Testimoni dan Review oleh Konsumen berupa Kritik, dapatkah Dipidana Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik oleh Pelaku Usaha?

LEGAL OPINION
Question: Apakah sebagai konsumen yang memberi testimoni atau semisal sebagai redaktur tabloit, buletin, atau majalah komputer mengulas suatu produk berupa komponen atau perangkat komputerisasi lalu memberi review berupa opini berwujud ulasan mengenai kelebihan serta kelemahan produk hingga pemberian rating, bisa kena pidana penjara dianggap penghinaan ataupun pencemaran nama baik produsen manufaktur produk yang kita ulas atau testimoni oleh konsumen?
Buat apa ada yang namanya testimoni, jika hanya bersedia mendapat pujian saja, itu namanya iklan kampanye, pesan sponsor, promosi yang terselubung, testimoni yang tidak jujur, bukan testimoni yang objektif dari konsumen. Bagaimana juga perlindungan hukum bagi pengelola majalah yang sudah tentu salah satu topiknya ialah mengulas produk? Bukankah calon konsumen berhak tahu seluruh kelebihan dan kelemahan produk yang beredar di pasaran sebagai keterbukaan informasi? Jangan-jangan kelak, keluhan konsumen ataupun kritik dari ulasan majalah kami pun bisa dipenjara, dengan alasan penghinaan atau sejenisnya.
Brief Answer: Berkata secara jujur, tidak pernah layak diganjar dengan sebuah hukuman, terlebih diancam pidana (punishment). sebaliknya, berkata jujur demi kepentingan banyak orang (kepentingan umum, agar menaruh waspada sehingga tidak lagi jatuh korban serupa atas pengalaman buruk yang diderita / dialami pemberi testimoni), patut diberi “reward” serta dilindungi oleh negara, sebagai bagian dari asas “keterbukaan informasi publik” oleh sesama sipil—yang perlu bersikap transparan bukan hanya negara terhadap rakyatnya, namun juga antara pelaku usaha terhadap konsumennya. Sementara, perihal apakah benar telah jujur atau tidaknya testimoni maupun ulasan (review) diberikan, masuk dalam tataran tanggung-jawab “moral” diri bersangkutan.
Untuk produk-produk berupa barang, mudah untuk membuat alat uji berupa alat ukur semacam alat (“tool”) seperti “benchmark” yang telah umum dikenal oleh para praktisi untuk memberi penilaian secara objektif, dimana pihak konsumen lain dapat membuat uji analisis dengan metodologi yang serupa dengan hasil “output” berupa kesimpulan yang sama dari segi “plus-minus” kualitas-nya.
Namun untuk tataran berupa testimoni ataupun “review” terhadap jasa, sifatnya menjadi sangat subjektif, karenanya kejujuran dari pihak pengguna maupun penyedia jasa menjadi sangat penting—terlebih bila informasi dimonopolisir dan dikuasai semata oleh pihak penyedia jasa, semisal perlakuan dan layanan pihak rumah sakit kepada pasiennya. Sebagai contoh, ketika konsumen atau pihak pengulas seperti redaktur sebuah majalah atau tabloit membuat komentar negatif berupa kritik terhadap suatu penyedia jasa objek rekreasi, sekalipun diberikan telah secara jujur, sebagaimana pengalaman yang dialami secara langsung “apa adanya”, namun kemudian pihak penyedia jasa menilainya sebagai penghinaan hingga pencemaran nama baik yang merugikan usahanya karena ditinggalkan oleh masyarakat wisatawan sebagai akibatnya, maka kembali lagi, aspek “moralitas” dari sang penyedia jasa yang menjadi penentunya.
PEMBAHASAN:
Bila memang pihak konsumen atau redaktur sebuah publikasi media cetak maupun media digital telah sejujur mungkin memberikan testimoni ataupun penilaian dalam suatu ulasan terhadap sebuah produk ataupun jasa yang ditawarkan oleh pihak penyedia jasa, akan tetapi disikapi dengan dipidana “penghinaan” atau bahkan “pencemaran nama baik” oleh pihak produsen ataupun penyedia jasa, maka itu artinya terdapat kesalahan pada aspek “moral” dari sang produsen ataupun penyedia jasa selaku pelapor pemidanaan.
