Hidup di Negara Bangsa AGAMAIS, Semestinya Terjamin Aman, Bukan Justru Terancam MATI KONYOL Tanpa Alasan yang Logis ketika Disakiti dan Terluka

ARTIKEL HUKUM
Kita Berhak Mengharap Tidak Pernah Dirugikan oleh Orang Lain Selama Kita Hidup Tanpa Merugikan Orang Lain, Suatu Tuntutan yang Wajar
Adalah harapan yang wajar saja adanya, bila atau ketika kita tidak pernah menyakiti, mengganggu, ataupun merugikan orang lain, maka kita berharap dan menuntut agar tidak pernah disakiti, diganggu, terlebih dirugikan oleh orang lain. Namun, tampaknya ada saja orang-orang yang tidak pernah sependapat dengan “prinsip emas” (golden principle) di atas, dimana harapan kita tersebut tinggal sekadar menjadi harapan yang tidak menemukan “tempatnya” terutama bila Anda dan kita bertempat-tinggal di Indonesia, dimana sikap-sikap irasional warganya demikian tidak logis, seperti “membalas air susu dengan air tuba”, “membalas tidak diganggu dengan mengganggu”, “membalas tidak sakiti dengan melakukan bullying”, dan segala perilaku tidak rasional yang jauh dari kata “logis” lainnya semisal “merasa seolah-olah adalah ‘dosa’ bila melihat dan membiarkan hewan-hewan liar berkeliaran di perkotaan tanpa ditangkap dan disangkarkan”. Sebagai contoh, nomor kontak kerja profesi penulis kerap disalah-gunakan para pembaca website yang penulis asuh ini, membalas air susu dengan perkosaan terhadap profesi penulis, TANPA RASA MALU.
Kita selama ini mungkin saja berpikir, bahwa dengan tidak pernah mengganggu dan tidak menyakiti orang lain, maka kita akan terjamin aman dan tidak akan disakiti ataupun diganggu oleh orang lain—suatu harapan “idealis” yang lebih menyerupai tipe negara “utopis”, dimana sekali lagi, itu adalah cara berpikir orang “logis”, yang tampaknya tidak berlaku di tengah-tengah Bangsa Indonesia yang cara berpikirnya tidak akan pernah dapat kita pahami secara akal sehat, dimana yang berlaku di Negara Indonesia ialah “akal sakit milik orang-orang sakit”.
Berbicara dengan memakai akal sehat terhadap orang-orang dengan “akal sakit milik orang sakit”, sama saja membuang-buang waktu atau bahkan akan berbuntut “hadiah” berupa “bogem mentah” bersarang di pipi kita yang meninggalkan “kesan yang demikian membekas” berupa beberapa gigi yang menjadi tanggal dan darah segar mengucur dari lubang hidung—hal tersebut bukanlah lelucon ataupun hiperbola, namun benar adanya kerap terjadi dan terus berulang kejadian serupa membentuk suatu pola yang terjadi secara meluas (baca : budaya), pada khususnya di Indonesia.
Tidak ada yang bisa kita kelabui terlebih pungkiri, senyatanya memang Negara Indonesia bukanlah negara yang aman, setidaknya dari segi toleransi terkait kemajemukan, tingkat moralitas, tingkat peradaban anti kekerasan, kegiatan ilegal yang seolah dibiarkan dan dipelihara oleh negara, pengabaian dan penelantaran oleh aparatur penegak hukum, pejabat negara dan para Aparatur Sipil Negaranya yang lebih sibuk memeras rakyat, negara yang seolah tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah rakyat, rakyat jelata kecil yang dibiarkan berjuang bertahan dan menjaga hidupnya seorang diri, orang-orang baik perlu baik-baik menjaga diri agar tidak dijadikan “mangsa empuk”, baik pejabat maupun pedagang kecil di pasar tradisional yang tidak jujur, bunga-bunga dan buah-buahan liar yang seolah adalah “dosa” bila tidak dicuri dan dipetik, menerapkan “positive thinking” membuat kita menjadi korban penipuan dan pencurian, dimana bila Thomas Hobbes pernah melancong dan hidup di tengah-tengah Bangsa Indonesia, terutama pada Kota Jakarta, maka inilah status yang akan dilekatkan pada rakyat dari Republik Indonesia, yakni “PREDATOR bagi sesamanya”, bukan lagi sekadar “homo homini lupus”. Berikut inilah, testimoni dari penulis, selaku salah satu warga di Indonesia sehingga berhak memberikan testimoni, sebagai bentuk refleksi dan otokritik atas negara dan bangsa penulis sendiri.
Sebagai bagian dari rakyat Indonesia, yang telah hidup hampir separuh abad lamanya di tengah-tengah Bangsa Indonesia, sekalipun penulis belum pernah menjejakan kaki secara langsung pada seluruh pulau besar yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, namun setidaknya penulis telah pernah bertemu, menjumpai, berkenalan, hingga “dikerjai” oleh / dengan masyarakat dari Sabang hingga Merauke, dimana terdapat satu pola karakteristik yang dapat kita petakan secara “psikologi perilaku” maupun adat-watak dan tingkat peradabannya, yakni dengan satu kata simbolisasi : BELUM BERADAB, alias masih jauh dari kata “beradab”—jika tidak dapat kita sebut sebagai masih “biadab” dan terbelakang dari segi moralitas, sekalipun sejatinya telah hampir satu abad lamanya negeri ini bebas dari penjajahan Kolonial Belanda, yang mana ternyata kita perlu menelan pil pahit bahwa kini kita justru tengah dan sedang dijajah oleh sesama anak bangsa kita sendiri, mulai dari preman-preman yang berkeliaran bak raja jalanan dan penguasa wilayah, para tuan tanah yang menjelma “raja-raja kecil”, korupsi yang merajalela “mati satu tumbuh seribu”, kekerasan dan anarkhi mengatasnamakan agama, agama yang “ditunggangi” oleh kepentingan politik praktis (bagaimana juga kisahnya hingga bisa sampai sejauh itu, namun nyata adanya?), para aparatur penegak hukum yang justru paling perlu ditangkap dan dijatuhi hukuman, pelaku kejahatan lebih “galak” daripada korbannya, berkata secara jujur justru membuat posisi kita menjadi rentan, kebaikan hati dipandang sebagai sikap “anak mami” sementara menjadi orang-orang nakal dianggap sebagai “anak keren”, berhasil melakukan penipuan dan eksploitasi manusia dianggap sebagai kemujuran dan prestasi, berhasil melakukan kejahatan tanpa tersentuh hukum disebut sebagai “jenius”, “memakan bila tidak ingin dimakan” (“memakan atau dimakan”), bahkan sikap-sikap seperti “tidak punya malu” semacam mencuri nasi dari piring milik orang lain yang lebih miskin, atau sikap-sikap semacam “tidak takut berbuat jahat” bahkan merasa bangga mengoleksi rekam jejak kejahatan untuk dipertontonkan secara vulgar bila perlu.
