Mengapa Negara Singapura Diminati Investor Indonesia dan Asing? Benarkah Singapura Seindah itu, dan Indonesia Sejelek ini?

ARTIKEL HUKUM
Mungkin judul artikel ini perlu kita revisi, menjadi “mengapa Negara Singapura TERPAKSA diminati investor”, dan itulah tepatnya yang akan kita kupas bersama. Latar belakang mengapa artikel ini penulis susun secara khusus untuk kita ulas bersama, karena baru-baru ini seorang pengacara senior di Indonesia membuat artikel terpublikasi yang mengandung muatan “sponsor” alias “propaganda” secara tidak transparan—karena pastinya sang pengacara senior tahu betul modus “transfer pricing” (profit shifting) yang kerap dipraktikkan pemodal asing.
Sang pengacara, sekalipun berwarga-negara Indonesia, mengklaim bahwa dirinya mengagung-agungkan Singapura sebagai negara dengan tingkat iklim investasi tertinggi di dunia dengan sederet pujian dari kalangan investor global, dan disaat bersamaan sang pengacara mengklaim banyaknya investor lokal di Indonesia lebih “berminat” berinvestasi di Singapura ketimbang membangun industri lokal secara “murni” mengkluster diri semata di Tanah Air, dikarenakan “contract enforcement” yang buruk dalam praktik hukum di peradilan Indonesia yang lemah dari segi penerapan hukum maupun eksekusinya—yang menurut sang pengacara, “wajah buruk” praktik hukum di Indonesia demikian telah tercipta sejak dirinya masih duduk di bangku kuliah pada era 1980-an.
Apa yang dituliskan oleh sang pengacara “kondang” pemilik firma hukum terbesar di Indonesia tersebut, adalah mengandung muatan “ketidak-jujuran” serta melanggar kaedah etika karya tulis terpublikasi. Pertama, dirinya sama sekali tidak menyinggung fakta terpenting bagi para audiens dan pembacanya, meski sejatinya sudah menjadi “rahasia umum”, bahwa Singapura merupakan negara “surga pajak” (hax haven country), alias tempat berkumpulnya para pencari “suaka pajak”.
Logika sederhana anak “kuliahan”, untuk apa juga investor asing membayar mahal untuk urusan pajak di Indonesia ketika menanamkan modalnya kepada bisnis “start up” maupun yang telah “well established” di Indonesia, jika bisa tidak membayar pajak sama sekali di negara-negara “tax haven”? Investor adalah pebisnis, tentu tiada pebisnis yang ingin merugi (bagi kalangan pengusaha, jika hanya “untung” meski sejatinya bisa “untung besar”, itu artinya adalah sebentuk “kerugian”). Prinsipnya sangat sederhana, liability (salah satunya berupa beban pajak) seminim mungkin sementara keuntungan seoptimal mungkin. Perihal “etika bisnis”, menjadi urusan “kesekian”, jika perlu tidak pernah disinggung.
Kedua, penegakan hukum oleh otoritas Singapura di wilayah yurisdiksi negaranya, memang sangat tegas dan dikenal penuh konsistensi. Namun, klaim demikian ialah desus-politis yang “tidak berimbang”, oleh sebab ternyata pemerintah Singapura dikenal sangat “toleran” dan memberlakukan “kebijakan pintu terbuka lebar-lebar” serta menggelar karpet merah bagi para “pengemplang pajak” dari luar negeri yang hendak memarkir kekayaannya di Singapura.
Dengan cara demikian, Singapura akan padat modal, banjir likuiditas moneter dari luar negeri, dan dengan demikian menjadi pemodal kuat sekalipun hanya memiliki teritori negara yang sangat “imut”. Modal yang kuat, menjadi dasar bagi daya tawar yang tinggi. Dengan demikian, otoritas Singapura menerapkan “standar ganda” perihal etika penegakan hukum. Singapura, senantiasa “tutup mata” bahkan sengaja mengundang pada “mafia pajak” dari negara-negara asing dengan memberikan insentif “tax heaven”, maka tentulah “ada gula, ada semut”.
Ketiga, membuat geliat pariwisata, ekonomi, properti, serta kepopuleran Singapura di mata pebisnis mancanegara kian menggeliat. Para konglomerat yang dapat dipastikan adalah “mafia pengemplang pajak”, akan berbangga diri berlomba-lomba menuju Singapura untuk melarikan kekayaannya agar tersembunyi dari otoritas pengawas dan penyidik pajak di negara asal para konglomerat.