Aspek “moril”, tidak bertumpu pada lingkup keberlakuan hukum negara, namun lebih kepada “Hukum KARMA”. Maka, ketika terjadi kriminalisasi terhadap pihak konsumen pemberi testimoni ataupun terhadap media cetak / online yang memberi penilaian, sekalipun segala kritik dari pihak konsumen dan media cetak / online adalah sekadar mengungkap apa yang mereka rasakan dan pengalaman langsung yang mereka alami sendiri secara “apa adanya” (testimonium auditu), namun berbuntut pada pemidanaan berupa hukuman vonis “penjara” sebagai respond pihak produsen maupun penyedia jasa, maka hal demikian kemudian lebih bertumpu pada “Hukum KARMA” untuk diandalkan dan yang akan mengadili pelakunya.
Sederhananya, bahkan di ruang peradilan sekalipun, ketika seseorang saksi dibawah sumpah memberi testimoni / kesaksian yang dinilai menghina pihak lain dalam perkara tersebut, semisal menyatakan “Tergugat dikenal masyarakat sebagai orang pelit dan kikir suka merampas tanah warga lain”, maka tidak dapat dituntut sebagai penghinaan terlebih pencemaran nama baik, kecuali kesaksian diberikan secara palsu melawan kebenaran dari apa yang ia sendiri ketahui dan sadari. Menurut Anda, kesaksian demikian apakah bukan suatu “opini” yang semestinya diinterupsi oleh hakim yang bijak dan objektif?
Contoh mutlak yang tidak terbantahkan, segala jenis surat gugatan, mengandung klaim-klaim yang berupaya menjatuhkan citra pihak Tergugat, bahkan mengklaim merugi hingga nilai yang fantastis guna menuntut ganti-rugi (tiada gugatan yang tidak “lebai”), semisal dalam gugatan wanprestasi, Penggugat mengklaim Tergugat telah wanprestasi, pembohong, pendusta, kerap ingkar janji, memakan uang orang, jika perlu menyebut telah “membawa lari” istri orang, namun sekalipun gugatan sepenuhnya ditolak oleh Majelis Hakim, tidak pernah terjadi surat gugatan yang sejatinya “menghina” semacam itu berbuntut pada pidana penghinaan ataupun pencemaran nama baik.
Perlu juga untuk mulai dapat kita bedakan, antara “menghina”, “penghinaan”, dan “menghina diri sendiri”. Sebuah aksi perilaku buruk yang tercela, yang dilakukan oleh diri sendiri, tidak dapat dimaknai bahwa orang lain yang telah mencemarkan nama baik dirinya. Pernah terjadi, seorang aktor asal Korea yang tengah “naik daun”, namun kurang dapat menjaga gaya hidupnya, ditemukan sedang mabuk dan tanpa busana di tengah-tengah umum, lalu diliput oleh pers aksi tanpa busananya tersebut. Apakah pers yang meliput dan memberitakan, dapat dipidana “pencemaran nama baik”? Membuat produk atau jasa layanan yang buruk, sama artinya tengah “mencemarkan nama” diri sang pelaku usaha itu sendiri. Pepatah klasik menyebutkan, “buruk wajah janganlah cermin (yang) dibelah”.
Hampir semua gugatan (bila tidak dapat kita sebut seluruh gugatan), selalu mengandung unsur “fitnah”, fakta yang “dilebih-lebihkan”, bahkan hingga menjurus “penghinaan” terhadap lawannya. Mengapa? Karena hakim menilai bahwa Tergugat memiliki hak untuk membantahnya dalam surat jawaban, dan diberikannya kesempatan berupa “hak jawab” atau “hak bantah” demikian sudah cukup memadai, bukan selalu harus berbuntut pada pemidanaan.
