Cara Menyusun Surat Gugatan agar dapat DIEKSEKUSI

ARTIKEL HUKUM
Eksekusi Putusan Pengadilan Perdata di Masa Depan, Semudah Membalik Telapak Tangan, Tiada Lagi Menang Diatas Kertas, Tergugat pun Tidak dapat lagi Mencurangi Hak Penggugat atas Penghukuman dalam Amar Putusan
Selama ini, persepsi publik mengenai putusan pengadilan perkara perdata, ialah pesimis dapat dieksekusi, alias “menang di atas kertas” karena tiadanya transparansi aset-aset milik pihak Tergugat yang dapat disita dan dieksekusi. Akibatnya, tidak sedikit kalangan Tergugat memilih untuk “memasang badan”, dengan cara tidak menghiraukan amar putusan pengadilan yang memerintahkan dan menghukum (“to condemn”, jenis amar putusan “condemnatoir” yang tidak dipatuhi akibat “tidak ber-“gigi”) pihak “terhukum” untuk membayar sejumlah ganti-rugi kepada pihak Penggugat, maupun untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu sebagaimana substansi perintah dalam amar putusan (“prestasi”), baik perkara gugatan perdata wanprestasi maupun “perbuatan melawan hukum”.
Sebenarnya, jika kita boleh bersikap “akuntabel serta transparan”, kendala klasik “isu lama” semacam itu sudah tidak perlu lagi menggema hingga era modern digitalisasi ini. Perihal kendala dan sulitnya “sita jaminan” maupun “sita eksekusi” oleh pihak pengadilan bagi pihak-pihak yang tidak mengindahkan perintah dalam amar putusan Majelis Hakim, pada era kontemporer ini lebih mengarah pada sifat serta sikap tidak kreatifnya lembaga peradilan.
Sebenarnya pula, Mahkamah Agung RI selaku kepala lembaga kehakiman, dapat semudah menerbitkan SOP lewat Peraturan Mahkamah Agung yang diperuntukkan bagi seluruh Ketua Pengadilan Negeri, Panitera, maupun Jurusita di seluruh Indonesia, agar berkoordinasi dengan lembaga-lembaga dibidang pemantauan aset harta penduduk guna menjamin pihak-pihak yang menang perkara dapat semudah mengeksekusi putusan tanpa kendala yang berarti—terutama bila pihak “terhukum” ialah warga negara Indonesia yang memiliki nomor identitas tunggal unik bernama NIK (Nomor Induk Kependudukan). Sehingga, seyogianya yang dieksekusi bukanlah lagi berfokus pada sosok fisik tubuh subjek hukumnya, namun NIK milik “terhukum” agar tidak terjadi aksi kilah-berkilah.
Pada prinsipnya, segala jenis aset kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, sepanjang memiliki nilai ekonomis, dapat diletakkan sebagai objek sita (vide Pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Paling mudah serta efisien, ialah mengeksekusi “sita eksekusi” terhadap rekening tabungan milik Tergugat—dan memang telah terdapat berbagai preseden putusan lembaga peradilan, dimana rekening milik Tergugat dapat diletakkan sita alias dijadikan / diperlakukan sebagai objek sita jaminan.
Putusan yang tidak dapat dieksekusi akibat tiadanya asset atau harta milik Tergugat yang dapat dilacak dan diletakkan sita, baik “sita jaminan” maupun “sita eksekusi” pengadilan, sebenarnya adalah “cerita lama”, “cerita usang”, “lagu lama” yang terus saja digaungkan sejak jalan Kolonial Belanda, serta wujud kelambanan disamping kemalasan pihak otoritas pengadilan itu sendiri sekalipun zaman telah berubah dan berkembang sedemikian maju.
Sebagai contoh perbandingan yang akan tampak kontras, mudah bagi pemerintah terutama otoritas Kantor Pajak untuk dapat melacak jumlah harta kekayaan serta aset-aset milik seorang wajib pajak, bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk melacak dan mengetahui serta mengawasi arus kekayaan dan kegiatan usaha maupun kepemilikan saham dan aset bagi berbagai entitas usaha milik seorang pelaku usaha “beneficial owner”, maupun bagi Otoritas Jasa Keuangan dalam memetakan dan mengetahui seluruh isi rekening mulai dari tabungan, fasilitas kredit pinjaman, hingga deposito seorang warga negara selaku nasabah, maka menjadi mengherankan ketika pengadilan yang merupakan sesama lembaga negara, tidak dapat saling berkoordinasi dengan antar lembaga negara untuk melacak aset seorang “terhukum” (dari turunan kata “menghukum” dalam amar putusan perdata pengadilan) agar dapat dideteksi, dilacak, serta disita hingga tahap proses eksekusinya.
