Hukum & Negara yang Penuh KOMPROMI Vs. Virus Pandemik yang TIDAK KENAL KOMPROMI

ARTIKEL HUKUM
Strategi Perang Melawan Wabah, Pahami Kelebihan dan Kelemahan Sumber wabah dan Psikologi Rakyat sebagai Prajurit Garda Terdepan
Sun Tzu, ahli strategi perang Tiongkok zaman klasik di sebuah kerajaan / dinasti, pernah membuat kompilasi strategi perang yang kemudian dihimpun dalam sebuah kitab / buku yang sangat termasyur hingga ke mancanegara dan pebisnis. Meski strategi militer di dalamnya bersifat peperangan “battle field” militeristik antara dua atau lebih kubu prajurit, namun sejatinya beberapa “taktik perang” di dalamnya dapat kita terapkan dalam kondisi perang melawan wabah yang diakibatkan pandemik virus menular mematikan—sebagai contoh, karena strategi perang sangat relevan terhadap psikologi prajurit antar kubu, yang dalam hal ini berlaku pula terhadap psikologi rakyat yang menjadi “garda terdepan” menghadapi serangan sang wabah yang tidak akan pandang bulu dalam menginvasi dan “menjajah”.
Pertama-tama, strategi yang paling populer yang pernah dicetuskan oleh Sun Tzu, ialah konsep bernama “identifikasi karakter”. Disini, kita perlu membuat analisa dan mengenal kelebihan serta kelemahan masing-masing kubu, termasuk diri kita sendiri. Dalam peperangan melawan wabah yang diakibatkan pandemik virus menular mematikan, terdapat tiga kubu yang perlu kita petakan aspek psikologinya, yakni:
- Kelebihan dan kelamahan sang virus menular mematikan yang menjadi sumber pandemik itu sendiri;
- Kelebihan dan kelemahan pemerintah yang menjadi regulator pembuat aturan hukum (berupa larangan, perintah, dan kewajiban) sekaligus penguasa aparatur penegaknya yang memiliki sarana-sarana “pemaksa” seperti pengenaan sanksi;
- Kelebihan serta kekurangan rakyat yang menjadi populasi / penduduk sekaligus “stekeholder” dari suatu negara.
Sebagai contoh, Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) atau yang biasa dikenal dengan sebutan “Sars-Cov Tipe 2”, bukanlah wabah yang benar-benar tidak dapat diatasi dan ditanggulangi sepenuhnya. Virus Herpes, sebagai contoh, tidak akan pernah hilang seutuhnya dari tubuh manusia yang menjadi inangnya sekalipun penderitanya sembuh. Virus Demam Berdarah, tidak akan dapat diatasi dengan vaksin karena mampu menelikung antibodi tubuh yang ditumbuhkan dari vaksin. Virus HIV, hanya dapat direpresi, tidak dapat dihilangkan total dari tubuh pasien terjangkit.
Mengetahui bahwa COVID-19 bukanlah virus yang demikian sakti, karena memiliki sejumlah kelemahan dari jenis virus satu ini, dimana bila seluruh dan segenap rakyat melakukan isolasi diri secara mandiri, tanpa terkecuali, dan memandang dirinya sebagai “Orang Tanpa Gejala”, maka cukup satu hingga dua bulan negara dan penduduknya melakukan “LOCK DOWN murni”, maka COVID-19 akan musnah dan tinggal sejarah (menurut penelitian kalangan medik, dilaporkan bahwa virus COVID-19 akan sepenuhnya bersih tuntas dari tubuh inangnya bila manusia yang terjangkit mampu sembuh dan bertahan hidup lebih dari 38 hari). Dengan prinsip demikian, terputusnya mata rantai penularan mengakibatkan COVID-19 bukan lagi menjadi wabah pandemik, namun punah sepenuhnya dan bersih dari negara kita (dengan asumsi, tidak ada sumber penularan baru semisal importasi “manusia” semacam tenaga kerja asing dari luar negeri).