Anggaplah, sebuah testimoni oleh konsumen, sebagai bagian dari citizen journalistik, pewarta warga. Menceritakan pengalaman pribadi, dengan syarat tidak “dibumbui” subjektivitas berlebihan, merupakan bagian dari hak asasi manusia itu sendiri yang perlu dihargai masyarakat serta dilindungi oleh negara—bukan sebaliknya untuk direpresi kebebasan untuk berpendapat serta bersuara.
Bila ternyata dalil Penggugat benar dan jujur sepenuhnya, sementara bantahan Tergugat adalah “palsu” alias tidak benar adanya dimana juga hakim justru memihak Tergugat yang benar telah diketahui tengah berkata dusta, maka itu menjadi tataran konteks “Hukum KARMA” sebagai hakim akhir dan eksekutornya. Terlebih bagi masyarakat yang pernah membaca gugatan-gugatan terkait perceraian, segala dalil diajukan, mulai dari pasangan yang berselingkuh atau “main mata” dengan pria / wanita idaman lainnya, menelantarkan keluarga, menganiaya, berkata-kata kasar, kerap menyakiti, hingga berbagai dalil lainnya, maka apakah artinya sang Penggugat tengah “menghina” pasangannya di hadapan hakim serta panitera?
Bahkan, fakta “ia duda”, “wanita ini pernah diceraikan suaminya”, atau “lelaki ini telah kawin-cerai empat kali”, atau bahkan seperti “pria ini punya dua istri”, adalah fakta empirik namun juga selalu berupa “pencemaran nama baik” atau “penghinaan”. Fakta maupun kejujuran, selalu pahit adanya, namun apakah artinya harus selalu berbuntut pada pemidanaan? Seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha, bahwa “hidup adalah dukkha”, sebagaimana juga disetujui oleh aktivis Soe Hoek Gie yang mengatakan “mati muda adalah keberuntungan bagi rakyat yang hidup di tengah-tengah bangsa yang korup”, apakah artinya seseorang warga dapat mengaku-ngaku sebagai wakil Tuhan hendak menggugat serta mempidana Sang Buddha maupun Soe Hoek Gie. Jika memang benar terdapat segelintir warga yang mengaku-ngaku sebagai wakil Tuhan untuk mengajukan tuntutan, mohon tunjukkan Surat Kuasa dari Tuhan yang diperuntukkan bagi Anda.
Sebaliknya, ketika pihak konsumen pemberi testimoni ataupun pihak media cetak / online pemberi penilaian dalam ulasan yang mereka publikasikan kepada kalangan luas, membuat opini sesuai pengalaman ataupun kompetensi yang mereka alami sendiri secara langsung namun secara tidak jujur karena satu atau lebih faktor, dimana pihak produsen ataupun penyedia jasa memilih untuk bersabar diri atau bahkan pengadilan menyatakan terdakwa tidak bersalah dan dibebaskan, maka yang kemudian mengambil-alih tindak-lanjutnya ialah “Hukum KARMA” sebagai pengadil maupun eksekutornya dikemudian hari.
Ada kalanya, pelaku usaha perlu bersabar diri menghadapi konsumen “bodoh” dengan penilaian “bodoh” sang konsumen. Sebagai contoh yang tidak jarang terjadi, konsumen yang “gagap tekonologi”, seketika akan membuat penilaian, bahwa “produk ini buruk”—sejatinya, bukan sang produk yang buruk, namun penguasaan sang konsumen atas teknologi yang buruk, seperti timbul persepsi dalam benak sang konsumen, bahwa yang bermasalah sebenarnya adalah produk tersebut, bukan dirinya sendiri. Tiada konsumen yang secara serta-merta menyalahkan diri sendirinya sebagai memiliki “cacat”—kecenderungan demikian adalah wajar serta cukup “lumrah”, meski tidak sehat adanya.