Wibawa lembaga peradilan, di-“kangkangi” oleh “terhukum” yang semudah tidak patuh terhadap amar putusan, tanpa adanya “reward” bagi “terhukum” yang patuh dan taat terhadap amar putusan maupun “punishment” terhadap “terhukum” yang tidak patuh. Melecehkan putusan pengadilan, semudah “tidak acuh” terhadap perintah “menghukum” tanpa terdapat adanya sanksi berupa “daya paksa” layaknya “paksa badan” sebagaimana rezim perpajakan guna “efek jera” (detterent effect) bagi sang “terhukum”. Mungkin, istilah “menghukum” kurang tepat menjadi rumusan sebuah amar putusan yang efektif. Siapakah yang akan “menghukum”? Apakah mungkin, “terhukum” secara sukarela “menghukum dirinya sendiri”?
Idealnya, jenis-jenis amar putusan tidak hanya berupa amar putusan “declaratoir”, amar putusan “constitutief”, dan amar putusan “condemnatoir”. Perlu terobosan inovatif baru jenis-jenis amar putusan oleh pengadilan yang mengakomodir kreativitas kalangan litigator penyusun petitum (pokok permintaan / tuntutan dalam surat gugatan), seperti “mengizinkan / memberi izin Penggugat untuk menghadap perbankan guna mengajukan permohonan debet dan mutasi dari saldo rekening milik Tergugat ke rekening milik Penggugat senilai nominal Rp. ...”, “membenarkan Penggugat untuk tetap menguasai Objek Sengketa dan menempatinya atau menjualnya”, dsb.
Kendala utama mengapa gugatan “actio pauliana” selalu mendapati kendala berarti, ialah ketika sukarnya melacak arus perpindahan dana cair yang diubah menjadi aset properti ke atas nama pihak ketiga yang menjadi afiliasi atau kerabatnya, sebagai contoh, lalu mengakibatkan pihak “terhukum” terkesan tiada lagi memiliki aset untuk dapat di-“sita eksekusi”. Pertanyaannya, bila dalam perkara pidana Tindak Pidana Pencucian Uang dapat mudah bagi penyidik Kepolisian maupun pihak Jaksa Penuntut Umum untuk seketika berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam melacak asal-usul serta perpindahan suatu kekayaan ekonomi dari satu bentuk ke bentuk lainnya, mengapa lembaga peradilan tidak meniru langkah yang sama, yakni saling berkoordinasi antar lembaga pemerintahan guna saling “meng-koneksi” antar lembaga sehingga dapat saling “terkoneksi” (“connect”) satu sama lainnya demi kepentingan serta tawaran kepastian hukum bagi sang “pencari keadilan” sehingga putusan pengadilan menjadi memiliki kepastian hukum disamping sebentuk minimum daya pemaksa (ber-“taring” sifatnya), dengan artian dapat dan mudah untuk dieksekusi secara efektif serta efisien.
Praktik hukum acara perdata kita di Indonesia selama ini, kemenangan sebuah gugatan perdata justru menjadi “lembaran baru” kemelut hukum akibat sukarnya pelacakan aset serta eksekusi “real”-nya di lapangan akibat lembaga peradilan di Indonesia seolah berdiri di atas “angkuhnya menara gading” yang tidak saling terkoneksi antar lembaga negara—dengan nasib para “pencari keadilan” sebagai taruhannya, sekalipun senyatanya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menyediakan fasilitas akses data ini secara terpusat disamping “real time” bagi setiap instansi dan lembaga negara, semudah memasukkan NIK pihak “terhukum”. Bila memang lembaga peradilan demikian pasif serta “lamban” tiada itikad baik untuk proaktif meng-koneksi dirinya dengan lembaga negara lainnya, maka mengapa tidak membuka kesempatan bagi pihak Penggugat selaku warga sipil untuk terkoneksi dengan lembaga-lembaga negara lainnya demi kepentingan hukumnya mendapat kepastian hukum, tidak sekadar “menang di atas kertas”?
