KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Tengoklah Wajah Bangsa Kita, Itulah Cerminan Hasil (Kegagalan) Sistem Pendidikan Kita, Baik di Sekolah, Rumah, maupun Tempat Ibadah

ARTIKEL HUKUM
Ketika wabah virus menular mematikan menjadi pandemik global tidak terkecuali di Indonesia, kalangan guru yang merasa paling kompeten sebagai pengajar dan pendidik para generasi muda Indonesia, memprotes kebijakan “belajar jarak jauh dari rumah”, padahal pandemik belum genap memasuki  enam bulan lamanya menjangkit populasi rakyat di Indonesia, sekalipun tren prevalensi orang terjangkit virus menular ini terus saja meningkat grafiknya dari hari ke hari tanpa ada kecenderungan menurun, setidaknya saat ulasan ini penulis susun. Kalangan guru tersebut mengklaim, belajar dari jarak jauh demikian tidak memungkinkan kalangan guru untuk mendidik budi pekerti dan membentuk moralitas serta mental para peserta didik.
Seketika itu juga, terbersit lontaran pertanyaan besar dalam benak penulis, sebuah pertanyaan sederhana saja sifatnya, yakni : Maksud Anda, selama ini Anda berhasil membentuk pola karakter serta budi pekerti manusia-manusia Indonesia yang bermartabat, mulia, serta berbudi luhur disamping beradab lewat proses belajar-mengajar tatap-muka konvensional di ruang-ruang kelas? Wajah bangsa kita saat kini, merupakan cerminan keberhasilan para guru kita dalam mendidik atau sebaliknya sebagai cerminan kegagalan total, dimana dari segi ekonomi kita kian bergantung pada negara lain dan dari segi moralitas kian lama kian merosot, tergerus, dan terdegradasi?
Jika memang benar adanya klaim demikian, kini dapat kita lihat sendiri hasilnya, baik anak-anak remaja hingga manusia dewasa Indonesia, penuh oleh karakter buruk, jahat, serakah, tidak punya malu, tidak dapat dipercaya, dan tidak takut berbuat jahat seperti berbohong, menipu, merampok nasi dari piring orang lain yang lebih miskin, merugikan orang lain, menyakiti / melukai orang lain, bullying, hingga aspek sikap perilaku lainnya yang dalam segala hal serba menyepelekan dan meremehkan perbuatan-perbuatan yang layak dicela dan tidak terpuji lainnya—dimana disaat bersamaan menyepelekan dan meremehkan perasaan para korban mereka.
Di luar negeri, bahkan pada negara tetangga kita di ASEAN, “home schooling” atau belajar dari rumah bukanlah lagi hal yang aneh, namun sudah menjadi hal yang lumrah akan kita jumpai—dimana kreativitas orangtua menjadi kuncinya, bukan justru menggantungkan nasib anak sepenuhnya ke tangan kalangan para guru di sekolah yang belum tentu positif dan bisa jadi kontraproduktif bagi tumbuh-kembang anak. Hanya di Indonesia saja, yang kapitalisasi arus keuangan bisnis dunia pendidikan demikian dikomersialkan sehingga memaksakan diri untuk membudayakan pola belajar-mengajar konvensional yang sudah ketinggalan zaman dan terbelakang sifatnya.
Apalah gunanya proses belajar-mengajar secara “tatap-muka”, bila yang dipamerkan kalangan guru kita di Tanah Air (sebagaimana pengalaman pribadi penulis dalam berbagai kesempatan dan kejadian mulai masa kanak-kanak, remaja, hingga tumbuh dewasa, menjadi mahasiswa, hingga berbagai seminar / pelatihan beriaya tidak sedikit yang sempat penulis ikuti, membuat penulis membentuk kesimpulan adanya semacam pola karena adanya keserupaan yang terus terjadi), justru ialah sifat-sifat “kemunafikan” yang menjadi sumber contoh-teladan bagi para peserta didik. Akan jauh lebih merusak moral dan mentalitas peserta didik, seorang guru mengajarkan pada anak-anak muda kita, bahwa perbuatan jahat sifatnya adalah “terkutuk”, namun ternyata sang guru disaat bersamaan mempertontonkan perilaku yang layak untuk dicela dan demikian hina.