Pada gilirannya, berbagai hotel bintang lima, pusat hiburan berskala mancanegara dan belanja, kas!no yang menjamur dan tidak sepi pengunjung yang ingin sekadar “membakar uang”, real estate yang berkembang pesat dibeli oleh para konglomerasi yang kelebihan dana, perkantoran yang padat dan selalu sibuk menampung arus dana asing yang parkir, dan yang terpenting, ialah aliran masuk dana segar asing untuk kemudian diparkir di Singapura, adalah “tabungan” kas raksasa yang siap untuk di-reinvestasikan ke negara-negara ketiga lainnya oleh kalangan manajer keuangan di Singapura, dengan imbal hasil bunga-berbunga, meraup kekayaan dengan cara memiskinkan ekonomi negara asal arus dana “kotor”.
Berangkat dari fakta-fakta empirik demikian yang tidak satu pun disinggung oleh sang pengacara senior dalam tulisannya yang menguraikan panjang-lebar betapa “buruk”-nya wajah Indonesia di mata investor asing akibat “contract enforcement” yang seolah penuh ketidak-pastian di Indonesia, dan disaat bersamaan mengagung-agungkan Singapura seolah “surga” dunia, menjadi tidak mengherankan bila kalangan pemodal asing hanya berminat menanamkan modal “equity funding” bagi pengusaha-pengusaha di Indonesia yang padat modal, dengan satu syarat utama, yakni : Membuat induk usaha (holding company) di Singapura sekalipun operasional user dana modal demikian perusahaannya berada di Indonesia.
Sudah sangat jelas tendensinya, dimana kemudian induk usaha yang didirikan di Singapura oleh sang pengusaha dari Indonesia dengan modal sang investor asing tersebut kemudian seolah-olah sebagai Penanam Modal Asing (PMA) yang sedang membeli saham pada perusahaan di Indonesia, sekalipun sejatinya pendiri atau pemilik induk dan anak usaha tersebut adalah pihak yang sama, semata mekanisme demikian menjadi instrumen atau alat (special purpose vehicle) untuk melakukan praktik “profit shifting” alias “transfer pricing” dengan tujuan agar perusahaan di Indonesia melaporkan telah mencetak “kerugian usaha” (by design) dimana kekayaan ekonomi dan sumber daya di Indonesia dihisap habis dan dialihkan ke Singapura.
Tiada investor asing yang murni “business to business” menanamkan modalnya kepada perusahaan di Singapura yang didirikan pengusaha Indonesia tersebut, karena resikonya sangat tinggi dari segi eksekusi putusan bila terjadi sengketa, mengingat kekayaan serta aset hanya dimiliki perusahaan di Indonesia, sementara sejatinya sang “induk usaha” di Singapura hanyalah semata “perusahaan cangkang” yang kosong dari segi aset maupun kekayaan. Sehingga, bila sekalipun “contract enforcement” di Singapura memang terbukti gemilang, pertanyaannya ialah : Apakah dan adakah aset yang dapat dieksekusi dari “perusahaan cangkang” demikian di Singapura?
Adapun yang sejatinya terjadi di balik layar ialah, sang investor asing MENGAKUISI “perusahaan cangkang” tersebut di Singapura, dengan menyetorkan modal menjelma pemegang saham mayoritas pengendali di Singapura—sehingga “sama artinya bohong”. Akan lebih sederhana proses alurnya, bila sang investor asing yang mendirikan sendiri perusahaan di Singapura, untuk kemudian menjadi pemodal bagi perusahaan si Indonesia, sehingga pemodal asing yang akan tercatat otoritas di Indonesia, ialah sang “holding company” di Singapura. Sepanjang “end user” pengguna modal asing demikian ialah perusahaan di Indonesia, maka pangkal muaranya tetap saja “contract enforcement” di Indonesia, dengan ataupun tanpa “holding company”.
Berbicara perihal modus praktik “transfer pricing” yang selalu dilancarkan oleh setiap PT. PMA mana pun di Tanah Air (penulis secara eksplisit menegaskan, bahwa setiap perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas hasil permodalan pihak Penanam Modal Asing, murni melakukan praktik “transfer pricing” sebagai sumber utama profit bisnisnya), maka kita akan menyinggung perihal “shell company” alias “perusahaan cangkang”, offshore.
Sekalipun ber-“label” perusahaan induk-nya yang berada di Singapura, sejatinya “holding company” tersebut adalah semata “special purpose vehicle” alias “shell company” itu sendiri, yang semata tidak memiliki kegiatan ataupun tujuan selain semata didudukkan sebagai pemegang saham, dan yang bisa juga diperuntukkan untuk menampung dana hasil “transfer pricing”. Di mata pihak luar, maupun kita sebagai pihak ketiga, tampak seolah anak usaha yang diberikan suntikan modal adalah “anak usaha”, meski sejatinya antara induk dan anak usahanya tersebut adalah “sister company” karena sejatinya dikomandoi serta di-awaki atau di-otaki oleh orang-orang yang sama di balik layar.
