Hakim Pengadilan Tidak Mungkin Adil dalam Memutus Perkara, Inilah Penyebabnya

ARTIKEL HUKUM
Tiada yang lebih mudah daripada berprofesi sebagai seorang hakim. Disamping dapat duduk pada kursi singgasana yang megah, dihormati, dapat menentukan nasib umat manusia, hingga berkuasa, menjaid hakim juga merupakan profesi yang sangat “santai”, jauh dari kesan “sibuk” akibat tumpukan perkara yang perlu disidangkan serta untuk diputus oleh sang hakim. Mengapa? Yakni semudah aksi “lempar tanggung jawab”, itulah jawaban singkatnya, yang akan kita urai secara lugas bersama-sama dalam kesempatan ini.
Sebagaimana kita ketahui, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar melakukan kolusi jual-beli putusan yang ditransaksionalkan dengan kalangan pengusaha importasi hewan dan ternak, bahkan Patrialis Akbar memiliki dua versi putusan (putusan versi yang satu mengabulkan separuh permohonan uji materiil sehingga amar putusan menyatakan “relative security” terhadap ancaman penyakit menular dari kegiatan / perizinan importasi hewan dan ternak, sementara yang satu versi putusan lainnya mengabulkan seluruhnya permohonan uji materiil dengan tetap menyatakan “maximum security” sesuai putusan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI sebelumnya), sementara Mahkamah Konstitusi RI terdiri dari sembilan orang Hakim Konstitusi, dimana putusan Mahkamah Konstitusi RI perkara uji materiil terkait undang-undang importasi hewan dan ternak tersebut diputus secara “suara bulat” oleh kesembilan Hakim Konstitusi, namun hanya Patrialis Akbar seorang diri yang dimasukkan ke penjara. Bukankah itu sesuatu hal yang sangat teramat tidak lazim serta janggal, sekalipun stelsel hukum pemidanaan kita mengenal istilah “pelaku penyertaan” karena kedelapan Hakim Konstitusi lainnya turut membubuhkan tanda-tangannya pada putusan “korup” penuh “sponsor” yang “diperjual-belikan” demikian?
Mengapa dapat terjadi praktik sedemikian absurd dalam dunia kehakiman kita di Indonesia? Sebenarnya, fenomena serupa pun menjadi momok internal kalangan profesi dunia kehakiman, baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun di Mahkamah Agung RI. Bahasan ini akan mengulas dari sudut pandang ilmu “psikologi hukum” dalam mengupas aspek psikologi seorang hakim yang tentunya juga menggunakan sudut pandang kacamata seseorang yang didudukkan pada posisi kursi seoang hakim di pengadilan (bukan “hakim non-palu”).
Untuk memudahkan pemahaman, cobalah asumsikan dan perspektifkan diri Anda sebagai seorang hakim yang berkuasa untuk memutus suatu perkara dengan membubuhkan tanda-tangan Anda pada berkas putusan baik pidana maupun perdata. Kini, cobalah dudukkan dan tempatkan diri Anda pada alam batin seorang hakim. Benarkah, sesukar itu kedudukan dan posisi seorang hakim? Itulah tepatnya yang akan kita selami bersama, dimana fakta-fakta mengejutkan akan siap untuk menggugah kesadaran para pembaca, bahwa menjadi seorang hakim ternyata sama sekali bukanlah perkara sukar untuk dilakoni.
Jika kita adalah seorang hakim di Pengadilan Negeri, maka kita tidak memiliki beban moril apapun sekalipun menjatuhkan amar putusan secara serampangan (sebagai contoh ekstrimnya), bahkan hingga merasa “tenang-tenang saja” ketika menerima gratifikasi ataupun melakukan “pungutan liar” (terkadang pemerasan lewat aksi “penyalah-gunaan kekuasaan”) dalam modus kejahatan jual-beli amar putusan.
Mengapa? Jawabnya yakni semudah berkata dalam hati (pembenaran diri) internal diri sang hakim : “Ah, tidak masalah, bukan hal besar, ada Pengadilan Tinggi yang bisa mengoreksi amar putusan. Sekalipun buat putusan yang benar, kerja keras kami hakim di Pengadilan Negeri masih bisa juga dianulir oleh Pengadilan Tinggi. Maka, biarlah itu menjadi tanggung-jawab moril pengadilan yang lebih tinggi. Bukan menjadi beban moril hakim Pengadilan Negeri. Ius curia novit, hakim dianggap tahu hukumnya. Plus, hakim bebas sebebas-bebasnya. Independen, mandiri, tanpa intervensi. Imunitas hakim, betapa bahagianya berkuasa sebagai seorang hakim.