Namun juga yang perlu kita pahami, “tiada yang bukan opini”. Apakah maksud dibalik pernyataan penulis tersebut? Sejatinya, tiada penuturan baik berupa penuturan deskriptif atas pengalaman kita sendiri sekalipun, yang sifatnya bukan “opini”. Karena, panca indera kita ketika menangkap stimulus berupa objek dan impuls, kesadaran mata-telinga-kulit-lidah-hidung kita kesemua itu melihat segala sesuatu lewat “kacamata” personal yang bernama “persepsi” atau “perspektif”. Karena segalanya sarat “persepsi”, maka tiada testimoni ataupun ulasan yang berupa “opini”.
Contoh yang paling sering penulis jumpai, ialah penilaian terhadap produk bernama “kuliner”. Orang pertama yang mencicipi dan dimintai penilaian, menilai bahwa suatu hidangan tersebut adalah lezat dan telah sesuai, karena dirinya menyukai sensasi rasa asin. Namun, bagi orang kedua yang kurang menyukai rasa asin, dan lebih menyukai rasa asam atau manis, akan menyatakan bahwa hidangan tersebut perlu di-“setel” ulang bumbunya oleh sang koki. Cobalah sesekali berwisata ke Thailand, kemungkinan besar anak-anak dari Indonesia akan merasa tidak cocok dengan kuliner rakyat di Thailand yang serba “asam” citarasanya. Apakah artinya Anda akan memberikan penilaian “bad taste” kepada seluruh hidangan di Thailand? Soal selera (subjektivitas), tidak dapat diperkarakan.
Sebagai contoh betapa “absurd” sekaligus ganjilnya hukum acara perdata kita dalam proses pembuktian berupa tanya-jawab terhadap saksi yang diajukan oleh pihak lawan, kerap kali kuasa hukum yang mengajukan saksi mengajukan keberatan terhadap pertanyaan yang diajukan oleh pihak lawan adalah sebagai bukan kalimat berwujud pertanyaan, namun sebagai sebuah “opini” ataupun “statement”, dimana seringkali juga pihak Majelis Hakim pun turut “menghakimi” demikian kepada sang penanya.
Namun, entah penulis secara pribadi yang tidak mampu memahami perbedaannya atau memang sebaliknya praktik hukum acara perdata di ruang peradilan kita yang selama ini salah-kaprah, sejatinya di benak penulis tiada satu pun pertanyaan yang bukan berupa “opini” ataupun “statement”. Sebuah “opini” ataupun “statement”, yang bila diberikan sebuah “tanda tanya” (?) pada akhir pernyataan yang disampaikan kepada pihak saksi, apakah menjadi bukan lagi sebuah “opini” ataupun “statement”? Sebaliknya juga, apakah ada jenis-jenis kalimat, yang bukan merupakan “opini”?
Contoh, kita dapat berkata pada saksi, bahwa cek atau bilyet giro yang dimiliki oleh lawan kita tersebut adalah “palsu”. Seketika pihak kuasa hukum lawan mengajukan keberatan, atau bahkan Majelis Hakim seketika memberikan teguran keras karena menilai itu sebagai “opini” atau “statement”. Namun, bila pernyataan kita tersebut kepada pihak saksi kita ubah menjadi “Apakah cek yang diajukan sebagai alat bukti dokumen tersebut, adalah palsu?”, maka apakah kalimat demikian, bukan lagi sebuah “opini” ataupun “statement”? Untuk apa juga pertanyaan demikian diajukan, sudah jelas saksi dari pihak lawan akan membantahnya itu sebagai palsu. Lantas, untuk apa juga terdapat sidang acara kesaksian oleh saksi?
Bahkan, jika kita benar-benar menggunakan standar yang sama, dilarang ber-“opini” terhadap saksi yang memberikan keterangan / kesaksian, maka sejatinya ketika Majelis Hakim ataupun kuasa hukum penyaju saksi sedang mengajukan tanya-jawab kepada pihak saksi, tidak satu pun yang tidak dapat kita sebut sebagai lontaran pernyataan / kata-kata mengandung “opini”. Dalam dunia ilmu filsafat dan metafisika, satu kalimat sederhana seperti “bola ini bewarna abu-abu” sekalipun, harus diartikan sebagai sebuah “opini”, karena bisa jadi diragukan kebenarannya. Perspektif orang “buta warna”, ialah tidak mengenal ragam warna, hingga “opini”-nya hanya mengenal tiga pendapat, yakni jika tidak putih maka hitam atau gradasi diantaranya.
