Cek Kosong, Pidana PENGGELAPAN ataukah PENIPUAN? Fungsi Preseden Melampaui Kepastian Hukum yang Ditawarkan Undang-Undang

LEGAL OPINION
Question: Mengapa SHIETRA & PARTNERS terhadap sebuah peristiwa pidana, justru menjadikan preseden (kebiasaan dalam praktik peradilan) sebagai rujukan utama, bukankah aturan soal ancaman perbuatan pidana sudah diatur dalam undang-undang lengkap dengan ancaman sanksi pidananya dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)?
Brief Answer: Undang-undang sama sekali tidak menawarkan kepastian hukum, karena sifatnya sebagai “law in abstracto”, sementara preseden maupun yurisprudensi merupakan “law in concreto” yang sifatnya lebih konkret karakteristiknya. Sebagai ilustrasi sederhana, seorang debitor menggunakan instrumen keuangan guna jaminan pelunasan hutang berupa cek maupun bilyet giro, yang ternyata saldo rekening giro milik debitor pemberi cek ketika berupaya dicairkan (di-kliring) oleh sang kreditor penerima cek, dinyatakan sebagai “saldo tidak mencukupi” atau bahkan “rekening giro telah ditutup” berdasarkan keterangan pihak perbankan.
Maka, terhadap perbuatan pemberi cek yang memang dapat dibuktikan memiliki niat buruk demikian, memberikan “cek kosong” sebagai alat pelunasan hutang atau untuk menjadi jaminan agar diberikan hutang, tanpa mengembalikan dana hutang-piutang sebagaimana pertama kali diperjanjikan, adalah termasuk tindak pidana “penipuan” ataukah sebagai tindak pidana “penggelapan”?
Jika pasal-pasal normatif hukum pidana dalam Undang-Undang memang menawarkan kepastian hukum, maka menjadi pertanyaan besar, mengapa kerap kali Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan terhadap terdakwa, dengan menggunakan rumusan dakwaan “alternatif” di persidangan, alih-alih dakwaan “tunggal”? Lantas, bukankah itu membuktikan bahwa kepastian hukum yang ditawarkan oleh undang-undang, adalah sebuah fatamorgana semu?
Jika antara pasal-pasal dalam dakwaan alternatif tersebut, semisal antara pasal “penggelapan” dan pasal “penipuan” mengandung ancaman sanksi pidana penjara maksimum serta minimum yang sama tanpa terdisparitas, maka tidak akan menjadi soal, namun bagaimana bila pasal-pasal yang disusun secara dakwaan alternatif demikian, mengandung ancaman sanksi hukuman maksimum maupun minimum yang saling berdisparitas?
Apa yang SHIETRA & PARTNERS bukanlah wacana, namun sudah menjadi “momok” serta rekam-jejak “gelap” praktik persidangan di Indonesia, yang sama sekali tidak memberlakukan “the binding force of precedent”—sekalipun di Negeri Belanda yang berdasarkan asas konkordansi menjadi “kiblat” ilmu hukum di Indonesia, kini telah resmi berpindah haluan kepada praktik berhukum ala “Common Law” dimana preseden dijadikan faktor utama pembangunan hukum nasional di Belanda—mengakibatkan terhadap perbuatan pidana dengan karakteristik serupa antar terdakwa, bisa mengandung disparitas antar hukuman yang saling bersenjang lebar.
Sebaliknya, ketika preseden yang dijadikan “hukum itu sendiri”, maka apapun sebutan bagi perbuatan pidana seperti memberikan “cek kosong” dengan niat buruk, apakah akan diberi label sebagai “penipuan” ataukah sebagai “penggelapan”, ujung muaranya ialah amar putusan berupa sanksi pidana seperti hukuman penjara dengan besaran yang saling konsisten antar putusan dengan karakter perkara pidana serupa di kemudian hari dibandingkan pada waktu-waktu sebelumnya. Karenanya, faktor tiadanya disparitas antar putusan, selain dapat memberikan kepastian hukum bagi korban pelapor, juga bagi terpidana itu sendiri, yang pada gilirannya dapat menyisihkan celah / peluang “spekulasi”.
Karenanya pula, tiada keadilan apapun yang dapat ditawarkan oleh praktik hukum, ketika pihak terdakwa dapat melakukan aksi “jual-beli pasal” dengan melakukan pendekatan kepada Jaksa Penuntut Umum atau kepada Majelis Hakim yang memutus perkara, agar menerapkan “Dakwaan Alternatif” serta seketika memilih menjatuhkan vonis dengan merujuk pasal dakwaan yang lebih ringan ancaman hukumannya.
