ARTIKEL HUKUM
Bila “demokrasi” dimaknai sebagai bebas sebebas-bebasnya tanpa batas kontrol diri, tanpa batasan dari komunitas, serta tanpa batasan dari otoritas negara, dimana yang kuat akan mendominasi dan merugikan warga yang lebih lemah, dimana orang-orang yang dilandasi motif “agenda tersembunyi”, subjektif, bodoh, berdaya pikir sempit, hingga memiliki kepentingan pribadi yang bertentangan dengan kepentingan umum, dibebaskan untuk berkomentar dan berpendapat, bahkan cenderung menggiring opini publik secara tidak sehat, maka penulis sama sekali tidak mendukung tipe “demokrasi” demikian—dan kita dapat menyebutnya sebagai demokrasi serta kebebasan yang “keblablasan”, suatu “musuh dalam selimut”. Ingatlah, tidak selamanya dari aspek demokrasi yang positif sifatnya—terkadang, atau bahkan seringkali, demokrasi itu “mahal” harga yang harus ditebus oleh rakyatnya.
Lihatlah, betapa “konyol”-nya demokrasi di Indonesia, dimana para calon presiden bertarung dalam ranah pemilihan umum (pemilu) periode lima tahunan, dengan konflik komunal hingga segregasi sosial berdarah-darah antar pendukung masing-masing kubu partai politik pengusung sang calon presiden sebagai harganya disamping pesta demokrasi yang berbiaya tinggi, berujung pada “bagi-bagi kursi kekuasaan” di kedai kopi dimana satu calon diberi jabatan kursi Menteri Pertahanan sementara sang incumbent kembali berkuasa untuk periode masa jabatan kedua.
Biaya politik demikian mahal yang bersumber dari pajak rakyat, seyogianya lebih patut dialokasikan sebagai dana cadangan guna menghadapi / mengantisipasi keadaan darurat seperti wabah pandemik penyakit mematikan. Kini, kesemua biaya politik demokratis demikian harus benar-benar dibayar mahal oleh rakyat kita sendiri, dimana otoritas negara melakukan “lempar handuk” melawan sang virus penyebab wabah, mengaku tidak sanggup memberi bantuan pangan kepada seluruh rakyatnya, meski pandemik Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) melanda Indonesia baru memasuki bulan kedua pada paruh pertama tahun 2020.
Terkadang, kita perlu menyadari bahwa hanya “seekor monyet di hutan” yang benar-benar layak hidup bebas sebebas-bebasnya tanpa aturan dan tanpa kekangan dari pihak manapun—dirinya hanya dibatasi oleh daya imperatif hukum alam. Kita, sebaliknya, sebagai makhluk sosial, hidup berdampingan dan saling BERBAGI RUANG, BERBAGI SUMBER DAYA ALAM, serta BERBAGI SUMBER DAYA UDARA, AIR, KETENANGAN HIDUP, dan sebagainya—serta tidak terkecuali, dikontrol dan terikat oleh “Hukum Karma”.
Karenanya, berlaku prinsip pembatasan (terhadap) kebebasan serta kontrol sosial sejak berlakunya prinsip utama bangsa beradab yang bernama “sic utere tuo ut alienum non laedas. Gunakan kepemilikan kita, properti kita, halaman kita, namun jangan sampai merugikan warga lainnya”. Prinsip tersebut dikenal pula sebagai doktrin “good neighbourliness principle” atau “No harm rule principle” yang bermakna : “use your own property in such a manner as not to injure that of another”.
Beberapa stasiun radio swasta kerap membuka kesempatan “diskusi interaktif” bagi para pendengar radio untuk bergabung memberikan komentar dan pendapat atas suatu isu atau topik yang diangkat oleh penyiar radio, begitupula pihak narasumber yang diwawancarai dan dimintai pendapat oleh sang penyiar radio. Tidak terkecuali dalam berbagai forum diskusi pada berbagai media sosial digital, diwarnai berbagai pernyataan yang saling bertolak-belakang satu sama lain, terdapat pihak-pihak yang dengan tegas menyatakan “pro”, dan ada pula yang “kontra”, yang “abu-abu”, yang “kanan-kiri-oke”, ambiguitas (alias “plin-plan”), disamping pihak-pihak yang memilih kerkiblat pada “non-blok”.
