Bahaya Racun Mematikan DEMOKRASI, Socrates Menjadi Korban Juri dalam Sistem Pengadilan yang Paling Demokratis

ARTIKEL HUKUM
Lagi dan lagi, proses demokrasi tidak pernah menghentikan predikat “korup” yang sudah lama dilekatkan bagi bangsa kita, dimana demokrasi memiliki semboyan “dipilih dari rakyat” yang artinya proses pemilihan umum bagi kepala daerah maupun anggota legislatif hingga kepala negara, sudah merupakan cerminan watak budaya serta karakter bangsa kita itu sendiri, yakni “bangsa korup”—rakyat yang “korup”, wakil terpilihnya juga sama “korup”-nya, karena dipilih dari tengah-tengah rakyat yang “korup”.
Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, demikian pepatah menyebutkan. Bahkan, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi satu “kapal” dengan Kepala Daerah sebagai pasangan suami-istri, terpilih dan menjabat secara demokratis dipilih secara langsung dari dan oleh rakyat, justru kian melancarkan aksi-aksi korupsi yang kian hari kian tidak terbendung, sebelum tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sebenarnya hanya repetisi berita lama yang berulang berulang dan kembali terulang.
Sejatinya, telah sejak lama konsep negara bernama “demokrasi” telah “digugat” oleh para cendekiawan klasik tepat disaat konsep demokrasi dicetuskan, salah satunya ialah tokoh termasyur bernama Socrates, menjadi korban yang harus kehilangan nyawa akibat konsep-konsep demokrasi itu sendiri. Ketika rakyat kita “bodoh”, korup, nakal, buruk perangai, tidak bermoral, dangkal dalam membuat pertimbangan, tidak patuh hukum, mudah di-“setir” lewat pendekatan ekonomis-politis, gemar berkolusi, radikal, “bar-bar”, maka demokrasi akan kian menguatkan sifat-sifat negatif dari wajah bangsa bersangkutan. Demokrasi, ibarat “bumbu penguat rasa”. Bangsa yang baik dan luhur karakternya, sudah siap menempuh tipe negara demokrasi. Namun, bangsa yang masih terbelakang dari segi moralitas, akan menuju kerusakan karena belum siap dan prematur bersalin dari konsep negara demokrasi.
Adagium hukum menyebutkan, demokrasi dan kebebasan tanpa hukum yang mengekang dan membatasi secara tegas, maka akan menjelma “chaos”, alias kekacauan. Disini, hukum dapat merupakan cerminan atau representatif sifat-sifat layaknya represif ala “k0munistik”, memang menjadi selalu berseberangan dengan prinsip negara demokrasi yang mengusung kebebasan, sehingga sejatinya titik ekuilibrium terletak pada keseimbangan ditengah-tengahnya dalam proses “tarik-menarik” kepentingan antara demokrasi (kebebasan) dan hukum yang bersifat mengatur, membatasi, dan mengikat ruang lingkup serta ruang gerak masyarakat yang diatur olehnya.
Kita tahu, bahwa “pesta demokrasi” tidak pernah berbiaya murah, bahkan kerap merenggut nyawa, sama sekali tidak sebanding dengan kualitas pejabat hasil pemilihan umum secara langsung ini—alias lebih banyak menguntungkan elite-elite politik. Sekalipun telah demikian masif kasus-kasus tertangkap-tangannya kepala daerah hasil pemilihan umum, namun tampaknya masyarakat kita masih juga belum jera dijadikan penonton belaka dalam suatu “pesta demokrasi” yang selama ini kita lakoni bak panggung sandiwara politik, dan menyatakan bahwa wacana penghapusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Kepala Daerah tidak lagi perlu dipilih secara langsung namun cukup ditunjuk oleh Gubernur atau oleh Presiden selaku Kepala Negara (prinsip negara “kesatuan-sentralisasi”, bukan tipe negara “federal-desentalistik”), merupakan kemunduran praktik demokrasi.
Mengapa kita tidak mulai mempertanyakan, apa yang harus kita bayarkan untuk memilih tetap mempertahankan konsep negara demokrasi ini? Apakah harga yang kita harus bayarkan tersebut, sebanding dengan apa yang selama ini diterima oleh rakyat? Telah begitu banyak negara kita menyelenggarakan pemilihan umum kepala negara, kepala daerah, hingga anggota legislatif dan dewan perwakilan rakyat, namun selama itu pula praktik korupsi justru kian merajalela dari sebelumnya pelaku korupsi yang soliter dan “sebatang kara” melakukan praktik ilegal, kini menjelma “politik dinasti” dengan korupsi maupun kolusi yang tersistematis serta melibatkan banyak aktor pelakunya—bahkan melibatkan anak, istri, dan menantu, hingga kerabat.
Sejatinya, tidak penting apakah tipe negara kita adalah “k0munistik” ataukah “demokratis”, yang terpenting warga negara kita dapat hidup makmur dan hukum ditegakkan secara tegas tanpa tebang pilih demi kepastian hukum sehingga dapat menampilkan wibawa serta supremasinya dimana tiada lagi pejabat ataupun masyarakatnya yang berani melakukan aksi ilegal seperti korupsi ataupun pelanggaran hukum, sebagaimana pernah disebutkan oleh seorang tokoh dari Tiongkok : “Tidak penting kucing ini bewarna putih atau bewarna hitam, yang penting ia dapat menangkap tikus.” Tiada gunanya demokrasi yang berbiaya mahal dan selalu berpotensi menimbulkan konflik diametral yang menjelma “perang saudara”, bila demokrasi hanya menguntungkan para penguasa dan partai politik.
Banyak diantara masyarakat dewasa ini yang mengenal nama tokoh sekaliber Socrates, namun sedikit diantara mereka yang mengetahui latar-belakang hidup dan kematian Socrates, sang pujangga yang hidup lebih dari dua ribu tahun yang lampau. Untuk itu, gambaran singkat perihal Socrates dapat penulis rujuk pada artikel berjudul “Mengapa Socrates Membenci Demokrasi”, dimana Sokrates tercatat pernah bercakap-cakap perihal “demokrasi”, selengkapnya dalam https:// geotimes .co.id/opini/mengapa-socrates-membenci-demokrasi/, diakses pada tanggal 13 Juli 2020:
Kita sudah terbiasa berpikir positif tentang demokrasi dan berpikir positif pula tentang Athena kuno, sebagai peradaban yang melahirkan demokrasi. Partenon bahkan hampir sudah dijadikan ungkapan untuk nilai-nilai demokrasi sampai-sampai para pemimpin demokratis senang berfoto di depannya.