Jangankan bicara hal-hal hebat seperti watak mulia, berkarakter unggul dan luhur, berperadaban tinggi, tahu malu dan takut berbuat jahat, mampu berintrospeksi diri, berani mengakui kesalahan sebagai kesalahan, membela kebenaran, memperjuangkan keadilan, gemar menolong, mampu berempati dan berprihatin, dapat mengontrol diri dan tidak merugikan orang lain ketika mencari kesenangan untuk diri sendiri, dimana untuk hal paling sederhana saja, seperti budaya tertib, patuh hukum, serta mengantri, masyarakat Indonesia seolah bergerak berkebalikan dari hal-hal yang disebutkan terakhir tersebut, sekalipun hal tersebut merupakan hal yang sangat mendasar. Tidak terkecuali lembaga-lembaga yang “katanya” mengusung perjuangan hak asasi manusia, ternyata hanya sekumpulan manusia-manusia yang “lain di mulut, lain di hati, dan lain di perbuatan”.
Contoh sederhana yang pernah penulis alami berikut dapat menjadi cerminan konkret, betapa manusia dewasa Indonesia baik pria maupun wanita, apapun latar belakang ekonomi dan pendidikannya, tanpa membedakan ras, agama, maupun etnik, penulis setelah melakukan serangkaian observasi sosiologis, ternyata menampilkan satu corak wajah yang kongruen satu sama lain, yakni : JAHAT, terlebih tidak memiliki rasa bersalah ketika menyakiti dan merugikan orang lain, akibat perbuatan sengajanya ataupun karena kelalaiannya.
Menyakiti, merugikan, hingga melukai orang lain sehingga membuat korbannya merasakan trauma demikian hebat, namun pelakunya sama sekali tidak menampilkan wajah bersalah (terlebih mau bertanggung-jawab, mau tahu pun dirinya tidak), bahkan kerap “lebih galak daripada korbannya”, jauh dari kata “bertanggung-jawab”, merupakan cerminan psikologi watak seorang manusia PSIKOPAT. Sebagai kesimpulan, manusia Indonesia ternyata tidak sedikit yang terjangkit “virus” PSIKOPAT, jahat namun tanpa rasa bersalah, dimana dirinya sama sekali gagal untuk melakukan apa yang memang tidak pernah mampu dimiliki oleh seorang psikopat, yakni kemampuan untuk introspeksi diri dan selalu gagal untuk melakukan apa yang disebut sebagai melakukan refleksi / bercermin diri—semisal, gemar menipu namun tidak bersedia ditipu, tidak ingin disakiti namun menyakiti, dan berbagai perilaku tercela lainnya yang pada pokoknya ialah sikap-sikap “egoistik”.
Manusia Indonesia amat sangat menyeleksi (pemilih) makanan apa yang dimakan dan dimasukkan ke dalam mulut mereka, namun perihal ucapan yang terlontar keluar dari mulut mereka, jauh dari kata beradab, gemar berkelit sekalipun kesalahan tepat berada tepat di depan batang hidung mereka, jika perlu memainkan aksi akrobatik “putar-balik fakta”, hingga perilaku-perilaku seperti “yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar”, ataupun sikap-sikap seperti “lebih galak daripada korbannya”, janji-janji manis sekadar janji kosong belaka, berbohong / berdusta seolah menjadi kelaziman sehingga bukanlah lagi menjadi hal yang patut ditabukan terlebih dipermalukan untuk dipertontonkan, hingga aksi-aksi “berjemaah” mem-bully baik secara media sosial maupun dalam dunia fisik. Itu baru tataran ucapan / perkataan, kita belum memasuki tataran kualitas pikiran hingga derajat perilaku lahiriah bangsa kita.
