Mengapa Polisi Lebih Jahat daripada Penjahat? Ini Alasannya

ARTIKEL HUKUM
Polisi di Indonesia Lebih Menyerupai Penjahat, Lebih Jahat daripada Penjahat, sebagai Bagian dari Aktor Pelaku Kejahatan Itu Sendiri Namun Berseragam serta Memegang Kekuasaan Monopoli Penggunaan Senjata Api
Polisi, berdasarkan tanggung-jawab profesi dan fungsi maupun peran kewenangan yang diemban olehnya sebagaimana mandat profesi serta Kode Etik Polisi, ialah untuk mengayomi, melindungi, serta siap hadir guna memberi rasa aman bagi seluruh rakyatnya, tanpa terkecuali. Namun apa jadinya, ketika pihak kepolisian yang justru menjadi “aktor kejahatan” itu sendiri? Pada negeri berbentuk republik bernama Indonesia ini, seakan hidup sebagai seorang sipil belum cukup “berat” tanpa perlindungan hukum yang memadai (akibat hukum negara kita yang masih “tebang pilih” disamping lebih korup daripada koruptor), kita selaku warga sipil harus menerima kenyataan “pahit” bahwa kita berpotensi berhadapan dengan dua jenis pelaku kejahatan pada satu waktu bersamaan, yakni penjahat “berbaju preman” dan penjahat “berseragam dan ber-pistol”.
Semakin besar kekuatan dan kewenangan, maka semakin besar pula tanggung-jawab. Itu adalah idealisme dalam “Negara Dongeng-Utopis”. Tampaknya, “prinsip emas” demikian, tidak ada atau bahkan terkesan sengaja dihapus dari kamus yang berlaku pada kalangan Kepolisian di Indonesia, dimana hal ini bukanlah apatisme namun nyata adanya dan dapat kita saksikan dengan mata-kepala kita sendiri karena memang dipertontonkan oleh aparatur “penegak” hukum kita. Yang kemudian berlaku kemudian, justru adalah kebalikannya, yakni : Semakin lemah kondisi rakyat jelata, baik dari segi ekonomi maupun politis, semakin tidak berdaya menghadapi para polisi “korup”.
Sampailah kita pada postulat paling utama dalam ilmu falsafah hukum, yakni yang berbunyi : Semakin besar dan semakin kuat kewenangan monopolistik aparatur Kepolisian, sama artinya kian melemahkan rakyat sipil jelatakarena akan kian banyak hak-hak yang ditanggalkan dari diri seorang rakyat sipil, semisal hak untuk “main hakim sendiri”, hak untuk menyandang senjata api, hak untuk membekuk, hak untuk membalas, dan lain sebagainya.
Bahkan, hukum negara melarang kita untuk melakukan “affirmative action” dengan terlebih dahulu menyerang pihak-pihak yang mengintimidasi kita sekalipun secara nyata lawan kita sudah mengambil ancang-ancang untuk menganiaya kita—artinya, kita harus membiarkan diri kita dipukul dan terkena luka pukul terlebih dahulu untuk dapat disebut melakukan perlawanan dalam rangka membela diri, dimana itu pun tiada jaminan bahwa laporan kita akan ditindak-lanjuti pihak berwajib, sehingga luka yang kita derita menjadi sia-sia dan hanya menjadi sakit sendiri disamping luka hati dan perasaan, dan disaat bersamaan menjadi bukti petunjuk bahwa pembentuk undang-undang tersebut tidak pernah melakukan “street fighting” serta kendala yang kerap terjadi di lapangan, bukan sekadar duduk santai-angkuh di atas “menara gading”. Itulah yang tepatnya akan kita bahas bersama secara lugas, “apa adanya”. Mari kita simak bersama tinjauan fenomena sosio-yuridis perihal aparatur dan lembaga kepolisian dari perspektif ilmu Psikologi Hukum.