Salah satu contoh ketimpangan dan diskriminasi nyata betapa praktik hukum di negeri ini demikian “timpang sebelah”, ialah dalam perihal hak warga negara selaku kreditor untuk memohon Pailit ataupun Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap debitornya ke hadapan Pengadilan Niaga. Syarat pengajuan permohonan demikian, ialah sang kreditor pemohon harus mengetahui kreditor lain dari sang debitor selain dirinya, sehingga syarat adanya informasi perihal mininal dua kreditor dari sang debitor dapat terpenuhi untuk memohon agar sang debitor dapat dimohon-pailitkan. Tentu saja, sang debitor tidak akan transparan memberitahukan kepada kreditornya bahwa dirinya memiliki kreditor lain.
Bagi kreditor sipil perorangan, bukan perkara mudah untuk mengetahui apakah sang debitor memiliki kreditor lainnya atau tidak. Namun bagi kreditor korporasi sekelas perbankan swasta nasional maupun perbankan “plat merah”, bahkan kini juga merambah berbagai lembaga pembiayaan seperti perusahaan asuransi dan leasing, seolah “dianak-emaskan” oleh pemerintah karena dapat semudah mengakses “sistem informasi debitor” secara daring yang dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan, sehingga setiap saat dapat diakses oleh para lembaga komersiel tersebut untuk mengakses keadaan keuangan debitornya, sehingga dapat semudah mendapat fakta secara “real time” bahwa sang debitor memiliki kreditor lain serta “print out” hasil akses data digital tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang diakui oleh Pengadilan Niaga untuk mempailitkan debitornya.
Memang, masih cukup patut kita apesiasi, Otoritas Jasa Keuangan membuka kesempatan bagi kreditor perorangan untuk memohon informasi terkait keadaan keuangan debitornya, namun sifatnya ialah “permohonan” yang artinya “dapat dikabulkan dan juga dapat ditolak” atau bahkan tiada respons sama sekali disamping tidak efisiennya dari segi waktu maupun biaya transportasi dan akomodasi, karena warga pemohon harus datang menghadap ke kantor Otoritas Jasa Keuangan.
Berdasarkan fakta-fakta aktual lapangan demikian, karena itu agar eksekusi putusan pengadilan perkara perdata menjadi sebagaimana asas peradilan, yakni mudah, murah, efisien, serta “pasti”, maka hukum acara perdata harus mempermudah proses eksekusinya lewat langkah yang mengakomodir “pemotongan sekat jarak birokratisasi” terutama terkait pelacakan aset, sehingga antar lembaga negara menjadi “borderless” demi kepastian hukum pihak yang dikabulkan gugatannya tidak menjelma “menang di atas kertas”. Perihal “rahasia nasabah”, secara hukum dapat disimpangi bila telah terdapat perintah pengadilan, dimana putusan perdata menjadi bagian dari perintah pengadilan itu sendiri (lewar bunyi amar “menghukum” dalam putusan).
Saat ulasan ini penulis susun, ego sektoral lembaga negara lain sudah menipis menjelma saling berkoordinasi dan transparansi sebagai semangat baru agar saling berjejaring. Sayangnya, lembaga peradilan kita seolah memisahkan diri dari jejaring saling “terkoneksi” antar lembaga negara demikian. Terbukti, rata-rata gugatan perdata berakhir “anti klimaks” dengan tidak dapat menemukan aset “terhukum” untuk dapat diletakkan sita jaminan mapun sita eksekusi, sementara sang “pencari keadilan” masih harus menelan pil pahit bahwa dirinya telah merugi akibat perbuatan lawan hukumnya, harus merogoh-kocek biaya pengacara, hingga sang pengacara menagih sejumlah “success fee” sekalipun gugatan “memang di atas kertas”.