Dalam berbagai kesempatan, bahkan untuk hal paling mendasar dan paling sederhana seperti budaya mengantri, ternyata masyarakat Indonesia masih jauh dari kata “beradab”—cerminan gagalnya dunia pendidikan sekolah formal kita, kegagalan dunia pendidikan agama kita, kegagalan pendidikan dalam lingkup rumah-tangga, alias kegagalan sistemik dimana tiga pilar utama tersebut terbukti “tumpul” dan yang paling bertanggung-jawab atas wajah bangsa kita saat kini. Seolah, masyarakat kita demikian sibuk (atau “sok sibuk”) sehingga tidak bersedia bersabar untuk mengantri, namun perihal produktivitas kerja, jauh dari kata produktif—terlebih untuk disebut sebagai kreatif. Contoh berikut ini barulah perihal hal sederhana seperti sikap kesabaran dalam kemampuan kontrol diri dalam mengantri, belum menyinggung hal-hal yang lebih besar seperti sikap antar manusia, manajerial sebuah negara, menjadi kepala keluarga, menjadi tokoh / figur, dan hal-hal besar serta mendasar lainnya.
Suatu hari, penulis melintasi pada sebuah ruas jalan di ibukota Jakarta, yang ironisnya sangat tidak layak dan tidak ramah terhadap pejalan kaki sekalipun menjadi kawasan pusat ekonomi sehingga padat oleh lalu-lintas pengendara maupun pejalan kaki—akibat “salah urus” Kepala Daerah yang “bukan ahlinya, namun masih juga dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum yang demokratis”. Untuk melewati jalan tersebut dalam rangka menuju suatu tempat yang hendak penulis tuju, penulis sampai harus amat berhati-hati karena tidak terdapat jembatan penyeberangan orang serta kondisi kontur tanahnya yang “amburadul” salah-kekola, sehingga harus melewati jalan tikus yang sempit dimana bila salah melangkahkan kaki atau bila tidak fokus berkonsentrasi penuh, dapat berakibat fatal seperti terjatuh dan mengalami kecelakaan karena terbentur benda keras atau benda tajam lainnya.
Ketika mendapati sebuah jalan menyerupai “bottle neck” yang sempit, sementara arus manusia demikian deras, penulis yang telah sabar mengantri dan ketika giliran penulis melangkahkan kaki dan melewatinya, seorang ibu-ibu mengenakan penutup kepala (yang semestinya menggambarkan sikap kesantunan wanita “agamais”), ternyata menyerobot dari arah berlawanan sehingga penulis terkejut dan mengalami kehilangan keseimbangan. Hampir terjatuh, penulis menggapai tiang listrik (yang ternyata) berkabel untuk menyeimbangkan diri agar tidak terjatuh.
Beruntunglah tiang listrik tersebut tidak mengalirkan arus listrik, ketika penulis sentuh. Bagaimana jika sebaliknya? Apakah diri wanita tersebut yang menyerobot tanpa bersedia mengantri dengan tertib dan sabar menunggu giliran, tanpa juga menaruh empati kepada warga lain yang hendak dan juga berhak untuk melintas, dimana keselamatan merupakan faktor nomor kesatu (semestinya), akan bersedia bertanggung-jawab jika sampai terjadi sesuatu pada pengguna jalan lainnya ini? Jangankah kesediaan untuk bertanggung-jawab, dirinya mau tahu pun tidak. Itulah ciri khas paling utama dari watak Bangsa Indonesia, EGOISTIK MINIM EMPATI.