Dengan demikian, mungkin akan mengejutkan kita bahwa salah satu pencapaian Yunani kuno terhebat yaitu filsafat bersikap amat curiga terhadap pencapaiannya yang lain, yaitu demokrasi.
Bapak filsafat yunani, yaitu Socrates sebagaimana digambarkan dalam dialog oleh Plato, bersikap amat pesimis terhadap demokrasi. Dalam “The Republic” buku IV, plato menggambarkan bahwa Socrates sempat bercakap-cakap dengan seorang karakter bernama Adeimantus.
Ia mencoba menunjukan berbagai kekurangan demokrasi kepada Adeimantus, dengan cara membandingkan sebuah masyarakat dengan sebuah kapal. “Kalau anda sedang berpergian naik kapal”, sokrates bertanya, “siapa yang menurut anda paling ideal untuk memimpin kapal? Siapa saja boleh, atau orang-orang yang berpendidikan dalam menghadapi aturan dan kerumitan perjalanan laut?”
“Tentu saja yang kedua,” jawab Adeimantus.
Kemudian Socrates merespon, “Lalu mengapa kita terus berpikir bahwa semua orang, siapa saja boleh menilai siapa yang akan menjadi pemimpin sebuah negara?”
Maksud Sokrates adalah bahwa memilih dalam sebuah pemilihan umum adalah suatu keterampilan, dan bukan intuisi acak.
Dan seperti keterampilan lain, keterampilan memilih pun juga harus diajarkan secara sistematis kepada masyarakat. Membiarkan orang-orang memilih tanpa pendidikan, sama tidak bertanggung-jawabnya dengan membiarkan mereka mengomando sebuah kapal perang yang sedang berlayar ke pulau Samos di bawah badai.
Sokrates sendiri kemudian mengalami secara langsung bencana akibat kebodohan para pemilih. Pada tahun 399 SM, ia, sang filsuf diadili dalam sebuah tuduhan yang dibuat-buat yaitu tuduhan bahwa ia merusak moral anak muda Athena.
Dewan juri, yang terdiri dari 500 warga kota Athena, kemudian diminta untuk menilai kasus ini dan akhirnya memutuskan, dengan margin yang sempit, bahwa sang filsuf itu memang bersalah. Ia kemudian dihukum mati dengan racun hemlock.
Namun, patut diperhatikan bahwa Sokrates tidak berpikir elitis sebagaimana kata “elitis” biasa diartikan. Ia tidak percaya bahwa hanya sedikit orang saja yang boleh memilih dalam pemilu. Tetapi, ia juga menekankan bahwa hanya orang-orang yang berpikir mengenai isu-isu secara rasional dan mendalam-lah yang boleh memilih dalam pemilu.
Kita telah melupakan perbedaan ini, perbedaan antara demokrasi intelektual, dan demokrasi sebagai hak yang diberikan sejak lahir. Kita telah memberikan hak pilih kepada semua orang, tanpa membuat hubungan antara hak pilih dan kebijaksanaan. Dan Sokrates tahu persis hasil akhir dari hal tersebut yaitu pada sebuah sistem yang paling ditakuti oleh orang Yunani, sistem demagog.
Orang Athena kuno punya pengalaman menyakitkan dengan kaum demagog. Misalnya Alcibiades, orang licik ini, orang yang kaya, karismatik dan pandai bersilat lidah, yang menghabisi hak-hak dasar dan mendorong Athena untuk melakukan pergerakan militernya di Sisilia, yang berakhir dengan bencana.
Sokrates tahu persis, betapa mudahnya orang-orang yang mencari jabatan melalui pemilu dapat memanfaatkan keinginan kita untuk solusi-solusi yang gampang. Ia meminta kita membayangkan sebuah debat pemilu antara dua kandidat. Satu kandidat seperti dokter dan kandidat yang lain seperti pemilik toko permen.
Si pemilik toko permen akan berpendapat seperti ini tentang saingannya;  “Lihatlah, orang ini telah memberikanmu banyak sekali kesengsaraan! Ia menyakitimu, memberikan kepadamu berbagai ramuan pahit dan melarangmu makan dan minum apapun yang kamu inginkan! Ia tidak akan memberikan kepadamu pesta-pesta yang berisi berbagai macam hal-hal yang menyenangkan dan bervariasi, tidak seperti saya!”
Sokrates meminta kita untuk berpikir mengenai respons para audiens, apakah menurutmu sang dokter akan mampu menjawab secara efektif? Jawabannya adalah; “Saya memang menyulitkanmu dan melawan berbagai keinginanmu, hal itu semuanya untuk membantu dirimu!”
Tentu jawaban ini akan menyebabkan kehebohan diantara para pemilih, ya kan? Kita telah melupakan semua peringatan dan perkataan Sokrates yang tidak setuju terhadap demokrasi.
Kita lebih suka untuk berpikir tentang demokrasi sebagai sebuah kebaikan yang memang ambigu, dan bukan sebagai suatu hal yang keefektifannya berbanding lurus dengan keefektifan sistem edukasi yang mengelilinginya. Sebagai hasilnya, kita telah memilih banyak sekali pemilik toko permen dan sedikit sekali dokter.
Para pakar politik kita menyebutkan, rakyat kita telah “cerdas dalam memilih”. Jika memang benar demikian, maka mengapa fakta menyebutkan bahwa telah berulang-kali terjadi, Kepala Daerah tertangkap-tangan karena korupsi, atas kasus tindak pidana korupsi yang sama untuk kedua kalinya dalam dua kali pelakunya menjabat sebagai Kepala Daerah? Mengapa koruptor dapat kembali terpilih oleh rakyat dalam pemilihan langsung yang demokratis? Mengapa Komisi Pemilihan Umum sempat bersikukuh agar mantan narapidana dipersulit untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah? Pendidikan politik kita tumpul, dimana kecerdasan disamping moralitas bangsa kita pun masih tumpul, sehingga negeri ini sejatinya belum benar-benar siap diberi kendaraan politik bernama “demokrasi”.
Perihal peradilan yang “demokratis”, seabgaimana sistem peradilan “common law” yang banyak diagung-agungkankan karena menggunakan sistem juri untuk menentukan terdakwa telah bersalah atau tidaknya, ternyata juga tidaklah identik dengan keadilan dan kebenaran, terbukti peradilan yang paling demokratis sekalipun dengan ratusan juri sebagai penentunya, mengakibatkan Socrates dihukum mati.
