Cessie / Subrogasi adalah ILEGAL, Bertentangan dengan Asas : Perjanjian Hanya Mengikat Pihak yang Saling Mengikatkan Diri

LEGAL OPINION
Moral Hazard Dibalik CESSIE dan SUBROGASI, Telaah Perspektif dan Psikologi Hukum Debitor atas Pengalihan Piutang oleh Kreditornya
Question: Sebetulnya apa benar, suatu kreditor boleh mengalihkan piutangnya serta agunan milik debitor, kepada pihak lain (“Kreditor Baru”) tanpa seizin maupun tanpa persetujuan debitor ataupun pihak pemilik jaminan? Saya meminjam hutang kepada Bank A, karena saya memilih bank itu mengingat reputasinya selama ini baik, tidak pakai debt collector yang kasar ketika menagih, dan tidak “menggelapkan” agunan dengan cara dijual lelang yang murah lalu dibeli oleh afiliasi orang-orang dalam bank sebagaimana bank-bank lainnya.
Lalu, bila hak tagih ini bisa begitu saja dengan begitu mudahnya dijual atau dilimpahkan kepada pihak lain, dimana bentuk perlindungan hukumnya oleh negara bagi debitur? Mengapa juga saya musti membayar kepada orang-orang asing yang tidak pernah saya kenal sebelumnya, hanya karena mereka mengaku-ngaku sebagai telah membeli cessie?
Mengapa tiba-tiba datang seseorang yang menyerupai mafia, menagih dengan cara-cara tidak etis dengan mengaku-ngaku sebagai pembeli cessie, dan mengancam akan menjual (lelang eksekusi) tanah dan rumah (agunan) saya? Bisa saja, yang mengaku-ngaku itu adalah penipu, atau bahkan untuk bisa mencicil tagihan saja saya tidak pernah tahu dimana kantor itu si pembeli cessie, lalu total tagihannya tidak akuntabel karena pastilah ia tidak diawasi otoritas keuangan (pemerintah), sehingga bisa saja si pembeli cessie ini kemudian membuat penilaian dan klaim sepihak atas total tunggakan hutang saya yang menurutnya telah berkali-kali lipat dari total tunggakan semula.
Jika saya selaku debitor, pada mulanya memilih untuk meminjam hutang pada Bank A, mengapa kemudian yang merasa berhak menagih dan menjual (lelang) tanah milik saya, adalah seseorang yang menyerupai preman-mafia? Jika begitu, semua orang bisa saja mengaku-ngaku sebagai pembeli cessie, lalu menghilang begitu saja sehingga debitor tidak bisa mencicil sehingga total hutang menjadi menggelembung (membengkak), atau bahkan klaim total hutang dibuat seenaknya karena pembeli cessie yang menyerupai preman-mafia itu tidak diawasi oleh otoritas keuangan sementara bank diawasi otoritas dan tunduk pada Undang-Undang Perbankan.
Brief Answer: Pada prinsipnya, bila hak tagih murni tanpa suatu komponen tambahan seperti agunan, bunga, dan segala perikatan layaknya hutang-piutang, semisal cek ataupun bilyet giro dengan kriteria “atas unjuk”, maka hak tagih demikian dapat dialihkan lewat mekanisme endosement (endorsement) dari “Kreditor Lama” kepada “Kreditor Baru”. Namun, perihal peralihan hutang-piutang yang disertai perikatan selayaknya perjanjian kredit disertai agunan pengikutnya, maka peralihan hutang yang “tidak sederhana” demikian terbentur keberlakuan norma Pasal 1338 KUHPerdata mengatur: “Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.” Konsekuensi yuridis pengaturan norma Pasal 1338 KUHPerdata di atas, perjanjian cessie tanpa melibatkan persetujuan pihak debitor, menjadi tidak mengikat serta tiada memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap debitor maupun terhadap pemilik agunan.