Hal demikian memiliki relevansinya terhadap bahasan antara “teks dan konteks”. Teks, bersifat sebagai variabel terikat. Namun, yang selalu menjadi masalah, ialah variabel bebas berupa konteks si penutur maupun konteks sang pendengar, dimana bias persepsi masing-masing dapat membuat pemahaman atas teks yang sama menjadi ambigu. Sebagai misal, pernah terjadi rakyat di Indonesia membuat aksi teatrikal yang menyamakan presiden Kepala Negara-nya sebagai seorang “kerbau”. Apakah simbolisasi berupa “kerbau”, adalah hal yang buruk ataukah sebaliknya sebagai representasi sifat-sifat baik? Bisakah pelakunya dipidana?
Bergantung pada persepsi audiens-nya itu sendiri. Terdapat kalangan yang menilai bahwa seekor “kerbau” adalah simbolisasi “kerja keras” karena seekor kerbau tidak pernah mengeluh ketika membajak sawah petani. Namun, tidak sedikit pula masyarakat kita yang mempersepsikan seekor “kerbau” sebagai lambang “sifat malas dan lamban”. Bukan teks yang menjadi masalah, si “kerbau” juga tidaklah pernah bersalah (jangan kambing-hitamkan si kerbau, si kerbau bukanlah kambing), namun selalu kembali kepada persepsi audiens-nya itu sendiri, apakah sebuah “kritik” akan dimaknai sebagai “celaan” atau justru untuk tujuan membangun yang positif sifatnya. Karenanya, “pro” dan “kontra” dalam suatu proses dialektik, adalah demokratis sifatnya, tidak dapat dipenalisasi bila kita masih mengaku sebagai bagian dari bangsa demokratik.
Seorang ibu dari anak autis, wajar tampak sebagai sosok yang dingin. Begitu pun anak dari orangtua yang kekanakan, wajar tampak sebagai sosok yang dingin. Hanya mereka yang sehari-harinya menghadapi sikap-sikap yang membuat mereka letih serta betapa mental mereka terkuras, membuat mereka tampak sebagai pribadi yang dingin. Sama wajarnya dengan seorang pemberi kerja yang dalam keseharian tampak pemarah, akibat terkurasnya energi mental akibat menghadapi karyawan yang kelewat bodoh”-nya. Contoh lainnya, bisa jadi orang lain yang melihat betapa penulis makan sangat banyak di siang hari, pastilah tidak sedikit di antara mereka yang menilai betapa penulis adalah orang yang “rakus” makan. Namun, siapakah diantara mereka yang mengetahui bahwa penulis selama ini melakukan praktik latihan Uposatha, yakni tidak makan malam. Bukan soal “makan siang yang banyak” yang menjadi masalah, namun adalah keterbatasan perspektif masing-masing individu yang melihat dan menilainya.
Sama halnya, ketika ulasan ini disusun, baru-baru ini pihak Kantor Pajak membuat sosialisasi ke berbagai media ketika Indonesia sedang dirudung wabah pandemik Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang mematikan dan merusak sendi ekonomi rakyat (konteks), bahwa pemerintah memberlakukan kebijakan relaksasi tenggat waktu pelaporan SPT pajak tahunan bagi wajib pajak perorangan maupun badan hukum (teks yang dikomunikasikan oleh pemerintah). Disaat bersamaan, pihak Kantor Pajak menyampaikan pula ancaman terbuka kepada publik, bila lewat dari relaksasi tenggat waktu paling lambat penyampaikan SPT pajak, maka akan dikenakan denda senilai ratusan ribu Rupiah hingga jutaan Rupiah.
