secara demokratis tidak terkecuali rakyatnya yang “agamais”, ternyata sangat “penuh kompromi” terhadap Koruptor “kelak kakap” akan tetapi ternyata pula sangat tidak toleran terhadap “maling ayam”—seolah-olah hendak mendidik rakyat lewat teladan nyata, JANGAN JADI MALING AYAM JIKA INGIN SELAMAT DAN DIHORMATI SERTA UNTUK DIBERI “KARPET MERAH”, NAMUN JADILAH KORUPTOR KELAS KAKAP, MAKA ANDA AKAN DIHARGAI BAK RAJA DI Indonesia, BAHKAN BISA MENAMPAR WAJAH SEORANG PRESIDEN YANG “DIKANGKANGI”.
Jelas, bahwa kebijakan pemerintah Republik Indonesia sangat patut diragukan, dalam banyak hal. Jelas pula, para pejabat pemerintah Republik Indonesia sangat layak dicurigai. Masih juga teramat jelas, niat dan itikad pemangku kekuasaan negeri kita sangat amat diragukan, tidak terkecuali rakyatnya yang dikenal tidak kalah korup-nya dengan para “wakil rakyat” mereka (jangan lupa, Djoko Tjandra adalah satu dari warga kita ketika dirinya berhasil membentuk e-KTP). Terlebih jelas tidak terbantahkan, keseriusan dan komitmen disamping tingkat intelejensi serta moralitas petinggi negara maupun jajaran Aparatur Sipil Negara dibawahnya, sangat perlu kita ragukan.
Mari, kita bersama-sama menantang Kepala Negara kita, sang Mr. Presiden “PLIN PLAN”, meminjam bahasa Novel Baswedan, “Inikah wajah penegakan hukum di Indonesia yang Bapak Presiden bangun dan agung-agungkan?” Dimana konsep “tanggung-jawab atasan” (chain of command) maupun pengawasan Kepala POLRI terhadap kinerja anak-buahnya? Jangan-jangan, para Jenderal Polisi itu menjadi raja-raja kecil di tubuh instansi kepolisian kita, atau kemungkinan lainnya : SEMUA NYA KORUP, BERJEMAAH, KORUP SECARA KORPS, karenanya Novel Baswedan yang lain sendiri, aneh sendiri, melawan arus, dianggap sebagai “berkhianat” kepada POLRI. Jelas, patut diragukan. Apakah kini, para pejabat negara kita, hendak menyalahkan rakyat, bila teladan yang dipertontonkan oleh para penguasa negeri kita, demikian seronok dan melanggar kesulilaan maupun kepatutan untuk ukuran bangsa yang mengaku beradab dan ber-Tuhan ini?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.