Modal Dasar Idealnya Disetor Penuh saat Pendirian Perseroan Terbatas

LEGAL OPINION
Mengenal Peristilahan MODAL DASAR, MODAL DITEMPATKAN, dan MODAL DISETOR
Question: Saat ke notaris hendak mendirikan PT (Perseroan Terbatas), disebutkan bahwa modal dasar pendirian PT tidak harus sudah disetor penuh oleh para pendiri. Kini, dibenak kami para calon pendiri, timbul pertanyaan, idealnya mendirikan PT dengan modal dasar yang besar namun kami cukup menyetor separuhnya saja terlebih dahulu, atau sebaiknya setor (secara) penuh sesuai nominal dalam modal dasar dalam akta pendirian PT meski konsekuensinya modal dasar dalam akta pendirian nantinya akan tampak seolah kecil, bukan sebagai perubahan besar di mata calon investor ataupun perbankan?
Brief Answer: Dari pengalaman terbaik yang sudah-sudah (best practice) guna menghindari sengketa yang “tidak perlu terjadi” ketika Perseroan Terbatas memasuki usia operasional belasan hingga puluhan tahun, demi menghindari kemelut pembuktian yang tidak mudah terkait alat bukti telah “menyetor” modal dasar “yang ditempatkan” secara bertahap dan berangsur-angsur hingga “penuh”, maka idealnya para calon pendiri menyesuaikan besaran “Modal Dasar” dalam draf Akta Pendirian dengan dana tunai maupun nilai inbreng yang dapat seketika itu juga disetorkan oleh para pendiri Perseroan Terbatas, sehingga bukan kemampuan pemodalan para calon pendiri yang menyesuaikan dengan “Modal Dasar”, namun dibalik logika berpikirnya menjadi “Modal Dasar” yang mengikuti kesanggupan pemodalan (dana tunai ataupun inbreng) para pendiri Perseroan Terbatas.
PEMBAHASAN:
Terkadang dan seringkali, para pendiri suatu badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang “Modal Dasar”-nya terbagi atas saham, tidak terpikirkan potensi bibit sengketa ketika Perseroan Terbatas baru berusia “seumur jagung”, dimana dokumentasi alat-alat bukti penyetoran “Modal Dasar” dari masing-masing pendiri dapat didokumentasikan secara lengkap dan rapih dan aman—sampai pada akhirnya terabaikan dan terlupakan. Namun, bagaimana bila ketika Perseroan Terbatas telah memasuki usia belasan hingga puluhan tahun, itulah yang kemudian kerap menjadi potensi bibit sengketa dikemudian hari sebagaimana kerap SHIETRA & PARTNERS jumpai dalam praktik hukum korporasi di Indonesia.
Sebelum kita membahas lebih jauh, perlu dipahami latar-belakang aturan normatif hukum perihal pendirian Perseroan Terbatas di Indonesia (pada saat ulasan ini disusun), yang memungkinkan para pendiri untuk tidak menyetor penuh “Modal Dasar” ketika pertama kali secara perdana mendirikan sebuah badan hukum Perseroan Terbatas. Akibatnya, tidak menjadi jelas, kapankah dan apakah benar para pendiri dikemudian hari pernah dan telah menyetor PENUH “Modal Dasar”?
Dimanakah dan apakah masih eksis alat bukti telah terjadinya setoran secara PENUH demikian terhadap “Modal Dasar”, mengingat tiada akta perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas yang mendokumentasikan perihal telah dan pernah disetorkannya secara penuh “Modal Dasar” oleh masing-masing pendiri, maka apakah artinya tidak pernah ada penyetoran Modal Dasar secara penuh demikian?
Konsekuensi yuridisnya, salah satu atau para pendiri yang sejatinya hanya pernah menyetor separuh dari “Modal Dasar” yang tercantum dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas, sejatinya bukanlah pemegang saham “real”, namun pemegang saham “semu”, terutama ketika para pendiri tidak menyetorkan secara proporsional, dengan ilustrasi sederhana sebagai berikut di bawah ini guna memudahkan pemahaman.
