KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Apa Itu PERSONAL BRANDING? Memahami Perbedaan antara PERSONAL BRANDING dan GENERIK BRANDING

ARTIKEL HUKUM
Sebagai salah satu penyedia jasa dibidang layanan jasa konseling seputar hukum, tentu salah satu tuntutannya ialah membangun “Personal Branding” dibidang profesi hukum sebagaimana pekerjaan yang selama ini penulis lakoni. Tidak terkecuali kalangan penyedia barang, semisal produsen suatu produk yang dilempar ke pasar, agar mendapat tanggapan positif dari konsumen tentunya perlu sensitif perihal “Product Branding”. Dalam ulasan singkat ini, kita membatasi bahasan dengan berfokus pada topik perihal “Personal Branding”. Namun, apakah itu “Personal Branding”?
Personal Branding”, sangat menyerupai sebuah “merek dagang”, namun hanya saja berwujud “merek jasa”, “merek reputasi diri”, “merek kompetensi diri”, serta “merek spesialisasi layanan”. Baik “Personal Branding” maupun “Product Branding”, sama-sama bertumpu pada teknik mendasar yang bernama “konsistensi” pencitraan. Mungkin untuk mudahnya kita analogikan dengan standar prosedur operasional (standard operation procedure) maupun ciri khas produk dan layanan sebuah waralaba (francise) di mata masyarakat selaku konsumennya, produknya sama dan serupa pada masing-masing outlet—artinya konsistensi sebagai pilar utamanya.
Begitupula jenis layanan masing-masing outlet, seragam dengan jenis layanan outlet / gerai lainnya dari satu waralaba yang sama. Francise merupakan “branding” baik produk maupun layanan, dan itulah yang dapat dijual kepada pihak yang hendak bekerjasama membeli lisensi pembukaan gerai cabang suatu waralaba. Apakah Anda akan tertarik pada tawaran penjualan lisensi suatu waralaba, bila waralaba dimaksud tidak memiliki konsistensi produk maupun layanan? Yang dijual oleh pemilik lisensi waralaba, ialah produk dan layanan yang telah ter-standar sehingga mudah diidentifikasikan oleh publik calon pengguna barang dan jasa.
Dari contoh sederhana di atas, kita telah mendapat satu “kata kunci” dari proses pembentukan “branding”, yakni adanya suatu standart mutu dan kualitas tertentu dari sebuah produk maupun jasa yang ditawarkan. Standart itu sendiri, hanya dapat dibentuk lewat upaya jangka panjang yang konsisten (dimana konsistensi membutuhkan komitmen tinggi), sehingga melekat di benak khalayak ramai baik konsumen maupun pengguna jasa atas suatu repetisi layanan / produk yang terbukti telah memiliki sebentuk “standart baru”. Yang kemudian tercipta di benak masyarakat, seiring waktu, ialah proses yang bernama “asosiasi”, antara suatu layanan jasa / produk ter-standar dengan sesuatu hal tertentu. Semisal, “ingat hukum, maka ingat hukum-hukum.com” berkat konsistensi ciri khas ulasan yang dipublikasikan dalam website profesi Konsultan Hukum yang penulis dirikan dan asuh ini.
Berbicara perihal “branding”, mau tidak mau kita berbicara perihal “psikologi masyarakat” maupun “psikologi konsumen / calon pengguna jasa”. Sebuah upaya “branding”, hanya sensitif terhadap hal-hal terkait konsistensi sebagaimana telah kita bahas di muka. Sementara perihal “selera pasar”, terkadang pemegang “branding” yang justru “mendikte” kecenderungan pasar—semisal pada dunia mode dan fashion busana. Sebaliknya, tidak sedikit aspek niaga lainnya yang suka tidak suka harus tunduk dan mengikuti arus perubahan “selera pasar”—mereka biasanya bukan “market leader”, namun sebatas “market follower”, demikian para pakar ekonomi pernah menyebutkan.
Sebuah “branding” selalu menyasar segmen pasar tertentu ketika baru pertama kali me-“launching” dirinya ke tengah-tengah pasar. Terdapat penyedia produk ataupun jasa, yang hanya berfokus kepada segmen pasar tertentu, semisal kalangan “kelas atas” dengan hanya memproduksi dan menawarkan produk-produk kualitas premium. Namun tidak sedikit penyedia produk yang menyasar baik kelas menengah ke atas dengan produk-produk “high-end” maupun produk-produk “low-end” bagi kalangan konsumen menengah ke bawah seperti yang jamak menjadi pendekatan strategi pemasaran kalangan produsen telepon genggam / seluler dalam mendiversifikasi segmental konsumennya.
