Hidupmu Hidupmu, Hidupku Hidupku, Tidak Lagi Relevan dalam Masa Pandemik Penyakit Menular

ARTIKEL HUKUM
Bukan bermaksud mengerdilkan fungsi demokrasi, namun fakta empirik saat terjadinya wabah pandemik virus menular mematikan seperti Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah membuktikan pada dunia, bahwa negara-negara dengan sistem tata negara demokrasi sangat tidak efektif dalam membendung berlangsungnya dan berlanjutnya rantai penularan, dimana rakyatnya kerap memberontak, membangkang, serta menantang. Indonesia dan terutama Amerika Serikat, kini harus membayar mahal atas demokrasi yang selama ini mereka agung-agungkan. Sebaliknya, tanpa bermaksud untuk mengkampanyekan dan mempromosikan sistem negara “k0mun!s”, negara-negara seperti Vietnam dan China terbukti efektif memotong / memutus rantai penyebaran penyakit menular.
Bermula, ketika pandemik COVID-19 menjangkiti wilayah Tiongkok pada akhir tahun 2019 dan memasuki awal tahun 2020, masyarakat di Indonesia menghakimi rakyat Tiongkok sebagai sedang diberi “azab” dari “Tuhan”. Banyak muncul “nabi-nabi dadakan”, seolah mengetahui betul apa isi pikiran dan kehendak “Tuhan”. Kini, terbukti Bangsa Indonesia turut “mencicipi” pahitnya COVID-19, tanpa bersedia mengakui bahwa dirinya pun tidak terkecuali diberi “azab” yang sama, sementara Negara Tiongkok kini telah stabil kembali dan pulih secara cepat dari segi kesehatan maupun roda ekonomi negara dan rakyatnya, sementara wabah COVID-19 di Indonesia seolah tiada tanda-tanda akhir penyebaran, dimana pemerintah mengklaim jumlah penderita telah “statis-melandai” sekalipun fakta data membuktikan peningkatan, sekalipun “bonus geografi” berupa negara kepulauan serta iklim tropis sebenarnya merupakan “lock-down alami” penyebaran wabah.
Seolah tidak cukup sampai di situ, saat wabah COVID-19 belum memasuki wilayah Negara Kesaturan Republik Indonesia, banyak beredar “komentator dadakan” yang menyampaikan dengan penuh percaya diri kepada publik, bahwa bila manusia tidak memakan makanan “haram” semacam “bab!”, maka dijamin COVID-19 tidak akan mampu menjangkiti perut dan pencernaan manusia tersebut. Kini, lagi-lagi tuduhan dan tudingan demikian, sama sekali tidak terbukti, bahkan terbukti sebaliknya.
Merasa belum cukup sampai disitu, aksi spekulasi kembali bergulir bagai bola liar yang terus menggelinding, bahwa “beriman” dan “mempertebal iman” adalah kata kunci terputusnya mata rantai penyebaran wabah mematikan—seolah, negeri ini selama ini belum cukup “agamais”, lengkap dengan atribut-atribut keagamaan, busana keagamaan, rutin mengirim jemaah untuk kegiataan keagamaan berbiaya mahal ke luar negeri (sanggup mengeluarkan biaya menjadi jemaah, namun disaat bersamaan mengaku terdampak COVID-19 yang ekonominya lemah bahkan tidak cukup untuk membeli makanan dan menuntut bantuan dari pemerintah. Akan lebih elok, bila dana sebesar demikian dari jemaah sebanyak itu didonasikan bagi sesama dalam rangka kegiatan sosial), tempat-tempat ibadah yang menjamur hanya saling berjarak beberapa ratus meter, ritual keagamaan massal berjemaah, ayat-ayat rituil yang mengumandang dan membahana bersahut-sahutan, hingga segala sesuatunya yang serba “halal lifestyle” mulai dari aspek makanan, busana, perbankan, dan segala sesuatunya.