Sebutkanlah Perseroan Terbatas akan didirikan oleh dua orang calon pendiri, yakni “Pendiri Pertama” dan “Pendiri Kedua”. Kedua pendiri, bersepakat untuk terlebih dahulu “menempatkan dan menyetor” besaran nominal “Modal Dasar” ketika pertama kali mendirikan Perseroan Terbatas, ialah hanya sebatas 25% dari “Modal Dasar” dan dicantum demikian dalam Anggaran Dasar Pendirian Perseroan Terbatas. Artinya, “saham real” yang telah diterbitkan Perseroan Terbatas ialah baru sebatas 25% dari “Modal Dasar”, dimana sisanya yakni 75% dari “Modal Dasar” masih berupa “saham portepel” alias saham “mentah” tanpa nama dan tanpa “hak suara” yang belum dimiliki pendiri manapun (sekalipun sejatinya saham tersebut telah “ditempatkan”).
Katakanlah kedua pendiri bersepakat pada mulanya Perseroan Terbatas berdiri dengan “Modal Dasar” Rp. 1.000.000.000 terbagi atas 1.000 saham, sehingga satu lembar saham memiliki nominal Rp. 1.000.000. Anggaran Dasar Pendirian Perseroan Terbatas yang mereka bentuk, disepakati bahwa “Pendiri Pertama” menguasai 60 persen saham Perseroan Terbatas dan “Pendiri Kedua” menguasai 40 persen saham Perseroan Terbatas (inilah yang dimaksud dengan “modal yang ditempatkan”, alias peruntukan bagi pemodal yang dialokasikan menjelma semacam “bilik” hak maksimum yang bersifat tetap bagi masing-masing pemegang saham, dimana dapat dibaca sebagai berikut : “Pihak Pertama” tidak boleh menyetor lebih dari 60% dari “Modal Dasar”, kecuali ada peningkatan “Modal Dasar” dengan konsekuensi perubahan Anggaran Dasar). Namun, sekali lagi yang perlu kita ingatkan, “Modal Dasar” baru “ditempatkan dan disetor” sebatas 25% saat perdana didirikan oleh kedua pendiri.
Sehingga, nilai real penguasaan “saham real” (saham “atas nama”, bukan “saham portepel”) tidak benar-benar mempresentasikan perbandingan 60 : 40, kecuali kedua pihak pendiri secara konsisten tidak saling menambahkan modal yang “ditempatkan dan disetor” sebagaimana pertama kali Perseroan Terbatas didirikan atau ketika para pendiri secara proporsional saling menambahkan modal yang “ditempatkan dan disetor” baik hingga penuh maupun tidak penuh terhadap angka proyeksi bernama “Modal Dasar”, sehingga proporsional tetap mempertahankan perbandingan kepemilikan “saham real” dengan kedudukan 60 : 40.
Baru menjadi masalah, ketika “Pendiri Pertama” ternyata tidak pernah menambahkan modal “ditempatkan dan disetor” sekalipun Perseroan Terbatas telah beroperasi sekian lama. Sementara, berkebalikan dari itu, “Pendiri Kedua” kemudian secara bertahap melakukan penyetoran atas “modal yang ditempatkan” bagi / oleh “Pendiri Kedua”, sehingga dirinya benar-benar telah menjadi pemegang “saham real” mencapai maksimum 40% dari total saham yang dapat diterbikan oleh Perseroan Terbatas. Sebaliknya, masih tersisa banyak “saham portepel” yang tidak / belum juga “ditebus” oleh “Pendiri Pertama”.
Bila saham yang “ditempatkan dan disetor” oleh kedua pendiri, ialah hanya 25% dari “Modal Dasar”, artinya dana real yang telah disetorkan kepada Perseroan Terbatas ialah senilai Rp. 250.000.000. Bila “Pendiri Pertama” dari sejak awal pendirian baru hanya menyetorkan modal senilai Rp. 100.000.000 (ekuivalen dengan 100 lembar saham) tanpa pernah lagi menyetorkan modal yang telah “ditempatkan” bagi dirinya, sementara “Pendiri Kedua” telah menyetor penuh seluruh modal yang “ditempatkan” bagi dirinya, artinya “Pendiri Kedua telah mengantungi “saham real” senilai Rp. 400.000.000 ekuivalen dengan 400 lembar saham.