Perlu kita ketahui, baik “Cessie” maupun “Subrogasi” diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang mana KUHPerdata dibentuk jauh sebelum dikenalnya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan maupun Fidusia. KUHPerdata hanya mengenal istilah “Hipotik”, dimana Hipotik tidak memiliki keistimewaan sebagaimana Hak Tanggungan maupun Fidusia berupa “parate eksekusi”, namun hanya dapat melalui “fiat eksekusi”. Karenanya, dapat pula kita tarik kesimpulan yuridis tidak terbantahkan, agunan yang piutangnya dialihkan lewat mekanisme Cessie maupun Subrogasi, tidak dapat di-lelang eksekusi via “parate eksekusi”, apapun alasannya.
Karenanya, tidak dapat secara serta-merta atas fasilitas kredit yang disertai ikatan ikutannya berupa agunan tanah (Hak Tanggungan) ataupun jaminan berupa benda bergerak lainnya (Fidusia) menjadikan pasal-pasal dalam KUHPerdata sebagai dalil guna pembenaran diri praktik peralihan piutang yang “tidak sederhana” demikian.
Dengan kata lain, “Cessie” maupun “Subrogasi” hanya dapat dilakukan terhadap peristiwa beralihnya piutang yang bersifat sederhana, tanpa adanya suatu perikatan tambahan berupa bunga, denda, pinalti, dsb, ataupun diperkeruh oleh suatu agunan berupa Hak Tanggungan maupun Fidusia yang memiliki keistimewaan “parate eksekusi”.
Betul bahwa secara analogi pihak pembeli piutang dapat mendalilkan kewenangan dirinya untuk mengambil-alih serta objek agunan sebagai jaminan pelunasan piutang yang dibeli olehnya, berdasarkan norma Pasal 1533 KUHPerdata, yang mengatakan, bahwa: “Penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat padanya, seperti penanggungan-penanggungan (borgtochten), hak istimewa dan hipotek-hipotek.”—kaedah mana berlaku bila atau sepanjang konteksnya ialah adanya persetujuan dari pihak Debitor atas peristiwa peralihan piutang demikian (perhatikan bahwa Pasal 1533 KUHPerdata secara sistematis dan logis perlu dibaca terlebih dahulu ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, yang mana artinya Pasal 1533 KUHPerdata TIDAK BERDIRI SENDIRI KARENA PERLU DIBACA SATU-KESATUAN DENGAN PASAL 1338 KUHPerdata), sehingga Akta Cessie setidaknya berisi Tripartit (“Kreditur Semula”, “Kreditor Pembeli Piutang”, dan pihak “Debitor”), bukan Bipartrit antara kedua pihak “Kreditor” semata.
Karenanya, hanya ketentuan Pasal 1401 Ayat ke-2 KUHPerdata yang memenuhi norma imperatif Pasal 1338 KUHPerdata, yakni: “Perpindahan ini terjadi karena persetujuan : 1.) ...; 2.) bila debitur meminjam sejumlah uang untuk melunasi utangnya, dan menetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang itu akan mengambil-alih hak-hak kreditur; agar subrogasi ini sah, baik perjanjian pinjam uang maupun tanda pelunasan, harus dibuat dengan akta otentik, dan dalam surat perjanjian pinjam uangnya harus diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi utang tersebut; sedangkan dalam surat tanda pelunasan harus diterangkan bahwa pembayaran dilakukan dengan uang yang dipinjamkan oleh kreditur baru. Subrogasi ini dilaksanakan tanpa bantuan kreditur.”
PEMBAHASAN:
Dalam kacamata Undang-Undang Hak Tanggungan, “Cessie” merupakan perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan kepada pihak lain. Sementara dalam sudut pandang yang bersebelahan, “Subrogasi” merupakan suatu peristiwa hukum penggantian kreditor oleh pihak ketiga yang melunasi utang debitor.
Pasal 613 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi dasar hukum utama suatu perbuatan hukum bernama “Cessie”, tepatnya terdiri dari tiga ayat, yakni: [KUHPerdata versi terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Prof. Subekti]
1.) Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.
2.) Penyerahan yang demikian bagi si berutang (debitor) tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan diakuinya.
3.) Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.