Terkadang, para juri merupakan representatif dari “selera publik”, bukan representasi dari keadilan, sehingga bangsa yang “bodoh” melahirkan juri yang bodoh, dan juri yang bodoh pada gilirannya menimbulkan “tragedi”, sebagaimana dalam artikel berjudul “Ketika Socrates Dipaksa Bunuh Diri karena Perbedaan Pandangan”, 15 Februari 2020, https:// voi. id/memori/2817/ketika-socrates-dipaksa-bunuh-diri-karena-perbedaan-pandangan, diakses pada tanggal 13 Juli 2020:
Pada 15 Februari 399 SM, filsuf terkenal Socrates dijatuhi hukuman mati di Athena, Yunani. Socrates dijatuhi hukuman mati karena dianggap melakukan kejahatan yang sulit dipercaya: menolak mengakui dewa-dewa yang diakui oleh negara, memperkenalkan dewa-dewa baru, dan merusak moral kaum muda.
Pengadilan berlangsung secara terbuka di Athena dan dihadiri oleh tiga penuntut, juri, dan kerumunan besar penonton. Selama tiga jam para penuntut menyatakan tuduhannya dan selama tiga jam juga Socrates melakukan pembelaannya.
Pada akhirnya, setiap anggota juri diminta untuk menaruh token kecil ke dalam salah satu dari dua guci: satu ditandai ‘bersalah’ dan lainnya ‘tidak bersalah’. Juri, yang beranggotakan 500 orang, mendapati Socrates bersalah dengan suara 280, dan 220 suara menyatakan tidak bersalah.
Setelah vonis bersalah dijatuhkan, para juri diminta untuk memutuskan hukuman seperti apa yang sesuai. Penuntut Socrates mendukung untuk dijatuhkannya hukuman mati. Setelah beberapa pertimbangan, Socrates mengusulkan membayar denda namun dianggap terlalu kecil.
Jika Socrates menyarankan pengasingan dari Athena, hidupnya mungkin akan selamat tetapi pada akhirnya para juri tetap memilih untuk menghukum mati Socrates. Menurut hukum di Athena saat itu, hukuman mati diberikan dengan meminum secangkir hemlock, sebuah tanaman yang racunnya mematikan, sehingga nantinya Socrates melakukan semacam bunuh diri.
Alasan lainnya yang menuntun Socrates dalam subuah persidangan adalah sedikit tidak jelas dan tidak mungkin ada hubungannya dengan agama. Namun, filosofi dan ajaran Socrates yang dianggap antidemokrasi dipandang sebagai ancaman bagi para penguasa Athena.
Athena saat itu baru saja muncul dari periode ketidakstabilan besar, di mana organisasi pemberontak yang disebut Thirty Tyrants telah menggulingkan pemerintahan demokratis dan melembagakan pemerintahan teror yang brutal. Organisasi tersebut mengusir dan mengeksekusi ribuan warga yang tidak bersalah dan berusaha untuk memaksakan kekuasaan oligarki.
Pemimpin Thirty Tyrants, Critias, adalah salah satu pengikut Socrates dan oleh sebab itu sangat mungkin menghukum mati Socrates. Kematian Socrates dijelaskan di tulisan Plato berjudul Phaedo. Phaedo adalah salah satu tulisan dialog paling populer dari abad pertengahan. Socrates menolak permintaan Crito untuk melarikan diri dari penjara.
Semangatnya untuk definisi dan pertanyaan yang membelah rambut mengilhami pengembangan logika formal dan etika sistematis dari zaman Aristoteles melalui Renaissance dan ke era modern. Selain itu, kehidupan Socrates menjadi contoh dari kesulitan dan pentingnya hidup (dan jika perlu mati) menurut keyakinan seseorang yang telah diteliti dengan baik.
Mengapa, ketika kita menjadi penumpang sebuah kapal laut, kita tidak pernah mempertanyakan, apakah sang nakhoda menjabat sebagai kepala kapal telah dipilih secara demokratis atau tidaknya? Mengapa juga, ketika kita menjadi penumpang sebuah pesawat udara, kita tidak pernah bertanya apakah sang pilot telah dipilih secara demokratis untuk mengemudikan pesawat yang kita tumpangi. Sama halnya, kita tidak pernah bertanya apakah sang masinis dari kereta yang kita tumpangi apakah dipilih secara demokratis atau tidaknya?
Pertanyaan besar yang tidak pernah dapat penulis pahami mengapa tidak pernah kita pertanyakan ialah, mengapa kita hanya berhenti pada sistem negara demokratik, dan terpaku dengan demokrasi secara membuta seolah tidak mungkin kita mencari dan membentuk tipe negara lainnya yang tidak mengandung “moral hazard” layaknya demokrasi? Terperangkap pada sistem pemerintahan “khilafah” maupun “demokrasi”, pada dasarnya sama-sama terjebak pada titik ekstrim yang tidak dapat menjadi jalan keluar bagi negara yang ideal dan solutif, sebagaimana tercermin juga dalam artikel berjudul “Demokrasi di Mata Filsuf Yunani”, Penulis : Reynaldi Adi Surya, 14 Oktober 2019, https:// suarakebebasan .id/demokrasi-di-mata-filsuf-yunani/, diakses pada tanggal 13 Juli 2020:
Para filsuf memahami bahwa di dunia ini setiap orang mengalami berbagai peristiwa dalam kehidupannya. Entah itu kesedihan, entah itu kesialan, entah itu kemalangan, atau malah sebaliknya, gembira, senang, dan bahagia. Karena itulah, para filsuf berusaha untuk mencari tata hidup yang ideal dan cocok bagi semua orang, agar manusia terjamin hidup dan juga keinginannya.
Hal tersebut pulalah yang kemudian melahirkan konsep masyarakat dan negara Ideal. Yunani adalah sala satu peradaban paling maju di zamannya yang berani menghapuskan sistem tirani dan membentuk negara demokrasi. Ketika wilayah lain di dunia kala itu membangun peradaban dengan bertumpu pada raja-raja atau kepala suku, Yunani di abad 600 SM sudah mulai menerapkan sistem demokrasi langsung yang membuat setiap orang berhak untuk memilih dan berpendapat secara bebas.
Karena sistem demokrasi yang bebas inilah kemudian mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, filsafat, dan juga seni. Namun, konsekuensi dari penerapan sistem demokrasi yang bebas, melahirkan pula orang-orang yang mengkritik sistem demokrasi. Sama seperti di Indonesia, penerapan sistem demokrasi dan kebebasan sipil juga melahirkan orang-orang yang anti terhadap sistem demokrasi itu sendiri.
Sejarah demokrasi dunia dipelopori oleh Yunani, termasuk sistem demokrasi yang kita jalankan saat ini. Hakikat demokrasi memiliki tujuan agar kekuatan rakyat menggantikan kekuatan tirani. Rakyat yang bebas dan memiliki otonomi individu, membuat setiap individu dalam masyarakat bisa mengejar kebahagiaan yang mereka inginkan.