Meski demikian, bagi kalangan penyedia jasa terutama pelaku “Personal Branding”, akan sangat sukar melakukan langkah diversifikasi segmen pasar. Apa jadinya, bila layanan jasa yang ditawarkan oleh sang penyedia jasa, kemudian mendapat stigma “murahan” akibat menawarkan jasanya bagi kalangan yang hanya menghendaki tarif “murahan” atau bahkan yang “rela diberi makan BATU” oleh pihak pengguna jasa. Itulah karakteristik utama yang membedakan antara “branding” kalangan penyedia jasa dan penyedia barang.
Kelemahan kedua dibalik “Personal Branding”, ia sukar mendiversifikasi jenis layanan yang menyimpang dari “core business”-nya. Semisal, apa jadinya bila seorang penyedia jasa tidak berfokus membangun pencitraan spesialisasi kompetensi dirinya, dengan menawarkan pula berbagai layanan jasa dluar bidang-bidang yang selama ini ditekuni oleh dirinya? Menjadi tampak tidak konsisten. Terkadang, stigma yang muncul di tengah masyarakat, seseorang baru dapat disebut sebagai seorang profesional ketika dirinya adalah seorang spesialis, yang hanya membatasi dirinya pada satu bidang layanan jasa tertentu, tidak terbias yang dapat membingungkan publik bahwa dirinya sebenarnya ahli atau pakar dibidang apakah. Hal demikian tidak berlaku dalam hal “Product Branding” maupun “Corporate branding” yang selalu fleksibel sifatnya.
Seorang “Konsultan Hukum”, sebagai contoh, tidak dapat membangun “Personal Branding” dengan merangkap sebagai seorang “Pengacara / Advokat / Lawyer”. Bila seseorang “Konsultan Hukum” merangkap menjadi seorang “Pengacara”, maka dapat dipastikan timbul “conflict of interest” antara dua buah profesi yang dirangkap oleh dirinya. Seorang penyedia jasa dibidang litigasi, mencari nafkah dengan cara menggugat—sekalipun secara yuridis, sang klien dapat diprediksi tidak mungkin menang dari sejak semula. Sementara seorang penyedia jasa konseling seputar hukum, bersifat netral dan objektif dalam memberikan opini hukum, sehingga tidak jarang opsi terbaik bagi klien pengguna jasa ialah langkah hukum diluar gugat-menggugat.
Sehingga, yang menjadi “kata kunci” kedua dari suatu “Personal Branding” bagi kalangan pelaku usaha penyedia jasa, ialah menjadi seorang spesialis (membatasi cakupan layanan yang ditawarkan) disamping melakukan langkah “targeting” segmen pasar, apakah menargetkan pengguna jasa kalangan menengah, kalangan atas, atau kalangan bawah. Kabar buruknya, sekali menetapkan level rendah semisal “Personal Branding” telah terlanjur ter-“framing” diasosiasikan dengan “murahan” karena selama ini menyediakan jasa bagi pengguna jasa kalangan bawah, akan sangat sukar baginya untuk meningkatkan level ke arah segmen pasar yang lebih tinggi, akibat citra “Personal Branding” dirinya telah terbentuk selama sekian lama dan terkristalisasi di benak masyarakat umum. Terkadang, atau mungkin kerap kali, antara “Personal Branding” dan “stigmatisasi”, hanya selisih tipis, seolah hanya seulas benang yang membedakan keduanya.
Bila “stigma”-nya cukup positif dan berkelas, semisal unggul dibidang spesialisasi tertentu, efisien bagi klien pengguna jasa karena cara kerja sang penyedia jasa sangat sigap dan efektif, mampu membuat yang rumit menjadi lebih mudah dan praktis bagi pengguna jasa, holistik dalam menguraikan duduk persoalan serta solusinya, maka itu adalah kabar baik bagi pelaku “Personal Branding”.
Namun, bila telah terbentuk “stigma” berupa “pengacara mantan pekerja di Lembaga Bantuan Hukum”, maka selamanya dirinya akan teramat sukar untuk lepas landas untuk menjadi seorang pengacara kelas atas—kecuali dirinya masih sebagai pengacara tanpa nama ketika menjadi pengacara pada Lembaga Bantuan Hukum sehingga tiada yang pernah akan mengingat ataupun mengenali nama dirinya kala itu.