Terbukti, pendekatan tanpa tawar-menawar dan tanpa kenal kompromi secara penuh ketegasan inilah, yang kemudian dilancarkan oleh otoritas China, Vietnam, Thailand, dan sejumlah negara lainnya yang kini berhasil menekan angka prevalensi warga terjangkit hingga ke angka “NOL” alias “nihil” dari kaasus baru—disaat negara-negara lainnya, termasuk negara demokratis Indonesia dan Amerika Serikat, mengalami lonjakan kasus terjangkit baru yang fenomenal dan fantastis angka statistiknya secara demikian mengerikan dan menakutkan.
Kini kita observasi kelemahan Negara Indonesia, “negara maju” menurut WTO, ternyata mengaku masih sebagai “negara miskin” kepada rakyatnya sendiri dikala wabah pandemik COVID-19 melanda—alias “mendadak miskin” meski pada mulanya merasa bangga diangkat gelarnya menjadi berpredikat sebagai “negara maju” (sesaat sebelum pandemik COVID-19 merebak dan melanda dunia global). Begitupula kesenjangan ekonomi rakyatnya, sangat berdisparitas dan timpang secara tidak berimbang : yang kaya maka “kaya-raya sekali”, sementara yang miskin maka “miskin sekali”.
Justru, karena negara, pemerintah, dan rakyat Indonesia (kita asumsikan saja memang benar) MISKIN adanya kondisi ekonominya, maka kita harus mengatasi pandemik ini dengan cukup “ONE PUNCH”, dalam artian satu pukulan yang sifatnya TELAK dan KUAT, yang cukup mampu menumbangkan pandemik hingga berakhir tuntas dalam satu serangan, dengan cara yakni seketika itu juga ketika momennya tepat dikala wabah baru memasuki bulan pertama menjangkiti negara kita, menerapkan dan diterapkan “LOCK DOWN murni”, ketimbang alih-alih memilih untuk “BERLARUT-LARUT” yang pada gilirannya menguras emosi, biaya, dan tenaga serta korban jiwa yang jauh lebih besar. Secara kalkulasi ekonomi, justru lebih memboroskan “keuangan negara” ketika wabah menjadi demikian berlarut-larut, ketimbang menerapkan kebijakan tegas “LOCK DOWN murni” dalam tempo cukup sebatas bulan lamanya.
Ketika wabah tuntas dan berhasil ditangani, cukup sebagai rakyat kita melakukan aksi nyata “gotong-royong” dengan cara : “puasa makan” (bukankah masyarakat Indonesia mengaku sebagai “jagoan puasa makan”? Mengapa kalah terhadap Sang Buddha yang hanya memakan makanan satu kali sehari?), “puasa mencari-cari hiburan” (namanya juga puasa), “puasa keluar rumah” (bosan dengan hanya bersama diri sendiri?), “puasa mengobrol tatap-muka” (bisa daring, bukan lagi era “kampungan”), “puasa belajar” (learn from home, bayangkan nenek moyang kita yang menghadapi wabah Flu Spanyol, tidak ada internet pada awal abad ke-20 tersebut), hingga “puasa ekonomi” (work from home, itulah pentingnya kebiasaan gemar menabung, anti boros), maka secara sendirinya dan pada gilirannya ekonomi akan bangkit kembali dan rakyat bisa kembali “menekan pegal gas akselerasi” sedalam-dalamnya dari segi kegiatan ekonomi, meninggalkan negara-negara lain di belakang yang masih berjibaku menghadapi gempuran wabah hingga menjelma “babak-belur” dan “berdarah-darah”.
Itulah strategi, yang membuat China, Taiwan, Vietnam, dan Thailand dapat cepat memulihkan kondisi ekonomi dan jaminan kesehatan bagi rakyatnya—dan disaat bersamaan tidak membuat rakyatnya menderita karena kondisi yang BERLARUT-LARUT, sebagai bukti wujud nyata rasa cinta pemerintah terhadap rakyatnya karena itu pemerintahan mereka sangat tegas demi kebaikan rakyatnya sendiri.