Apa yang penulis utarakan di atas, bukanlah mitos, wacana, hoax, terlebih hipotesis, namun saripati pengalaman penulis dalam menghadapi berbagai macam watak masyarakat Indonesia, mulai dari kalangan atas, kalangan menengah, hingga kalangan pedagang tradisional yang memakai gerobak dagangan, ataupun hingga sekelas “office boy” pada perkantoran, pengusaha elit, pengusaha rumahan, preman berbaju lusuh, preman berdasi, tua maupun muda, pria maupun wanita, berpendidikan tinggi maupun tidak berpendidikan, tidak memeluk suatu agama mana pun maupun (terlebih) yang beragama, semua menampilkan suatu corak keseragaman yang dalam ulasan ini penulis sebut sebagai “rata-rata” watak Orang Indonesia—tanpa bermaksud untuk menggeneralisir. Mungkin, inilah yang disebut sebagai budaya suatu bangsa, alias kultur atau “culture” dari masyarakat kita secara kolektif (kesadaran kolektif dan watak kolektif suatu bangsa), sekalipun anehnya teritori negara kita terpisahkan oleh sekat lautan secara alamiahnya berupa kepulauan yang semestinya “lain ladang lain belalang, lain pulau lain karakter dan keluruhan martabat”—namun ternyata menampilkan wajah perilaku yang cukup “seragam” untuk perilaku-perilaku yang sifatnya eksplisit sejauh dapat penulis observasi dengan kacamata ilmu sosiologi dan antropologi.
Tidak perlu kita menunjuk hidung negara-negara penuh “perang saudara” seperti Somalia maupun seperti kutukan “blood diamond” yang termasyur di Siera Leone dengan “mineral konflik”-nya yang berdarah-darah, tidak perlu juga kita merujuk negara-negara yang tergabung dalam kawasan Timur-Tengah yang tidak pernah mengenal kata “damai” dari bombardir pelontar granat hingga desingan timah panas yang melintas dan melubangi rumah-rumah warga serta jalan-jalan yang menampakkan “jerawat” lubang hangus bekas meledaknya rudal balistik, sejatinya negara kita tidaklah lebih aman dari itu, dimana para pelaku begal berkeliaran mencari dan mengintai mangsa menyerupai harimau yang bersembunyi di balik semak-semak, penjara yang selalu penuh sesak sehingga negara merasa terpaksa menerapkan kebijakan “obral remisi” dimana para residivis mungkin kini sedang mengintai tepat di depan kediaman kita, kursi jabatan hakim yang diduduki oleh agen dari neraka (iblis) seolah-olah tidak ada calon pejabat hakim lain yang dapat diangkat sebagai hakim (atau mungkin semua rakyatnya menyerupai “iblis”?), anggota militer yang menjadi “bodyguard” bayaran para “mafia sipil” ketimbang sebagai pelindung masyarakat, terlebih penjahat yang bebas berkeliaran di jalan karena hukum mudah “dibeli” ataupun pengabaian dan penelantaran oleh aparatur penegak hukum terhadap laporan korban sehingga warga lebih kerap memilih apatis ketimbang merugi dua kali karena “letih perasaan” melapor tanpa kepastian tindak-lanjut atau bahkan “kehilangan sapi karena dicuri, melapor justru akan kehilangan mobil”.
Diatas kesemua itu, satu karakteristik yang paling menonjol dan paling kentara dari watak Rakyat Indonesia, ialah : sudah begitu jelas kesalahan namun masih juga berkelit (bahkan tidak jarang menyalahkan dan masih juga mendiskreditkan / mengintimidasi pihak korban), ketika “otak” kalah maka “otot” (kekerasan fisik) yang tampil sebagai supremasinya, anti kritik, anti mengakui kesalahan, alergi terhadap introspeksi diri, lebih baik mati daripada meminta maaf, menuntut dihormati tanpa mau menghormati, jika bisa dipersulit mengapa dipermudah, atasi segala hal dengan kekerasan fisik sebagaimana pun pelanggaran hukum (maupun pelanggaran moralitas) dilakukan oleh pelakunya, “tabrak lari” sebagai keberuntungan (terutama bila tidak dapat disentuh oleh hukum, dimana hukum negara kita demikian “korup” lengkap dengan aparaturnya yang tidak kalah “korup”), berbusana serba tertutup namun tiada rasa malu melakukan hal-hal yang melanggar nurani dan berperilaku berkebalikan dari tanggung-jawab jabatannya, makanan hingga perbankan serba “halal lifestyle” namun perihal ucapan tidak dapat dipegang kata-katanya bahkan untuk ukuran “hitam diatas putih” pun masih dipungkiri dengan 1001 upaya, pamer kekuatan dan kekuasaan politis sebagai ajang vulgar kemerosotan karakter yang ditampilkan demikian “seronok” di depan publik dimana publik kita ternyata lebih menggemari tontonan tidak mendidik demikian yang mana tidak jarang seorang mantan narapidana korupsi kembali terpilih sebagai kepala daerah dan tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk kedua kalinya, dimana bahwa untuk ukuran kompetensi sepak bola yang semestinya kompetitif diwarnai aksi saling bunuh antar “bonek” (itu baru urusan sepak bola, sebagai penonton pula sebagai pemainnya), hingga aksi-aksi anarki untuk urusan “pesta demokrasi” yang membodohi rakyat sendiri dimana juga ternyata rakyat kita begitu senangnya dibodohi, dan berbagai fenomena irasional yang sukar untuk dijelaskan secara akal sehat—yang mana singkat kata, bila kita rangkum, akarnya hanya satu kata, yakni “masyarakat yang TIDAK LOGIS”.