Terbukti, kejadian serupa terus saja berulang dimana pun penulis melintas dan berada, di wilayah Indonesia ini, dimana sebagian rakyatnya lebih pandai menyusun modus kejahatan ketimbang pandai dalam pengertian kreatif dalam hidup dan melangsungkan hidup tanpa merugikan kepentingan maupun hak-hak dan keselamatan orang lain. Satu hal yang tidak pernah dapat penulis tolerir terlebih berikan kompromi bagi watak Bangsa Indonesia, yakni secara berkomplot melakukan modus-modus kejahatan, dimana pelakunya ialah sesama anak bangsa dan korbannya ialah sesama anak bangsa pula.
Bila dibandingkan perlakuan penjajah asing terhadap warga negara kita, perlakuan sesama anak bangsa kita saat kini tidak jauh berbeda dengan perlakuan kolonial penjajah tempo dulu. Bukan bangsa asing yang saat kini paling patut kita waspadai namun sesama anak bangsa yang paling patut kita waspadai dengan penuh kehati-hatian, bagai kita berjumpa dengan PREDATOR kelaparan (karena serakah) yang selalu mengintai mencari mangsa buruan untuk DIKORBANKAN.
Masih perihal budaya antri masyarakat kita yang “agamais” ini, lengkap dengan atribut keagamaan, busana keagamaan, jargon-jargon keagamaan, maupun “halal lifestyle”-nya. Suatu hari, penulis mendatangi suatu perkantoran pemerintahan untuk urusan pekerjaan. Entah mengapa, kantor pemerintahan tersebut demikian tidak humanis, karena hanya menyediakan pintu kecil di bagian belakang halaman kantornya yang menjadi akses menuju tempat berjualan para pedagang makanan bagi warga yang hendak membeli makan siang.
Ketika penulis telah sabar mengantri, dan tiba giliran penulis melintasi pintu kecil yang posisinya pendek terbuat dari besi tersebut, yang sangat sempit kondisinya dan bisa sangat berbahaya jika sampai terjatuh, tiba-tiba secara mendadak penulis dikejutkan oleh seseorang dari arah berlawanan menyerobot melintasi pintu kecil itu dan membuat penulis yang telah berada persis ditengah-tengah pintu kecil tersebut sontak terkejut, lalu kaki dan postur tubuh penulis berdiri tegak karena tidak ingin kacamata yang penulis kenakan di wajah sampai rusak terbentur orang lain dari arah berlawan (yang pastilah pelakunya tidak akan bertanggung-jawab bila itu sampai terjadi kecuali sekadar “bualan umbar janji” belaka atau “tabrak lari” sebagaimana kerap terjadi), dan alhasil kepala penulis dengan kerasnya membentur tiang besi di atas pintu kecil yang sangat tidak manusiawi pembuatnya tersebut. Orang yang menyerobot tersebut mengenakan pakaian kantoran, melintas begitu saja seolah tanpa ada kesalahan yang dibuat olehnya, seolah tanpa rasa bersalah—terlebih mau tahu dan bertanggung-jawab akibat perbuatannya kepada orang lain. Maklum, bangsa “psikopat”.
Berhari-hari setelah itu, kondisi tengkorak kepala penulis mengalami cedera hebat. Itu adalah sekadar sampel contoh paling sederhana untuk mengilustrasikan wajah Bangsa Indonesia yang tidak sedang mengenakan “make up”. Sungguh, banyak manusia PSIKOPAT berkeliaran di Indonesia ini, dimana kita perlu sangat menjaga diri baik-baik agar tidak dicelakai para PSIKOPAT tersebut, yang bila kita tegur pastilah justru akan lebih galak daripada korbannya—sehingga menjadi percuma saja sekalipun kita mencoba menegur perilaku mereka. Trauma yang ditumbulkan dari cedera di kepala yang penulis alami lama sebelum ini, rasa sakitnya masih membekas hingga saat kini, dan disaat bersamaan timbul trauma batiniah terhadap orang-orang Indonesia yang ternyata sangat jauh dari kata “ramah” ataupun “bersimpati” (untuk hal kecil seperti mengantri saja ternyata sesama warga kita saja tidak bersedia, terlebih untuk hal lain yang lebih besar?).