Dari berbagai pengamatan pribadi penulis, tidak sedikit diantara komentar-komentar maupun pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh masyarakat jelata kita, ternyata tidak ubahnya wajah para pejabat birokrasi kita di pemerintahan, yakni cenderung tendensius, tidak netral, mengandung muatan keberpihakan, sarat kepentingan pribadi, terdapat “conflict of interest”, subjektif (jauh dari opini yang objektif), disinyalir dikeruhkan oleh “agenda tersembunyi” sang komentator, hingga pernyataan-pernyataan yang cenderung “bodoh”, tidak berdasarkan fakta taupun data, spekulatif, asumsi demi asumsi, tidak “membumi”, serta tidak jarang bernada “menghakimi” sekalipun tiada bukti yang dapat dibuktikan.
Dalam berbagai kesempatan, tidak bosan-bosannya penulis uraikan, “betapa sangat meletihkannya menghadapi dan berhadapan dengan orang-orang bodoh”. Mengapa? Karena “orang-orang bodoh cenderung tidak bijaksana”. Itulah sebabnya, hukum negara yang diterapkan secara “komunistik” di tengah-tengah warganya yang belum “beradab” cara berpikirnya, menjadi suatu keharusan tersendiri. Tidak kalah jarang penulis uraikan, bahwa “aturan hukum wajib tegas-tegas dibentuk secara demokratis, namun penerapan dan implementasi serta penegakannya wajib pula tegas secara komunistik”. Penerapan sistem tata negara secara “demokratis murni” bagi negara dengan bangsanya yang belum beradab, menjadi bumerang bagi kepentingan bangsa itu sendiri—pemerintahannya menjadi sukar melakukan kontrol sosial (social control and order).
Masalahnya, warga manakah di negara kita yang akan mengakui bahwa diri mereka “bodoh”? Itulah buah simalakama dari bangsa suatu negara yang telah terlanjur terperosok ke dalam jurang demikian dalam bernama “demokrasi keblablasan”. Ketika kita menunjuk seseorang warga lain sebagai “bodoh”, dan meminta mereka untuk “diam dan tutup mulut” karena komentarnya sangat menyerupai denyung nyamuk pengganggu yang “konyol”, maka bisa jadi berbagai pukulan tinju dan penganiayaan yang akan dipertontonkan dan kita terima.
Mengaku sebagai bangsa demokratis, namun ketika kita bebas berkomentar dengan menyatakan agar si “dungu agar diam saja tutup mulut”, ternyata dibalas dengan “bogem mentah”. Dirinya mengklaim sebagai warga dari negara yang demokratis, berhak untuk bereskpresi dan berkomentar sebebas-bebasnya, namun disaat bersamaan membungkam kita yang berdiri sebagai “oposisi” dengan pukulan dan penganiayaan—sebuah “standar ganda”, dan tepatnya itulah praktik model “demokratisasi” yang berkembang di Negara Indonesia.
Karenanya, sepanjang kita setelah melakukan introspeksi diri—ternyata, dibutuhkan sebentuk kecerdasan tersendiri untuk melakukan introspeksi diri, karena nyatanya tidak semua warganegara mampu melakukan introspeksi diri, yakni “kecerdasan introspektif diri”, yang bila kita merujuk teori kecerdasan, termasuk sebagai kategorisasi “kecerdasan intelektual” alias IQ—dan menyadari sepenuhnya bahwa kita sedang berhadapan dengan orang-orang bodoh (yang dapat kita sinyalir sebagai orang-orang yang juga merangkap sebagai orang “tidak bijaksana”), maka ada baiknya, dan inilah saran serta rekomendasi terbaik dari penulis : tidak perlu berdebat dengan orang-orang “bodoh tidak bijaksana” semacam itu, serta tidak perlu juga meminta komentar ataupun pendapat mereka.