Pepatah menyebutkan, untuk melihat barometer atau miniatur budaya suatu bangsa, dapat kita simak perangai wajah rakyat kita di jalan raya. Betapa tidak, tidak sedikit kita jumpai atau mungkin tidak jarang kita alami sendiri secara langsung dan menjadi pelakunya, pengendara kendaraan bermotor roda dua melaju di trotoar kemudian menendang pejalan kaki karena menganggap pejalan kaki tersebut menghalangi laju kendaraannya di trotoar, pejalan kaki yang diperlakukan layaknya kasta yang lebih rendah dari “budak” di jalan umum ditambah kondisi trotoar yang tidak ramah lengkap dengan parkir liar kendaraan bermotor dan pedagang kaki lima tanpa penertiban berarti kecuali di kawasan bisnis elit, hingga pernah penulis alami sendiri pengendara motor melaju kendang di atas jembatan penyeberangan orang (JPO) sehingga penulis harus menghindarinya agar tidak tertabrak motor di atas JPO.
Belum lagi kondisi angkutan umum kita, baik microlet maupun bus mini, penumpang yang naik belum sempat duduk namun pengemudi telah tancap gas secara “ugal-ugalan” hingga penumpang (pembayar tarif / ongkos di perlakukan tidak lebih hormat dari seonggok hewan ternak dimasukkan ke atas truk untuk dikirim ke pejagalan untuk disembelih) terpelanting ke belakang, ataupun ketika hendak turun dimana telapak kaki belum benar-benar telah menyentuh aspal di jalan dimana juga kendaraan belum benar-benar dalam kondisi berhenti ternyata pengemudinya telah kembali melajukan kendaraannya hingga penumpang yang turun terpelanting dan harus menemui kenyataan dirinya “mencium” aspal. Terimakasih atas pengalamannya yang mengesankan, bahkan konsumen diperlakukan tidak lebih berharga dari seekor sapi.
Hebatnya lagi, ketika pengendara kendaraan roda empat hendak melintas di jalan umum, dirinya tidak segan membunyikan klakson seolah pejalan kaki tidak berhak berjalan di jalan umum lengkap dengan kondisi pinggir jalan yang penuh ranting-ranting tumbuhan tidak terpangkas yang berpotensi melukai indera penglihatan pejalan kaki, namun anehnya sang pengendara mobil tersebut akan sangat bersabar dan tidak mengklakson mobil atau kendaraan lain maupun lapak-lapak kios yang diparkir di bahu dan badan jalan—seolah-olah pejalan kaki yang merupakan manusia dan makhluk hidup tidak lebih penting ketimbang mobil atau motor yang terparkir di bahu dan badan jalan yang merupakan benda mati. Selalu saja terjadi demikian, di ruas jalan mana pun di negeri ini, sehingga menjadi jelas itulah watak budaya dan karakter umum dari bangsa kita.
Jika menurut para pembaca fenomena demikian belum cukup liar dan ekstrim untuk ukuran bangsa yang tidak bermoral, selalu saja terjadi, pengendara motor roda dua melajukan kendaraannya secara melawan arus tepat di sisi kanan jalan, dimana ketika penulis berjalan kaki di sisi kiri, berpapasan dengan laju kendaraan motor tersebut, penulis yang harus mengalah dan melompat-menghindar dari bahu jalan ke badan jalan agar tidak tertabrak dengan resiko penulis dapat saja tertabrak kendaraan dari arah belakang karena penulis tidak memiliki mata untuk melihat keadaaan jalan di belakang, alih-alih sang pengendara yang melaju melawan arus yang harus mengalah dengan bergeser ke badan jalan.
Benar-benar bangsa yang “tidak punya malu” dan “tidak takut berbuat jahat”, terjajah oleh bangsa sendiri—alias belum merdeka dari kekotoran batin. Terhadap sesama anak bangsa sendiri, perlakuan bangsa kita seperti itu, maka bila otak orang-orang dari bangsa kita secanggih otak Lenin dan Hitler, bisa dipastikan Orang Indonesia akan menjadi penjajah dunia (Perang Dunia III) yang paling kejam dan paling “biadab” untuk dicatat dan ditorehkan ke dalam sejarah (dengan rasa bangga, tentunya, seolah-olah sebagai “prestasi”, bila tidak dapat dikenal sebagai bangsa yang baik maka berprestasi dan dikenal sebagai bangsa “biadab”).
Namun beruntunglah bagi segenap rakyat semesta, rata-rata IQ otak orang Bangsa Indonesia masih dibawah rata-rata. Tidak dapat dibayangkan bila otak-otak anak Bangsa Indonesia secerdas Bangsa Israel atau Bangsa Jepang, mungkin Hitler dan Lenin pun akan takut ketika berjumpa “Manusia made in Indonesia”. Hal demikian bukanlah dagelan, namun benar adanya, dan dapat dengan mudah kita bayangkan dengan imajinasi terliar kita sekalipun, dengan logika berpikir seperti yang telah penulis singgung sebelumnya, yakni : BILA TERHADAP SESAMA ANAK BANGSA SENDIRI, PERILAKU MANUSIA INDONESIA DEMIKIAN TIDAK HUMANIS, BAHKAN PREDATORIS DAN HEWANIS, MAKA BAGAIMANA TERHADAP BANGSA LAIN? Sekali lagi, beruntunglah dan patut kita syukuri sebagai “Rakyat Dunia”, rata-rata IQ orang-orang Bangsa Indonesia masih dibawah rata-rata. Kabar “gembira” tersebut cukup membuat lega perasaan dan patut kita syukuri, tanpa bermaksud mengasihani diri sendiri sebagai bagian dari “Bangsa Biadab” ini.