Pertama, faktor klasik relevansi postulat dari Lord Acton, bahwa “power tends to corrupts, absolute power corrupts absolutely”. Sebagaimana kita ketahui, kepolisian memegang monopoli kewenangan menggunakan senjata api dan menembak mati seorang manusia, menangkap / menciduk / “mengamankan”, menilang, memaksa untuk berhenti, menyita, menggeledah, menahan, melumpuhkan, menyelidiki, menyidik, melimpahkan berkas perkara kepada Lembaga Kejaksanaan selaku pihak Penuntut Umum, serta berbagai monopoli lain seperti eksekusi pengosongan atas putusan pengadilan, pengamanan objek jaminan fidusia, dan lain sebagainya.
Kekuasaan monopolistik, selalu merupakan kekuatan absolut, dimana kekuatan absolut sangatlah berkelindan terhadap postulat Lord Acton di atas. Mengingat kekuatan pihak lembaga dan aparatur Kepolisian demikian absolut, maka tidaklah mengherankan bila lembaga maupun aparatur Kepolisian identik dengan Korup serta aksi Kolusi dengan cara menyalah-gunakan kekuasaan serta kewenangannya (secara) “berjemaah” yang mana kita semua telah “sama-sama tahu”—bukan mitos, bukan rumor, namun itulah fakta empirik yang benar-benar penulis temukan afirmasinya di lapangan secara berulang-kali pada berbagai Kantor Kepolisian di Tanah Air, di jalanan, maupun dari penuturan tidak sedikit klien dari penulis yang berlatar-belakang sebagai para korban pelapor, sehingga menjadi tahu-lah penulis serta kita semua bahwa fenomena demikian terjadi merata dan terbesar di Tanah Air, menjelma karakter citra / wajah lembaga Kepolisian itu sendiri, yakni : angkuh, arogan, penuh pengabaian dan penelantaran, serta korup. Menjadi tidak mengherankan, seseorang warga pernah menuturkan secara empat-mata pada penulis, bahwa dirinya tidak melarang anaknya untuk menjadi profesi apapun kelak ketika dewasa, kecuali menjadi seorang POLISI. Pernah pula penulis mengenal seorang pemuda, yang mengaku berhenti bekerja sebagai seorang polisi, karena takut mendapat kutukan dari banyak penduduk dan memilih menjadi pekerja swasta.
Faktor kedua, pihak Kepolisian yang “angkuh” maupun aparaturnya merasa diri mereka digaji dari “uang negara”, dimana gaji mereka seolah bukan bersumber dari “uang rakyat”, sehingga yang menjadi majikan mereka ialah atasan mereka selaku Kepala Kantor, karenanya bukan-lah rakyat yang menjadi majikan atau “bos” para aparatur Kepolisian. Karenanya pula, tidak menjadi mengherankan, bila rakyat sipil pembayar pajak yang harus mengemis-ngemis ketika meminta agar dirinya dilindungi serta agar sang pelaku kejahatan ditindak dan agar “hukum ditegakkan sebagaimana mestinya” oleh sang aparatur penegak hukum bernama Kepolisian.
Luar biasa, agar hukum ditegakkan “sebagaimana mestinya”-pun, rakyat sipil (korban pelapor) kerap harus mengemis-ngemis kepada pihak Kepolisian yang sejatinya memang bertugas dan bertanggung-jawab untuk menindak-lanjuti. Jika tidak, mengapa tidak mengembalikan saja hak sipil untuk menyandang senjata api, untuk “main hakim sendiri”, serta untuk mengeksekusi sendiri para pelakunya? Itulah pertanyaan terbesar yang tidak pernah bersedia dijawab oleh Lembaga Kepolisian kita yang serba “angkuh”. Kembalikan hak-hak kami selaku sipil, atas kesemua hak-hak yang kini dimonopolisir oleh Lembaga Kepolisian dan aparaturnya.