Analogi berikut mungkin dapat cukup dengan mudah memberikan kita pemahaman secara lebih sederhana. Seorang pengemudi, yang telah mengenal baik suatu wilayah, lengkap dengan komunitas, budaya, latar-belakang kehidupan sosial masyarakatnya, hingga berbagai jalur jalan di kota tempat kelahiran dan tumbuh besarnya ini, mendapati penumpang seorang warga negara asing yang bergelar profesor lulusan dari universitas bergengsi ternama luar negeri, sementara sang pengemudi hanya bergelar “pengemudi yang tidak pernah melihat dunia luar selain kota tempatnya mengemudi sepanjang hari”.
Menurut Anda, siapakah yang paling berkompeten untuk berkomentar tentang kota tersebut sepanjang perjalanan mereka? Sang profesor, merasa memiliki martabat tinggi berkat gelar akademik yang disandang olehnya, dan cukup berbangga diri karenanya, melihat bahwa sang pengemudi ternyata mengaku tidak pernah mengenyam pendidikan formal apapun, dan tumbuh besar di jalan bersama mobilnya ini. Lantas, dengan dasar asumsi itulah, sang profesor merasa dirinya lebih patut untuk bercerita dan berkomentar perihal kota tempat sang pengemudi dilahirkan dan tumbuh besar.
Dengan seolah “menghakimi”, sang profesor mengemukakan segudang analisa “cerdasnya” (menurut pendapat pribadinya begitulah) lengkap dengan berbagai istilah aneh-asing “tidak bisa untuk dimakan” bahwa kota tersebut adalah mengenaskan, memprihatinkan, membosankan, terbelakang, ketinggalan zaman, kurang beradab, dan berbagai komentar miring lainnya. Bukan hanya itu, sang profesor bahkan merasa lebih tahu jalan di kota asing yang baru disinggahinya ini ketimbang sang pengemudi yang telah hampir separuh abad menjelajahi sudut-sudut kota tersebut. Bukankah itu konyol, menurut pendapat Anda? Namun sayang, Anda tidak dapat dan tidak diizinkan berkomentar pada website ini, karena Anda hanya dibolehkan untuk membaca dan berkomentar untuk dan terhadap diri Anda sendiri.
Tidak hanya cukup sampai di situ, sang profesor yang ternyata profesor dibidang ilmu hukum kemudian secara “sok tahu” mengomentari dan bercerita panjang-lebar tentang hukum yang berlaku di negara sang pengemudi, seolah dirinya lebih tahu hukum negara ini ketimbang sang pengemudi yang merupakan warga lokal dan setiap harinya selama berpuluh-puluh tahun menjadi subjek hukum dari “hukum negara” milik negaranya sendiri. Menurut pendapat Anda, para pembaca yang budiman, siapakah yang sejatinya tidak layak berkomentar, dan patut “tutup mulut” (shut-up)? Beruntunglah sang pengemudi cukup bersabar diri dan hanya tersenyum simpul sembari tetap berkonsentrasi mengemudi dan menjadi tuan rumah yang cukup ramah bagi tamu asingnya tersebut. Setidaknya, sang pengemudi mengenal satu istilah asing yang dahulu kala pernah didengar olehnya, “customer is the King.” Maka biarlah sang tamu menjadi Raja, setidaknya dalam tempo setengah hari.
Tidak terkecuali, seorang dokter umum perlu “tutup mulut” dan membiarkan para dokter spesialis untuk berbicara. Sama halnya, penulis akan memberikan ruang kepada sarjana hukum lain yang lebih terampil dibandingkan penulis atas disiplin-disiplin cabang ilmu hukum yang selama ini tidak pernah penulis tekuni secara mendalam. Jangan pernah kita tiru arogansi seorang Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi RI, yang merasa mampu dan berhak memutus segala jenis perkara (“palugada”, apa elu mau, gua ada), yang bisa jadi tidak dikuasai oleh sang hakim, bahkan merasa lebih paham ketimbang para pakar pada bidang tertentu yang mengajukan uji materiil (lihat kasus uji materiil undang-undang terkait importasi hewan dan ternak yang diajukan para dokter hewan, yang kemudian tersandung pada kasus tindak pidana kolusi jual-beli amar putusan oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang kemudian diputus secara suara bulat oleh kedelapan Hakim Konstitusi “sok tahu” lainnya).