Bagi sedikit rakyat, sosialisasi Kantor Pajak di tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak kondusif, bisa saja dinilai sebagai “kelonggaran” tempo waktu pelaporan pajak yang cukup membantu meringankan beban mental. Namun, tidak sedikit kalangan yang menganggap, itu adalah sebentuk “tamparan” bagi rakyat kecil yang tidak mendapatkan bantuan sosial ketika warga terdampak wabah (timbul kecemburuan sosial lewat diskriminasi perlakuan pemerintah yang mereka alami) disamping betapa “kejam”-nya pemerintah yang selama ini “getol” memungut pajak, namun giliran rakyat mengalami masalah keuangan akibat wabah, justru diancam dengan DENDA? Lantas, untuk apa juga selama ini rakyat membayar pajak bila saat kesulitan ekonomi mendera, negara sama sekali tidak hadir di tengah-tengah masyarakat untuk menolong, bahkan masih pula melontarkan ancaman berupa DENDA ratusan ribu hingga jutaan Rupiah?
Kembali pada perihal “opini” dan “persepsi”, ketika Majelis Hakim bertanya kepada saksi yang dihadapkan oleh pihak lawan, “Kapan Anda berjumpa dengan Penggugat?” Dalam kajian ilmu filsafat, itu adalah opini sang hakim (sayangnya, para pihak tidak dapat menginterupsi “keberatan” terhadap pertanyaan seorang hakim), karena bisa jadi komunikasi lewat teleconference tidak dapat dimaknai sebagai berjumpa, setidaknya tidak secara langsung bertatap muka dalam batasan satu ruang. Dalam hati, sang saksi berkata, si hakim tidak bertanya berjumpa tatap-muka langsung dalam ruang yang sama atau lewat fitur “video call” di HP, berarti saya tidak berkata bodong.
Dimana Saudara Saksi pernah menjumpai Penggugat?” sang hakim kembali bertanya. Padahal, secara metafisika, belum tentu sang saksi pernah benar-benar menjumpai si Penggugat, atau bahkan sang hakim karena keterbatasan persepsi-nya, mempercayai “mentah-mentah” pengakuan atau klaim sang saksi bahwa dirinya pernah menjumpai si Penggugat. Sekali lagi, tiada yang murni pertanyaan, kalimat, deskripsi, ataupun sebagainya, semua adalah “opini” serta “statement”, tanpa pengecualian, apapun tanda simbolisasi di bagian akhir kalimat tersebut, baik tanda tanya (?), tanda seru (!), tanda koma (,), maupun tanda titik (.). Bahkan, memilih opsi “diam” pun adalah sebuah “opini”, dimana persepsi audiens-lah yang bermain, “diam sebagai penyetujuan’ ataukah “diam sebagai penolakan”.
Bila ada diantara kita yang tidak mempercayai bahwa sebuah tanda koma (,) sekalipun mengandung “opini”, baik “opini” dari pembicara maupun dari pihak audiens (perhatikan, kedua belah pihak memandang segala sesuatunya berdasarkan perspektif cara memandang dalam diri mereka masing-masing), maka semudah inilah cara penulis untuk “menjatuhkan” mental lawan: Siapa bilang saya pernah membuat pernyataan demikian, saya belum selesai bicara dan menjelaskan secara utuh seluruh kalimat saya, namun telah Anda interupsi, sehingga makna yang hendak saya sampaikan menjadi terbias oleh interupsi Anda. (Lantas, perihal kapan tanda titik “.” telah benar-benar efektif terjadi, hanya penulis pribadi yang mengetahui dan mengaturnya. Itulah kelemahan komunikasi verbal. Sayangnya, penulis bukan tipe orang yang “tong kosong banyak gaung-gema bunyinya”)
Komunikasi verbal maupun nonverbal merupakan tataran permainan bahasa dalam mengkomunikasikan suatu ide, gagasan, kecemasan, espektasi, emosi, pendapat, ataupun opini, tidak pernah ada deskripsi secara netral dan objektif sepenuhnya—namun selalu disusupi “kepentingan” yang subjektif sifatnya, entah “kepentingan” untuk menegakkan keadilan, atau bahkan sebaliknya untuk merintangi terungkapnya kebenaran. Postulat tersebut perlu kita pahami betul, agar tidak mudah membuat suatu “penghakiman”.