Lantas, apa juga yang menjadi kata-kata dalam hati kalangan Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi? Demikianlah permainan logika “cacat” yang terjadi dalam batin sang Hakim Tinggi ketika memutus perkara banding yang diajukan oleh para pencari keadilan : “Ah, tidak masalah, bukan hal besar untuk dibesar-besarkan, ada Mahkamah Agung yang bisa mengoreksi amar putusan kami. Sekalipun buat putusan yang benar, kerja keras kami hakim di Pengadilan Tinggi masih bisa juga dianulir oleh Mahkamah Agung. Maka biarlah itu menjadi tanggung-jawab moril pengadilan yang lebih tinggi. Kedua, kami para Hakim Tinggi tidak pernah melihat langsung proses persidangan, saat pembuktian dan mendengar keterangan saksi ataupun terdakwa, maka yang semestinya memutus secara arif, cermat, dan bijaksana itu adalah hakim Pengadilan Negeri, sementara apa yang dapat diharapkan dari Hakim Tinggi yang hanya dapat membaca berkas perkara? Apa yang dapat diputuskan secara adil bila kami para Hakim Tinggi hanya dapat membaca berkas perkara, memangnya kami ini dewa yang punya ‘mata dewa’?
Selanjutnya, ketika berkas perkara bergulir ke tingkat Kasasi hingga juga Peninjauan Kembali, berikut alam batin seorang Hakim Agung di Mahkamah Agung RI : “Ah, tidak masalah, bukan hal besar untuk dihebohkan, biasa-biasa saja-lah. Kami percayakan saja pada putusan Pengadilan Tinggi. Jika ternyata putusan banding keliru, maka itu tanggung-jawab moril para Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi, itu menjadi dosa pribadi para Hakim Tinggi jika memutus secara menyimpang dari hukum. Berkas perkara kasasi di Mahkamah Agung RI sudah sangat menumpuk, kami sedang ‘kejar setoran’, yang penting kuantitas putusan yang kami hasilkan sebagai output prestasi lembaga kami di Mahkamah Agung, bukan kualitas putusan. Jumlah Hakim Agung sangat terbatas jumlahnya, sementara perkara kasasi hingga berjumlah puluhan ribu. Ya, maklumlah, dapat dimaklumi jika putusan kasasi banyak yang berisi ‘mata rabun’ atau fenomena ‘pikun’, namanya juga hakim-hakim uzur yang memeriksa dan memutus perkara, apa yang dapat diharapkan? Masyarakat jangan menuntut dan mengharap terlampau banyak, yang rasional saja-lah, kami ini bukan dewa, tapi kakek-kakek dan nenek-nenek. Oh, sudah waktunya bobo siang dan mimi susu. Suster, tolong bawakan popok saya, saya mengompol lagi ini.”
Jika menurut para pembaca, alam batin seorang hakim demikian masih belum cukup mengerikan, maka alam batin personal masing-masing hakim secara individu per individu hakim senyatanya akan lebih mengerikan lagi, sebagaimana uraian berikut. Baik pribadi individu hakim di Pengadilan Negeri, hakim di Pengadilan Tinggi, maupun Hakim Agung di Mahkamah Agung, memutus dalam komposisi Majelis Hakim dimana Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung terdiri dari tiga hakim anggota dan lima hakim anggota pada pengadilan khusus tindak pidana korupsi—terkecuali praperadilan, yang hingga saat ulasan ini disusun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita mengatur bahwa hakim perkara praperadilan diputus oleh hakim tunggal dan seketika inkracht tanpa upaya hukum apapun—betapa fatalistisnya hukum acara pidana kita.
Terdapat beragam jenis hakim, terdapat “hakim latah”, “hakim pengikut” (hanya sekadar menjadi pelengkap komposisi majelis dan “penggembira”), “hakim pemalas”, “hakim suka tidur, “hakim suka main HP”, “hakim prematur” (terlampau cepat membuat kesimpulan), “hakim sentimentil” (melihat pihak-pihak yang berperkara, bukan pokok perkaranya”, hingga “hakim makan gaji buta”. Menurut tipe hakim-hakim tersebut, sekadar mengikuti / membonceng pertimbangan hukum serta amar putusan yang dibuat “hakim anggota” lainnya, tampak lebih menjadi cara praktis dan paling efisien dalam memproduksi putusan. Fenomena berbagai putusan Pengadilan Tinggi, dapat kita saksikan betapa mayoritas putusan tingkat banding sekadar “mengambil-alih pertimbangan hukum Pengadilan Negeri” tanpa pernah membuat pertimbangan hukumnya sendiri.
Sekalipun sang hakim turut membacakan isi putusan serta membubuhkan tanda-tangannya sebagai anggota Majelis Hakim pemutus, namun sang hakim (maupun masing-masing hakim) akan berkata dalam hati (sebagai pembenaran diri) : “Ah, biarkan hakim anggota kedua saja yang membaca dan membuat rumusan putusan. Saya ikut saja dengan pendapat dan putusan hakim anggota kedua. Jikalau pun toh isi putusannya menyimpang dari hukum, maka itu menjadi tanggung-jawab moril dan dosa sang hakim anggota kedua. Ini berkas perkara masih menumpuk, menunggu untuk diputus. Saya tidak punya waktu membaca seluruh berkas perkara. Lebih gampang mengikuti saja pendapat hukum hakim anggota lainnya, lalu ‘idem, idem, dan idem’. Beres, simple life is beautiful. Lalu, menunggu hari gajian tiba sembari tidur-tidur santai di kursi hakim saat persidangan. Kerja santai, namun gaji wajib jalan terus dibayar oleh rakyat yang kerja keras di luar sana dan oleh pencari keadilan yang membayar mahal untuk memperoleh keadilan buatan manusia yang belum tentu adil.”