Entah, manusia-manusia PSIKOPAT tersebut adalah hasil bentukan pendidikan sekolah formal, ataukah akibat kegagalan para pemuka agama kita, ataukah karena lemahnya faktor pendidikan budi-pekerti dan etika di lingkup rumah-tangga kita. Yang jelas, sebagai saran dari penulis, kita perlu amat sangat berhati-hati ketika berhadapan dan berjumpa terlebih berada di tengah-tengah komunitas “Manusia Indonesia”, para PSIKOPAT. Sesama serigala, saling akur adanya. Namun, ketika seekor kelinci memasuki sarang serigala tersebut, jangan pernah mengharap bahwa sang kelinci dapat akur hidup berdampingan dengan para serigala PREDATOR KARNIVORA tersebut. Bahkan, tidak jarang “manusia Indonesia” menjadi “kanibal bagi sesamanya”—bukan bermaksud apatis ataupun berlebihan, namun itulah faktanya, dimana fakta selalu pahit adanya.
Di Indonesia, yang lemah akan termakan oleh “manusia Indonesia”—karenanya, menjadi penting bagi kita untuk menjaga diri kita baik-baik selama masih menetap di Indonesia, jika perlu senantiasa “negative thinking” selama kita masih hidup di Indonesia, jika tidak ingin “mati konyol” di tangan atau akibat “kebiadaban” bangsa ini. Sebaliknya, penulis secara pribadi, selama ini sangat memperhatikan betul kondisi dan keadaan orang-orang di sekitar penulis. Semisal ketika melewati tempat sempit yang kondisinya tidak ramah bagi pejalan kaki, jangan sampai mereka terkejut dan terjatuh hingga terjadi kecelakaan, jika perlu penulis ingatkan mereka agar “berhati-hati saat melangkah, perhatikan kondisi kontur jalan, dan pelan-pelan saja”.
Namun, ternyata sikap penuh perhatian demikian hanya dilakukan oleh penulis seorang diri, seolah melawan arus watak bangsa ini, namun sebagai balasannya, oleh berbagai “manusia Indonesia” lainnya, penulis justru “dizolimi”. Indonesia dan orang Indonesia bukanlah tempat dan bangsa yang aman, karena itulah penulis mendukung penuh sanak-saudara penulis yang hendak menetap permanen di luar negeri. Jika kita menyayangi keluarga kita, kita tidak boleh memaksakan mereka untuk tetap bertempat-tinggal di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Dapat para pembaca bayangkan, suatu waktu penulis pernah menolong seorang warga ketika kediamannya hampir kebakaran dimana api berhasil penulis padamkan sebelum menyentuh plafon rumah. Sebagai balasannya, warga tersebut justru dikemudian hari membalas dengan menganiaya dan mengeroyoki penulis, sekalipun pelakunya ber-etnis yang sama dengan penulis. Fakta, selalu pahit—setidaknya fakta sosial di Indonesia, yang menurut penuturan sanak-keluarga penulis di luar negeri, hal-hal “konyol” khas Bangsa Indonesia demikian tidak akan kita jumpai ataupun alami di luar negeri.
Pernah juga terjadi, penulis membela pengemudi kendaraan roda empat yang tidak penulis kenal, ketika sang pengemudi hendak dieksploitasi oleh warga setempat yang memarkir kendaraan sembarangan di jalan umum yang sempit sehingga “tersenggol” oleh kendaraan dimaksud, justru berbuah pahit dengan kembali dianiaya-nya penulis oleh para warga tersebut. Rupanya, menjadi pembela keadilan dan kebenaran di Indonesia, buahnya selalu terasa pahit, dibalas dengan “bogem mentah”. Tidak heran, Batman dan Superman “ogah” masuk ke Indonesia. Kejadian semacam itu terus saja berulang dan terjadi, pelakunya tidak lain tidak bukan bukanlah Bangsa Yahudi, Bangsa Barat, atau bangsa lainnya, namun selalu saja sesama anak bangsa.