Terbukti, semua itu tidak laku terhadap sang virus mematikan yang ternyata “kebal” terhadap kesemua itu. Tidak terbayangkan, bila saja Indonesia tidak berupa negara kepulauan, beriklim sub-tropis, dan menjadi negara paling pertama yang terjangkit, mungkin jumlah kuantitas korban jiwanya akan membludak tanpa terbendung. Seakan belum cukup membuktikan betapa absurd spekulasi demi spekulasi berdasarkan asumsi yang bangsa ini mainkan, ternyata bola liar masih terus dimainkan seolah tidak dapat belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dan seolah tidak dapat belajar dari cara penanganan yang dilakukan oleh negara-negara lainnya.
Sebenarnya, masyarakat Indonesia sedikit-banyak cukup beruntung, karena COVID-19 yang menjangkiti Indonesia, telah bermutasi menjadi strain virus “tanpa menimbulkan gejala” bagi 80 hingga 90 persen dari pasien terjangkit, namun disaat bersamaan menimbulkan arogansi seolah diri warga kita “kebal”, tanpa menyadari bahaya laten dibaliknya karena “orang tanpa gejala” kerap menjadi “agen penularan” sebagai “carrier” virus menular mematikan ini yang dapat mengancam keselamatan terutama bagi anak-anak dan orang lanjut usia yang berjumpa dengan sang “carrier tanpa gejala”. Jika kemudian timbul korban jiwa akibat tertular oleh sang “agen penular tanpa gejala”, menurut Anda, apakah sudah sepatutnya mempidana “membunuh akibat kelalaian dan arogansi (meremehkan)” bagi sang “agen penularan”?
Saat COVID-19 memasuki bulan ketiga menjangkiti teritori Indonesia, saat ulasan ini penulis susun, ternyata tidak sedikit warga kita yang secara demikian rupa secara terang-benderang menentang dan menantang “protokol kesehatan” berupa “social & physical distancing” serta menolak mengenakan masker hingga himbauan untuk tetap tinggal di dalam rumah. Entah apa motif dan agenda tersembunyi dibalik penentangan demikian, bahkan hingga muncul berbagai komentator yang memberi testimoni bahwa diri mereka tetap berkegiatan di luar rumah sekalipun sedang wabah, tetap berjumpa banyak orang, bahkan tanpa mengenakan masker (atau alat pelindung diri apapun), dan tetap sehat—seolah, wabah COVID-19 yang mematikan dan menular, belum cukup membuktikan pada kita bahwa pandemik ini bukanlah mitos juga bukan fatamorgana, namun nyata, real, dan mengancam keselamatan, tepat di depan mata kita dan bertetangga dengan kediaman kita. COVID-19, adalah “hantu” tidak terlihat yang nyata ancamannya, dan mematikan.
Komentar-komentar miring terhadap pentingnya dan perlunya “protokol kesehatan” diberlakukan secara tegas, ketat, dan konsisten, ternyata tidak disertai komitmen sebagian besar masyarakat kita di Indonesia, bahkan sebagian diantaranya tegas-tegas dan terang-benderang menyatakan menentang “protokol kesehatan” sebagai tidak bernilai, tidak berarti, serta tidak perlu diikuti terlebih untuk diterapkan, dengan cara melontarkan komentar serta pendapat bahwa solusinya ialah cukup semata dengan cukup ber-“iman” dan mendekatkan diri pada Tuhan, meminta perlindungan pada “Tuhan”, untuk dapat mengatasi serta mencegah ancaman Virus Corona. Jika demikian, mengapa tidak semua tempat ibadah dibuka untuk berkegiatan keagamaan seperti keadaan normal? Mengapa negara-negara seperti Arab Saudi yang menjadi kiblat jutaan jemaah yang setiap tahunnya diekspor oleh Indonesia, justru melakukan “lock down” baik dari jemaah lokal maupun jemaah mancanegara?