Menjadi sangat “merusak” reputasi, jika seseorang yang telah memiliki “nama”, kemudian bermanuver dengan menjadi seorang pengacara “pro bono”, maka selamanya dirinya tidak akan pernah lagi naik tingkat karena akan terbentuk stigma “murahan” pada “Personal Branding” diri sang pengacara ternama ini, menjelma “ternama sebagai pengacara murahan yang siap diberi makan BATU”.
Kini, kita masuk pada pokok bahasan perihal “Personal Branding” yang kerap disalah-pahami oleh banyak pelaku usaha khususnya dibidang penyedia jasa. Tidak sedikit kalangan pelaku usaha penyedia jasa, ketika mencoba membangun “image” atau “Personal Branding” dirinya, berasumsi bahwa memiliki sederet dan bergudang-gudang gelar akademik yang memenuhi kartu nama atau nama pada papan kantor hukumnya, akan turut mendongkrak reputasi dan “branding” sang pelaku usaha. Benarkah demikian? Bila itu yang ada di benak Anda, maka yang paling akan senang mendengarnya ialah kalangan pebisnis yang memiliki perguruan tinggi guna “menjual” izasah kepada masyarakat (seluruh universitas sekalipun dibawah naungan yayasan, selalu dipandang sebagai bisnis yang paling menggiurkan).
Sayangnya, mereka telah mis-persepsi perihal gelar akademik. Gelar akademik, bukanlah “Personal Branding” dan tidak akan pernah menjadi “Personal Branding”. Gelar akademik, adalah sebatas sebuah “generic branding”, alias generik saja sifatnya, dimana kesemua orang dapat saja memiliki dan menyandangnya tanpa kesukaran berarti. Tiada suatu keistimewaan apapun dibalik sebuah “generic branding” yang berbiaya mahal serta membuang-buang waktu—sebagaimana kita ketahui, untuk menempuh pendidikan tinggi hukum strata dua bergelar Magister Hukum terlebih strata tiga bergelar Doktoral Hukum, dibutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit, namun ironisnya hanya akan menjelma “generic branding” yang tiada artinya dibanding sebuah “Personal Branding”.
Mengapa gelar akademik, sekadar bernasib sebatas sebagai sebuah “generic branding” yang tiada memiliki nilai sama sekali, bahkan tidak laku saat digadaikan? Coba perhatikan contoh berikut, brandingKonsultan Shietra”—penyebutannya sangat singkat, dan memang harus cukup singkat, bahkan tanpa menyertakan gelar akademik apapun. Bukanlah gelar akademik yang diperhatikan serta diminati masyarakat atas seorang “Konsultan Shietra”, namun adalah ciri khas “Personal Branding” yang dimiliki oleh seorang “Konsultan Shietra”.
Siapa pun dapat memiliki dan menyandang gelar Doktor Hukum, atau bahkan Profesor dibidang hukum, namun di dunia ini hanya ada satu orang “Konsultan Shietra”—ini pun termasuk salah satu teknik “Personal Branding”, yakni hendak menggugah kesadaran masyarakat bahwa gelar akademik tidak memiliki makna berarti ketimbang kekuatan sebuah “Personal Branding” yang lebih melekat asosiasinya di benak audiens.
Berikut akibat jebakan “mental” dibalik iming-iming “masa depan cerah berkat memiliki deretan gelar akademik”. Mengapa juga gelar akademik disebut sebagai “generic branding”? Berikut penjelasannya, kita buka dari kisah seorang Steve Jobs. Siapa yang tidak kenal Steve Jobs, almarhum pendiri pabrikan komputer dan telepon genggam dengan merek dagang “Apple” lengkap dengan “product branding” dengan apel yang telah memiliki sedikit gigitan pada salah satu sisinya. Steve Jobs, bahkan sengaja Drop Out dari kampus tempatnya berkuliah, demi memenuhi panggilan hidupnya untuk menciptakan sistem komputerisasi dari garasi rumahnya bersama seorang sahabat dari Steve Jobs.
Steve Jobs, tidak memiliki gelar akademik pendidikan formil apapun. Seorang Steve Jobs adalah seorang Steve Jobs, dirinya sendiri yang menjadi “Personal Branding” atas dan untuk dirinya sendiri, dimana nama dan sosok dirinya sendiri yang menjadi “Personal Branding” seorang Steve Jobs, bukan perihal ada atau tiadanya gelar akademik yang disandang oleh seorang Steve Jobs. Steve Jobs adalah Steve Jobs. Sebaliknya, terdapat jutaan sarjana di luar sana, namun siapakah yang dapat menandingi seorang fenomenal bernama Steve Jobs, sang legendaris dunia komputerisasi kelas dunia?