Uniknya, bangsa kita yang identik dengan “premanis” ini, selalu tampak mendadak menjadi “anak manis” terhadap / ketika menghadapi bangsa asing—alias, beraninya hanya “jago kandang” atau sekadar berorasi di dalam negeri, beraninya hanya terhadap sesama anak bangsa di dalam negeri mengingat hukumnya “impoten” dimana para preman justru dipelihara oleh negara, dimana juga para aparatur penegak hukumnya selalu absen dan tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat untuk mengayomi dan melindungi.
Sebagaimana juga dapat para pembaca bayangkan, untuk hal paling “sepele” (tidak berfaedah) semacam kompetisi olah raga sepak-bola, para suporter bola kita (bonek), sampai harus saling bunuh satu sama lain. Namun, bangsa kita tidak pernah berani mengumandangkan perang terhadap bangsa lain—alias bangsa pengecut, tulen pengecutnya. Dapat juga kita bayangkan, bagaimana dengan hal-hal yang lebih penting dan lebih besar? Untuk hal yang tidak penting saja, sesama bangsa kita saling bunuh satu sama lainnya.
Bukankah Bangsa serba “konyol” penuh “korup” kita ini, layak dilekatkan status sebagai bangsa (yang masih) “terbelakang” dari segi moralitas dan perilaku, terutama perihal kemampuan pengendalian “keserakahan diri”? Biarkanlah bangsa kita berbangga diri mengklaim sebagai bangsa “agamais” yang dicintai oleh Tuhan, setidaknya tidak ada yang bisa kita bohongi tentang wajah asli “tanpa make up” bangsa yang jauh dari sifat-sifat luhur “Tuhanis” ini. Apakah mungkin, “hewanis” dapat bersatu dengan “Tuhanis”? “Humanis” saja tidak, masih derajat “hewanis”, atas dasar apa air dan minyak dapat bersatu? Mengaku-ngaku sebagai bangsa demokratis, namun ternyata “anti kritik”, tidak patuh terhadap hukum, tidak taat pada ketertiban, dan kerap tidak demokratis.
Apakah ada, investor asing yang demikian bodohnya, bersedia masuk dan menanamkan modalnya di Indonesia, sementara di saat bersamaan Bangsa Indonesia demikian kerap berorasi melecehkan negara-negara asal para investor asing tersebut? Kini, apakah “jahat”, klien selalu penulis rekomendasikan agar membangun pabrik di luar teritori Indonesia, dimana kawasan ASEAN lainnya masih lebih patut warganya dimakmurkan dengan pembangunan pabrik, ketimbang memakmurkan Rakyat Indonesia. Benar, sama sekali tidak penulis pungkiri, penulis sama sekali tidak nasionalis, dimana sikap penulis tersebut merupakan “akibat”, bukan “sebab”.
Buddhisme mengajarkan pada umatnya, untuk memiliki sikap penuh TANGGUNG-JAWAB, baik terhadap diri kita sendiri maupun terhadap orang alin. Dua konsepsi paling utama dari Buddhistik ialah, penekanan pada aspek latihan diri untuk “malu” (hiri) dan “takut” (otapa) untuk berbuat jahat, terlebih menyakiti, melukai, ataupun merugikan orang lain maupun diri sendiri, baik karena faktor kesengajaan maupun kelalaian sikap dan perilaku kita. Itulah sebabnya, penulis tidak pernah bersikap “tidak sabaran” guna menghindari orang lain yang saling berbagi ruang gerak dan berbagi ruang hidup dengan penulis, guna menghindari potensi resiko kecelakaan yang tidak perlu terjadi kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.