Namun, sebagaimana sistem manusia yang ada di kolong langit, korupsi pejabat partai dan biaya politik yang mahal justru membuat politisi yang maju menjadi wakil rakyat atau pejabat adalah orang-orang yang memiliki uang. Tak jarang untuk meraup suara masyarakat agar memilih mereka di pemilihan umum, para politisi ramai-ramai menyuap masyarakat.
Belakangan ini demokrasi sebagai suatu sistem kembali dipertanyakan, kebebasan dianggap telah membuat kekacauan dan hilangnya norma, apalagi kelompok radikal juga bermunculan karena eksistensi mereka dijamin hidup oleh negara atas nama kebebasan berserikat. Begitu juga dalam berpolitik, sistem demokrasi membuat kantong negara dan orang yang ingin menjadi anggota legislatif terkuras habis karena mahalnya ongkos politik.
Para filsuf Yunani telah mengkritik dan memberikan beberapa keberatan mereka soal sistem ini. Seperti Socrates dan Plato, misalnya yang menolak demokrasi langsung ala Yunani.
Socrates dan Plato mengkritik demokrasi dari sudut pandang filosofis, dimana mereka memandang bahwa kebebasan dalam memilih (demokrasi langsung) adalah biang kerok mengapa Athena dan tanah Yunani selalu dihinggapi masalah. Masalah utama dalam sistem demokrasi yang dikritik Plato adalah karena kebebasan mutlak warga negara dan partisipasi mereka yang terlampau jauh dalam urusan negara “.…they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like.” (Republic, page: 11). (…mereka adalah manusia bebas, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan setiap orang didalamnya boleh melakukan apapun yang disukainya).
Rakyat yang terlalu bebas, hedonis dan juga memiliki kehendak yang terlalu banyak akan membawa bencana bagi negara dan warganya. Jika setiap orang menginginkan tindakan yang mereka sukai, maka akan muncul kekacauan, kekerasan, hilangnya moral dan juga kebejatan. Manusia bagi Socrates dan Plato memiliki tingkat kesadaran dan intelek yang berbeda-beda. (namun) Dalam demokrasi, orang bodoh, orang jahat, orang cerdas, maupun orang baik, memiliki derajat yang sama sehingga muncul kekacauan dan kerusakan (dihitung sebagai “one man one vote”).
Bagi Plato, kelompok masyarakat bagaikan tubuh, yaitu 1. Perut, yang berarti manusia yang selalu senang dengan hawa nafsu dan mengejar kehendak nafsunya; 2. Dada, yaitu manusia yang mencerminkan semangat, moralitas, namun masih terikat ego dirinya, dan 3. Kepala, yaitu manusia yang bijaksana, bermoral, bersemangat dan mempunyai kemampuan intelektual.
Dalam demokrasi tanpa batasan, golongan manusia itu tercampur baur sehingga tercipta kekacauan. Karena itu, Plato lebih condong kepada pemerintahan tirani yang dikuasai oleh raja filsuf atau aristokrasi, yaitu kumpulan para filsuf. Para filsuf dianggap lebih mengetahui kebenaran sehingga mereka berhak memimpin masyarakat.
Walaupun Plato dan Socrates adalah filsuf jempolan yang pemikirannya terkenal luas, namun bukan berarti pandangan Plato tersebut tak dikritik orang. Aristoteles walau mengkritik kebebasan manusia, namun menganggap bahwa demokrasi adalah sistem yang lebih baik dari yang ada.
Mengenai pemerintahan monarki, Aristoteles setuju bahwa monarki filsuf adalah sistem terbaik, namun Aristoteles juga menyadari bahwa negara yang dikuasai oleh filsuf adalah mustahil terwujud, alias utopia. Karena itulah, sistem yang baik (baik dalam demokrasi atau aristokrasi)  kekuasaan haruslah timbal-balik. Di satu sisi, rakyat membutuhkan pemimpin yang mampu mengurus mereka, namun di sisi lain, seorang pemimpin harus mengayomi dan menjaga perasaan rakyat agar rakyat percaya kepada mereka dan memberi legitimasi untuk memerintah.
Aristoteles nampaknya cukup memberi peluang bagi demokrasi, sebab bagi Aristoteles, idealnya negara adalah dimana antara rakyat dengan pemimpin bisa saling berkomunikasi dengan baik dan bekerjasama dalam menjalankan suatu negara. Bagi Aristoteles, negara ibarat keluarga, dimana antara keluarga, semua kebijakan negara harus melalui musyawarah mufakat dan tidak mencederai kepentingan rakyat.
Yunani adalah negara maritim yang dihuni oleh mayarakat kota yang notabene mayoritas adalah kalangan pedagang atau borjuasi. Koloni-koloni pedagang di daerah Yunani kemudian membentuk perkumpulan antar koloni dan ini merupakan asal-usul sistem demokrasi.
Namun, demokrasi di Yunani harus berakhir setelah 300 tahun berdiri.  Sebab, Alexander Agung dari Macedonia, mencaplok wilayah Yunani dan menjadikan kawasan tersebut sebagai jajahannya dan masuklah Yunani ke masa tirani Kaisar Alexander.
Yang menjadi hal mendasar mengapa beberapa filsuf mengkritik model demokrasi di Yunani, sebab di masa itu, hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Demokrasi Yunani  berjalan tidak begitu bagus karena hukum konstitusi masih berbentuk lisan. Baru kemudian muncul konstitusi Drakon dan Solon, tetapi itu belum mencukupi karena putusan hukum biasanya melalui musyawarah orang-orang ketimbang merujuk pada sebuah kitab hukum yang jelas.
Putusan hukum melalui musyawarah ini yang kemudian dikecam oleh Plato. Bagi Plato, bagaimana bisa orang-orang bodoh yang belum tercerahkan pikirannya turut mengadili seseorang tanpa mengetahui perkaranya secara jelas? Kelemahan dasar dari Demokrasi Yunani saat itu karena kurang kuatnya hukum tertulis, membuat hukum Yunani seolah hanya main-main dan dipermainkan oleh para elit politik yang membenci Socrates.
Kritik mendasar dari para filsuf terhadap demokrasi saat itu lebih mendasar pada soal hukum dan moralitas. Hukum yang tidak jelas dan dipermainkan oleh aristokrat membuat negara kacau, sedangkan sikap hedonistik para elit politik Yunani yang mengelabui masyarakat, membuat para filsuf jijik terhadap kerendahan moral mereka.