Tanggung jawab “moril” sang pengacara, memang hanya sebatas gugatan dinyatakan “menang”, namun perihal tidak bisa dieksekusi amar putusannya, menjadi hal lainnya lagi. Masyarakat ketika mencari pengacara di Kantor Pengacara, sudah seyogianya memahami hal tersebut sedini mungkin, bahwa tarif mahal sang pengacara ialah sampai pada sebatas “menang”.
Tidak banyak di antara masyarakat kita yang menyadari, yang dimaksud “success fee” dalam layanan jasa Advokat, artinya sukses dalam memenangkan gugatan, namun perihal apakah petitum (pokok permintaan / tuntutan) dalam gugatan yang dikabulkan pengadilan dapat dieksekusi atau tidaknya, maupun perihal ada atau tiadanya asset harta kekayaan phak “terhukum” untuk dapat disita eksekusi, tidak menjadi relevan. Akibatnya, muaranya ialah “kehilangan sapi, berkat menggugat justru kehilangan mobil”—adagium klasik yang selalu relevan hingga saat kini, kecuali lembaga peradilan kita benar-benar membuka diri untuk saling terkoneksi dengan lembaga negara lainnya.
Percaya atau tidak, sejatinya putusan pengadilan perkara perdata jenis apapun, apapun karakter pokok perkara dalam gugatannya, serta apapun asset harta kekayaan milik “terhukum” yang dapat dieksekusi, sama sekali tidak butuh peran jurusita pengadilan yang “sudah rahasia umum” bersikap arogan serta “penuh pungutan liar” terhadap masyarakat “pencari keadilan” yang telah mengantungi kemenangan dalam gugatannya. Berikut inilah mekanisme yang bahkan saat kini telah tersedia oleh negara, namun hanya saja selama ini ditelantarkan oleh otoritas pengadilan seolah “menutup mata”, “menutup mulut”, dan “menutup telinga” dari realita empirik lembaga negara lain yang telah lama saling “terkoneksi” dan saling “berjejaring”.
Sita jaminan dan sita eksekusi terhadap rekening berisi tabungan milik “terhukum” ialah yang paling ideal, oleh sebab dan mengingat eksekusinya semudah mendebet sejumlah saldo sebagaimana jumlah nominal yang tertera dalam amar putusan perkara perdata pihak Penggugat yang memohon sita eksekusi terhadap aset milik “terhukum”, untuk kemudian dimutasi ke rekening milik Penggugat.
Sementara perihal sita jaminan dan sita eksekusi terhadap aset berwujud berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak, cukup menyita perhatian serta waktu, karena perlu dilelang di muka umum lewat lembaga Kantor Lelang Negara yang sangat birokratis. Namun, diatas kesemua itu, akan lebih ironis ketika sejatinya “terhukum” memiliki sejumlah aset kepemilikan serta properti, namun harta kekayaannya tidak dapat diketahui pihak Penggugat sehingga sang “terhukum” seolah tidak tersentuh hukum dan amar putusan menjelma “menang di atas kertas”—dan selama ini itulah tepatnya yang tengah terjadi dalam wajah praktik peradilan kita yang “angkuh”. Jangankah bermaksud untuk mengeksekusi putusan serta mengeksekusi sita jaminan terhadap aset, mengetahui dimana serta dalam wujud apakah aset-aset milik “terhukum” disembunyikan, bukan perkara mudah dan justru menjadi tantangan utama yang lebih meletihkan dan lebih penuh tantangan ketimbang mengajukan dan memenangkan gugatan itu sendiri.
Semisal untuk mengajukan upaya hukum sita terhadap rekening milik “terhukum” (setiap warga negara dan penduduk di negeri ini, dapat dipastikan memiliki keuangan berwujud rekening atau tabungan sebagai objek harta kekayaan yang dapat disita, sedikit atau banyak isi di dalamnya), cukup via Otoritas Jasa Keuangan karena lembaga otoritas keuangan tersebut terkoneksi dengan pusat data terpusat milik Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) dimana cukup dengan semudah memasukkan / meng-input Nomor Induk Kependudukan (NIK) sang “terhukum”, maka langsung seketika itu juga akan terlihat seluruh tabungan milik “terhukum”, pada bank apakah, besaran dana, hingga terkait fasilitas dan status keuangan apakah yang dimilikinya hingga perihal tunggakan.