Mungkin pada mulanya rakyat negara mereka menolak kebijakan tegas yang diberlakukan oleh pemerintah mereka, namun ketika pandemik berhasil ditangani secara utuh, kondisi ekonomi segenap rakyat mereka menjadi pulih kembali dengan cepat TANPA BERLARUT-LARUT, maka itulah kompensasi yang sudah sangat amat memadai untuk dapat diterima oleh rakyat yang pada gilirannya akan merasa sangat berterimakasih kepada pemerintahnya yang juga akan merasa bahagia diberi apresiasi oleh rakyatnya yang kini menikmati hasilnya dari pengorbanan diri melakukan “LOCK DOWN” selama beberapa waktu lamanya, dan dihargainya niat baik pemerintah meski berwujud sikap tegas tanpa kompromi ke dalam kehidupan dan kebebasan rakyatnya saat pandemik terjadi, sehingga dapat dimaklumi rakyat pada akhirnya.
Kembali beralih pada sifat kekuatan dari sang wabah, COVID-19, yakni wabah ini bersifat tidak kompromistis, karenanya kita tidak dapat menerapkan kebijakan kompromistis terlebih hendak berdamai dan hidup berdampingan dengan sang virus bergelar “mesin pembunuh yang bergentayangan secara tidak kasat mata”. Pagi, siang, malam, anak-anak, balita, hingga lansia, di Taman Kanak-Kanak maupun di perkantoran, Anda siap ataupun tidak siap, Anda kelaparan ataupun perut penuh dengan makanan, semua dapat di-sergap dan diterkam sewaktu-waktu oleh sang wabah tanpa didahului oleh suatu kumandang.
Menghadapi wabah yang hanya mengenal misi untuk memporak-porandakan kehidupan serta ekonomi rakyat negara terjangkit, maka tidak ada pilihan lain selain “ALL OUT” perang-semesta dengan mengajak serta segenap rakyat (konon Bangsa Indonesia adalah bangsa yang gemar “gotong-royong”, konon, katanya) hingga titik-darah-penghabisan tanpa mengenal kata kompromi terhadap manusia-manusia yang justru “membelot” bahkan “desersi” dengan memihak kepada sang virus penyebab wabah (menjadi “carrier”)—atau bahkan juga menjadi agen marketing yang mempromosikan sang virus, seperti “Virus Corona tidak ada, aman, tidak ada bahaya”.
Kebijakan tanpa negosiasi, tanpa tawar-menawar, tanpa kompromi, tanpa toleransi terhadap sang virus penyebab pandemik, termasuk terhadap manusia-manusia yang justru menjadi agen-marketing sang virus menular, itulah satu-satunya strategi perang yang paling rasional untuk menghadapi wabah semacam COVID-19, TIDAK ADA CARA LAIN. hendaknya kita tidak berspekulasi dengan “(bakal / calon) vaksin” yang belum tentu efektif dan tepat guna.