Demokrasi yang awalnya adalah pemerintahan rakyat, berubah menjadi oligarki dan dipimpin elit politik. Situasi seperti ini yang membuat rakyat tidak puas, dan hukum menjadi alat permainan para elit saja.
Namun, tidak semua filsuf yang menentang demokrasi, serupa dengan Aristoteles. Cicero, sang orator, justru percaya bahwa kekuatan negara berada di tangan rakyat banyak, ketika pemerintahan rakyat sudah menjurus pada penyimpangan tirani atau oligarki, maka Cicero mengatakan “Ketika hak rakyat dalam negara ini dilecehkan oleh orang lain (elit poitik), maka menjadi kewajiban bagi mereka untuk melawan!”
Bagi Cicero, jika pemerintahan telah gagal menegakkan hukum yang adil, melindungi rakyat dan harta benda setiap orang, maka pemerintahan tersebut harus digulingkan oleh warga negaranya, untuk membuat pemerintahan yang lebih bersih dan ideal.
Pendapat para filsuf tersebut dapat kita manfaatkan untuk merenungkan apa yang terjadi saat ini terhadap cita-cita demokrasi dan reformasi kita, yang bertujuan untuk menjaga kebebasan sipil dan memperkuat penegakan hukum. Demokrasi adalah wahana bagi rakyat agar setiap pejabat negara tidak bisa berbuat seenaknya dalam merumuskan kebijakan, sekaligus mendesak pemerintah agar suatu produk hukum dibuat berdasarkan kepentingan rakyat.
Namun kenyataannya, penegakan hukum kita masih tidak menggembirakan dan malah sebaliknya, tumpul (sekalipun dilahirkan dari proses pemerintahan yang demokratis dan dipilih secara langsung oleh segenap rakyat kita). Belum lagi pemerintah membuat aturan-aturan hukum yang mengikat kebebasan rakyat tetapi menguntungkan kaum elit dan para koruptor. Cita-cita reformasi dan demokrasi telah tercoreng oleh sikap pongah para elit yang merasa dirinya harus dihormati dan ditaati.
Sama seperti yang terjadi di Yunani kuno, penegakan hukum yang payah dan kebuasan para elit politik, justru akan membuat suatu negara menjadi kacau dan tidak stabil. Jika demokrasi berjalan tidak semestinya, dimana kekuatan rakyat berubah menjadi kekuatan elit wakil-wakil rakyat, maka tepatlah ucapan Wiji Thukul yang serupa dengan perkataan Cicero di atas: Lawan!!!
Demokrasi bukanlah pemerintahan oleh dan dari rakyat, namun sistem pemilihan wakil atau pejabat pemerintahan, dimana inilah tepatnya, kelemahan paling utama dari sistem demokrasi. Sama halnya, supremasi dan kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi hanya tampak saat menjelang pemilihan umum—dimana setelahnya sang rakyat akan “habis manis, sepah dibuang”. Jika demokrasi bermakna pemerintahan dari dan oleh segenap rakyat, maka itu sama artinya seluruh penumpang kapal yang akan merasa berhak mengemudikan kemudi kapal, sementara sebuah kapal hanya boleh memiliki satu orang nahkoda, dimana kita mengetahui betul apa jadinya ketika sebuah kapal memiliki dua orang atau lebih nahkoda yang mengepalai laju arah sebuah kapal. Apa jadinya juga, bila demokrasi di Yunani pada era dimana Socrates hidup, ternyata berbiaya semahal “pesta demokrasi” di Indonesia era kontemporer ini?
Terdapat hal yang “lucu” dalam sistem demokrasi, yakni bila kita mengaku sebagai bangsa yang demokratis, sekalipun Amerika Serikat tidak menerapkan sistem negara demokratis secara utuh, namun demokrasi keterwakilan bukan seperti pemilihan umum oleh segenap rakyat seperti pemilihan presiden di Indonesia, namun mengapa kita tidak pernah bertanya kepada rakyat kita sebagai implementasi konsep negara demokratis, apakah suatu perbuatan hukum sang pelaku adalah layak atau tidaknya diganjar dengan hukuman—dimana sebaliknya kita selalu saja merujuk pada pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh para pendahulu kita yang bisa jadi telah meninggal dunia, bukan oleh rakyat yang saat kini masih hidup untuk ditanyakan, dengan ciri khas perkataan : “Menurut pasal ...” Menurut pasal? Itukah yang disebut sebagai demokratis? Justru karena kita memahami betul, bila sistem peradilan diserahkan kepada rakyat (demokratis “tulen”), maka yang kemudian terjadi ialah “pengadilan rakyat di jalanan” berwujud “main hakim sendiri”.
Sejatinya, “sistem perwakilan” (keterwakilan ataupun memilih wakil rakyat) dan sistem demokrasi adalah dua konsep yang saling bertolak-belakang, sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya. Demokrasi, mengusung konsep “pemerintahan dari dan oleh rakyat”, bukan “pemerintahan dari dan oleh wakil dari rakyat”. Disini, kita dibawa menuju konsepsi supremasi bernama “kedaulatan”, apakah menjadi “kedaulatan rakyat” ataukah “kedaulatan wakil rakyat”?
Simak dua skenario kronologi berikut yang dapat terjadi. Pertama, seorang filsuf menjadi “nahkoda” dari negara dan pemerintahan. Sementara tipe kedua, segenap rakyat memilih seorang filsuf sebagai “nahkoda” dari negara dan pemerintahan. Terdapat perbedaan prinsipil, sekalipun seorang filsuf yang pada muaranya menduduki jabatan sebagai kepala pemerintahan dan negara, yakni dalam konsep pertama, sang filsuf tidak dipilih secara demokratis. Namun, dalam tipe negara kedua, sang filsuf sejatinya hanyalah “wakil dari rakyat”, dimana rakyat dapat mencabut kembali mandatnya sewaktu-waktu berdasarkan prinsip “pemerintahan dari dan oleh rakyat”.
Sistem demokrasi kita pun tidak benar-benar menawarkan sistem keterwakilan, sebagai contoh kita hanya dapat memberikan suara bagi, semisal, “satu calon dari antara dua pilihan calon”, tanpa dapat memilih lain diluar kedua calon tersebut. Itulah, ketika, suara rakyat, disandera oleh hegemoni dan kekuasaan Partai Politik pengusung calon anggota legislatif maupun eksekutif. Apa jadinya, bila kedua calon tersebut adalah sama-sama “telur busuk”, masih jugakah akan kita berikan suara kita bagi salah satunya sebagai “pilihan rakyat”?