Seolah pihak Kepolisian tidak bersedia menyadari ataupun mengakui, bila saja kewenangan “main hakim sendiri” tidak dimonopolisir oleh aparatur penegak hukum, maka sang warga sudah sejak semula memilih untuk “main hakim sendiri” tanpa harus merepotkan diri menghadap dan mengemis-ngemis kepada instansi Kepolisian yang tidak dapat diandalkan serta yang selama ini telah merampas dan memonopoli hak “main hakim” dari para rakyatnya. Bukankah itu adalah cara yang lebih pasti, lebih efisien, serta cara yang lebih “adil” serta masuk akal? Terkadang, bahkan seringkali, hukum negara masih jauh lebih tidak rasional ketimbang “hukum rimba”. Hukum negara demikian “genit”, oleh sebab sangat prosedural, serta kerap hanya berhenti pada “prosedural demi menghamba pada prosedural” itu sendiri—namun kering dari substansi dan esensi.
Karena rakyat sipil yang harus “terbalik” menjadi mengemis-ngemis dengan segala kerepotannya kepada pihak Kepolisian, maka daya tawar rakyat sipil menjadi tertekan sedemikian rupa secara psikologis / psikis, yang berlanjut dengan aksi pemerasan secara terselubung atau secara terang-benderang oleh sang “oknum secara berjemaah” yang pada pokoknya meminta berupa “pungutan liar” (gratifikasi selalu bersumber-pangkal dari aksi kolusi) dengan memainkan kartu lama “jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah?”—menjadi lucu, bila terhadap realita tersebut masih terdapat pihak-pihak yang mencoba untuk memungkiri.
Pada gilirannya, dampak psikologisnya menjadi demikian “merusak”, karena martabatnya menjadi berbalik, aparatur Kepolisian selaku Aparatur Sipil Negara yang semetinya “menghamba” kepada rakyat sipil dan “melayani” rakyat jelata, bagai berakrobatik menjadi rakyat sipil yang terpaksa harus “menghamba” dan “melayani” segala kemauan sang aparatur Kepolisian yang menjual-belikan kekuasaannya berupa kewenangan monopolistik untuk menindak dan memproses pidana pelaku kejahatan dan agar warga korban pelapor dapat mendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya—sekalipun hal tersebut adalah kewajiban sang aparatur penegak hukum dan sekalipun perlindungan hukum selaku rakyat sipil adalah merupakan haknya, hak yang sejatinya tidak perlu “mengemis-ngemis” untuk diberikan serta “kewajiban” yang sejatinya tidak perlu “diminta-minta” ataupun “dimohon-mohonkan”.
Bandingkan dengan konsep Aparatur Sipil Negara di Amerika Serikat yang tidak diberi gelar “Pegawai Negeri Sipil”, namun sebagai seorang atau para “civil servant” alias “pegawai bagi rakyat”. Kategori suatu perbuatan apakah dapat dikwalifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat: (Lihat Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm.. 117)
-  Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (Kepolisian dan kewajibannya untuk melindungi rakyat serta menegakkan hukum disamping membuat warga patuh terhadap hukum);
-  Bertentangan dengan hak subjektif orang lain (rakyat dan haknya untuk dilindungi serta minta perlindungan);
-  Bertentangan dengan kesusilaan (rakyat sipil pembayar pajak sumber gaji para aparatur Kepolisian kita yang justru menjadi harus mengemis-ngemis agar hukum ditegakkan “sebagaimana mestinya”);
-  Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian (pengabaian dan penelantaran terhadap aduan warga korban pelapor dengan tetap memonopolisir kewenangan untuk menegakkan hukum, adalah sesuatu yang jelas tidak patut, dimana asas kehati-hatian dan ketelitian mewajibkan agar Kepolisian benar-benar hadir di tengah-tengah rakyat, bukan hanya siap hadir saat menilang di jalanan).