Jika preman-preman semacam “John Key” dan “Hercules” memang demikian hebat dan ditakuti disamping disegani karena “kebringasan”-nya, dan memang benar-benar kuat bak jagoan, mengapa tidak berlaga di pertandingan tinju kelas berat dunia saja melawan Mike Tyson si “leher beton” di atas ring tinju? Mengapa justru Indonesia jarang mencetak prestasi di ajang pertandingan olah raga tinju kelas dunia sementara para premannya demikian “menggurita” di negeri ini? Itu karena faktanya kedua preman “kondang” tersebut sejatinya ialah “pengecut tulen”—betapa tidak, beraninya hanya “keroyokan” tampil sebagai preman bersama anak-buahnya sekalipun korbannya hanya seorang diri, itu pun memakai senjata tumpul dan senjata tajam sekalipun korbannya ber-“tangan kosong”.
Kedua preman “kondang” tersebut, akan ditertawakan bila berlaga di atas ring tinju dengan memakai cara-cara konvensional di jalan, yakni keroyokan dan memakai senjata tajam ataupun senjata tumpul melawan seorang Mike Tyson. Preman di Indonesia, ditakutkan bukan karena tubuhnya yang besar atau karena kekejaman dan kebrutalannya ataupun karena tidak takut melanggar hukum, namun disegani karena SIFAT PENGECUT mereka yang selalu bergerombol dan main “keroyokan”, identik dengan senjata tajam pula bila telah kalah bertanding “adu otot” dengan korbannya. Bila mereka hendak mengaku-ngaku dan menyebut diri “jagoan”, maka mari, penulis tantang satu per satu dari mereka, di atas ring tinju, memakai aturan main olah raga tinju : SATU LAWAN SATU, TANGAN KOSONG. Adakah diantara mereka yang berani menerima tantangan terbuka dari penulis ini?
Tidaklah mengejutkan, bila kita menemukan pemberitaan berkut ini. “Survei: Jakarta Kota Paling Tak Aman Sejagat”, Yohannie Linggasari, CNN Indonesia, 29/01/2015, https:// www. cnnindonesia .com/nasional/20150129073701-20-28179/survei-jakarta-kota-paling-tak-aman-sejagat, diakses pada tanggal 11 Juli 2020:
Sebuah survei dari Economist Intelligence Unit menempatkan Jakarta sebagai kota paling tidak aman di dunia. Survei yang meneliti 50 kota di dunia itu disponsori oleh NEC. Survei memasukkan 40 indikator kuantitatif dan kualitatif.
Ke-40 indikator tersebut terbagi dalam empat kategori tematik yakni keamanan digital, jaminan kesehatan, infrastruktur, dan personal. Setiap kategori terbagi lagi ke dalam tiga hingga delapan subindikator, seperti langkah kebijakan dan frekuensi kecelakaan lalu lintas.
Survei terfokus pada 50 kota yang dipilih Economist Intelligence Unit berdasarkan beberapa faktor, misalnya representasi daerah dan ketersediaan data. Oleh sebab itu survei ini tidak menunjukkan data secara lengkap.
Saat ini kota merupakan ‘rumah’ bagi sebagian besar manusia di planet ini. Tingkat urbanisasi di setiap wilayah bervariasi, mulai dari 82 persen populasi di Amerika Utara sampai 40 persen di Afrika.
Namun semua tempat diperkirakan akan mengikuti tren urbanisasi yang lebih besar dalam 30 tahun mendatang. Lagos yang merupakan kota terpadat di Nigeria misalnya, jumlah penduduknya diperkirakan akan berlipat ganda dalam 15 tahun mendatang.
Maka keamanan kota menjadi masalah penting dari waktu ke waktu. Mengamankan keselamatan publik berarti mengantisipasi sejumlah risiko.
Dalam survei ini, ibu kota Jepang, Tokyo, menduduki peringkat tertinggi dalam hal keamanan secara keseluruhan. Ini membuktikan bahwa kota dengan penduduk amat padat ternyata bisa masuk ke daftar kota teraman di dunia. Tokyo juga punya skor bagus dalam hal keamanan digital, tiga poin di atas Singapura yang menduduki posisi kedua.
Sementara Jakarta menduduki posisi terendah dari 50 kota yang disurvei dalam hal keamanan secara keseluruhan. Jakarta hanya naik ke posisi 44 untuk kategori jaminan kesehatan.
Keamanan suatu negara berhubungan erat dengan kekayaan dan pembangunan ekonomi. Kota-kota di negara Asia yang kaya, yakni Tokyo, Singapura, dan Osaka merajai tiga posisi teratas dalam indeks ini.
Sementara kota di negara tetangga mereka seperti Ho Chi Minh dan Jakarta mengisi dua tempat terbawah.
Survei ini juga menampilkan bahwa kekayaan dan sumber daya melimpah dari suatu negara ternyata tidak selalu menjamin keamanan suatu kota. Setidaknya ada empat dari lima kota di Timur Tengah yang masuk kategori kaya, namun peringkatnya buruk. Sebut saja Abu Dhabi yang hanya menduduki peringkat ke-25, dan Riyadh di posisi ke-46.
Dalam hal keamanan digital, kota-kota di Amerika Serikat seperti Los Angeles, San Francisco, dan Chicago menempati peringkat atas. Sementara kota-kota di Eropa menduduki peringkat rendah. London misalnya hanya menempati posisi ke-16, sementara Roma ke-35.
Padat penduduk tak selalu tak aman.
Beberapa kota yang muncul di peringkat atas sebagai kota dengan kategori aman adalah kota-kota kecil. Amsterdam yang berpopulasi sekitar 780 ribu jiwa misalnya menduduki peringkat kelima. Begitu pula Zurich yang berpopulasi 380 ribu jiwa menduduki peringkat ketujuh.
Sementara kota-kota dengan jumlah penduduk yang lebih padat masih harus berjuang menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi warganya.
Kota padat atau kerap disebut megacity adalah kota dengan penduduk lebih dari 10 juta jiwa. Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa, Tokyo merupakan kota terpadat di bumi, sebuah predikat yang tampaknya masih akan menempel pada kota itu hingga 2030. Penduduknya mencapai 38 juta orang. Sementara Jakarta punya populasi 10,17 juta jiwa, masih jauh di bawah Tokyo.