Jangankan membuat orang lain berpotensi mengalami kecelakaan dan terluka, ketika berjalan pun penulis senantiasa berusaha memperhatikan apakah ada binatang kecil seperti semut yang mungkin saja dapat terinjak ketika penulis berjalan dan akan mengalah beberapa waktu menunggu sampai binatang-binatang kecil tersebut melintas dengan selamat barulah penulis akan kembali melangkahkan kaki—latihan penuh perhatian yang diajarkan oleh Sang Buddha. Banyak penelitian melaporkan, para psikopat ketika masih berusia belia, ternyata adalah anak-anak yang gemar membunuh binatang dan memiliki kesenangan ketika melihat hewan tersiksa, tanpa adanya rasa penyesalan, bahkan menikmatinya.
Jika sampai ada seseorang mengalami kecelakaan akibat perbuatan ataupun kelalaian penulis, biasanya rasa bersalah menghantui penulis sekalipun telah berselang puluhan tahun. Kesalahan-kesalahan penulis semasa masa kecil, sebagai contoh, terus “menghantui” penulis hingga dewasa, meski mungkin saja orang tersebut kini tidak pernah mengingatnya lagi dan tidak merasa perlu untuk mengungkitnya lagi. Namun, begitulah cara / metodologi diri penulis dalam “mendidik diri sendiri”.
Kita adalah “guru” terbaik bagi diri kita sendiri, dalam rangka mendidik serta mendisiplinkan diri kita sendiri. Tidak ada kejahatan “sepele”, tidak ada pula kesalahan “sepele”, semua itu harus dan patut untuk dapat kita pertanggung-jawabkan. Jika tidak berani bertanggung-jawab, maka kita tidak boleh berbuat salah secara disengaja maupun secara lalai. Menyakiti dan melukai orang lain, adalah mudah. Namun, menjaga dan menghargai eksistensi orang lain, membutuhkan perhatian serta keseriusan penuh tanpa kompromi.
Menjadi manusia yang mulia, adalah dalam rangka “bersatu” dengan sosok Tuhan yang mulia. Ibarat air dan minyak, atau api dan es, adalah mustahil Tuhan yang mulia dapat bersatu dengan manusia-manusia yang menyerupai SERIGALA PREDATOR yang bahkan menampilkan watak layaknya seorang PSIKOPAT, kecuali kita menganggap Tuhan sama “gila”-nya dengan manusia ciptaan-Nya. Apakah Tuhan adalah mulia? Tentu benar, jawabannya. Lantas, atas dasar apa manusia Indonesia sang “agamais”, merasa dapat bersatu dengan Tuhan yang mulia, bila watak serta perilakunya JAUH dari kata “mulia”? Itulah hal yang paling tidak logis dari “manusia Indonesia”, sangat irasional serta tidak pernah masuk akal—setidaknya berdasarkan pengalaman pribadi penulis yang telah lahir, tumbuh besar, dan hidup hampir separuh abad lamanya di republik yang telah hampir satu abad merdeka ini.