Ketika kita menyimak secara saksama norma Pasal 613 KUHPerdata terutama pada substansi Ayat (2) di atas, menjadi tidak jelas, “siapakah yang memberitahukan?” serta “apakah wajib disetujui debitor?” (sekalipun terdapat tanda koma [,] dalam rumusan pasalnya). Karenanya, Pasal tersebut dapat dimaknai secara multitafsir sebagaimana kemungkinan berikut yang masih simpang-siur serta “debateable”:
1.) diberitahukan terjadinya cessie / peralihan piutang oleh Kreditor Lama kepada sang debitor;
2.) diberitahukan terjadinya cessie / peralihan piutang oleh Kreditor Baru kepada sang debitor;
3.) diberitahukan terjadinya cessie / peralihan piutang oleh Kreditor Lama bersama dengan Kreditor Baru kepada sang debitor; atau
4.) diberitahukan terjadinya cessie / peralihan piutang oleh Jurusita Pengadilan kepada sang debitor.
Model lain dari peralihan piutang selain lewat mekanisme “Cessie”, dapat pula terjadi melalui mekanisme “Subrogasi” yang juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun sekali lagi dan kembali lagi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibentuk saat belum dikenal konsep “badan hukum” seperti Perseroan Terbatas, namun saat itu baru hanya dikenal “badan usaha” seperti firma maupun CV.
Dahulu kala, saat belum dikenalnya lembaga perbankan berbentuk Perseroan Terbatas (“badan hukum”), peralihan piutang dapat terjadi “secara hukum”, semisal sang kreditor perorangan meninggal dunia sehingga hak tagihnya beralih kepada ahli warisnya—dan inilah tepatnya yang menjadi salah satu mekanisme “Subrogasi”. Namun “Subrogasi” secara “demi hukum” demikian sudah tidak lagi relevan dalam konteks debitor dari kreditor berbentuk lembaga keuangan perbankan (“badan hukum” Perseroan Terbatas).
Perihal “SUBROGASI”, dapat kita jumpai pengaturannya dalam Pasal 1400 KUHPerdata:
Subrogasi atau perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur, dapat terjadi karena persetujuan atau karena undang-undang.”
Siapakah yang melakuakn “persetujuan”? Terdapat tiga kemungkinan “persetujuan” atas peristiwa Cessie, yakni “persetujuan antara Kreditor Lama terhadap Kreditor Baru”, “persetujuan antara Kreditor Lama terhadap Debitor”, dan “persetujuan antara Kreditor Baru dan Debitor”. Perhatikan norma Pasal 1401 KUHPerdata berikut, untuk membuat kita paham, manakah kriteria atau jenis Cessie yang memiliki daya ikat terhadap sang Debitor:
“Perpindahan ini terjadi karena persetujuan: 1.) bila kreditur, dengan menerima pembayaran dari pihak ketiga, menetapkan bahwa orang ini akan menggantikannya dalam menggunakan hak-haknya, gugatan-gugatannya, hak-hak istimewa dan hipotek-hipoteknya terhadap debitur. Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan bersamaan dengan waktu pembayaran. 2.) bila debitur meminjam sejumlah uang untuk melunasi utangnya, dan menetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang itu akan mengambil-alih hak-hak kreditur; agar subrogasi ini sah, baik perjanjian pinjam uang maupun tanda pelunasan, harus dibuat dengan akta otentik, dan dalam surat perjanjian pinjam uangnya harus diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi utang tersebut; sedangkan dalam surat tanda pelunasan harus diterangkan bahwa pembayaran dilakukan dengan uang yang dipinjamkan oleh kreditur baru. Subrogasi ini dilaksanakan tanpa bantuan kreditur.”
Dari ketentuan di atas, disimpulkan bahwa khusus untuk subrogasi wajib dilakukan dengan akta otentik (notaris) barulah peralihan piutang menjadi sah. Mekanisme “take over” terjadi ketika pihak Kreditor Baru meminjamkan dana pada pihak Debitor untuk melunasi hutang-nya (sang Debitor) pada Kreditor Lama, sebagaimana diuraikan pada butir ke-2 ketentuan di atas, barulah Cessie membawa akibat hukum kepada sang Debitor, oleh sebab sang Debitor bukan lagi sebagai “pihak ketiga”. Namun, khusus untuk butir ke-1 pasal di atas, tidak membawa konsekuensi yuridis terhadap pihak Debitor karena merupakan “pihak ketiga” yang tidak terlibat dalam persetujuan.