Setelah menyasar rekening milik “terhukum”, bilamana belum mencukupi nominal penghukuman sebagaimana disebut dalam amar putusan, maka “layer” berikutnya yang dapat disasar dan dilacak ialah asset “terhukum” berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Pihak POLRI (Kepolisian RI) maupun instansi vertikalnya semisal Direktorat Jenderal Administrasi Kendaraan, maka cukuplah memasukkan NIK “terhukum”, dan semudah data-data kendaraan milik “terhukum” akan terbuka secara lengkap untuk dapat diajukan sita jaminan maupun sita eksekusi—karena POLRI dan instansi vertikalnya telah “terkoneksi” dengan Dukcapil.
Selanjutnya, “layer” ketiga (atau langsung seketika menargetkan layer paling “seksi” ini) ialah hak atas tanah, berupa berbagai hak atas tanah yang telah tersertifikasi oleh Kantor Pertanahan, berupa Sertifikat Hak Milik, Sertifikat Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atas nama milik “terhukum” untuk dapat disita dan dieksekusi. Cukup panitera pengadilan dengan berbekal surat keputusan Ketua Pengadilan Negeri, meminta Kantor Pertanahan (instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional) sebagai eksekutor yang akan men-sita karena BPN dan instansi vertikalnya juga “terkoneksi” dengan pusat data Dukcapil sehingga NIK satu warga ketika di-input, akan seketika diketahui secara transparan serta holistik bahwa ternyata “terhukum” memiliki sertiifkat tanah di lokasi saja, seluas apa, dan berupa apa, untuk seketika dapat disita dan dieksekusi.
Bahkan, yang lebih ideal dan lebih futuristik-modern lagi, putusan pengadilan yang efektif semestinya tidak bergantung pada peran jurusita pengadilan untuk dapat dieksekusi, karena bagaimana pun semestinya antar lembaga saling terkoneksi dan saling terkoordinasi, dimana produk hukum pengadilan berupa putusan pengadilan, semestinya “laku” dipakai oleh pihak Penggugat ke hadapan lembaga-lembaga negara lain seperti Otoritas Jasa Keuangan, Kantor Pertanahan, maupun lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.
Sebagai contoh yang tidak terbantahkan, gugatan perceraian disertai tuntutan berupa hak mengasuh anak. Putusan demikian, sama sekali tidak membutuhkan peran jurusita pengadilan karena praktik selama ini telah berjalan sangat baik mengingat putusan perceraian dikirim oleh panitera pengadilan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk dicatatnya “perkawinan yang putus akibat perceraian”.
Lalu perihal hak asuh terhadap anak, pihak salah satu orangtua yang memenangkan hak asuh terhadap ang anak dapat seketika menghadap pihak Kelurahan untuk memasukkan anak-anaknya ke dalam Kartu Keluarga yang tercatat pada domisi kediaman sang orangtua tersebut, tanpa perlu perantara seorang jurusita. Sehingga, menjadi pertanyaan besar, mengapa terhadap praktik-praktik putusan perdata lainnya diluar perkara perceraian, tidak menerapkan mekanisme dan SOP serupa, yakni putusan pengadilan “laku”, “memiliki harga”, dan berlaku untuk digunakan oleh pihak Penggugat guna menghadap berbagai instansi pemerintahan lainnya, secara swadaya dan mandiri?
Sebenarnya, dalam sudut pandang perspektif lain, mengingat korup-nya lembaga peradilan kita, kerap dan tidak sedikit penulis jumpai putusan-putusan yang tidak semestinya dikabulkan justru dikabulkan, sehingga mengakibatkan “terzoliminya” pihak Tergugat. Tidak sedikit kalangan Tergugat yang “terzolimi” demikian oleh gugatan yang “korup” (berkolusi dengan pemegang kekuasaan kehakiman), tertolong berkat ke-rumit-an, birokratis, serta sukarnya eksekusi putusan perdata alias tertolong oleh keadaan “putusan yang non-executable” karena tiada asset yang dapat dilacak untuk di-“sita jaminan” maupun untuk dimohonkan “sita eksekusi”. Mengingat lembaga peradilan kita masih sangat “korup” di Republik Indonesia ini, tampaknya akan lebih tidak menimbulkan “moral hazard” bilamana praktik eksekusi putusan pengadilan kita menerapkan sistem “saling terkoneksi antar lembaga negara” sebagaimana telah “panjang-lebar” penulis uraian secara lugas di muka.