Diatas kesemua itu, tiada yang lebih buruk daripada “membalas air susu dengan air tuba” hingga sikap-sikap semacam “merampok nasi dari piring milik orang lain atau bahkan dari piring orang yang lebih miskin”. Sebagai contoh, semula penulis menaruh simpatik secara tulus kepada kalangan buruh di Indonesia. Namun, apa yang kemudian terjadi, mereka menuntut perusahaan tempat mereka bekerja memberikan mereka gaji dan pesangon atas keringat dan jasa mereka, namun disaat bersamaan kalangan buruh tersebut kerap menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis, dan seketika itu juga “memperkosa” profesi penulis (meminta atau bahkan menuntut dilayani namun disaat bersamaan menyuruh penulis “mati makan batu”)—alhasil, kini penulis berbalik menjadi penentang utama kalangan buruh dan pekerja di Tanah Air, dengan mulai mengajarkan kepada klien pembayar tarif konsultasi bagaimana cara legal mengeksploitasi tenaga buruh di Indonesia. Jika sudah seperti itu, menjadi salah siapa dan siapa yang paling patut dipersalahkan, baik secara etika maupun moralitas? Di Indonesia, “malaikat” dapat menjelma menjadi “iblis bertaring” untuk bisa bertahan menghadapi PREDATOR bernama “manusia Indonesia”
Telah ribuan pihak-pihak tidak bertanggung-jawab, setelah menikmati publikasi ulasan ilmu pengetahuan hukum dalam website yang penulis asuh ini dengan pengorbanan yang tidak terhitung lagi jumlahnya, baik dari segi biaya, tenaga, perhatian, kesehatan, hingga waktu yang tidak terhitung lagi jumlahnya, namun alih-alih berterimakasih dan memberikan kontribusi guna mendukung kelangsungan profesi dan website yang penulis asuh ini, ribuan warga Indonesia tersebut secara tidak bertanggung-jawab menyalah-gunakan nomor kontak kerja maupun email profesi penulis semata untuk memperkosa profesi penulis, alias “membalas air susu dengan perkosaan” (adakah yang lebih jahat daripada itu?)—dimana pelakunya alih-alih merasa bersalah ketika ditegur karena melanggar peringatan yang sudah sedemikian jelas dalam website ini serta telah demikian jelas profesi seorang Konsultan Hukum mencari nafkah dari menjual jasa konseling seputar hukum, justru lebih galak daripada penulis, berdalih hingga berkelit sedemikian rupa alih-alih meminta maaf dan bertanggung-jawab, dimana tidak jarang pelakunya justru “memaki” dan “mengutuk” yang semestinya menjadi hak penulis untuk berbuat demikian kepada pelakunya. Itulah cerminan moralitas yang rusak, menjangkiti sebagian rakyat di negeri “agamais” ini, yang entah atas dasar apa meyakini bahwa Tuhan mencintai orang-orang semacam itu. Bukankah semestinya Tuhan lebih berpihak kepada korban, alih-alih mengasihi pelaku kejahatan dan kejahatan?
Terlebih buruk lagi diatas kesemua itu, ciri khas lain Bangsa Indonesia, ialah “besar mulut” namun miskin dalam hal realisasi selain sekadar mengumbar janji akan bertanggung-jawab. Sebagai contoh, mereka berkata akan bertanggung-jawab karena merusak properti milik orang lain, akan membayar dan melunasi hutang, akan menepati janji untuk menyerahkan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu, akan menunggu tagihan dari pihak-pihak yang mempunyai piutang terhadap almarhum yang meninggal dunia agar tidak membawa mati hutang ke alam baka, namun kesemua itu hanyalah ajang kepalsuan penuh kemunafikan, dimana “manis di mulut” hanya sekadar menjadi gimmick belaka—guna menyengkan diri sendiri, seolah “karma buruk” mereka akan sirna cukup dengan semudah berkata demikian.
Memberikan / menaruh kepercayaan kepada “manusia Indonesia”, sama bodohnya dengan termakan oleh ucapan dan perkataan para “manusia Indonesia”, itulah pesan paling tulus yang dapat penulis hanturkan dari hati sanubari terdalam, bagi kebaikan Anda yang membaca pesan penutup dari penulis tersebut. Itulah juga, yang disebut sebagai kultur, atau budaya suatu bangsa, karena polanya dapat kita jumpai secara seragam terdapat pada manusia-manusia berbahasa Indonesia di Indonesia. Jika ingin hidup aman dan selamat di Indonesia, siap-siaplah untuk perang terhadap “manusia Indonesia”. Si vis pacem para bellum. Tidak perlu kita berbicara perang menghadapi bangsa lain, kita taklukkan dahulu para “manusia predator” di negeri kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.