Bila Anda memang ber-“iman”, mengapa masih butuh makan dan cari nafkah untuk makan? Bila ber-“iman” saja tidak mampu mengatasi rasa lapar, mengapa bisa kita berpikir seolah dengan ber-“iman” maka kita akan kebal dari virus menular mematikan, jika terbukti perut kita masih bisa sakit akibat kelaparan, atau bahkan tewas karena menderita kelaparan? Bila “iman” adalah segalanya, maka kita sejatinya tidak perlu lagi mencari nafkah untuk makan, dan rumah sakit semestinya sudah sejak lama “gulung tikar” karena sepi pasien yang berkunjung karena “kebal” penyakit berkat imunitas yang bersumber dari “vaksin iman”. Cukup bagi para balita diberikan “vaksin iman”, pasien sakit diberikan “suntikan iman”, warga cukup mengenakan “masker iman”, “infus iman”, dan cukup merasa puas kenyang memakan “buah-buahan iman” untuk mengganjal perut. Indonesia bahkan tidak pernah mampu keluar dari kutukan virus “tua” penyebab “demam berdarah”, lantas hendak menantang Virus Corona yang lebih muda dan lebih ganas-agrasif menularnya?
Dari pengamatan pribadi penulis, setelah sedemikian lama hidup di tengah-tengah Bangsa Indonesia, yang notabene “demokratis-agamais”, ternyata antara warga demokratis serta ber-agamais, adalah selisih tipis dengan “arogansi”—yang membedakannya hanya setipis lebar seulas benang. Mereka merasa bahwa upaya “pengekangan” adalah melanggar prinsip-prinsip demokratis, sehingga mereka gagal untuk memiliki kemampuan mengontrol diri. Meraka pun menganggap bahwa diri mereka di-“bekingi” oleh Tuhan yang Maha Kuasa di kantung saku mereka yang sewaktu siap digunakan sebagai dalil, meski disaat bersamaan, ketika benar-benar jatuh sakit karena tertular dengan sengaja mendatangi dan berkumpul berkegiatan di tempat ibadah ketika masa-masa pandemik sedang memasuki masa penetrasi ke komunitas masyarakat (kini bahkan muncul cluster-cluster penularan), justru kemudian meminta pertolongan kepada instalasi medik untuk diobati dan diisolasi.
Pada gilirannya, hanya menjadi beban tambahan bagi tenaga medik yang telah overload akibat membanjirnya pasien-pasien “yang sakit akibat menantang penyakit”. Menurut pribadi penulis, pasien-pasien yang semacam tersebut, yakni orang-orang yang justru menantang dan mencari penyakit sendiri, TIDAK PERLU DITOLONG, jika perlu seketika dibasmi, dieksekusi, dan dimusnahkan agar tidak menulari warga lainnya oleh sikap “meremehkan” yang mereka miliki—terlebih bila ternyata dirinya “tanpa gejala” (carrier). Merekalah yang justru akan membawa ancaman bagi para tenaga medik kita yang seolah “kurang kerjaan” harus melayani warga yang “arogan merasa kebal penyakit”. Perlu kita baca fenomena demikian, perilaku para “peremeh”, sebagai mencari penyakit sendiri dan kesengajaan untuk “bunuh diri”, karenanya tidak perlu diselamatkan.
Pertanyaan Introspektif BAGI YANG MEREMEHKAN ANCAMAN WABAH COVID-19: Penulis menaruh simpatik kepada para almarhum korban jiwa COVID-19, yang tidak lagi dapat bersuara memberikan testimoni (karena telah terbujur kaku pada peti zenasah), izinkan penulis untuk mewakili pendapat para korban jiwa COVID-19, apakah para warga yang meremehkan ancaman wabah menular COVID-19, seakan hendak berkata bahwa seolah para korban jiwa COVID-19 selama ini KURANG CUKUP BERIMAN, KURANG CUKUP BERIBADAH, dan KURANG CUKUP MENDEKATKAN DIRI PADA TUHAN? Apakah dengan dekat pada Tuhan, maka tiada lagi gunung meletus atau gempa bumi di dunia ini? Sekalipun Anda 100% yakin pada Tuhan, cobalah untuk menyentuh api, mengapa tetap sakit dan melukai?