Sehingga menjadi terang dan jelas, aparatur Kepolisian kita yang justru paling kerap melanggar hukum secara masif serta berjemaah—namun siapakah yang akan menindak dan membuat para aparatur Kepolisian agar patuh terhadap hukum semisal ketika terjadi pengabaian terhadap hak-hak rakyat? Begitu banyak pengabaian serta pelanggaran etika maupun pelanggaran hukum oleh aparatur Kepolisian, baik pengalaman pribadi penulis maupun dari penuturan rakyat lainnya maupun sebagaimana masalah hukum yang tidak sedikit dialami para klien dari penulis, namun apakah pernah kita mendengar atau membaca bahwa para aparatur Kepolisian tersebut ditindak serta diberi sanksi hingga efek penjeraan bagi mereka? Itu ibarat mengharap “jeruk makan jeruk” (hanya aparatur Kepolisian yang memiliki kewenangan mempidana, sehingga mustahil dan tidak logis mereka bersedia mempidana korps serta menjebloskan diri mereka sendiri ke dalam penjara), kecuali rakyat masih dibiarkan memegang hak untuk mengadili Kepolisian yang justru tidak menegakkan hukum agar hukum ditegakkan bagi aparatur Kepolisian tersebut.
Faktor ketiga, mengapa setiap aparatur dari Lembaga Kepolisian demikian “jahat” adanya, karena mereka kerap seolah mempertontonkan “abuse of power”, dimana dapat berupa pengabaian ataupun penelantaran (culpa) terhadap warga korban pelapor, sehingga sang warga korban pelapor yang telah merugi akibat menjadi korban kejahatan dari perbuatan warga lainnya mengingat sang korban tidak diberi kewenangan menggunakan senjata api untuk membela diri (dimonopoli oleh Kepolisian), kembali harus menelan “pil pahit” berupa pengabaian dan penelantaran, dimana laporan sekadar menjadi laporan tanpa ditindak-lanjuti sebagaimana mestinya.
Sekadar sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, dimana penegakan hukumnya oleh pihak Kepolisian demikian benar-benar tegas dan benar-benar ditindak-lanjuti serta benar-benar hadir di tengah masyarakat, para rakyatnya masih diberi hak untuk menyandang senjata api sekadar dan sebatas untuk “membela diri”—artinya, negara Amerika Serikat tidak merampas hak rakyatnya untuk memiliki dan memakai senjata api, karenanya pula hak menyandang senjata api bagi sipil bukanlah pemberian hak oleh negara Amerika, namun hak sipil tersebut tidak dicabut oleh negara ketika Negara Amerika Serikat dibentuk oleh para “founding father” mereka.
Kontras dengan kondisi di Amerika Serikat, di Indonesia bukan hanya rakyat sipilnya yang tidak patuh dan tidak taat terhadap hukum, namun aparatur Kepolisiannya juga tidak kalah jarang patuh serta tidak taat terhadap kewajiban profesi jabatan mereka (dipertontonkan secara vulgar di depan publik, sehingga kemudian menjadi wajar bila ulah tingkah-polah ditiru oleh rakyat sipil), namun ironisnya tetap saja hak sipil untuk menyandang senjata api guna melindungi diri dan keluarganya, dirampas oleh negara dari para rakyatnya dan menjadi monopolistik para aparatur Kepolisian.
Di Amerika Serikat, ketika seorang warga mengganggu warga sipil lainnya, cukuplah sang warga yang merasa terganggu dan dirugikan membuat ancaman secara lisan, seperti : “Jika Anda tidak menghentikan perilaku buruk Anda yang merugikan saya ini, maka akan saya panggil polisi.” Warga di Amerika Serikat, tiada satu pun yang meremehkan ancaman semacam itu, karena seluruh warga di Amerika Serikat mengetahui serta sadar betul bahwa polisi di Amerika Serikat benar-benar siap melayani dan melindungi rakyatnya, tanpa terkecuali setiap warga akan diberi daya paksa untuk senantiasa patuh dan taat terhadap hukum.