Namun seperti telah dikemukakan di atas, ternyata kota padat penduduk masih bisa menjadi kota yang aman. Hanya enam kota padat penduduk di dunia yang mampu membuktikannya, yakni Tokyo, Osaka, New York, Los Angeles, Paris, dan London.
Selain Buenos Aires, 14 kota padat lainnya yang berada di peringkat bawah merupakan negara yang tergabung dalam BRICS, yaitu Brazil, Rusia, India, China. dan Afrika Selatan.
Tokyo dan Jakarta sama-sama kota padat, namun Tokyo menduduki peringkat pertama sebagai kota yang aman, sedangkan Jakarta paling akhir. Ibu kota Indonesia ini hanya mampu mencuri peringkat ketiga dari bawah dalam kategori keamanan digital serta infrastruktur. Peringkat ‘tertinggi’ yang bisa diraih Indonesia hanyalah peringkat ke-44 untuk kategori jaminan kesehatan.
Meski Jakarta bukan kota dengan catatan paling buruk dalam hal kasus kekerasan, namun kejahatan ringan cukup tinggi di kota ini. Berbeda dengan Tokyo yang memiliki tingkat kejahatan rendah.
Tentunya tingkat ekonomi jadi pembeda antara kedua kota itu. Populasi Indonesia sekitar 250 juta jiwa, sementara Jepang hanya sekitar 127 juta orang. Namun kekayaan Jepang jauh di atas Indonesia. Bila dihitung berdasarkan GDP per kepala, kekayaan Jepang sebesar US$ 36 ribu pada paritas daya beli sekitar Rp 450 juta. Jumlah ini empat kali di atas Indonesia yang hanya US$ 9 ribu  atau sekitar Rp 112 juta.
Bila tidak dapat menempati posisi nomor satu tertinggi sebagai bangsa paling “beradab”, maka tiada salahnya menempati “prestasi” sebagai bangsa nomor satu dan tertinggi untuk ukuran bangsa paling “biadab”—sama-sama menjadi “terkenal”, “mencetak sejarah”, “ber-prestasi”, serta “patut dibanggakan” karena sama-sama menempati “posisi nomor 1” alias “Juara Kesatu” yang mendapat mendali dan piala untuk di-pajang—tentu dengan modal “akal sakit milik orang-orang sakit”. Ironisnya, ternyata tidak banyak diantara Rakyat Indonesia yang memahami bahwa penulis tidak sedang memberikan pujian, namun sebagai sindiran sarkastis.
Hidup di Indonesia, ibarat hidup terpenjara dalam kandang atau kerangkeng raksasa bersama para predator yang tidak kalah buasnya dengan dinosaurus karnivora zaman era Jurassic, bernama Bangsa Indonesia. Sungguh, tiada yang lebih membuat nurani terluka (bukan hanya fisik yang dapat terluka), dimana bahkan dapat membuat frustasi hingga trauma (luka batin) bagi kita selaku warga ketika menghadapi sesama warga Indonesia, dimana juga tidak jarang Warga Negara Indonesia melakukan aksi pamer “yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar”. Sungguh, orang-orang Indonesia patut dimasukkan ke dalam “museum” untuk disejajarkan bersama dengan orang-orang dari “zaman batu” era prasejarah.
Uniknya, ketika Warga Negara Indonesia melancong ke luar negeri, seperti ketika mereka ke Singapura, Thailand, Malaysia, Australia, atau Amerika Serikat, mereka “mendadak menjadi seorang warga alim”, patuh terhadap hukum, disiplin, moralis, menjaga etika dan perilaku maupun sopan santun, bersih, ramah, tahu malu, takut melanggar hukum, dan menjadi humanis. Mungkin memang perihal “lain ladang lain belalang”, sekalipun “belalang”-nya dari Indonesia yang sedang melancong ke negeri tetangga. Sosiolog mana pun sukar menjelaskan fenomena demikian, sehingga jangan mengharapkan penulis untuk menjelaskannya secara ilmiah apa yang terjadi pada otak Orang Indonesia yang memang perlu dibedah dan diteliti oleh para pakar neuron otak—karena pasti terdapat sesuatu sirkuit yang keliru atau “korslet” pada otak Orang Indonesia.
Di Indonesia, kita hidup dengan satu aturan tidak tertulis, yakni : “Orang-orang baik perlu jaga diri baik-baik, karena di mata orang Indonesia, orang baik adalah ‘mangsa empuk’”. Fenomena demikian penulis tarik sebagai kesimpulan hidup pribadi penulis, dengan satu pola karakter yang sama atas watak orang-orang Berbahasa Indonesia—di Indonesia (seperti yang telah penulis utarakan sebelumnya, Orang Indonesia di luar negeri “mendadak alim”, sehingga objek studinya hanya terfokus di Indonesia).
Mungkin, orang-orang asing senang melancong dan berwisata ke Indonesia, karena mereka ingin melihat langsung “kebun binatang” raksasa berisi “manusia piranha” bernama “manusia Indonesia”—mungkin, terlagi pula apa pula yang hendak mereka lihat dengan melancong jauh-jauh ke negeri ini selain “keanehan karakter rakyatnya”? Mari kita simak selengkapnya dalam artikel bertajuk “Indonesia Masuk Daftar 20 Negara Paling Berbahaya untuk Hidup”, Fakhri Rezy, 16 September 2019, https:// economy. Okezone .com/read/2019/09/16/470/2105428/indonesia-masuk-daftar-20-negara-paling-berbahaya-untuk-hidup, diakses pada tanggal 12 Juli 2020:
Baru-baru ini, InterNations telah mensurvei sekura 20.259 ekspatriat yang mewakili 182 kebangsaan dan tinggal di 187 negara di mana mencakup topik-topik seperti kualitas hidup, biaya hidup, keuangan pribadi, dan lainnya. Dalam subkategori Keselamatan & Keamanan, responden menilai tiga faktor termasuk kedamaian, keamanan pribadi dan stabilitas politik.