Akibatnya, ketika diadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), baik RUPS Tahunan maupun RUPS Luar Biasa (insidentil), maka sekalipun “Pendiri Pertama” secara akta dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas tercatat sebagai memiliki “modal ditempatkan” sebesar 60% dari “Modal Dasar”, ternyata dirinya memiliki “hak suara” untuk kuorum dan voting guna menentukan keputusan RUPS sebatas 10 % berbanding hak suara “Pendiri Kedua” yang memiliki “hak suara” 40%—dengan asumsi keduanya memiliki klasifikasi saham yang sama, yakni saham dengan “hak suara”.
Akibatnya, sekalipun secara akta (yakni Anggaran Dasar Perseroan Terbatas), “Pendiri Pertama” seolah sebagai pemegang saham “mayoritas”, namun senyatanya angka 60% hanyalah sebuah PROYEKSI yang bersifat belum real terjadi akibat “modal ditempatkan dan disetor” tidak secara penuh oleh para pendiri, dimana real penguasaannya ternyata hanya 10% dimana praktis dirinya menjelma menjadi pemegang saham “minoritas”. Jika untuk seterusnya kondisi demikian terjadi, maka “Pendiri Kedua” tetap berkedudukan sebagai pemegang saham “mayoritas” dengan penguasaan 40% saham semata karena telah “menyetor penuh” modal yang ditempatkan baginya.
Karenanya, angka pada akta berupa “Modal Dasar” maupun “modal yang ditempatkan bagi masing-masing pendiri / pemegang saham”, sifatnya masih sebatas PROYEKSI yang belum konkret adanya, sama sekali tidak mencerminkan realisasi penyetoran atas “modal yang ditempatkan” oleh masing-masing pemegang saham. Karena sifatnya masihg sebatas PROYEKSI, ia dapat mengecoh hakim maupun pihak ketiga.
Celakanya, dan gawatnya, hakim pada pengadilan kerap hanya merujuk angka yang tertera pada akta (Anggaran Dasar Perseroan Terbatas), tanpa pernah menyimak fakta hukum empirik bahwa terdapat juga keterangan dalam akta tersebut bahwa “Modal Dasar” BELUM disetor penuh oleh para atau oleh salah satu pendiri, sehingga ketika, sebagai contoh, terjadi sengketa antara “Pendiri Pertama” dan “Pendiri Kedua”, sekalipun “Pendiri Pertama” tidak pernah menyetor hingga penuh dan sekalipun “Pendiri Kedua” telah menyetor hingga penuh, maka secara sumir pihak pengadilan maupun pihak ketiga akan secara serta-merta menilai bahwa “Pendiri Pertama” yang suaranya paling menentukan sebagai pemegang saham “mayoritas”—tanpa menyadari bahwa sebagian besar masih berwujud “saham portepel” yang tidak memiliki “hak suara” karena belum diterbitkan bagi pemegang saham yang telah ditempatkan bagi sang “Pendiri Pertama”.
Pengecualian ialah ketika para pendiri sama-sama tidak menyetor penuh “Modal Dasar”, atau ketika para pendiri sama-sama menambah setoran “Modal Dasar” secara proporsional baik hingga “Modal Dasar” penuh maupun tidak penuh, sehingga perimbangan kepemilikan sahamnya tetap proporsional, semisal proporsional “3 berbanding 1”, “2 berbanding 1”, atau perbandingan lainnya, dimana penambahan modal secara gradual dan bertahap dilakukan secara proporsional sehingga komposisi kepemilikan sahamnya tetap seimbang sebagai “3 berbanding 1”, “2 berbanding 1”, dan sebagainya.
Konsekuensi-kosekuensi yuridis semacam itulah yang kerap tidak diperhatikan serta luput dipahami kosekuensinya dikemudian hari oleh para pendiri Perseroan Terbatas, terutama ketika pemegang saham hendak menjual sahamnya kepada pihak ketiga, apakah menggunakan dasar “Modal Dasar” penuh sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas sekalipun konsekuensinya senyatanya bisa jadi “Modal Dasar” belum pernah disetor secara penuh oleh sang pemegang saham—dimana kemelut “tidak perlu” semacam ini dapat dihindari bila para pendiri berkomitmen bahwa untuk pendirian maupun penambahan “Modal Dasar” Perseroan Terbatas, wajib bersifat “PENUH” (alias “ditempatkan dan disetor” secara PENUH, bukan 25%, juga bukan separuh dari “Modal Dasar” sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas). Sehingga, baik “Modal Dasar” maupun “modal ditempatkan dan disetor”, bukan lagi sebatas angka-angka proyeksi, sehingga juga tidak perlu lagi dikenal istilah “saham portepel” yang penuh jebakan “mengecoh”, namun cukup satu istilah tunggal yakni “saham”.