Sebaliknya, di Indonesia, ancaman demikian justru hanya mengundang tawa-terbahak-bahak oleh para pelaku kejahatan, seolah jargon Kepolisian Indonesia “Kami Siap Melayani Anda” sekadar menjadi lelucon-konyol guna “PHP” (pemberi harapan palsu) dimana sipil yang menjadi korban hanya bisa “gigit jari’ ditambah rasa malu karena Polisi di Indonesia tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat untuk melindungi. Karenanya, pembohong serta penipu ter-megah di Indonesia, berada pada liang bernama “Kantor Kepolisian”. Semua ini adalah fakta empirik “rahasia umum” yang “semua sudah sama-sama tahu”, dimana justru menjadi lucu bila terdapat pihak-pihak yang mencoba untuk membantahnya.
Anda pikir, dengan mengakukan “gugatan praperadilan” terhadap sang penyidik dari instansi Kepolisian, akan membuat laporan Anda akan benar-benar diperhatikan dan ditindak-lanjuti, sekalipun “gugatan praperadilan” Anda dikabulkan dan dimenangkan? Perhatikan unsur psikologis dan politis di sini, sang penyidik dan korps-nya justru akan “memusuhi” Anda. Sarjana Hukum “teoretis”, akan semudah sesumbar dengan mengumbar pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kepada klien mereka yang menjalani sesi konseling seputar masalah hukum yang dialami olehnya, tanpa menyadari bahaya laten dari segi politis dan psikologis.
Seorang Sarjana Hukum “praktis-pragmatis”, menyadari betul hambatan psikis yang terjadi di lapangan, dan menyadari betul lemahnya daya tawar kita selaku rakyat sipil. Sama seperti ketika pemenang tender yang telah melaksanakan pekerjaannya, ternyata tidak dibayar oleh pihak Pemerintah Daerah ataupun oleh Badan Usaha Milik Negara / Daerah, memenangkan gugatan perdata melawan pihak pemerintah adalah masalah “kecil”, namun tidak mampu menyadari masalah sebenarnya bukan terletak di gugatan dan putusan pengadilan, namun hambatan politis bahwa aset milik Pemerintah Daerah maupun BUMN/D tidak dapat disita terlebih untuk dieksekusi. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terlampau idealis sehingga menjelma “PHP”, karena fakta lapangannya selalu terbentur faktor “politis” di lapangan.
Jadilah, apa yang kemudian disebut sebagai diskriminatif, terhadap kasus-kasus pidana yang sama, terdapat aduan warga yang diproses dan berlanjut hingga tahap pemidanaan di pengadilan dan ada pula kejahatan serupa dengan karakteristik perbuatan serupa atas korban lainnya, namun tidak pernah diproses oleh pihak penyidik. Terkadang, banyak warga korban kejahatan yang memilih bersikap pragmatis, yakni tidak melapor pada pihak “berwajib”, mengingat kerapnya pihak Kepolisian mengabaian laporan warga, sehingga tidak perlu “merugi dua kali” setidaknya agar tidak kembali merugi waktu, ongkos, serta mental.
Karenanya, jumlah kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita yang tidak tersentuh hukum akibat “korup”-nya Lembaga Kepolisian, jauh lebih banyak serta lebih masif dari jumlah kasus pemidanaan yang berlanjut hingga tahap penuntutan di persidangan, dan jauh lebih banyak dari kabar berita perihal overload narapidana di berbagai Lembaga Pemasyarakatan (penjara) kita di Tanah Air. Komisi Pemberantasan Korupsi pernah membuat pernyataan resmi, bilasaja jumlah kuantitas pegawai mereka cukup memadai, maka KPK menjamin setiap satu hari akan setidaknya minimum terjadi satu “Operasi Tangkap Tangan” (OTT). Fakta beritanya bukanlah banyak penjahat dibekuk dan dijebloskan ke penjara, namun lebih banyak lagi kejahatan yang tidak tersentuh oleh hukum di luar sana.
Faktor keempat, segala bentuk pengabaian, penelantaran, hingga seolah tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat (kecuali selalu siap-sigap hadir saat menilang kendaraan di jalanan), seakan pihak Kepolisian hendak berkata dan mengumumkan kepada dunia, terutama kepada para bandit, preman, dan pelaku kejahatan kelas “teri” maupun kelas “kakap”, bahwa Indonesia adalah surganya para penjahat, dimana penjahat dipelihara oleh negara.