Sama halnya, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dipilih oleh anggota Panitia Seleksi (anggap sebagai sistem “keterwakilan”)—namun, siapa yang memilih anggota Panitia Seleksi tersebut? Jika ternyata para anggota Panitia Seleksi diduduki oleh orang-orang yang tidak kompeten, disusupi anggota “sponsor”, atau berkolusi dengan pihak-pihak yang berkuasa dan berkepentingan, maka tiada gunanya pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, karena pihak anggota Panitia Seleksinya telah patut diragukan independensi dan kompetensinya dalam menyeleksi dan memilih.
Perlu penulis tegaskan, penulis tidak menolak sistem negara demokratis, namun untuk tipikal karakter bangsa semacam Indonesia, tingkat moralitas dan intelektualitas rakyatnya masih belum siap dan terlampau prematur untuk menerapkan sistem “demokrasi keblablasan”. Karenanya, menjadi akan cukup mengecoh ketika kita membaca ulasan dalam “Bahkan Socrates Menolak Demokrasi”, Syafril Hernendi, 8 Februari 2010, https:// www. kompasiana .com/shernend/54ff16cca33311794450f822/bahkan-socrates-menolak-demokrasi, diakses pada tanggal 13 Juli 2020:
Pada masanya, Socrates dikabarkan menolak demokrasi. Padahal saat itu Athena telah mengamalkan cara pemerintahan ini. Socrates yakin hanya orang-orang bijak saja (filosof) yang semestinya menyelenggarakan pemerintahan. Atas dasar ini dia sebenarnya tidak hanya menolak demokrasi, melainkan sistem pemerintahan lain yang tidak dijalankan oleh filosof.
Demokrasi Athena tentu saja masih dalam tahap paling awal. Trias politica ala Montesquieu (eksekutif, yudikatif, legislatif) belum lagi ditemukan. Hampir semua urusan mungkin saja masih diputuskan secara langsung, tanpa sistem perwakilan (parlemen) seperti yang berkembang sekarang.
Dari sini kita bisa menerka kekhawatiran Socrates, bagaimana mungkin keputusan penting bisa diserahkan kepada orang kebanyakan. Bagaimana bisa suara seorang filosof yang bijak bestari mempunyai nilai sama dengan seorang petani buta huruf. Bisa jadi Socrates khawatir terjadi mobokrasi. Arah pemerintahan ditentukan oleh kumpulan orang banyak yang tak kompeten.
Alasan yang mirip masih digunakan gerakan penentang demokrasi jaman ini, beberapa milenia setelah Socrates. Padahal banyak inovasi telah membuat demokrasi modern berbeda dengan bentuk awal dulu. Secara umum, demokrasi telah mengalami perkembangan, jauh melampaui apa yang terbentuk pada masa Socrates.
Menggunakan kritik Socrates untuk mengkritik demokrasi modern jadi tidak pas dan tidak pada tempatnya. Dua inovasi penting mencakup trias politica dan sistem perwakilan. Trias politica membuat kekuasaan tak terpusat pada satu titik. Terjadi check and balance hingga eksekutif tak lagi merangkap sebagai pembuat hukum dan undang-undang yang dapat mendorong pada pelanggengan kekuasaan dan korupsi.
Eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kawasan khusus dan tak boleh saling intervensi. Sejalan dengan perkembangan, muncul pula pilar keempat: pers. Pers yang bebas dan bertanggung jawab menjadi sendi penting dalam demokrasi modern. Pers mampu menjadi “watch dog” agar percampuran fungsi antara tiga pilar pertama tak terjadi.
Sistem perwakilan juga jadi pengembangan penting. Sistem perwakilan seperti sekarang ini paling tidak mengandung 2 sifat baik:
- Penyederhaan, apalagi jika populasi suatu negara sudah jutaan, hingga tak mungkin setiap keputusan diambil langsung oleh semua rakyat.
- Memperkecil peluang terjatuhnya pada mobokrasi. Dalam sistem perwakilan, rakyat banyak menyalurkan aspirasi kepada wakilnya. Si wakil ini yang akan mengolah secara detil dan beradu konsep dengan aspirasi yang dibawa wakil rakyat lain. Melalui cara ini, peluang mobokrasi bisa diperkecil sebab pembahasan dan pengambilan keputusan dilakukan oleh wakil rakyat yang idealnya berkualifikasi.
Inovasi penting lain ada di jaminan kemerdekaan dalam menyatakan pendapat. Pendapat tak boleh lagi dilarang hanya karena berbeda dengan suara penguasa. Keleluasaan berpendapat semacam ini yang akan menjadi sarana dahsyat untuk turut mengontrol tingkah laku penguasa agar tak jadi absolut.
Jadi, jika ada yang ingin mengganti demokrasi dengan yang lain, tentu hal pertama yang mesti diperiksa apakah segala privilege ini masih akan dipertahankan. Apa dengan sistem baru ini masyarakat masih diperbolehkan berbeda dengan penguasanya. Atau sebaliknya, kultur absolut yang malah mereka junjung entah dengan mengatasnamakan Tuhan, agama, atau lainnya.
Jika gerakan ini sudah tak toleran dengan yang berbeda, ekskusif dalam sifatnya, absolut akan ide-ide yang dibawanya, maka jelas tak banyak harapan atas apa yang mereka bawa.
Dalam setiap kesempatan, penulis kerap menuturkan, “orang bodoh dilarang untuk berkomentar”—dan itulah kritik utama penulis terhadap sistem demokratis. Orang “bodoh” cenderung berbicara dan berpendapat tanpa dasar yang dapat dipertanggung-jawabkan, bahkan dapat cenderung menyesatkan publik. Terlebih, bukan “ahli” namun mengaku-ngaku sebagai “ahli”-nya untuk menjabat sebagai Kepala Negara maupun Kepala Daerah. Koruptor kembali terpilih sebagai Kepala Daerah, sama artinya rakyat kita sedang memilih untuk memiskinkan daerah tempat mereka hidup dan bertempat-tinggal—itulah yang tidak pernah diperdulikan oleh “sistem yang demokratis”, menyerupai orang buta yang membuat aturan perihal jalan mana yang perlu dan harus ditempuh.
Hak rakyat untuk memilih, tidak boleh di-“pasung”, sekalipun sang koruptor kembali mencalonkan diri dan terpilih kembali dan untuk kesekian kalinya melakukan praktik korupsi ataupun penyalah-gunaan kekuasaan, dimana rakyatnya dengan bodohnya merasa senang-senang saja seolah tiada yang salah dengan semua ini. Rakyat yang bodoh, mudah dibodohi. Rakyat yang bodoh, demokrasi yang bodoh—dan sistem demokrasi sama sekali tidak mencegah rakyatnya melakukan segala kebodohan demikian, bahkan sebaliknya, memperkeruh keadaan menyerupai menyiram minyak ke arah sekam yang membara.