Kembali pada bahasan semula, relevansinya ialah sebuah testimoni ataupun uraian apapun, sifatnya selalu adalah sebuah “opini”, dimana kita ketahui, “opini” selalu mengandung muatan unsur “subjektivitas”—dan bukanlah hal yang tabu ataupun keliru sama sekali, sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, bahwa subjektivitas sebuah “opini” adalah hal yang wajar. Bisa jadi, bukan perspektif pihak pemberi “opini” berupa testimoni ataupun “reviewer” yang bermasalah, bisa jadi perspektif pihak-pihak yang mendengar atau membaca testimoni atau “review” tersebut yang memiliki masalah. Semisal, kritik yang dimaksud untuk “membangun” justru dimaknai pihak penyedia jasa sebagai sebuah ajang “menjungkalkan” (telah ber-“negative thinking”, bahasa sederhananya).
Sukar sekali mengandalkan proses pembuktian di persidangan perkara pidana pada peradilan di negeri kita untuk menemukan kebenaran dibalik sebuah “opini” terlebih “subjektivitas”. Sebagai contoh dalam perkara pidana Rumah Sakit OMNI Vs. Prita Mulyasari, apakah testimoni oleh Prita Mulyasari mengandung “opini” yang tidak jujur dan mencemarkan nama baik OMNI Hospital? Siapa yang tahu?
Bahkan, dapat kita sebutkan, Majelis Hakim di Pengadilan Negeri hingga Hakim Agung tingkat Peninjauan Kembali, telah ber-opini dalam putusannya, bahwa sang terdakwa memiliki niat buruk atau tidaknya ketika membuat “diary” pengalaman hidupnya. Apakah sang hakim memiliki kemampuan membaca pikiran sebagai “indera ketujuh”? Bagaimana mungkin, seorang Hakim Agung sekadar membaca berkas perkara, bahkan tidak pernah bertatap-muka langsung dengan terdakwa, lantas merasa berhak dan berani mengadili sebagai bersalah atau tidaknya.
Bila yang dimaksud dengan “tidak jujur” ialah adanya “subjektivitas”, maka sebagaimana yang telah berulang-kali penulis sebutkan, tiada “opini” yang tanpa disertai elemen / unsur subjektivitas, serta tiada testimoni ataupun pernyataan apapun yang bukan merupakan “opini”—itulah semua “benang merah”-nya. Hanya saja, yang menjadi masalah, apakah “subjektivitas” seseorang tersebut, baik si penutur maupun perspektif pendengarnya, sifatnya mendekati murni sejujur mungkin atau tidaknya. Sekali lagi, siapa yang tahu, kecuali “Hukum KARMA”?
Karenanya pula, lebih ideal bila tataran perihal “testimoni” seseorang yang megnaku sebagai seorang konsumen ataupun “review” produk / jasa oleh kalangan media, cukup diserahkan kepada mekanisme “Hukum KARMA”, sebagai pengadil untuk mengadili serta memberi hukuman bagi pelaku yang memiliki niat buruk (niat buruk bukanlah perspektif, namun keinginan yang disadari oleh pelakunya) terhadap pihak lain—terutama bila pihak pemberi testimoni ataupun “review” ternyata mengandung muatan niat jahat atau bahkan “pesan sponsor” dari pihak ketiga (black campaign).
Hukum negara, terlebih hukum acara pidana konteks stelsel hukum pembuktian, mengandung banyak kelemahan serta cacat mekanisme. Karenanya, janganlah memaksakan diri menempuh “kriminalisasi” berupa pemidanaan—tujuannya agar tidak tidak salah membuat vonis hukuman, alih-alih mengadili (akar kata “adil”) menjelma “penghakiman” (akar kata “menghukum”), karena bisa jadi terdakwa benar-benar tidak memiliki niat buruk, niatnya adalah murni (perspektif yang tidak dapat “murni”, namun niat dapat “murni”) semata memberi testimoni sesuai pengalaman, pencerapan, memori, perasaan, serta pemikiran yang dirinya alami sendiri.