Jika demikian yang terjadi, maka apa dan dimana letak perbedaannya antara para penjahat “preman pasar” tersebut terhadap sang penjahat “berseragam dan ber-pistol” demikian? Justru adalah “kejahatan yang lebih jahat” alias sebuah kejahatan sempurna (a perfect crime), dimana pelakunya diberi dan memiliki kewenangan untuk memakai senjata api dan memonopolisir kewenangan “penegakan ataupun untuk tidak menegakkan hukum pidana”.
Faktor kelima, ialah kejahatan berupa memonopolisir penggunaan kekerasan untuk membalas / menghukum (retributif), memonopolisir penggunaan senjata api, memonopolisir kewenangan / hak untuk “main hakim sendiri”, memonopolisir hak untuk menahan / menangkap / menciduk, memonopolisir hak untuk menggeladah dan menyidik, memonopolisir kewenangan untuk memproses pidana, dimana secara falsafah hukum, sejatinya ketika “hukum negara” belum dibentuk, kita semua dan setiap individu tanpa terkecuali memiliki hak untuk “main hakim sendiri”, untuk memakai senjata api, untuk membela diri dengan “affirmative action”, untuk menjadi eksekutornya pula, dan tidak mengemis-ngemis terlebih meminta izin siapa pun untuk melakukan “retributif” (pembalasan / penghukuman). Namun, ketika “hukum negara” dibentuk serta diberlakukan, segala hak-hak tersebut dicabut dari kita selaku individu, lalu dijadikan kewenangan / hak monopolistik oleh aparatur penegak hukum yang justru lebih kerap melanggar serta “mengangkangi” hukum disamping menyalah-gunakan kewenangannya.
Faktor keenam, menghadapi penjahat sesama sipil saja sudah demikian merepotkan, karena aparatur Kepolisian tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat (pembiaran / pengabaian), sehingga yang berlaku di tengah komunitas masyarakat kita ialah “hukum rimba”, siapa yang kuat ia yang menang; maka menghadapi para “iblis ber-pistol” yang diberi kewenangan menembak mati, menangkap, menahan, memborgol, mem-bui, memproses pidana (meng-kriminalisasi korban) secara monopolistik, atau untuk sebaliknya untuk tidak menegakkan hukum “sebagaimana mestinya”, akan jauh lebih sukar dan lebih berbahaya.
Faktor ketujuh, polisi sebelum menjabat akan disumpah jabatan untuk melindungi dan melayani masyarakat secara penuh dedikasi dan tanggung jawab, sehingga kerap kali wajah dan praktik aparatur Kepolisian di lapangan justru melanggar Kode Etik maupun sumpah jabatan mereka sendiri. Sebaliknya, para “penjahat pasar” tidak memiliki sumpah jabatan layaknya sumpah jabatan yang mulia seperti penegak hukum, sehingga adalah “dapat dimaklumi” bila para penjahat pasar tersebut berperilaku layaknya seekor hewan. Secara “Hukum Karma”, mereka yang berbuat kejahatan dengan melanggar atau bertentangan dengan kewajiban yang diemban olehnya, itu sifatnya jauh lebih jahat.
Faktor kedelapan, tidak pernah hadir saat benar-benar dibutuhkan oleh warga, dan akan selalu hadir dan siap tatkala hendak menilang. Bahkan, tidak jarang aparatur Kepolisian menjadi “bodyguard” sewaan / bayaran, yang bahkan legal menyandang dan menggunakan senjata api guna menakut-nakuti rakyat sipil (hal ini juga terjadi para aparatur Militer TNI). Bukan dalam artian layaknya preman yang mengintimidasi sipil (sekalipun bukan artinya tidak pernah benar-benar terjadi), namun lebih kerap di-“suap” oleh pihak terlapor agar membuat proses pemidanaan menjadi berlarut-larut serta di-“peti-es”-kan alias diintervensi oleh kepentingan pribadi terlapor yang berkolusi dengan sang aparatur penyidik Kepolisian. Sama artinya sang aparatur Kepolisian telah melindungi, memelihara, serta membela penjahat—tidak ubahnya penjahat itu sendiri, bahkan lebih jahat daripada penjahat itu sendiri karena menjual-belikan hukum pidana dan keadilan dengan merampas hak-hak warga korban pelapor.