Sementara itu hakim anggota kedua ternyata memiliki suara hati yang tidak jauh berbeda dari sang hakim anggota pertama di atas : “Ah, biarkan hakim anggota ketiga saja yang membaca dan membuat rumusan putusan. Saya ikut saja dengan pendapat dan putusan hakim anggota ketiga. Jikalau pun toh isi putusannya menyimpang dari hukum, maka itu menjadi tanggung-jawab moril dan dosa sang hakim anggota ketiga. Ini berkas perkara masih menumpuk, menunggu untuk diputus. Saya tidak punya waktu membaca seluruh berkas perkara. Lebih gampang mengikuti saja pendapat hukum hakim anggota lainnya, lalu ‘idem, idem, dan idem’. Sungguh tidak adil, bila hanya saya seorang diri yang memeriksa perkara, lalu hakim anggota lainnya enak-enakan sekadar tanda-tangan. Kan, ada yang namanya Hak Cipta. Tidak adil, lebih enak membonceng putusan hakim anggota lainnya. Biarkan saja hakim anggota lain yang repot, hanya satu hakim yang repot lebih baik daripada tiga hakim yang repot.”
Apa yang terjadi pada benak hakim anggota ketiga, ternyata juga memiliki pembenaran diri serupa dengan kedua hakim anggota lainnya—jika dua hakim lain memiliki persepsi demikian, mengapa hakim anggota ketiga tidak boleh memiliki pemikiran serupa?—tergoda untuk turut bersikap pragmatis yang secara diam-diam atau secara terang-terangan berkata : “Ah, biarkan hakim anggota pertama saja yang membaca dan membuat rumusan putusan. Saya ikut saja dengan pendapat dan putusan hakim anggota pertama. Jikalau pun toh isi putusannya menyimpang dari hukum, maka itu menjadi tanggung-jawab moril dan dosa sang hakim anggota pertama. Ini berkas perkara masih menumpuk, menunggu untuk diputus. Saya tidak punya waktu membaca seluruh berkas perkara. Lebih gampang mengikuti saja pendapat hukum hakim anggota lainnya, lalu ‘idem, idem, dan idem’.”
Jadilah, Majelis Hakim yang sempurna dari segi kemalasan, kebodohan, tidak adil, menyimpang, sewenang-wenang, hingga korup dari segi waktu, dari segi keadilan, dan sebagainya. Namun, mengapa hingga saat kini keseluruh hakim tersebut tidak juga tersentuh oleh hukum? Ya karena psikologi hakim mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung RI adalah demikian adanya. Bila kita tegas, tidak “tebang bulu”, tidak “tebang pilih”, maka dapat dipastikan banyak gedung-gedung peradilan kita kosong-melompong dari hakim pemeriksa dan pemutus perkara. Jadilah, pepatah “dadakan” yang menyatakan, sapu yang kotor masih lebih baik daripada tiada sapu untuk bersih-bersih sama sekali.
Terkadang, memilih untuk menempuh jalur hukum buatan manusia maupun struktur penegakan hukum berisi manusia-manusia bergelar aparatur penegak hukum, membuat ketidak-adilan baru dari ketidak-adilan yang dialami oleh masyarakat selaku korban perdata maupun pidana—seperti selentingan sindiran, “di pengadilan, mengadu hilang sapi akan membuat si pencari keadilan justru kehilangan mobil”. Terkadang, hakim dan pihak kepolisian yang justru menjadi agen atau pelaku kejahatan itu sendiri, ketimbang pelaku kejahatan sesama sipil—sudah menjadi “rahasia umum”.
Ada kalanya dan bahkan seringkali, memilih menyerahkan keadilan kepada hakim serta eksekutor pada “Hukum Karma”, masih jauh lebih ideal, karena disamping pasti tingkat keadilannya (bahkan menurut cara kerja “Hukum Karma”, pelaku yang berbuat jahat secara senang tanpa penyesalan, akan berbuah “karma buruk” yang berkali-kali lipat pada pelakunya yang akan mewarisi buah dari perbuatan buruknya sendiri), tidak perlu melapor, tidak perlu mengadu, apapun sanggahan pihak pelaku yang pastinya pandai berkilah, eksekusinya tidak pernah “pandang bulu” serta tidak dapat diberi “suap” oleh pelakunya yang tidak akan pernah lolos sekalipun sang pelaku bersembunyi ke goa pada pulau paling terpencil seklipun. Tiada yang benar-benar dapat dicurangi dalam hidup dan kehidupan ini, demikian Sang Buddha pernah berpesan. Si “dungu” akan melalaikan perbuatannya, sementara mereka yang sadar akan senantiasa waspada terhadap perbuatannya sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.