Seorang penulis tanpa nama, secara lugas menggambarkan bahwa demokrasi dapat menjadi jebakan kebodohan, kebodohan mana dapat menjadi “lingkaran setan” dimana rakyat akan terjebak pada sistem dan siklus kebodohan lewat pembodohan publik (dengan kemasan “pesta demokrasi”), yang mana hasilnya ialah rakyat-rakyat yang bodoh; selengkapnya dalam https:// brainly .co.id/tugas/20604647, diakses pada tanggal 13 Juli 2020, sembari mengingat kembali calon dari “pedagang permen” Vs. “dokter gigi”:
Plato mengkritik demokrasi seperti itu, berdasarkan pendapatnya bahwa masyarakat merupakan hakim yang tidak becus dalam banyak masalah politik. Masyarakat cenderung memberikan penilaian berdasarkan kebodohan, dorongan hati, sentimen, dan prasangka. Yang paling buruk adalah demokrasi seperti itu mendorong munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak becus. Karena pemimpin memperoleh kepemimpinannya dari masyarakat, pemimpin cenderung mengikuti tingkat masyarakat demi keamanan kedudukannya. Lagi pula, karena dalam demokrasi “setiap individu bebas melakukan apa yang dikehendakinya”, pengaruhnya bersifat merusak.
Plato sangat kritis terhadap Demokrasi karena kekalahan Athena dalam perang Peloponesos pada 405 SM. Bagi Plato, kekalahan Athena itu akibat dari ketidak-mampuan sistem pemerintahan Demokratis untuk memenuhi kebutuhan rakyat di bidang politik, moral, dan spiritual.
Kekalahan Athena merangsang Plato menempuh karir politik apalagi ketika terbentuk “oligarki-aristokrasi” semangat Plato terjun ke dunia politik semakin besar ketika kelompok tiga puluh tyrannoi yang salah satunya adalah paman dan sepupu Plato yang menjadi diktator kejam dan jahat, bahkan Socrates guru yang amat dicintai, dikagumi, dan dihormati Plato hendak diperalat bahkan terancam hukuman mati karena Socrates menolak tawaran kelompok tersebut untuk menangkap dan membunuh seseorang yang tidak bersalah.
Kelompok tiga puluh tyrrannoi hanya berkuasa delapan bulan, karena disingkirkan oleh pemerintah demokrasi Athena. Pemulihan pemerintahan demokratis tersebut memberikan harapan baru kepada Plato dan Socrates gurunya, akan tetapi harapan Plato kandas ketika Socrates dihukum mati oleh pemerintahan demokratis dengan tuduhan sebagai seorang penjahat, yang merusak kaum muda dan tidak mempercayai dewa yang diimani di negara, malahan lebih percaya kerohanian yang baru.
Akibat kematian Socrates, ambisi Plato masuk ke dunia politik kandas. Plato mengambil kesimpulan bahwa sistem pemeritah pada masa itu sangat buruk dan moralitas penguasa amat bobrok, pemerintah akan menjadi baik dan mendatangkan kebahagiaan apabila kekuasaan dalam negara dipimpin oleh seorang filsuf. Ide “filsuf raja” itulah yang begitu mempengaruhi pemikiran Plato dalam Republic.
Percaya atau tidak percaya, suka atau tidak suka, faktanya Amerika Serikat menjadi negara dengan jumlah penderita pasien terjangkit Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) tertinggi di dunia adalah berkat demokrasi yang dibangga-banggakan oleh rakyatnya (dimana rakyatnya menjadi “sulit diatur” serta tidak kooperatif), dimana kebebasan menjadi hukum tertinggi, termasuk bebas untuk tidak dikekang oleh semacam “lock down” ataupun yang lebih longgar seperti “pembatasan sosial berskala besar”. Sebaliknya, negara-negara yang mengusung konsep “k0munistik” seperti Vietnam dan China, berhasil mengendalikan menekan laju warga yang terjangkit COVID-19 lewat pemberlakuan kebijakan “lock down” murni yang tegas dan efektif karena warganya wajib patuh, suka ataupun tidak suka. Karena memang, watak tipikal “lock down” adalah ciri khas pemerintahan “k0munistik” (pengekangan), bukan tipe tipikal pemerintahan demokratis (kebebasan, liberalistik).
Menjadikan agama sebagai supremasi negara, maka “agama manakah bagi umat manakah”? Itu adalah salah satu sudut ekstrim, dimana sudut ekstrim lainnya ialah demokrasi, dimana keduanya memiliki cacat falsafah, yakni : akan banyak orang-orang tidak bersalah akan terbunuh. Apa yang menjadi “cacat bawaan lahir”, tidak akan dapat diperbaiki seperti apapun konsep tersebut diperbaharui dan direvisi, dimana itulah tepatnya kodrat dari sistem demokrasi. Menjadi menarik ketika kita menyimak ulasan dalam “Kritik terhadap demokrasi”, 7 April 2014 08:18 Reporter : Faisal Assegaf, https:// www. merdeka .com/khas/kritik-terhadap-demokrasi-islam-dan-demokrasi-3.html, diakses pada tanggal 13 Juli 2020:
Dalam teori, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil mereka pilih melalui sistem pemilihan bebas.
Mendiang Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln menyatakan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi sejatinya cacat sejak lahir. Bahkan sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai mobocracy atau pemerintahan segerombolan orang. Dia menyebutkan demokrasi sebagai sebuah sistem bobrok karena pemerintahan dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme.
Plato (472-347 SM) mengatakan liberalisasi adalah akar demokrasi sekaligus biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selamanya. Plato dalam bukunya The Republic mengatakan, “Mereka adalah orang-orang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang di dalam sana boleh melakukan apa yang mereka sukai.”
Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan tidak terbatas. Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hati sehingga menimbulkan kekerasan, ketidaktertiban atau kekacauan, tidak bermoral, dan ketidaksopanan.
Menurut Plato, masa itu citra negara benar-benar rusak akibat penguasa korup. Karena demokrasi terlalu mendewakan kebebasan individu berlebihan sehingga membawa bencana bagi negara, yakni anarki memunculkan tirani.
Dalam Encyclopedia Britannica, Socrates menyebut dalam demokrasi banyak orang tidak senang jika pendapat mereka disanggah sehingga mereka membalas dengan kekerasan. “Orang baik berjuang untuk keadilan dalam sistem demokrasi, akan terbunuh,” katanya.