Segala informasi yang kita tangkap oleh panca indera, sifatnya dicerna oleh pikiran dan perspektif kita masing-masing. Sehingga, tidak mengherankan bila selalu mengandung unsur subjektivitas ketika kita mengolah berita yang sama dengan yang orang lain tangkap, namun kita bisa jadi kemudian membuat komentar yang mengandung “opini” berbeda dari pendapat (“opini”) orang lain (“output”) sekalipun terhadap objek pemberitaan yang sama. Begitulah cara kerjanya, bagaimana segala “input” selalu diolah dalam proses pencernaan informasi yang tidak “suci hama” dari perspektif.
Ruang peradilan kita, terutama perkara pidana, cenderung “memaksakan diri” dengan tetap menyidangkan perkara-perkara dengan dakwaan berupa tuduhan terjadinya penghinaan ataupun pencemaran nama baik terhadap konsumen pemberi testimoni ataupun “review” sebuah produk / jasa oleh sebuah media—sekalipun lembaga peradilan kita sadar betul keterbatasan serta kelemahan mereka dalam “membaca isi pikiran” seseorang—selain sekadar berasumsi bahwa terdakwa memiliki niat buruk atau tidaknya. Itulah sebabnya, tidak mengherankan bila penulis menyebutkan bahwa wibawa peradilan kita bertopang pada pilar rapuh bernama “asumsi”. Jika Anda benar-benar mencari keadilan, jangan pernah mengandalkan hukum negara, aparatur kepolisian, terlebih ruang peradilan—kesemua itu adalah ajang “spekulasi”, beruntung jika Anda berjumpa polisi, jaksa, maupun hakim yang baik, jika tidak?
Bisa jadi, niat dan motif pelapor yang paling patut untuk diragukan. Sekali lagi, perihal topik dengan konteks ini, cukup diserahkan kepada “Hukum KARMA”, baik ketika konsumen atau media di-kriminalisasi, atau ketika seorang konsumen / media membuat testimoni / “review” yang tidak jujur dan mengandung niat buruk. Jangan pernah menaruh harapan semu seolah keadilan benar-benar mampu dihadirkan tanpa adanya cacat oleh “hukum buatan manusia”, terlebih ruang peradilan maupun aparatur penegak hukum di Indonesia yang masih terkonotasi dengan “korup” serta penuh keterbatasan. Ketidak-adilan terbesar, justru terjadi di gedung pengadilan serta di kantor kepolisian—terutama faktor pengabaian dan penelantaran.
Sebagai penutup, agar lebih berimbang, cobalah pertimbangkan apa yang penulis paparkan berikut. Dari perspektif korban “kriminalisasi” akibat testimoni atau “review” yang dibuat olehnya atas suatu barang / jasa, sama artinya pihak pelapor selaku produsen / penyedia jasa telah dua kali melakukan kejahatan terhadap sang korban “kriminalisasi”. Pertama, sang pelaku “keburukan” telah merugikan sang korban. Kedua, meng-“kriminalisasi” konsumennya sendiri. Namun, dari perspektif pelapor, jika terdakwa pada akhirnya dibebaskan pengadilan, siapakah yang akan tampak tampil sebagai sosok “penjahat”-nya oleh publik?
Selalu ada yang “harga” yang harus dibayarkan, itulah esensinya. Ada kalanya, hukum negara harus menyatakan “tidak bersedia mengadili” dan mulai menyadari keterbatasannya sendiri untuk mengungkap kebenaran materiil—bukan memaksakan diri seolah benar-benar mampu dan patut “membaca isi pikiran” orang lain. Mengapa aparatur penegak hukum kita, tidak mulai mencoba membaca isi pikiran sang pelapor, alih-alih sang terlapor?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.