Itulah yang disebut sebagai “celah kolusi” yang dibuka lebar-lebar oleh sistem hukum di Indonesia, yang masih berupa “undang-undang sentris” dan disaat bersamaan menafikan fungsi serta peran penting dari preseden dimana jauh lebih menawarkan kepastian hukum yang disaat bersamaan menjadi sumber keadilan baik bagi korban pelapor maupun bagi terlapor (tiadanya disparitas antar putusan dengan karakter spesifik serupa).
Pasal peraturan perundang-undangan, selalu menafikan kasuistik perkara yang kaya fakta hukum. Sebaliknya, kasuistik sifat suatu perkara yang kaya akan fakta hukum, tidak akan pernah mampu dipaksakan untuk dimuat ke dalam suatu pasal peraturan perundang-undangan yang menyerupai sebuah “koper” kecil yang tidak akan pernah sanggup menampung kekayaan fakta-fakta hukum.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman atas bahasan yang telah SHIETRA & PARTNERS sederhanakan penuturannya dan diperas dari sekian banyak putusan peradilan di Indonesia, katakanlah “Terdakwa Pertama” didakwa karena terbukti telah memberikan hingga lebih dari lima buah “cek kosong” dimana total kerugian sang korban pelapor mencapai lebih dari satu miliar Rupiah. Dalam perkara terpisah atau putusan pidana lainnya, “Terdakwa Kedua” didakwa karena perbuatan serupa dengan karakteristik detail fakta-fakta hukum serupa dengan yang disebutkan sebelumnya. Sampai disini, kita telah mafhum bahwa tiada dapat dibenarkan adanya disparitas antar putusan (terutama kesenjangan amar vonis pemidanaan), karena latar-belakang serta konteks detail karakteristik peristiwanya, sangat identik alias kongruen.
Namun, tidak jarang terjadi, seorang Terdakwa pada akhirnya diputus dengan vonis amar putusan menyatakan sang Terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana “penggelapan” dengan rata-rata vonis hukuman berupa tiga bulan penjara, sementara Terdakwa lain dalam putusan lainnya, dalam rentan waktu yang tidak terpaut terlampau jauh tahun putusannya, ternyata diputus dengan vonis amar putusan yang menyatakan sang Terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana “penipuan” dengan rata-rata vonis hukuman berupa tiga tahun penjara—dan inilah yang terjadi pada sang “Terdakwa Pertama” dan “Terdakwa Kedua”, peristiwa atau perbuatan pidananya serupa, latar-belakang jumlah “cek kosong” yang diberikannya setara, jumlah kerugian korbannya hampir identik, namun diputus dengan kesenjangan amar putusan yang demikian berdisparitas (tiga bulan berbanding tiga tahun).
Hal demikian dapat terjadi, karena kaedah normatif undang-undang bersifat “induktif”, suatu hal umum berupa pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang secara “dipaksakan” dicocok-cocokkan terhadap “peristiwa konkret” yang bersifat khusus dan kasuistik. Akibatnya, peristiwa hukum konkret yang harus mereduksi dirinya dan menundukkan diri kepada suatu upaya peng-kotak-kotak-kan yang “dipaksakan” bernama pasal-pasal delik pemidanaan.
Sampai disini saja, kita telah dapat menyimak adanya pengorbanan terhadap berbagai fakta hukum berupa reduksi makna terhadap detail suatu peristiwa hukum, latar-belakangnya, konteksnya, sifat konkret perbuatan dan hal-hal yang melingkupinya, serta berbagai fakta-fakta hukum yang bersifat “khas” yang tidak diatur dan tidak dikenal dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang sangat reduktif serta minimalis—ibarat mengukur suatu peristiwa konkret yang kompleks dengan sebuah meteran-penggaris yang sangat pendek, dan akibat dari memaksakan pengukuran dengan meteran-penggaris yang pendek-sempit sedemikian, pada gilirannya terjadi reduksi makna peristiwa konkret, menyerupai memangkas sebuah pohon besar menjelma sewujud tumbuhan bonsai agar dapat dimasukkan ke dalam “koper” pasal-pasal atau penggaris yang pendek bernama unsur-unsur rumusan delik suatu pasal pemidanaan.
Sebaliknya yang terjadi pada mekanisme atau cara kerja dibalik kaedah preseden, suatu silogisme dari yang sebelumnya peristiwa konkret dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam “koper-koper” bernama pasal yang sempit pengaturannya, cara kerjanya dibalik sepenuhnya menjadi peristiwa konkret itu sendiri yang menjadi sumber pembentukan hukum, sehingga dikenal suatu faktor kasuistik dengan karakteristik spesifik yang kita kenal (atau setidaknya pada sistem budaya hukum Anglo Saxon ala Common Law) dengan sebutan “Judge Made Law”. Kelebihan utama dari sistem berpikir hukum ini, peristiwa konkret yang komplek penuh fakta-fakta hukum di seputarnya, tidak mengalami reduksi makna, tidak mengalami amputasi pada berbagai realita peristiwanya, tidak mengalami upaya korosif yang dipaksakan, tidak juga mengalami upaya “peng-kerdil-an”.