Kembali kepada kelemahan karakter Bangsa Indonesia, dimana pemerintah sejatinya sejak semula telah mengetahui betul watak dan perangai rakyat kita, yang telah menjelma sebentuk / semacam budaya sosial Masyarakat khas Indonesia (culture), ialah : SUKA MELANGGAR HUKUM, BANGGA JIKA DAPAT MELANGGAR, KERAP MEMBANGKANG, LEBIH GALAK KETIKA DITEGUR, TIDAK MALU BERBUAT JAHAT, TIDAK TAKUT BERBUAT JAHAT, ber-motto / semboyan “BILA BISA MELANGGAR MENGAPA PATUH DAN TAAT”, “MALING TERIAK MALING”, SUKA MENDEBAT SEKALIPUN KESALAHAN TELAH DI DEPAN MATA, LEBIH PANDAI MEMBANTAH, PAMER KEKERASAN FISIK, MENGEJAR PRESTASI AROGANSI, EGOISTIK & SERAKAH, TIDAK DAPAT MENGHARGAI EKSISTENSI MANUSIA LAIN, GEMAR MENGKOLEKSI PERBUATAN-PERBUATAN BODOH YANG HANYA AKAN MERUGIKAN ORANG LAIN, SELALU HANYA MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI, BERBUAT BERKEBALIKAN KETIKA DINASEHATI, SUKA CURI-CURI KESEMPATAN SAAT TIDAK DIAWASI, SUKA CURANG (bahkan mengharap dapat mencurangi sang virus sumber wabah), SUKA MENIPU ORANG LAIN & DIRI SENDIRI (“Virus Corona itu TIDAK ADA!”), TIDAK PUNYA MALU (mendadak miskin, masih juga menuntut diberikan bantuan oleh pemerintah), MERASA TELAH DILINDUNGI OLEH “VAKSIN (bernama) IMAN” (anak kesayangan dan di-anak-emaskan oleh Tuhan), hingga segala sikap-sikap dan sifat-sifat irasional yang tidak logis lainnya—yang kerap penulis istilahkan sebagai “akal sakit milik orang sakit”, karenanya kita tidak akan pernah dapat berbicara dengan memakai pendekatan “akal sehat” terhadap Orang-Orang Indonesia yang “sakit” budaya masyarakatnya.
Mengetahui sifat dan karakter Bangsa Indonesia yang seperti demikian, mengapa juga selama setengah tahun wabah COVID-19 menjadi pendemik di Indonesia, pemerintah masih pula sekadar “menghimbau”? Jika terhadap mahaiswa demonstran yang berdemonstrasi menolak pengesahan suatu Undang-Undang di Parlemen, para aparatur penegak hukum kita demikian “gagah”, agresif, represif, hingga otoriter dengan melemparkan gas air mata maupun barikade berduri, mengapa para aparatur penengak hukum kita mendadak “humanis”, toleran, dan “lembut hati” menghadapi warga yang membangkang terhadap kebijakan “protokol kesehatan (atasi dan cegah COVID-19)”?--Itu jugalah salah satu kelemahan pemerintah kita selaku otoritas tertinggi dari negara.
Strategi perang lainnya dari Sun Tzu, ialah digambarkan lewat ilustrasi sebagai berikut : Pasukan lawan mengumandangkan deklarasi perang, dimana tampak semangat pasukannya demikian telah siap dan menggebu-gebu untuk melancarkan serangan. Menyadari semangat lawannya demikian tinggi antusias untuk “melibas” pasukan lawannya, Sun Tzu menyadari bahwa itu menjadi ancaman nyata bagi pasukan yang berada dibawah komando Sun Tzu, karena pasukan lawan akan demikian agresif dan “masih” penuh semangat untuk “menggilas”. Alhasil, lewat kemampuan diplomatiknya, Sun Tzu berhasil membuat komandan lawan bersedia “masuk jebakan” (tanpa disadari olehnya) dengan cara mengulur-ngulur waktu peperangan.
Seiring berjalannya waktu, spirit atau semangat pasukan lawan mulai mengendur, sampai akhirnya terdepresiasi dan lesu-haus “kering-kerontang”. Ketika menyadari bahwa semangat tempur pasukan lawan telah turun (“dengan curangnya”, namun kita tidak perlu bersopan-santun terhadap COVID-19, karena COVID-19 pun tidak kenal sopan, “bertamu” tanpa permisi sekalipun tidak pernah diundang), Sun Tzu memerintahkan pasukannya untuk seketika itu juga melancarkan gempuran dan serangan yang telah dipersiapkan ketika pasukan lawan mulai mengendur semangat perangnya, dan demikianlah cara Sun Tzu menaklukkan lawan yang semula mustahil untuk dihadapi.