Hasilnya disusun untuk membuat peringkat tempat paling berbahaya untuk hidup. Serta dibandingkan dengan hasil survei di 2018 soal paling berbahaya untuk hidup.
Melansir Forbes, Jakarta, Senin (16/9/2019), berikut 20 tempat paling berbahaya untuk hidup di 2019:
Keamanan.
1. Brasil (peringkat ke-64 secara keseluruhan kategori dari 64 negara).
Seorang ekspat dari Selandia Baru berpikir bahwa ada “Perasaan mendasar bahwa orang-orang selalu hidup dalam ketakutan.”
Seorang ekspat Jerman mengeluh bahwa “Tingginya tingkat ketidaksetaraan dan kebrutalan di masyarakat mengganggu dan membuat saya merasa tidak nyaman. Kekacauan politik telah menyebabkan banyak kebingungan dan ketidaknyamanan di tempat kerja saya.”
2. Afrika Selatan (peringkat keseluruhan ke-63).
Seorang ekspat Inggris menyatakan hidupnya lebih mudah di sini, tetapi merasa seolah-olah hidup dalam gelembung yang rentan pecah.
“Saya kehilangan kebebasan untuk berjalan atau naik ke mana saja kapan saja, dan saya benci harus khawatir tentang keamanan saya,” ujarnya.
Keluhan pun seperti situasi politik yang tidak pasti, rasisme, korupsi dan tingkat kejahatan yang tinggi, serta lemahnya mata uang.
3. Nigeria (peringkat keseluruhan ke-62).
Seorang ekspat Hungaria menyatakan: “Kami tidak benar-benar bebas, tidak bisa berjalan di jalanan, tidak bisa bergaul dengan Nigeria. Selalu ada kemungkinan bahaya.”
Seorang ekspat Rwanda mengeluh tentang perasaan ketidakpastian. Hampir semua hal dapat dan mungkin terjadi kapan saja dan di mana saja.
4. Argentina (peringkat keseluruhan ke-61).
Seorang ekspat Lithuania merasa bahwa “Tidak aman di sini, dan orang-orangnya tidak ramah.”
Seorang ekspat AS mengeluh: “Anda tidak dapat merencanakan keuangan karena ekonomi terlalu sering berfluktuasi. Anda jauh dari mana-mana. Keselamatan adalah perhatian utama.”
5. India (keseluruhan ke-60).
Seorang ekspat Australia tidak menyukai “Bagaimana asumsi tentang perempuan asing ‘mudah’ membuatnya tidak aman untuk melakukan begitu banyak hal ‘sendirian’ serta Politik garis keras ... ketegangan sosial dan polusi yang sangat buruk.”
Seorang ekspat Kanada melaporkan bagaimana “Dia terus-menerus merasa seperti orang luar. Orang-orang menatapku, mengambil fotoku, berbicara kepadaku dengan mengerikan, mencoba menipu aku, dll. Karena mereka menganggap aku turis yang kaya. Aku juga menghadapi pelecehan seksual yang parah dari pria lokal, ke titik bahwa saya sekarang membawa semprotan merica di mana-mana”.
6. Peru (keseluruhan ke-59).
Seorang ekspat Spanyol mengeluh bahwa “tidak mudah untuk berteman di antara penduduk setempat — mereka juga memiliki sikap agresif di jalanan.”
Seorang ekspat Venezuela tidak menyukai “perlakuan buruk terhadap wanita, kondisi kerja yang buruk, dan kurangnya kesopanan umum secara umum.”
7. Kenya (keseluruhan ke-58).
Seorang ekspat Denmark mengeluh bahwa, “Saya tidak bisa berjalan di jalan karena itu tidak aman: saya harus menyetir.”
Seorang ekspat Kroasia tidak menyukai bagaimana “orang asing sering dimanfaatkan dalam hal mencuri, menipu, dan menghentikan polisi. Anda hanya mengambil uang dari Anda. Jalanannya buruk, lalu lintasnya buruk, dan kotanya kotor.”
8. Ukraina (keseluruhan ke-57).
Seorang ekspat Bulgaria mengeluh tentang, “Korupsi, kurangnya kesetiaan atau kejujuran total, dan orang asing dianggap ‘dompet berjalan’.”
Seorang ekspatriat AS berpikir bahwa “Hukum tidak berfungsi; ada korupsi di setiap tingkatan.”
9. Turki (keseluruhan ke-56).
Seorang ekspatriat Sri Lanka mengeluh, “Menjadi orang kulit berwarna sangat menantang. Terutama di pinggiran ibukota, Anda dilecehkan.”
Seorang ekspatriat Inggris tidak menyukai politik dan propaganda konstan yang memecah belah masyarakat. Orang-orang takut untuk berbicara atau memberikan pendapat.
10. Kolombia (keseluruhan ke-55).
Seorang ekspat Kanada mengeluh, “Politik dan ketidakamanan masa depan mengenai kemungkinan perubahan politik. Lalu lintas juga buruk, dan tingkat kejahatan mulai terbiasa. Berita di sini hampir semuanya negatif.”
Seorang ekspedisi Venezuela tidak menyukai, korupsi. “Sistem ini tidak adil bagi penduduk asli dan ekspat, dan perusahaan lokal tidak begitu terbuka untuk orang asing.”
11. Meksiko (keseluruhan ke-54).
Seorang ekspat Inggris, merasa “Keamanan pribadi adalah masalah besar, khususnya bagi para pemimpin bisnis.”
Seorang ekspat Kanada khawatir tentang “Meningkatnya kriminalitas kartel serta korupsi yang mencuri uang dari orang-orang.”
12. Britania Raya (keseluruhan ke-53).
Seorang ekspatriat Bulgaria melaporkan “Kekhawatiran tentang rasisme, wilayah yang kelebihan penduduk, meningkatnya kejahatan, harga akomodasi, dan kurangnya dukungan tentang reintegrasi dan bantuan residensi.”
13. Mesir (keseluruhan ke-52).
Seorang ekspat Inggris memiliki keluhan tentang, “Pemerintah, infrastruktur yang buruk, lalu lintas yang buruk, kondisi jalan yang buruk, kondisi bangunan yang buruk, dan kepadatan penduduk.”