Faktor kesembilan, aparatur Kepolisian kerap bersikap arogan dan tampil ganas-beringas bagai “kuda liar yang tidak dijinakkan kecuali dengan kekuatan uang” alias “tidak ramah” terhadap rakyat sipil yang semestinya dilindungi dan dilayani, alias “beraninya hanya terhadap rakyat sipil jelata tidak bersenjata” yang notabene tidak bersenjata api dan tidak diperlengkapi kewenangan hukum untuk menggunakan daya paksa seperti menangkap, menciduk, melumpuhkan, menembak, dan menginterogasi.
Hal demikian ibarat orang dewasa yang hanya berani menantang anak kecil untuk “berkelahi” dalam suatu ajang pertarungan yang tidak pernah berimbang, suatu sikap PENGECUT yang sangat memalukan—ironisnya, seluruh aparatur Kepolisian kita memang sudah dikenal “tidak punya malu” serta “sudah putus urat malunya”. Tidak akan pernah dan belum pernah kita temui, aparatur Kepolisian yang arogan jauh dari kata “ramah” tersebut berkata pada kita, “Mari kita bertarung, satu lawan satu, TANGAN KOSONG”.
Dapat penulis pastikan, jika pernyataan demikian berani dilontarkan oleh aparatur Kepolisian, maka bagai “gayung bersambut”, akan mengantri para warga sipil yang berbondong-bondong hadir untuk menerima tantangan bertarung dari para aparatur Kepolisian, salah satunya diantaranya adalah penulis pribadi yang tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertarung “satu lawan satu, TANGAN KOSONG” berhadapan dengan para aparatur Kepolisian yang selama ini tampil secara menyalah-gunakan seragam, kewenangan menggunakan daya paksa, serta senjata api miliknya. Lepas seragam dan senjata api milik Anda, mari kita bertarung satu lawan satu, TANGAN KOSONG—itulah tantangan terbuka yang penulis kumandangkan dalam kesempatan ini, kepada seluruh kalangan aparatur Kepolisian yang “berperut buncit” dengan segepok buku tilangan selalu siap di tangan nan arogan di Tanah Air, yang hanya sibuk membakar dan menghirup asap pembakaran tembakau dan mencandunya dengan memberikan hembusan asap mengepul ke wajah warga sipil (cobalah datang dan saksikan sendiri kondisi warga pelapor di ruang kantor-kantor Kepolisian yang lebih menyerupai sarang penyamun—kumuh, penuh asap bakaran tembakau, preman-preman berseragam, plus sikap tidak ramah nan arogan para aparatur Kepolisian yang ironisnya tempampang poster raksasa pada halaman depan kantor Kepolisian yang berunyi : “Kami siap melayani Anda!”.
Ya, melayani berupa semburan asap bakaran tembakau sang aparatur Kepolisian yang sedang asyik mencandu tembakau. Belum apa-apa, sudah melanggar hak warga atas kesehatan dan untuk tidak dijadikan “per0k0k pasif”. Jangankan diharapkan dapat dimintakan pertanggung-jawaban ketika sang warga korban pelapor yang menghadap melaporkan kejahatan yang dialami dan diderita olehnya (karena dilarang oleh hukum untuk “main hakim sendiri”), mau tahu bahwa sang warga dapat mengidap penyakit kanker akibat asap bakaran tembakau pun tiada seorang pun diantara aparatur Kepolisian tersebut yang perduli.