Apa jadinya bila tenaga medis akhirnya “angkat tangan menyerah”, kehabisan tenaga, “lempar handuk” sembari berkata : “Silahkan Anda ‘cuci piring’ Anda sendiri! Anda enak-enakan hidup arogan, bersikap ‘masak bodoh’, lalu kami yang harus mencuri piring kotor Anda? Silahkan Anda bersihkan diri Anda sendiri, dokter bukan babysitter Anda. Dunia ini sudah cukup banyak penyakit dan pasien, Anda pikir selama ini kami kurang kerjaan? Anda sendiri yang kurang kerjaan, merasa hebat sehingga menantang penyakit dan bermain-main dengan maut.” Bagi masyarakat yang menyombongkan kesehatan mereka dikala wabah merebak, tanyakanlah pertanyaan instrospektif berikut ini : “Anda masih bekerja dan keluar rumah saat wabah?
Tentu, kerja untuk mencari nafkah. Saya tetap sehat meski berjumpa banyak orang, serta tanpa mengenakan masker. Tidak pernah saya jatuh sakit.”
Untuk apa nafkah itu?
Untuk membeli makanan.”
Jika tidak makan, apa yang akan terjadi?
Perut saya bisa sakit karena lapar dan hidup bisa mati karena kelaparan, atau menderita karena rasa bosan dan mati bosan bila hanya di dalam rumah.”
Berarti Anda BELUM PUNYA IMAN dan TIDAK BENAR-BENAR KEBAL SAKIT, karena Anda masih bisa menderita karena sakit lapar dan bahkan tewas kelaparan, menderita karena merasa bosan dan mati bosan. Lantas, apa yang membuat Anda berasumsi kebal terhadap virus mematikan?
Sic utere tuo ut alienum non laedas. “Gunakan tubuh dan mulut kita, tetapi jangan sampai merugikan orang lain.” (“Use our own body in such a manner as not to injure that of another”)
Sebelum melontarkan komentar yang hanya dilandasi aksi SPEKULATIF berdasarkan asumsi, hendaknya memperhatikan perasaan para korban jiwa yang bertumbangan akibat rantai penularan yang tidak kunjung terputus berkat “jasa-jasa” para warga masyarakat yang meremehkan wabah menular (menjadi carrier). Apakah data belum menunjukkan cukup banyak korban jiwa akibat COVID-19? Mereka mungkin “kebal” (atau “bebal”), namun bagaimana dengan keluarga mereka? Kesadaran dan mawas diri, adalah bentuk kepedulian bagi sesama.
Berdamai dengan Virus MEMATIKAN (mesin pembunuh)? Hidup berdampingan dengan “malaikat pencabut nyawa”? Seolah COVID-19 belum cukup berbahaya. Berdamai, hanya mungkin terjadi ketika kedua belah pihak saling sepakat berdamai. Sejak kapan, sang Virus MEMATIKAN hendak berdamai dengan manusia? Sang virus TIDAK PERNAH KENAL KOMPROMI bahkan terhadap anak-anak dan lansia. Pemimpin yang baik, tidak MEMBODOHI rakyatnya sendiri. Jika kita mampu berdamai dengan Virus, sudah sejak lama rumah sakit kita sepi pasien. Mencari-cari penyakit, dengan taruhan nyawa sendiri dan nyawa orang lain yang tertular oleh yang merasa “kebal”. COVID-19 adalah real, nyata, mematikan, bukan sebuah mitos, belum menjadi “sejarah” karena sedang mewabah di lingkungan komunitas kita hidup.