Tanpa adanya “persetujuan dari pihak Debitor”, jauh lebih melanggar Pasal 1338 KUHPerdata, sebagaimana pengaturan rancu ketentuan dalam Pasal 1402 KUHPerdata:
Subrogasi terjadi karena undang-undang: 1.) untuk seorang kreditur yang melunasi utang seorang debitur kepada seorang kreditur lain, yang berdasarkan hak istimewa atau hipoteknya mempunyai suatu hak yang lebih tinggi daripada kreditur tersebut pertama; 2.) untuk seorang pembeli suatu barang tak bergerak, yang memakai uang harga barang tersebut untuk melunasi para kreditur, kepada siapa barang itu diperikatkan dalam hipotek; 3.) untuk seseorang yang terikat untuk melunasi suatu utang bersama-sama dengan orang lain, atau untuk orang lain, dan berkepentingan untuk membayar utang itu; 4.) untuk seorang ahli waris yang telah membayar utang-utang warisan dengan uangnya sendiri, sedang ia menerima warisan itu dengan hak istimewa untuk mengadakan pencatatan tentang keadaan harta peninggalan.”
Pasal 1403 KUHPerdata:
“Subrogasi yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang lalu terjadi, baik terhadap orang-orang penanggung utang maupun terhadap para debitur; subrogasi tersebut tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur jika ia hanya menerima pembayaran sebagian; dalam hal ini, ia dapat melaksanakan hak-haknya, mengenai apa yang masih harus dibayar kepadanya, lebih dahulu daripada orang yang memberinya suatu pembayaran sebagian.”
Puncaknya, terkait ikatan turunan perjanjian hutang-piutang berupa agunan sebagai jaminan pelunasan piutang, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UU HT):
Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.”
Pasal 16 UU HT:
(1) Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru.
(2) Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan.
(3) Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku tanah Hak Tanggungan dan buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat Hak Tanggungan dan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
(4) Tanggal pencatatan pada buku tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
(5) Beralihnya Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari tanggal pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Tanggapan SHIETRA & PARTNERS atas norma dalam ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan : Sekalipun demikian, syarat formal atau syarat sahnya peralihan piutang tidak terlepas pada keberlakuan norma imperatif dalam KUHPerdata, sehingga tidak semata pengaturannya terdapat dalam UU HT. Karenanya, secara sistematis pengaturan dalam UU HT perlu dibaca dalam satu kesatuan rangkaian bersama pengaturan dalam KUHPerdata terutama Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata, yakni : PERSETUJUAN DARI PIHAK DEBITOR ITU SENDIRI. Adalah tidak logis serta tidak dapat dibenarkan oleh hukum, pihak lain yang bersepakat, namun isi kesepakatan justru mengikat pihak ketiga yang tidak pernah memberikan persetujuan.
KESIMPULAN SHIETRA & PARTNERS : Hak atas piutang dianggap telah berpindah pada waktu Akta Cessie itu dibuat (secara internal semata, antara “Kreditor Asal” dan “Kreditor Baru”); jadi tidak pada waktu akta itu diberitahukan pada si berutang. Agar Akta Cessie menjadi memiliki daya ikat pula terhadap pihak Debitor, maka perlu diberlakukan norma Pasal 1338 KUHPerdata, yakni bukan hanya memberitahukan perihal terjadinya peralihan piutang, namun juga menyertakan pihak Debitor saat para Kreditor menanda-tangani Akta Cessie atau dimintakan persetujuannya pula pada saat itu juga atau pada saat setelah itu (post factum).
Adalah tiada manfaatnya, membentuk Akta Cessie atau membeli “Cessie”, namun bila tidak dapat mengikat pihak Debitor ataupun pihak pemilik jaminan objek agunan. Tiada gunanya pula Akta Cessie dinyatakan sah, bila tiada agunan yang dapat sewaktu-waktu dieksekusi ketika sang Debitor cidera janji untuk melunasi hutang-hutangnya, semata karena sang Debitor tidak mengetahui serta tidak memberikan persetujuan atas peralihan piutang demikian.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.