Sejatinya, secara kalkulasi bisnis, sekalipun pihak investor asing tidak mensyaratkan pebisnis lokal di Indonesia untuk mendirikan “holding company” di Singapura, akan tetap lebih menggiurkan secara proaktif melakukan “transfer pricing” dengan memanfaatkan fasilitas pendirian “shell company” di Singapura. Semisal, perusahaan di Indonesia memesan bahan baku dari perusahaan induknya di Singapura, sementara perusahaan induknya tersebut melakukan tender pengadaan barang dari perusahaan lain, dimana profit bisnis dari keseluruhan proses tersebut, hanya menguntungkan perusahaan induknya di Singapura—sekalipun sejatinya perusahaan di Indonesia dapat melakukan tender pengadaan barang sendiri karena memang dikepalai oleh pengusaha yang sama. Perihal isu (rumor) investor asing membuat syarat demikian sebagai “deal breaker”, menjadi sama sekali tidak relevan serta patut diragukan relevansinya.
Lantas, apa yang dapat kita baca dari sinyalemen sang pengacara senior dengan membuat tulisan penuh “propaganda” ketidak-jujuran demikian, melecehkan reputasi Indonesia di mata bangsa dan rakyatnya sendiri, dan sebaliknya memberikan kredibilitas dan sponsor terselubung bagi sang negara “Surga Pajak” yang selama ini telah merugikan Negara Indonesia karena kehilangan potensi pajak mencapai triliunan Rupiah tiap tahunnya?
Terdapat “hidden agenda” yang dapat penulis baca dari tulisan sang pengacara “kondang” tersebut. Bila Indonesia memang seburuk itu citra-nya di mata pemodal asing, mengapa pemodal asing tersebut masih tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia? Justru, Indonesia sangat “seksi”, karena pejabatnya mudah di-“suap” sehingga apapun menjadi legal dari yang sebelumnya dilarang oleh hukum—sehingga menjadi insentif itu sendiri bagi kalangan pemodal dan pengusaha yang hendak “menghalalkan segala cara demi berbisnis”.
Sinyalemen pertama, yang pengacara “beken” tampaknya sedang berupaya memancing di air keruh dengan menumbuhkan citra negatif (black campaign) di mata kalangan pengusaha muda maupun pebisnis lokal di Indonesia terhadap negaranya sendiri, dan mulai berminat untuk “melirik” Singapura dengan panduan jasa hukum sang pengacara senior yang notabene memiliki Kantor Hukum bagi pengguna jasa korporasi di Indonesia, untuk melarikan harta kekayaan hasil usahanya ke luar negeri yang tergolong “tax heaven”.
Sinyalemen kedua, sang pengacara senior tersebut hendak menghancurkan negeri tempat ia lahir, bertumbuh, dan dibesarkan, lewat aksi modus “transfer pricing” yang tidak terbendung menghisap habis kekayaan sumber daya dan ekonomi di Tanah Air untuk dilarikan ke luar negeri, semata demi tujuan pragmatis kepentingan sang pengacara, yakni tarif jasa hukum korporasi yang dibayarkan oleh pengguna jasa hukum yang ditawarkan oleh Kantor Hukumnya yang tampaknya selama ini besar berkat memandu klien-klien “nakal” pengemplang pajak.
Sinyalemen ketiga, “menjelek-jelekkan” penegakan hukum di Indonesia yang dinilai tidak mudah dari segi perizinan hingga maraknya praktik korup-kolusi di ruang peradilan hingga kriminaliasi kalangan pengusaha, sekalipun sejatinya pencitraan negatif demikian ialah tidak beralasan—dan ironisnya, disaat bersamaan mengagung-agungkan Singapura yang ber-“standar ganda”. Sudah menjadi kelaziman, setiap investor asing mengikat pihak perusahaan di Indonesia tempatnya menanam modal, dengan kontrak yang mengandung “choise of forum” berupa lembaga Arbitrase di Singapura.
Sehingga, alasan lemahnya “contract enforcement” di Indonesia, tidak lagi memiliki relevansi. Tetap saja, sekalipun dibentuk “holding company” di Singapura, namun ketika ternyata perusahaan penerima suntikan modal di Indonesia “membangkang”, perihal eksekusi putusan tetap menjadi domain yurisdiksi peradilan di Indonesia (eksekuator) sebab bagaimana pun aset yang dapat dieksekusi ialah berada di teritori yurisdiksi di Indonesia. Sebagai kesimpulan : isu lemahnya “contract enforcement” di Indonesia, adalah rumor yang sengaja dihembuskan guna “mengalihkan isu” dari fakta yang utama, yakni Singapura adalah negara “surga pajak” yang paling dekat dengan letak geografis negara Indonesia.