Seorang ekspatriat Uganda tidak menyukai bagaimana, “Banyak orang Mesir melakukan diskriminasi dan tidak ramah. Banyak pria memiliki tidak menghormati wanita kulit hitam dan agak kasar.”
14. Filipina (keseluruhan ke-51).
Seorang ekspatriat AS mengeluh bahwa ada, “Terlalu banyak undang-undang yang membatasi orang asing dan hampir tidak mungkin memiliki tanah. Ada juga korupsi dan banyak pengemudi yang tidak bertanggung jawab.”
Seorang ekspat Prancis berbicara tentang, “infrastruktur yang buruk, kemacetan lalu lintas, dan kurangnya ruang hijau. Kualitas hidup buruk.”
15. Italia (keseluruhan ke-50).
Seorang ekspat Meksiko mengeluh tentang birokrasi. Seorang ekspat Polandia melaporkan bahwa, “Situasi politik sedang berubah. Orang asing sekarang lebih sulit mendaftar, mengakses layanan kesehatan, dan membeli properti.”
16. Amerika Serikat (keseluruhan ke-49).
Seorang responden Jerman mengatakan bahwa “Politik dan ‘normal baru’ yang muncul di sini mengkhawatirkan. Pola pikir dan budaya umum tampaknya narsisis dan sangat ‘saya dulu dan itu muncul dalam terlalu banyak cara pada level terlalu banyak.”
Expat tidak menyukai “Sudut pandang konservatif yang tersebar luas, melihat ‘sosialisme’ sebagai kejahatan yang melekat, kurangnya kontrol senjata, kurangnya perawatan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau, pandangan agama yang terlalu berlebihan.”
Seorang ekspat Brasil berbagi kekhawatiran tentang rasisme, xenofobia, dan senjata.
17. Indonesia (keseluruhan ke-48).
Seorang ekspat Malaysia mengungkapkan keprihatinannya terhadap “politik dan ekstremisme agama.”
Seorang ekspat Tiongkok tidak menyukai “korupsi, kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan dan transportasi, dan ketidakadilan dalam hukum.”
18. Yunani (keseluruhan ke-47).
Seorang ekspat Australia melaporkan bahwa, “Birokrasi menjengkelkan, seperti juga ketidakpedulian keseluruhan staf yang dipekerjakan dalam oleh layanan pemerintah.”
Seorang ekspat Rusia mengeluh tentang “Situasi ekonomi yang buruk, pendidikan yang buruk, dan peluang karier yang buruk.”
19. Kuwait (keseluruhan ke-46).
Seorang ekspatriat Prancis mengeluh tentang, “Orang yang tidak ramah dan diskriminasi terhadap beberapa negara. Negara ini juga tidak terlalu ramah lingkungan.”
Seorang ekspatriat Australia tidak menyukai lalu lintas dan jalan berbahaya dan juga merasa bahwa budaya bisa tampak tidak ramah.”
20. Thailand (45 keseluruhan).
Seorang ekspat Pakistan khawatir tentang, “Kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan terhadap orang asing, kesulitan dan kurangnya dukungan pemerintah ketika melakukan bisnis, korupsi dan hambatan bahasa yang besar.”
Seorang ekspat Rusia tidak menyukai "”nfrastruktur yang belum dikembangkan, kotoran, sampah, kebisingan, jalan-jalan berantakan, kekacauan, hampir tidak ada kedamaian sama sekali.”
Bagi Anda yang memiliki putera atau puteri yang pernah bersekolah di luar negeri (negara selain Indonesia), maka rata-rata mereka kelak akan memilih menjadi warga negara asing atau setidaknya tidak lagi tinggal permanen di Indonesia. Fenomena demikian sebetulnya tidaklah asing lagi di tengah masyarakat kita, sebagaimana kerap penulis jumpai sendiri, dan tidak menjadi aneh serta wajar saja adanya. Jika bisa memilih menjadi warga / penduduk di negara yang lebih beradab, mengapa juga memilih menetap permanen hidup di Indonesia? Bila penulis tidak “kepalang tanggung” hampir separuh umur hidup mendalami hukum Indonesia, maka sudah lama penulis “hijarah” dan mengabdi bagi bangsa tetangga.
Ternyata, bila sebelumnya Timur-Tengah di-identikkan dengan diskriminasi berdasarkan / berbasis gender, maka tampaknya kita perlu membaca laporan berikut. “Studi: Indonesia Negara yang Tidak Aman bagi Perempuan”, 8 Maret 2019, https:// www. tempo .co/dw/614/studi-indonesia-negara-yang-tidak-aman-bagi-perempuan, diakses pada tanggal 12 Juli 2020:
Sebuah studi yang dilakukan oleh perusahaan riset yang berbasis di Singapura, Value Champion, menemukan bahwa Indonesia adalah negara paling berbahaya kedua bagi perempuan di kawasan Asia Pasifik.
Dari 14 negara Asia Pasifik yang dianalisis, India, Indonesia dan Filipina dianggap sebagai negara yang paling tidak aman bagi perempuan.
Akses di bawah standar untuk perawatan kesehatan, lemahnya undang-undang tentang keselamatan perempuan dan ketidaksetaraan gender secara umum adalah alasan mengapa ketiga negara tersebut berada di posisi tiga terbawah.
India mendapat skor terendah, diikuti oleh Indonesia, yang berada di peringkat ke-13, dan Filipina di urutan ke-12.
Sikap patriarkal yang mengakar kuat baik karena pemahaman budaya atau agama menyebabkan perempuan (di tiga negara ini) lebih khawatir akan kesejahteraan mereka daripada (perempuan) di negara lain dalam daftar kami,” tulis Anastassia Evlanova yang merupakan analis riset di Value Champion.
Aktivis di Indonesia mendorong pemerintah untuk mengesahkan RUU tentang kekerasan seksual, yang menghadapi perlawanan dari Muslim konservatif.
RUU ini telah dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat sejak 2016 dan pertama kali diusulkan setelah terjadinya kasus pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis 14 tahun di Bengkulu di tahun yang sama.
Analisis berdasarkan data publik.