Kelemahannya—tentu saja ada kelebihan maka ada kelemahannya—norma hukum menjadi sangat amat luas, tidak sesempit “tipisnya buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” yang hanya setipis kurang dari lima sentimeter tebalnya, karena menjadi penuh khasanah, penuh bahan telaah, serta penuh “harta karun” bernama “kaedah-kaedah hukum bentukan preseden” yang kaya akan makna, kaya akan konten, kaya akan konteks, sarat detail, serta penuh karakteristik. Ragamnya menjadi sangat khas, tidak sempit seperti pendeknya bunyi pengaturan dalam pasal sebuah undang-undang.
Sungguh tidak masuk di-“akal” mengamati praktik hukum pada berbagai peradilan di Indonesia, sebagaimana dapat kita kembali pada kasus “Terdakwa Pertama” dan disparitas nasib antar amar vonis yang dialami oleh “Terdakwa Kedua”, kisah di atas bukanlah sebuah mitos, rekaan, ataupun fiktif, namun fakta realita yang jumlah kasus ragam putusan pidana “cek kosong” dengan karakteristik serupa, selalu memperlihatkan kecenderungan disparitas antar putusan demikian—sehingga seolah menggoda dan dilestarikan untuk sewaktu dapat dipakai sebagai ajang / kesempatan “tends to corrupt” alias membuka celah untuk “diperjual-belikan pasal-pasal pemidanaan” mengingat satu peristiwa pidana ternyata dapat dipasangkan / dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam satu atau bahkan lebih dari pasal suatu undang-undang.
Mari kita buktikan dengan menyimak substansi atau muatan norma pasal-pasal dimaksud, atas suatu peristiwa hukum pidana yang serupa, yakni pidana “cek kosong”, dengan perbandingan rumusan unsur-unsur deliknya, sebagai berikut: (simak perbandingan disparitas ancaman pidana maksimum antar pasal “alternatif”-nya)
- Rumusan pidana “penipuan” diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) : “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
- Perihal “penggelapan” sebagaimana diatur lewat Pasal 372 KUHP : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Kedua pasal di atas yang kerap dirumuskan sebagai “Dakwaan Alternatif” satu sama lain oleh Jaksa Penuntut Umum di persidangan atas Terdakwa perkara pidana “cek kosong”, seolah hendak memasukkan sebuah pohon besar ke dalam satu buah “koper”, dengan cara memangkas habis daun-daunnya, ranting-rantingnya, cabang-cabangnya, hingga akar-akarnya, maupun sebagian besar batang tubuhnya dan hanya menyisakan “secuil” batang agar dapat dimasukkan ke satu buah “koper” bernama “pasal pidana”, sehingga seluruh bagian anggota pohon yang terpaksa dipangkas tersebut menjadi seolah “sampah” tiada artinya yang akan disingkirkan dan dibuang ke dalam “tong sampah”. Ironisnya, hukum yang adil tidak pernah memandang seluruh fakta-fakta hukum sebagai sebuah sampah terlebih “rongsokan” bukan juga sebagai sebuah “pemanis” dakwaan.
Baik pasal tentang “penipuan” maupun tentang “penggelapan”, tidak ada mengatur perihal berapa buah “cek kosong” diterbitkan oleh pihak yang dikenakan dakwaan, tidak juga menyebutkan berapa jumlah nominal kerugian yang diderita korban pelapor, tidak juga fakta-fakta hukum diseputar peristiwa seperti adanya tipu-muslihat mengaku-ngaku membutuhkan modal usaha untuk kegiatan usaha penambangan batubara ternyata sama sekali tidak memiliki perizinan ataupun kompetensi dibidang batubara, atau seperti adanya bujuk-rayu sehingga korban tergerak hatinya untuk menyerahkan sejumlah dana yang pada akhirnya tidak dikembalikan dan hanya menyerahkan sebagai jaminannya berlembar-lembar “cek kosong”.
Sehingga, “Terdakwa Pertama” didakwa dan divonis sebagai pelaku “penggelapan” dengan hukuman penjara tiga bulan, sementara disaat bersamaan, sekalipun dengan karakteristik peristiwa pidana yang serupa, “Terdakwa Kedua” didakwa dan divonis sebagai pelaku “penipuan” dengan hukuman penjara tiga tahun—karena menurut kebiasaan dan praktik di peradilan, pelaku penipuan dan perbuatan menipu selalu dianggap sebagai pertimbangan yang memberatkan hukuman bagi Terdakwa itu sendiri, dimana tentunya akan lebih mendiskreditkan ketika seseorang di-stigma sebagai seorang “penipu” ketimbang sebagai seorang pelaku “penggelapan” yang persepsinya hanya sekadar seolah berupa meminjam tanpa mengembalikan.