Bila pelanggaran terhadap hak atas kesehatan yang merupakan hak asasi manusia setiap warga, belum apa-apa sudah dilanggar dan terlanggar secara masif di kantor Kepolisian, maka tepatlah kita patut untuk curiga, bahwa “sarang penyamun” yang paling berbahaya terletak persis pada kantor Kepolisian kita itu sendiri. Fenomena “welcome drink” layanan unggulan Kepolisian berupa kepulan dan hembusan asap bakaran tembakau ke arah wajah warga korban pelapor, menjadi fenomena yang terjadi pada berbagai kantor Kepolisian di Tanah Air, sehingga apa yang tertulis dalam ulasan ini, bukanlah “oknum”, namun memang sudah menjadi wajah serta citra yang “khas” melekat pada kantor Kepolisian, mulai dari kantor Kepolisian kecil bahkan hingga sekelas Mabes POLRI—bahkan yang disebut terakhir, jauh lebih parah lagi, markas pelanggaran terbesar di Tanah Air. Ketika aksi ter0risme memporak-poranda berbagai kantor Kepolisian di Tanah Air, sangatlah sedikit warga yang menaruh simpatik (ini adalah “akibat”, bukan sebagai “sebab”), tanyalah mengapa?
Bila terdapat pepatah, pelanggaran hukum terbesar terjadi pada ruang pengadilan, pelanggaran pajak terbesar terjadi pada kantor pajak, pelanggaran terhadap hak atas tanah terbesar terjadi pada kantor pertanahan, pelanggaran hak-hak sosial terbesar terjadi pada Kementerian Sosial (bantuan pemerintah yang tidak pernah tepat sasaran), pelanggaran kesehatan termasif terjadi pada rumah sakit, pelanggaran pendidkan terdahsyat terjadi pada ruang sekolahan, maka pelanggaran terhadap martabat seorang manusia terjadi secara masif pada ruang-ruang di kantor Kepolisian.
Apa yang tertuang dalam ulasan singkat ini, sejatinya sudah merupakan “rahasia umum”, yang sebetulnya tidak perlu sampai harus penulis tuangkan secara tertulis, semua “sudah sama-sama tahu”, dialami secara tersistematis oleh banyak warga dengan mata-kepala mereka sendiri, sehingga menjadi absurd bila terdapat kalangan Kepolisian yang merasa berkeberatan atas “testimoni” penulis dalam menyikapi dan menanggapi “pelayanan” semacam apakah yang ditawarkan oleh berbagai kantor Kepolisian maupun aparaturnya di Tanah Air—dengan pola yang selalu sama, dengan wajah yang selalu sama, dan dengan atmosfer penuh asap bakaran tembakau yang selalu sama.
Bukanlah penulis yang mencemarkan nama korps Kepolisian kita (sebuah testimoni tidak dapat di-kriminalisasi), namun korps Kepolisian kita itu sendiri yang selama ini secara konsisten mencoreng dan menampar wajah serta citra diri mereka sendiri. JIka tidak, maka buktikan, dan hentikan segala jargon “Kami Siap untuk Melayani Anda!” Testimoni ini adalah “akibat”, bukan sebagai “sebab”. Demikianlah, untuk kerap kali kita renungkan bersama. Tidak jarang pihak penyidik Kepolisian mengajukan pertanyaan-pertanyaan konyol seperti siapa nama Terlapor dan dimana Terlapor bertempat tinggal. Yang memiliki kewenangan serta tugas untuk menyelidiki, menyidik, hingga menginterogasi warga negara ialah aparatur penengak hukum, bagaimana mungkin sipil dituntut untuk menyidik dan menginterogasi sendiri warga lainnya tanpa diberikan dan tanpa memiliki kewenangan apapun layaknya seorang penyidik Kepolisian? Jika penyidik Kepolisian hanya ingin terima beres, maka bubarkan saja institusi Kepolisian kita, dan biarkan hak untuk main hakim sendiri dikembalikan kepada serta sebagai kewenangan para rakyat sipil, tanpa terkecuali.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.