Sama halnya, momentum untuk mengajak segenap warga untuk mengatasi wabah seperti pandemik COVID-19, tidak dapat dilancarkan ketika “semangat perang” rakyat kita terhadap wabah ini telah mengendur, akibat berlarut-larut memasuki semester kedua tiada tendensi terkendalinya penularan wabah, justru alih-alih stabil, laporan resmi yang dirilis pemerintah sendiri membuktikan peningkatan prevalensi yang drastis di Indonesia. Alhasil, “pasukan” (rakyat) Indonesia telah kehilangan momentum paling berharga dalam semangatnya untuk berperang melawan pandemik, mengakibatkan COVID-19 berhasil “menjajah” Indonesia dengan mudahnya. Terimakasih dan berhat “kerja santai” dan “kerja PLIN-PLAN” para petinggi negara kita, yang bahkan menjadikan nasib rakyatnya sebagai ajang pertaruhan lewat spekulasi dan kebijakan “tutup mata”.
Kita beralih pada kelemahan lainnya dari pemerintahan kita di Indonesia, yakni reputasi pemerintah kita selaku otoritas negara di mata rakyat kita di Indonesia, telah sangat rusak, bahkan tidak jarang ditengarai rakyat sebagai “musuh dan berseberangan terhadap rakyat” (sehingga perlu di-“demo”), dimana tidak jarang niatnya patut diragukan sebagaimana kerapnya berbagai undang-undang yang kontroversial tetap dipertahankan untuk disahkan, bahkan bila perlu dengan seakan-akan disembunyikan prosesnya dari rakyat, hingga membungkam rakyat yang melakukan penolakan.
Alhasil, pemerintah diasosiasikan sebagai “tidak pro” alias berseberangan terhadap kepentinagn rakyat, tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat kecuali saat kampanye politik menjelang pemilihan umum terlebih saat menilang kendaraan bermotor, saat memungut pungutan liar, dan menjadikan rakyat sebagai “sapi perahan”. Pemerintahan yang berprestasi dalam hal korupsi, kerap memanipulasi dan mengeksploitasi rakyat sendiri lewat pungutan liar, sehingga tidak mendapatkan kepercayaan masyarakat (yang merupakan sumber utama legitimasi negara), sementara disaat bersamaan rakyat bersikap “pemberontak” dan “pembangkang” terhadap kebijakan pemerintahnya—menjelma saling “kunci” dan saling “sandera” antara pihak pemerintah dan warganya.
Bila para pembaca dapat memilih, maka manakah yang akan Anda pilih dari dua skenario berikut : (namun sebelumnya perlu kita ingat, wabah menular mematikan yang diakibatkan oleh pandemik virus seperti Virus Corona, tidak akan kompromi terhadap korbannya, tidak akan juga kompromi terhadap ekonomi korbannya, tidak akan bertanya apakah korbannya sudah makan atau belum, siap atau belum siap, serta tidak akan kompromi ataupun tawar-menawar terhadap keselamatan jiwa dan nyawa korbannya, karena itu pendekatannya harus tegas dan “sepenuh hati” ALL OUT, tidak bisa “separuh hati”, “setengah-setengah”, terlebih kompromistis. Ingat pula, COVID-19 menutup dirinya dari ruang dialog!)
- Diberi bantuan sosial oleh pemerintah, baik berupa bahan kebutuhan pokok ataupun bantuan tunai berupa uang setiap bulannya, hingga usai-nya wabah / pandemik yang diakibatkan oleh virus menular mematikan yang tidak jelas kapan kepastian berakhirnya itu akan tiba, dimana pemerintah justru lebih mengandalkan “vaksin” yang belum pasti efektivitasnya (alias turut berspekulasi bersama pemerintah); ataukah
- Memilih untuk lebih baik tidak diberikan bantuan apapun oleh pemerintah, namun pemerintah bersikap tegas tanpa kenal kompromi dalam menegakkan kebijakan “LOCK DOWN murni” sehingga mata rantai penularan TERPUTUS permanen selamanya, dimana cukup satu atau dua hingga tiga bulan lamanya bagi seluruh warga untuk bahu-membahu dan bergotong-royong bersumbangsih dan berkontribusi nyata dengan cara “puasa makan”, “puasa hiburan”, “puasa keluar rumah”, dan tidak terkecuali “puasa ekonomi”.