Ketika seorang prefesional dibidang hukum berasumsi dirinya dapat mengandalkan deratan gelar akademik untuk membuat jalan karir hukumnya kian cerah dan berjalan mulus serta berkompetisi, maka pertimbangkanlah fakta realita berikut. Jika seseorang berpikir (berasumsi) bahwa memiliki gelar Doktor Hukum adalah suatu jalan yang dapat membuat “cerah” karir hukum bersangkutan, maka faktanya dan senyatanya terdapat ribuan orang di luar sana yang telah menyandang gelar Doktor Hukum. Apakah mereka semua benar-benar menikmati manisnya dunia profesi hukum paska memperoleh gelar akademik tertinggi tersebut?
Jika seseorang berpikir (berasumsi) bahwa memiliki gelar akademik Magister Hukum dapat “mendongkrak” tingkat kemakmuran serta popularitas dirinya dalam bidang profesi hukum, maka faktanya terdapat puluhan ribu orang-orang telah menyandang gelar Magister Hukum di Indonesia, dan faktanya pula banyak diantara mereka yang berakhir sebagai “jobless”, tiada pekerjaan untuk dikerjakan. Karenanya, “generic branding” bukanlah sebuah jaminan selain “kegenitan intelektual”—terbukti dari program studi S-2 dan S-3 Fakultas Hukum justru lebih banyak membahas dan mengupas TEORI ketimbang keterampilan praktis (kecuali Magister Kenotariatan, calon notaris).
Terbukti pula, yang bisa menjadi seorang Advokat, ialah sebatas hanya mereka yang telah mengantungi gelar S-1 Hukum (Sarjana Hukum), bukan mereka yang bergelar Magister ataupun Doktor Hukum. Dengan kata lain, seseorang yang menyandang gelar Magister ataupun Doktor Hukum, justru turun kasta dan turun kelas dari seorang “terampil” menjadi seorang “teoretis”—bukankah itu adalah sebuah pilihan yang kontraproduktif serta berbiaya mahal disamping membuang-buang waktu (kontraproduktif) yang semestinya untuk hal-hal yang lebih produktif?
Tidak sedikit kalangan bertanya, apakah gelar akademik dari penulis, apakah Magister ataukah Doktor Hukum? Yang menjadi jawaban penulis, penulis lebih proaktif berfokus membangun “Personal Branding” (baca : reputasi dan keterampilan profesi), ketimbang gelar akademik yang “genit” namun kosong dari segi esensi. Robert T. Kiyosaki menyebutkan, pendidikan sejati bukan berada di ruang-ruang sekolah ataupun perkuliahan, namun ada di luar sana, laboratorium untuk pembelajaran ada pada lapangan raksasa di luar sana, dalam praktik nyata, dalam bekerja, dalam kehidupan konkret, bukan di menara gading. Robert T. Kiyosaki menyebutkan pula, gelar akademik adalah simbol “anti-education”, edukasi yang justru tidak mendewasakan diri sang pembelajar. Di ruang kelas, Anda bekerja sama dengan peserta lain untuk menjawab soal pada lembaran ujian, maka Anda akan dihukum karena dianggap mencontek. Dalam dunia kerja nyata, untuk bisa berhasil justru kita perlu bekerja sama dan sebuah tim untuk berkolaborasi.
Penulis tambahkan pula, bahwa penulis adalah “mahasiswa abadi” pada Universitas Kehidupan, karenanya sepanjang penulis masih hidup dan bernafas, maka tidak akan pernah memiliki gelar / pengakuan apapun untuk disandang dari Universitas Kehidupan—kecuali setelah ajal menjelang, baru akan lulus di dalam ruang kremasi. Apakah artinya, proses pembelajaran Anda akan berhenti, setelah empat tahun berkuliah pada fakultas hukum untuk memperoleh gelar sarjana, setelah dua tahun berkuliah magister hukum, setelah dua tahun berkuliah doktoral hukum?
Pembelajaran dan menjadi terampil (“maestro”), adalah proses perjalanan sepanjang masa dan sepanjang kita hidup, bukan sifatnya per sekian tahun lantas dianggap telah mencapai suatu tingkat tertentu yang dikemas dengan apa yang disebut sebagai gelar akademik. Saat kini, di Indonesia, jumlah sarjana yang dicetak perguruan tinggi Tanah Air kita baik perguruan tinggi swasta maupun negeri, telah mencapai jutaan warga masyarakat. Namun, mengapa tingkat pengangguran terbuka masih tinggi di Indonesia?