Parameter yang digunakan dalam studi ini adalah tingkat keselamatan, perawatan kesehatan dan peluang yang tersedia bagi perempuan, dengan titik berat pada keselamatan.
Dalam analisisnya Value Champion menggunakan data dari berbagai sumber, termasuk Indeks Pembangunan Manusia PBB, Indeks Perdamaian Global, Bank Dunia dan Organisasi Kesehatan Dunia, WHO.
Dalam laporannya, Value Champion juga menyatakan bahwa data terkait laporan mengenai tindak kriminal terhadap perempuan mungkin tidak sempurna. Misalnya, pada kasus pelecehan seksual dan kejahatan domestik. Di tiap negara, banyak perempuan yang tidak melaporkan tindak kekerasan seksual yang mereka alami. Oleh karena itu, ada kekurangan dalam data aktual tentang kekerasan terhadap perempuan.
“Contoh tepat dari hal ini adalah Jepang, yang meskipun menjadi salah satu negara teraman di dunia, banyak kasus pelecehan seksual yang tidak dilaporkan karena wanita merasa malu atau menyalahkan diri sendiri,” kata Evlanova dalam laporan itu.
Jepang berada di peringkat keempat sebagai negara teraman bagi perempuan di Asia Pasifik.
Lima negara paling aman dalam hal keselamatan perempuan adalah Singapura dan Selandia Baru (sama-sama di peringkat ke-1), Australia, Jepang dan Taiwan.
Senada dengan itu, sebuah pemberitaan per tanggal 17 Sep 2019 mempublikasi kabar bertajuk “Survei: Indonesia Masuk 20 Negara Berbahaya untuk Ditinggali”, Syanti Mustika, detikTravel, https:// travel. Detik .com/travel-news/d-4709980/survei-indonesia-masuk-20-negara-berbahaya-untuk-ditinggali, diakses pada tanggal 12 Juli 2020::
Sebuah survei memaparkan 20 besar negara paling berbahaya untuk ditinggali. Indonesia termasuk di dalamnya, pada posisi sedikit lebih baik dari Amerika Serikat.
Dalam survei ini Indonesia ditempatkan di posisi ke-17. Amerika Serikat menempati posisi ke-16, dianggap sedikit lebih berbahaya ketimbang Indonesia. Posisi pertama ditempati Brazil yang dianggap sebagai negara paling berbahaya untuk ditinggali menurut survei ini.
Dilansir detikcom dari Forbes, Selasa (17/9/2019), daftar tahun 2019 ini disusun oleh Expat Insider melalui survei InterNations terhadap 20.259 ekspatriat mewakili 182 kebangsaan, yang tinggal dan bekerja di 187 wilayah dan negara. Polling ini mencakup topik seperti kualitas hidup, biaya hidup, dan faktor finansial pribadi, dan lainnya.
Di subkategori Keamanan dan Keselamatan, responden memberikan penilaian terhadap tiga faktor termasuk kedamaian, keamanan pribadi, dan stabilitas politik. Hasilnya dikompilasi guna menyusun daftar berisikan 20 tempat paling berbahaya untuk ditinggali.
Expat Insider sendiri merupakan salah satu lembaga survei terbesar dunia yang telah berdiri selama 6 tahun. Secara berkala, mereka merilis survei serupa. Tahun lalu, catat data Forbes, Indonesia menempati posisi ke-15.
Berikut 20 negara-negara paling berbahaya untuk ditinggali menurut survei InterNations dari Expat Insider pada tahun ini:
1. Brazil.
2. Afrika Selatan.
3. Nigeria.
4. Argentina.
5. India.
6. Peru.
7. Kenya.
8. Ukraina.
9. Turki.
10. Kolombia.
11. Meksiko.
12. United Kingdom.
13. Mesir.
14. Filipina.
15. Italia.
16. Amerika Serikat.
17. Indonesia.
18. Yunani.
19. Kuwait.
20. Thailand.
Apakah ada diantara pembaca yang percaya, setelah fakta-fakta demikian penulis paparkan, masyarakat Indonesia akan merasa bangga alih-alih merasa malu dibuka “aib” bangsa ini? Indonesia sungguh merupakan “gudang dari segala keanehan”, dimana seorang pakar ilmu sosiologi tampaknya tidak akan mampu menjawab pertanyaan klise berikut : Bila Bangsa Indonesia mengaku sebagai bangsa yang ber-Tuhan, “agamais”, mengapa Indonesia tidak semestinya menjadi tempat paling aman di dunia, menjadi tempat berlindung paling aman, dan menjadi negara tujuan paling utama para pengungsi dari negara lain? Bukankah dengan menjadi seorang “agamais”, semestinya menampilkan watak-watak luhur serupa dengan “Tuhanis”? Jangankan “humanis” atau “Tuhanis”, tampaknya Bangsa Indonesia masih berkutat pada watak “hewanis” dan “premanis”.
Secara pribadi, dan sebagai pesan penutup, penulis tampaknya akan merevisi dan merubah sudut pandang ulasan dalam kesempatan kali ini, bila satu syarat berikut ini terpenuhi, yakni bilamana Bangsa Indonesia hanya akan menantang bertarung fisik secara “satu lawan satu” dan “tangan kosong”, alih-alih menampilkan sikap “pengecut” ala preman yang hanya berani saat “keroyokan” dan “main senjata tajam”, maka Indonesia akan penulis promosikan sebagai negara PALING AMAN DI DUNIA.
Sudah siapkah Indonesia menggelar “ring tinju” ini di setiap ruas sudut-sudut jalanan, sebagai ajang pembuktian diri bahwa Bangsa Indonesia memang “jagoan”, bukan hanya “sok jago”? Bila memang “jagoan”, mengapa nama petinju dari Indonesia jarang sekali tampil di kejuaran olah raga tinju dunia untuk di-sekelas-kan dengan nama-nama seperti Mike Tyson si “leher beton”? Faktanya, tidak pernah penulis jumpai kalangan preman di Indonesia yang berani “satu lawan satu” dan “tangan kosong”—menyebut diri mereka sebagai “preman”, tetapi ternyata hanya kalangan / segerombolan “pengecut”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.