Disini, terjadi permainan psikologis yang “mematikan” dan penuh “jebakan”. Ketika hakim menganggap pihak Terdakwa hanya sebatas melakukan pidana “penggelapan”, maka hakim tidak akan lagi melihat fakta-fakta karakteristik di seputar perkara secara utuh, karena hakim hanya akan menelaah serta memandang isi di dalam “koper” tersebut, sehingga segala dahan, ranting, daun, akar, seolah tidak akan tampak di depan mata sang hakim, karena semuanya telah serta “penuh reduksi”.
Karenanya pula, sang hakim seolah “menutup mata”, menyisihkan detail-detail berbagai fakta, dan memungkiri bahwa sang Terdakwa telah memberikan hingga lebih dari lima buah “cek kosong”, dimana bahwa sang Terdakwa merugikan korbannya mencapai lebih dari satu miliar Rupiah. Sebaliknya, beruntung bagi pihak korban pelapor, ketika sang Terdakwa dipandang sebagai telah melakukan pidana “penipuan”, dimana sekalipun juga telah direduksi sebatas / menjelma satu buah “koper”, namun sifat naturaliah (nature) dari “penipuan” adalah sedemikian jahatnya, apapun fakta-fakta hukum yang melingkupi diseputar perbuatan Terdakwa, tidak penting apakah “cek kosong” diberikan satu kali atau hingga lebih dari lima kali, tidak menjadi penting pula apakah korbannya menderita kerugian kurang atau bahkan lebih dari satu miliar Rupiah—karenanya menjadi tidak mengherankan pula ketika Terdakwa yang satu divonis hukuman penjara selama tiga bulan penjara, sementara Terdakwa yang lainnya secara berdisparitas penuh kesenjangan divonis dengan hukuman tiga tahun penjara, sekalipun perbuatan yang masing-masing Terdakwa sangatlah identik karakteristik-spesifiknya (fakta-fakta hukum di seputar peristiwa pidananya).
Pertimbangan kedua, “penipuan selalu merupakan penggelapan”. Jelas, bahwa pelaku “penipuan” tidak mengembalikan dana milik korban pelapor, sehingga sejatinya wajar bila “Terdakwa Kedua” dijatuhi vonis hukuman tiga tahun penjara semata karena didakwa dan divonis sebagai pidana “penipuan”, yang artinya secara intrinsik telah “include” dengan “penggelapan” itu sendiri sekalipun dakwaan tidak disusun secara “Dakwaan Kumulatif” kedua pasal tersebut. Sebaliknya, “penggelapan tidak selalu identik dengan penipuan”, sehingga tidak mengherankan ketika “Terdakwa Pertama” hanya dijatuhi vonis pidana penjara selama tiga bulan penjara.
Pertanyaan terbesar SHIETRA & PARTNERS, bagi kalangan akademisi, kalangan pembentuk undang-undang, serta bagi kalangan hakim di pengadilan, serta bagi kalangan masyarakat umum awam hukum, mungkinkah seorang hakim pemutus perkara, akan dapat memutus secara adil, bila segala fakta hukum yang demikian kaya akan fakta-fakta spesifik, direduksi menjadi sebatas rumusan pasal, berwujud pemangkasan demi pemangkasan sehingga hanya menyisakan satu buah “kotak” bernama rumusan pasal?
Satu buah pasal, paling banyak hanya terdiri dari lima buah kalimat. Sebaliknya, satu buah preseden, begitu kaya akan ragam fakta-fakta hukum. Tidak pernah mengherankan, ketika disparitas antar putusan selalu menghantui praktik peradilan kita dan menjadi “kutukan” serta “mimpi buruk” bagi rakyat pencari keadilan ketika sistem hukum kita masih menafikan fungsi serta peranan preseden sebagai soko-guru faktor pembentukan hukum nasional—yang terlebih ironisnya, baik akademisi, dosen pengajar, beragam penulis buku ilmu hukum, maupun para mahasiswa dan tidak terkecuali hakim di pengadilan di Indonesia, selama ini hanya secara sumir dan secara “kering” membahas bunyi undang-undang yang penuh reduksi, tanpa pernah menyelami fungsi vital dibalik sebuah preseden.
Bahkan, perpustakaan hukum di Indonesia dipenuhi rak-rak buku undang-undang serta buku-buku teori yang sangat menjemukan dan minim makna untuk diaplikasikan, berbanding terbalik dengan kondisi perpustakaan hukum di negara-negara Anglo Saxon, dimana sebagian besar kapasitas rak buku mereka diisi buku-buku berupa kumpulan preseden yang tidak pernah sepi ditelaah para mahsiswa, akademisi, serta tidak terkecuali para praktisi hukum mereka.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.