Tingginya angka angkatan kerja lulusan perguruan tinggi kita, yang masih mencari-cari pekerjaan, membuktikan bahwa sekolah formil menjadikan Anda sebagai seorang “pekerja”, bukan untuk menjadikan Anda siap menjelma seorang wirausahawan—kabar buruknya, hanya seorang entrepreneur yang bisa memiliki sebuah “Personal Branding”. Bila Anda adalah seorang pekerja / karyawan, maka sebaik apapun Anda bekerja bagi perusahaan tempat Anda bekerja, yang akan memperoleh “kredit” / reputasinya ialah perusahaan tempat Anda bekerja, bukan diri Anda. Anda harus bekerja bagi diri Anda sendiri, barulah Anda baru dapat benar-benar membangun “Personal Branding”.
Mengapa penulis yang “hanya” bergelar Sarjana Hukum, mampu eksis dan survive ditengah-tengah kompetisi dunia jasa hukum dengan sederet kompetitor yang memiliki gelar akademik “segudang”? Jawabannya sederhana, karena yang penulis andalkan ialah “Personal Branding”, bukan “generic branding”. Berikut pertanyaan sederhana untuk menjawab keraguan para pembaca. Siapakah yang lebih Anda kenal dalam dunia profesi hukum, “Konsultan Shietra” ataukah nama-nama para Profesor Hukum pada perguruan tinggi hukum di Indonesia? Jika memang para penyandang gelar akademik “segudang” tersebut benar-benar berkualitas dari segi kompetensi dibidang hukum, mengapa Anda justru lebih kerap menyimak ulasan hukum pada website profesi hukum yang penulis asuh ini ketimbang membaca karya tulis para Profesor Hukum teresbut?
Untuk sekadar membangun “generic branding”, mengoleksi sederet gelar akademik menjadi cara paling instan untuk ditempuh, cukup beberapa tahun duduk di bangku perkuliahan—sekalipun hanya mendapat “indeks prestasi kumulasi” (IPK) “pas-pas-an”. Siapa pun dapat membangun “generic branding”, semudah mengeluarkan sejumlah modal bernama biaya perkuliahan, bersabar duduk mendengarkan teori yang “menjemukan”, dan berfoto mengenakan toga kelulusan dengan izasah di tangan sembari tersenyum penuh kebanggaan. Bila yang Anda kejar ialah sebatas “generic branding”, maka Universitas Terbuka menjadi opsi pilihan terbaik.
Namun untuk dapat membangun “Personal Branding”, modal utamanya ialah komitmen seumur hidup (bukan hitungan tahun), konsistensi dalam jangka panjang, pengetahuan serta keterampilan intrinsik diri yang “unik”, reputasi profesi, yang mana tidak dapat dibangun lewat “jalan pintas” semacam ber-iklan layaknya “product branding” yang dapat dibangun dalam jangka pendek lewat kampanye iklan yang masif dan repetisi layaknya lagu “jinggle” sebuah produk pada media periklanan.
Bila “generic branding” dibangun cukup dalam jangka pendek (hitungan tahun), dimana bila dirinya kemudian merusak reputasi dirinya sendiri, gelar akademiknya tetap melekat secara utuh. Berkebalikan dengan “Personal Branding” dimana sedikit cacat-cela dapat merusak reputasi yang telah bersusah-payah dibangun sepanjang hayat dirinya berprofesi sebagai bidang profesinya. Lihat nasib seorang pengacara senior “kondang” bernama Otto Cornelis Kaligis, jatuh hanya dalam satu kasus perkara yang ditangani olehnya, ibarat “nila setitik rusak susu sebelanga”. Namun sang OC Kaligis dapat cukup tenang, karena “generic branding” berupa gelar akademik Doktor Hukumnya masih tetap melekat sekalipun telah menjelma narapidana.
Singkat kata, seseorang bukan dikenal karena “generic branding” yang disandang oleh dirinya, namun karena “Personal Branding” yang diberikan oleh masyarakat pengguna jasa. Kita tidak bisa memberikan “Personal Branding” kepada diri profesi kita sendiri, “Personal Branding” adalah “anugerah” / “hadiah” dari masyarakat pengguna jasa. Akhir kata, Anda memilih yang manakah, cukup berbangga diri dan cukup puas dengan “generic branding” ataukah berkomitmen membangun jalan panjang menuju “Personal Branding”? Tidak pernah ada jalan pintas dalam upaya membangun “Personal Branding”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.