Sama seperti ketika pihak korban yang dipersalahkan karena “tidak sopan” akibat menjerit ketika disakiti (bukankah menjerit kesakitan ketika merasakan sakit akibat disakiti, adalah hal yang sangat manusiawi serta lumrah? Bukankah untuk diam seribu bahasa ketika disakiti, hanya menjadi hak prerogatif seorang “mayat”? Janganlah Anda menutut terlampau banyak), yang merasakan dan yang paling tahu akan pengalaman serta perasaannya ialah diri sang korban itu sendiri (atau diri sesama korban, yang paling dapat berempati dan turut prihatin serta bersolidaritas sebagai “senasib”). Namun entah mengapa, masyarakat kita sangat terampil dalam menghakimi orang lain, bahkan pelakunya yang menyatakan sang korban sebagai “tidak sopan”—suatu putar-balik logika moralitas yang tidak termaafkan, disamping “biadab”, tentunya.
Sebagaimana telah telah penulis kemukakan di muka, akan menjadi bumerang serta malapetaka bagi bangsa dan negara itu sendiri, bila prinsip-prinsip negara “demokrasi murni” diterapkan pada negara-negara dengan rakyatnya yang belum benar-benar “beradab”, bahkan masih jauh dari kata “humanis”. Bayangkan, negara dengan tingkat peradaban yang masih sangat rendah, tingkat pendidikan dan edukasi budi-pekerti yang masih sangat dangkal-nan-terbelakang, lalu diberlakukan sistem pemerintahan “demokrasi murni”, menurut pendapat Anda, apakah yang kemudian akan terjadi? Yang kemudian terjadi ialah “negara kuda lum-ping”, jungkir-balik tiada jelas arah tujuannya, para rakyatnya akan asyik bersibuk diri dengan riangnya saling berakrobatik ria layaknya pemain sirkus. Negara dengan jenis “Demokrasi Murni”, adalah “Negara Sirkus”. Itukah yang betul-betul kita kehendaki?
Ada kalanya, sistem pemerintahan yang paling efektif serta paling ideal ialah otoritas negara yang menerapkan sistem pemerintahan “anjing menggonggong, khafilah berlalu”, yang bila kita adaptasi dan adopsi menjadi : “orang bodoh menggonggong, orang bijak tetap tegas”. Sebagai penutup, tepat kiranya merujuk pendirian seorang Buddha, yang dijuluki “tidak tercela oleh para bijaksana”. Mengapa terdapat frasa “bijaksana”? Karena, seorang Buddha yang telah sangat sempurna sekalipun perilakunya, masih juga dicela oleh para manusia yang diliputi kekotoran batin pandangannya. Namun, Sang Buddha tidak pernah mengambil hirau terhadap cibiran ataupun kritik dari orang-orang “dungu”, sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha : Laksana batu karang, yang tidak goyah meski dihembas badai topan maupun terpaan ombak lautan.
Dalam sistem negara “demokratis modifikasi pribadi penulis” (resiko Anda tanggung sendiri bila Anda menirunya), terdapat sebuah pasal dalam konstitusi negara “utopia” ini yang disisipkan sebuah “kewajiban asasi manusia” (KAM), yang berbunyi sebagai berikut : “Orang bodoh wajib tutup mulut, dilarang untuk berkomentar.” Berlanjut pada ayat keduanya yang berbunyi : “Perbuatan baik artinya, tidak menyakiti orang lain dan juga tidak menyakiti diri sendiri, tidak merugikan orang lain dan tidak merugikan diri kita sendiri.” Ditutup pada bunyi ayat ketiga : “Orang-orang yang senang dan rajin menggali lubang kuburnya sendiri (dengan menanam perbuatan / karma buruk), adalah orang bodoh yang terbodoh, silahkan masuk ke tong sampah.” Anda tidak setuju? Sayangnya, penulis tidak pernah meminta dan tidak tertarik pada komentar siapapun. Silahkan Anda untuk “gigit jari”. Selamat datang dalam “demokrasi” versi penulis. Bagi yang tidak sependapat dan tidak setuju, silahkan “Go Out”, tidak ada juga yang meminta atau memaksa Anda untuk melanjutkan bacaan sampai sejauh ini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.