Demokrasi bahkan akan membiarkan rakyatnya mematikan dan memusnahkan dirinya sendiri, dengan alasan : bebas sebebas-bebasnya, termasuk bebas untuk menyakiti diri sendiri—sekalipun “getah”-nya tidak jarang turut merugikan orang lain. Ada harga yang harus kita bayarkan dengan sangat mahal, untuk sebuah “mainan politik” bernama demokrasi yang sejatinya hanya menguntungkan pemilik Partai Politik dan segelintir elite politik. Menjadi penting pula untuk kita telaah ulasan dalam “Tirani Lahir dari Demokrasi, Apakah Prediksi Mengerikan Plato akan Terjadi?”, Muflika Nur Fuaddah, 17 Maret 2018, https:// intisari. grid .id/read/03113808/tirani-lahir-dari-demokrasi-apakah-prediksi-mengerikan-plato-akan-terjadi?page=all, diakses pada tanggal 13 Juli 2020:
“Bentuk pemerintahan negara ideal yang diidam-idamkan semua individu sudah jelas. Itu adalah bentuk di mana seseorang dapat mengekspresikan kemauannya dengan bebas, selama tidak mengganggu hak orang lain. Namun, bukankah hal itu mengandung kontradiksi yang nyata? Senyatanya, pemerintahan tiran yang justru lahir dari kebebasan demokrasi.
Dilansir dari Ancient Origins.net, Plato pernah meramalkan bahwa semua pemerintahan demokratis pasti akan menimbulkan kekacauan dan anarki. Plato menyimpulkan bahwa satu-satunya hasil logis dari demokrasi adalah tirani.
Plato dalam bukunya ‘Republic’, mengawali dengan bentuk negara timokrasi. Sistem timokrasi menekankan kehormatan dan kekuatan militer seperti yang digunakan orang-orang Spartan selama berabad-abad. Berikurnya adalah oligarki, di mana para pemimpin bertujuan memperoleh kekayaan sebanyak mungkin.
Pemerintahan oligarki menimbulkan kesenjangan orang kaya yang yang miskin dan tak terelakkan akan menyebabkan ketidakpercayaan, ketegangan, dan pemberontakan. Orang miskin akan sangat membenci orang kaya sehingga revolusi akan membersihkan sistem oligarki dan menggantinya dengan demokrasi.
Demokrasi memegang prinsip kebebasan yang mengarah pada keragaman yang berlimpah. Bila setiap orang berhak meengontrol hidupnya sendiri, pastilah mereka akan mulai berpikir dan bertindak secara mandiri. Pada awalnya, demokrasi mungkin saja menjadi negara yang ideal.
Bahkan guru Plato, Socrates, dalam Republic mengungkapkan indahnya demokrasi: “Ini, tampaknya merupakan negara yang paling adil, seperti jubah bordir yang dilipat dengan segala jenis bunga.” Namun tak berhenti disitu, Socrates melanjutkan bahwa dengan kita diberi kebebasan dalam demokrasi, kita akan mabuk karenanya.
Kita menjadi sangat prihatin dengan kebebasan kita dan berusaha mundur untuk membatasinya. Sejak awal, para pemimpin demokratis akan berusaha tetap populer dengan warga biasa. Mereka akan merebut hati rakyat dengan selalu membela rakyat, namun ketika semua tokoh melakukan hal sama, makan hal itu akan nampak biasa dan tak lagi populer. Maka rencananya akan diubah dengan menegakkan peraturan dengan tegas dan kaku.
Pemimpin akan membebani warga negara secara berlebihan, sehingga mereka harus terus-menerus menjaga harta benda milik mereka. Selanjutnya pemimpin akan terlibat dalam perang asing, menciptakan musuh dari tetangga. Setiap warga yang mengkritik ini akan diberi label sebagai simpatisan musuh yang tidak patriotik.
Dan dalam langkah ini pemimpinnya benar-benar seorang tiran, dia mengabaikan kebutuhan rakyat untuk mempertahankan posisinya. Begitulah ramalan Plato bagaimana demokrasi melahirkan tirani, bagaimana kebebasan kita hanya membawa ke perbudakan.
Masih kita ingat pemilihan umum presiden Republik Indonesia, dalam dua jilid pertarungan antara Joko Widodo Vs. Prabowo Subianto, berakhir pada konflik antar pendukung hingga gugatan ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI sebanyak dua jilid pula, namun segala konflik “berdarah-darah” demikian berakhir secara antiklimaks berupa “bagi-bagi kekuasaan” antara Joko Widodo sebagai Presiden dan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan.
Jika memang akan bermuara pada demikian adanya, maka mengapa tidak dari sejak awal kedua calon Kepala Negara yang mengaku-ngaku sebagai Negarawan ini duduk saja di warung kopi, lalu berbincang-bincang perihal “bagi-bagi kekuasaan”, daripada harus memboroskan uang rakyat untuk demokrasi yang mahal ini, lengkap dengan segala bentrokan berdarah-darah yang demikian vulgar dan dipertontonkan disamping membuang-buang waktu rakyat seolah-olah hiburan yang layak ditampilkan? Namun, harga kopi di warung kopi yang diminum oleh kedua calon Presiden RI tersebut, ternyata harus dibayar oleh segenap rakyat, dengan harga yang sangat-amat mahal, untuk sebuah “show” panggung sandiwara politik, dimana rakyat hanya merasa terhibur disaat kedua calon berdebat dan disiarkan.
Ramalan dari penulis, selama rakyat kita masih “bodoh”, korup, gemar berkolusi, tidak malu berbuat kejahatan, tidak takut berbuat ilegal, maka selamanya demokrasi yang kita terapkan akan menjadi momok bahkan “mimpi buruk” yang kian mendegradasi sendi-sendi paling esensial dari kehidupan berbangsa, yakni : kepedulian rakyat kepada sesama rakyat, kepedulian rakyat kepada pemimpin mereka, serta sebaliknya kepedulian pemimpin mereka kepada rakyatnya tanpa terkecuali.
Apakah bangsa kita telah siap untuk ber-demokrasi? Dalam ramalan penulis, Bangsa Indonesia belum cukup siap untuk menerapkan demokrasi dalam dua generasi kedepan. Meski demikian, hendaknya kita tidak terperosok “keluar dari mulut buaya namun memasuki mulut harimau” bernama kepemimpinan berdasarkan satu agama tertentu ditengah-tengah kemajemukan bangsa. Sistem paling ideal, ialah “jalan tengah”, dalam artian demokrasi tidak “keblablasan”, hapus DPRD dan Kepala Daerah cukup ditunjuk oleh Gubernur. Selebihnya, jangan meminta terlampau banyak lagi, agar tidak terjebak dalam sudut ekstrim yang akan sama merusaknya dengan sistem pemerintahan berdasarkan satu agama tertentu.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.