Apapun bidang usaha perusahaan lokal di Indonesia yang disuntikkan modal oleh sang investor asing, selalu dapat disusupi praktik dan modus “transfer pricing”. Bila usaha bergerak dibidang teknologi komputerisasi (IT based business), maka sang “holding company” dapat menciptakan dan mendirikan berbagai “sister company” lainnya untuk memasok “bahan baku” kegiatan usaha anak usahanya di Indonesia, semisal perusahaan di Indonesia tersebut melaporkan dalam laporan keuangannya telah merugi akibat sejumlah dana sewa server kepada perusahaan yang berbasis di Singapura atau di Hong Kong (yang juga negara dengan surga pajak).
Penulis dapat menyebutkan praktik semacam ini adalah real empirik realita di lapangan, salah satunya dipraktikkan oleh perusahaan PT. PMA di Indonesia bernama JobsDB yang bermarkas di Hong Kong (dan satu grub usaha dengan Jobstreet), sebagaimana dalam suatu kesempatan telah secara langsung penulis bongkar modus “transfer pricing” yang dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa lowongan pekerjaan via online tersebut. Melaporkan mencetak kerugian sepanjang tahun berdirinya di Indonesia, sekalipun sejatinya mencetak profit margin usaha miliaran Rupiah setiap tahunnya dari kegiatan usahanya di Indonesia, yang setiap tahunnya pula dilarikan ke negara asing yang tergolong “surga pajak”.
Itulah sebabnya, menjadi dapat kita jelaskan, mengapa kurs Rupiah terhadap valuta asing, selalu “kalah pamor”, akibat kekayaan ekonomi rakyat dan Negeri Indonesia terkuras dan terhisap hingga “kering” dibawa kabur oleh praktik-praktik semacam “transfer pricing” yang memiskinkan rakyat Indonesia akibat potensi pajak menjadi menguap tanpa bekas serta tidak tersentuh oleh hukum. Bila tiada kontribusi “pahlawan devisa” bernama Tenaga Kerja Indonesia yang merepatriasi sejumlah dana asing dari luar negeri untuk dibawa pulang dan dikonversi menjadi Rupiah ke dalam negeri, maka percayalah, anjloknya Rupiah menjadi konsekuensi logis yang logis dan tidak lagi terhindarkan. Kebijakan moneter kita bukan diemban oleh Bank Indonesia selaku bank sentral Indonesia, namun oleh “pahlawan devisa” kita yang bertaruh nasib bekerja ke luar negeri.
Terkadang, dalam beberapa sisi sudut pandang, “transfer pricing” merupakan instrumen yang legal—yang disisi lain kontarproduktif terhadap undangan terbuka pemerintah kita dilengkapi “karpet merah” bernama “obral perizinan dan insentif” terhadap berbagai investor asing untuk masuk dan membenamkan kakinya dalam-dalam untuk menghisap kekayaan Bumi Pertiwi, hingga cengkeramannya bahkan mampu menggoncang kursi seorang Kepala Negara di republik ini lewat lobi-lobi “bisnis berbau politik”.
Demikian ulasan ini penulis uraikan secara gamblang, utuh, lugas, transparan, akuntabel, sebagai “kontra narasi” terhadap apa yang telah dilontarkan serta diwacanakan oleh sang pengacara senior. Besar harapan penulis agar pemangku kebijakan maupun para pebisnis di Tanah Air tidak tergiur oleh harapan-harapan “semu” praktik “berbondong-bondong” menjadi pengusaha multinasional “karbitan” dengan membuka “holding company” di negara-negara “tax heaven”, dengan tujuan melarikan kekayaan hasil usaha guna menghindari beban pajak di Indonesia, serta bagi otoritas pajak di Indonesia mulai lebih gencar menyasar korporasi-korporasi PMA ketimbang wajib pajak orang pribadi yang tidak se-multinasional kalangan pemodal berbagai PT. PMA.
Sekalipun seorang wajib pajak orang pribadi memang kerap “mengemplang pajak”, setidaknya kekayaan ekonominya masih di dalam lingkup teritori Indonesia, aset properti yang dibeli olehnya masih dalam lingkup Indonesia, tabungan yang dimiliki olehnya dapat diputar oleh perbankan nasional guna membangun perekonomian di Indonesia sebagai sebuah “gross domestic brutto”. Bandingkan dengan kejahatan dibalik praktik “transfer pricing”, yang terjadi kemudian ialah penghisapan, eksploitasi, kejatuhan Rupiah, dan memiskinkan negeri serta rakyatnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.