Ingat, kita jangan mencoba “menawar” terlebih “tawar-menawar”, karena virus menular mematikan pun tidak akan tawar-menawar ketika menginfeksi korbannya, dimana juga kita tidak perlu mendesak pemerintah untuk melakukan negosiasi dengan sang virus penyebab pandemik, sehingga pilihan yang ada ialah hanya dua opsi : “ditaklukkan” ataukan “mengalahkan” sang virus penyebab pandemik.
Bila kita berpikir secara kalkulatis, adalah slebih “masuk akal” bila negara memberlakukan “LOCK DOWN MURNI” terhadap seluruh rakyatnya, tanpa terkecuali, secara tegas dan TANPA KOMPROMI, maka selepas dua atau tiga bulan “Lock Down”, maka dapat dipastikan kondisi ekonomi akan kembali pulih karena negara kita berhasil menaklukkan sang virus penyebab wabah—mata rantai penularannya TERPUTUS tuntas, tidak lagi bergentayangan, menghantui, dan menjadia momok di teritori negara kita.
Sebaliknya, kebijakan “serba spekulatif” pemerintah yang kini dirasakan langsung oleh rakyat Indonesia, ialah kondisi yang serba “kompromistis”—akibatnya “fatal”, kondisi “berdarah-darah” menjadi kian berlarut-larut dengan jumlah kerusakan yang kian hari kian parah, baik dari segi ekonomi, kesehatan, maupun kerawanan sosial. Bagai sebuah wadah, yang dasarnya bocor karena berlubang, lama-lama darah rakyat kita akan habis terkuras tanpa kepastian. Bisakah para pembaca melihat bahaya dibalik kebijakan “mengajak rakyat untuk BERLARUT-LARUT” demikian? Mau dan bisa bertahan sampai kapankah, berlarut-larut seperti ini?
Sebagian besar dari masyarakat kita yang memilih untuk “meremehkan” ancaman pandemik, mendalilkan bahwa wabah dengan sendirinya dapat diatasi bila kegiatan ekonomi masyarakat dibiarkan bebas tanpa dikekang ataupun dibatasi oleh pemerintah. Jika demikian halnya, mengapa Amerika Serikat yang begitu adidaya dari segi kegiatan ekonomi, mengalami apa yang disebut sebagai “kehancuran ekonomi oleh kegiatan ekonomi dikala pandemik merebah”? Kita perlu ingat, COVID-10 tidak butuh dan tidak suka uang milik Anda. Sebanyak apapun kita bergeliat pada kegiatan ekonomi dan mengumpulkan kekayaan, bisa jadi Anda harus membayar “lebih mahal” untuk pengobatan medis (atau membuat pemerintah “bangkrut” karena harus membiayai pengobatan medik Anda) ketika sampai terjangkit sang virus menular mematikan.
Suka ataupun tidak suka, siap ataupun tidak siap, kita harus BERSIAP-SIAP UNTUK PERANG JIKA INGIN HIDUP DAMAI, tidak terkecuali menghadapi wabah yang diakibatkan pandemik virus menular mematikan—SI VIS PACEM PARA BELLUM!! Entah mengapa, belakangan ini penulis kerap sekali menyebut-nyebut semboyan geopolitik yang selalu mengingatkan agar kita senantiasa tetap siap untuk apapun yang terjadi, termasuk siap untuk berperang dalam rangka dapat hidup damai, suatu adagium yang tampaknya selalu relevan sepanjang masa, baik terhadap ancaman agresi militer asing, sesama warga yang menyerupai “predator bagi sesamanya”, maupun terhadap ancaman pandemik virus menular mematikan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.