Sebagai contoh penutup, praktik peradilan kita selama ini ternyata menerapkan “standar ganda”. Betapa tidak, beberapa praktik peradilan membenarkan dan membolehkan eksekusi putusan tanpa peran perantara seorang pun Jurusita Pengadilan. Sebagai contoh, yang menjadi pokok sengketa ialah sertifikat hak atas tanah milik Penggugat dikuasai secara ilegal oleh pihak Tergugat. Ketika pengadilan menjatuhkan amar putusan atas gugatan Penggugat, dimana Tergugat dihukum dengan perintah untuk mengembalikan sertifikat hak atas tanah milik Tergugat, maka menjadi kendala bila Jurusita hendak menggeledah dan mengambil-alih sertifikat dimaksud dari kekuasaan tangan pihak Tergugat—yang bahkan entah disembunyikan dimana.
Tidak dapat ditemukannya sertifikat hak atas tanah milik Penggugat yang selama ini dikuasai dan disembunyikan oleh pihak Tergugat, apakah mengakibatkan selamanya Penggugat harus selamanya menelan “pil pahit” ketika mendapati dirinya “menang di atas kertas”? Justice delay is justice denied, lantas dimanakah tanggung-jawab “moril” lembaga peradilan kita di Tanah Air?
Karenanya, beberapa litigator secara cukup terampil membuat kreativitas berupa terobosan model-model rumusan petitum dalam surat gugatan, kurang lebih dengan rumusan sebagai berikut: “Bila Tergugat tidak secara sukarela mengembalikan sertifikat hak atas tanah milik Penggugat, maka putusan ini berlaku sebagai kuasa bagi pihak Penggugat untuk mengajukan permohonan sertifikat pengganti ke hadapan Kantor Pertanahan.” Dengan cara demikian, pihak Penggugat dapat seketika menghadap sendiri ke Kantor Pertanahan untuk mengajukan permohonan “sertifikat pengganti” TANPA keterlibatan ataupun peran serta Jurusita Pengadilan. Pada prinsipnya, hakim hanya dapat memutus tidak melebihi apa yang dituntut dalam surat gugatan alias tidak dapat memutus melampaui apa menjadi petitum gugatan (asas “non ultra-petitum”). Perihal seperti apa saja rumusan petitum yang boleh / dapat diajukan dalam surat gugatan, dibebaskan sepenuhnya kepada kreativitas pihak Penggugat itu sendiri. Sehingga, sebagai kesimpulan, kreativitas dalam merumuskan petitum gugatan menjadi “ujung tombak” menyikapi sifat “kolot” (“konservatif”) lembaga peradilan yang masih belum bersedia terbuka untuk saling “terkoneksi” dengan lembaga negara lainnya.
Putusan pengadilan perkara perdata yang baik, dalam amar putusannya mengakomodir kepastian hukum bagi para pihak yang saling berperkara, terutama pihak yang dikabulkan gugatannya, dengan merumuskan amar putusan yang mem-“by pass” birokrasi eksekusi, salah satu terutamanya ialah “potong kompas” ketergantungan pihak pencari keadilan terhadap peran seorang Jurusita (yang selama ini dikenal “arogan”, “penuh pungutan liar”, serta “menyerupai mafia kerah putih yang penuh kuasa”).
Sekali keliru merumuskan “petitum” gugatan, fatal akibatnya, karena tidak dapat diubah hingga putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) sehingga dapat “menyandera” pihak Penggugat itu sendiri hingga perkara memperoleh kekuatan hukum tetap—karenanya, penting bagi para “pencari keadilan” untuk terlebih dahulu meng-konsultasikan rumusan petitum dalam surat gugatannya agar benar-benar dapat dieksekusi secara nyata dan efektif disamping efisien. Itulah ketika, “kemenangan” dalam gugatan bukanlah segalanya, namun menjadi awal dari segalanya. Rumusan “petitum” yang keliru, dapat menjadi petaka (bumerang bagi kepentingan pihak Penggugat itu sendiri), sebagaimana yang selama ini kerap terjadi dalam praktik peradilan di Indonesia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.