1 orang meninggal, adalah tragedi. Jangan katakan 1.000 orang tewas, adalah statistik. Berkat para “peremeh” demikian, rantai penularan wabah tidak kunjung usai di Republik ini, mungkin tidak lama lagi anak Anda atau keluarga Anda menjadi sasaran korban selanjutnya, tertular oleh yang tidak patuh terhadap “protokol kesehatan”, sekalipun mereka telah berkorban dengan patuh meng-“lock down” diri di dalam rumah. Menunggu itu untuk benar-benar terjadi, sekalipun “menyesal selalu datang terlambat”?
Pesan sosial “tidak populis” ini dipersembahkan oleh SHETRA & PARTNERS, sebagai bentuk belasungkawa sedalam-dalamnya bagi para korban jiwa wabah COVID-19, serta apresiasi atas kerja keras para tenaga medis, dimana kontribusi penularannya sedikit-banyak diakibatkan warga masyarakat yang meremehkan pandemik menular mematikan serta merasa “kebal” berkat pelindung “iman” (asumsi spekulatif). Bila dari air yang kita minum dapat terinfeksi bakteri sehingga menderita diare, terlebih serangan virus menular yang terbukti MEMATIKAN.
FAKTA SELALU PAHIT, tidaklah perlu kita membohongi diri ataupun warga masyarakat dengan iming-iming “aman dengan cara meremehkan”, “perisai iman”, “menutup mata artinya tiada ancaman di depan mata”, “virus yang tidak berbahaya karena banyak yang sembuh”, ataupun “kesombongan diri yang masih sehat dikala wabah”. Cepat atau lambat, setiap orang pasti akan menua, sakit, dan mati. Kesombongan atas kesehatan Anda yang “masih sehat” dikala wabah merebak, pasti akan “jatuh sakit dan meninggal” pada akhirnya, dimana kesombongan Anda tidak akan kekal. Namun, tidak pernah dapat dibenarkan ketika diri Anda menjadi “agen penular” bagi orang-orang lain yang terancam tertular Virus Mematikan. Orang bijaksana tidak mencari-cari / menantang maut serta membawa resiko bagi orang lain akibat penyakit menular dari “orang (terinfeksi) tanpa gejala” (silent transmission).
Kesombongan dengan meremehkan ancaman wabah penyakit, merupakan bentuk KETIDAKPEDULIAN terhadap sesama, dengan membawa ancaman bagi sesama (carrier). Bila itu terjadi, sejatinya bukan sang virus mematikan yang telah membunuh umat manusia, namun ialah sesama manusia yang bersikap “meremehkan” dan tidak menaruh kepedulian bagi keselamatan dan kesehatan sesamanya atas resiko penularan. Bukan sang virus yang berdosa, namun adalah sesama manusia yang melakukan dosa. Semua orang memang pasti akan “mati”, namun itu sama artinya tidak menghargai nyawa sendiri dan tidak menghormati hak atas hidup orang lain. Bila Anda tidak sayang nyawa Anda, maka silahkan menantang COVID-19, namun jangan menularkan wabah kepada orang lain yang masih ingin hidup dan berhak untuk hidup.
Menghargai dan menghormati sesama, artinya tidak bersikap arogan, seolah “kebal” dari penularan dan tidak akan menulari orang lain yang rentan terhadap infeksi penyakit menular. Hargai eksistensi hidup orang lain, dengan tidak meremehkan ancaman ataupun potensi resiko penyakit menular, karena kita saling berbagi ruang gerak dan ruang nafas—terkecuali Anda hidup seorang diri di hutan liar bersama monyet-monyet. Satu orang kepala keluarga pencari nafkah menjadi korban jiwa COVID-19, artinya satu keluarga almarhum turut menjadi korban. Berbuat baik artinya, tidak menyakiti diri sendiri dan juga tidak merugikan orang lain [Sang Buddha].
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.