Ketika para pendiri maupun pemegang saham secara konsisten memberlakukan kebijakan “setor PENUH” atas “Modal Dasar” maupun penambahan “Modal Dasar” pada Perseroan Terbatas, maka setiap penambahan “Modal Dasar” dapat didokumentasikan dengan baik serta teregistrasi oleh otoritas dibidang administrasi badan hukum berupa Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas dengan agenda penambahan “Modal Dasar” (tidaklah rasional bila dikhawatirkan akan terkendala pengesahan perubahan Anggaran Dasar ini, karena otoritas selalu secara “sumir” dan ter-otomatisasi menyetujui permohonan perubahan Anggaran Dasar berupa peningkatan “Modal Dasar”), dimana dapat memberi kepastian hukum bagi para pendiri, pemegang saham, maupun pihak ketiga yang hendak mengakuisisi saham para pemegang saham.
Bila strategi sebaliknya yang terjadi, “Modal Dasar” tidak “ditempatkan dan disetor” secara PENUH, maka setiap penambahan / penyetoran “Modal Dasar” menjadi TIDAK TERDOKUMENTASIKAN secara legal-yuridis baik pada otoritas pemerintah maupun pada arsip dokumen internal milik Perseroan Terbatas itu sendiri, terutama ketika Perseroan Terbatas telah memasuki umur belasan hingga puluhan tahun, terutama pula tidak pernah menerbitkan fisik lembaran saham bagi pendirinya—dan inilah tepatnya, sengketa yang kerap terjadi dikemudian hari oleh para ahli waris para pendiri Perseroan Terbatas ketika para pendiri telah menjelma almarhum.
Kelebihan kedua menerapkan skema kebijakan wajib “menempatkan dan disetor” secara PENUH, maka saham yang dimiliki pemegang saham dapat dengan mudah dijual kepada pihak ketiga, dimana terdapat kepastian bagi pihak calon pembeli saham yang berminat, bahwa yang dibelinya merupakan “saham real” bukan “saham portepel”—mengingat tren praktik korporasi atau manajerial pengurus dan para pemegang saham Perseroan Terbatas saat kini, sudah amat sangat jarang dijumpai adanya lembaran fisik saham yang diterbikan oleh pengurus Perseroan Terbatas sebagai bukti kepemilikan “saham real”. Kini, lembaran saham dalam bentuk fisik, dianggap sudah “ketinggalan zaman” dan tidak lagi lazim dijumpai.
Sebaliknya, bila menggunakan skema / mekanisme “menempatkan dan disetor” tidak secara penuh atas “Modal Dasar”, yang terjadi kemudian ialah kerancuan saat membaca Anggaran Dasar Perseroan Terbatas terkait “Modal Dasar”, apakah saham yang hendak dibeli oleh pihak investor tersebut adalah “saham real” karena memang pemegang saham yang hendak menjual saham miliknya telah menyetor hingga penuh “modal yang ditempatkan” bagi sang pemegang saham yang hendak menjual sahamnya ini, ataukah sebagian diantaranya masih berupa “saham portepel” dengan konsekuensi belum disetorkan secara penuh “modal yang ditempatkan”.
Karenanya, akan jauh lebih banyak mudarat ketimbang faedah dari kemungkinan mendirikan Perseroan Terbatas dengan skema “ditempatkan dan disetor” tidak secara penuh oleh para pendiri ataupun pemegang saham dari suatu Perseroan Terbatas, begitupula dalam mekanisme peningkatan “Modal Dasar” lewat perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas, SHIETRA & PARTNERS selalu merekomendasikan agar disetorkan secara PENUH oleh para pemegang saham.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.