KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Salah Strategi Hidup Berbuah Petaka, Belajar untuk Menjadi Warganegara yang Bijaksana

ARTIKEL HUKUM
Tidak Pernah Ada Istilah APA BOLEH BUAT. Hidup Butuh Strategi, Menabung Saat Kondisi Normal dan Berani Mengeluarkan Dana Tabungan Saat Keadaan Genting. Tanggung Jawab atas Diri Kita, Ada pada Diri Kita Sendiri dan Dipikul oleh Diri Kita Sendiri
Tidak pernah ada yang mewajibkan kita untuk menikah dan memiliki banyak anak bila memang tingkat ekonomi atau penghasilan sang warga hanya sebatas “rata-rata” atau setingkat Upah Minimum Regional, sehingga adalah sebentuk “pembenaran diri” (justifikasi diri) bila kondisi dalam ikatan perkawinan dan banyak anak yang meminta makan dan butuh biaya untuk menyekolahkan anak, dijadikan sebagai alasan untuk melakukan tindak kejahatan seperti mencuri atau merampok bahkan menipu, dengan semudah mendalilkan “terdesak oleh kondisi dan kebutuhan ekonomi”—yang di mata penulis lebih menyerupai alasan atau kesulitan yang dibuat-buat serta dicari-cari sendiri, sepanjang masih tiada larangan di republik tempat kita hidup untuk memilih hidup secara melajang atau menikah namun tanpa berniat untuk memiliki anak / keturunan.
Dirinya sendiri yang memilih untuk menikah dan memiliki banyak anak. Menikah dan berkeluarga, memang adalah hak asasi manusia. Namun, jangan memaksakan diri untuk “lebih besar pasak daripada tiang”. Mampu mengukur kemampuan diri sendiri, dengan cara itulah kita dapat hidup harmonis terhadap kehidupan, tanpa memaksakan situasi diri kita serta tidak memaksakan kondisi diluar diri kita.
Hal ini ibarat contoh ekstrimnya, yakni seseorang yang ingin hidup mewah dengan memiliki gadget canggih keluaran terbaru, namun mencoba memaksakan dirinya karena mendapat upah bulanan dari pekerjaannya sebagai pegawai tingkat buruh hanya sebatas Upah Minimum Regional Kabupaten / Kota, lalu mendalilkan bahwa dirinya juga berhak untuk hidup gembira dan memiliki gadget canggih layaknya anak-anak muda lainnya, sebagai alasan atau alibi untuk melakukan pencurian, pencopetan, dan lain sebagainya. Apakah alasan demikian, dapat dijadikan “alasan pembenar” terlebih sebagai “alasan pemaaf”?
Terdapat pepatah mengatakan, “motor bebek” hendaknya tidak mengharap dan tidak menuntut untuk mengikuti ajang adu motor di sirkuit balapan kendaraan bermotor melawan motor-motor berkaliber tinggi. Mungkin, bahasa singkatnya ialah “sadar diri”, mampu bercermin dan mengakui keterbatasan dirinya sendiri. Tidaklah etis, karena kemalasan atau tingkat ekonomi dibawah garis kemiskinan, lalu menuntut agar “fakir miskin dipelihara oleh negara”. Bagaimana pun, kita memiliki tanggung-jawab oleh dan terhadap diri kita sendiri, sebelum kita mampu bertanggung-jawab terhadap pihak lain.
Saat uraian ini disusun, baik negara kita maupun dunia global sedang mengalami “great depression” yang luar biasa meruntuhkan struktur kehidupan penduduk masing-masing negara terjangkit yang telah relatif mapan, disamping tentunya turut memukul sendi-sendi ekonomi maupun sendi-sendi kesehatan berbangsa dan rakyatnya, yakni saat merebaknya pandemik global yang kemudian juga turut menjadi pandemik nasional di Indonesia, yakni serangan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dimana terjadi kelangkaan barang maupun bahan-bahan kebutuhan pokok yang kalaupun masih tersedia di pasaran maka harganya melonjak drastis akibat suplai yang berkurang atau bahkan terputus sama sekali akibat industri berhenti beroperasi, sementara banyak terjadi pemutusan hubungan kerja maupun proyek-proyek bisnsis yang terhambat atau bahkan terhenti sama sekali (mangkrak).
Banyak keluhan dialamatkan oleh masyarakat kita di Indonesia yang menganggap kebijakan pemerintah di negaranya dalam menanggapi pandemik wabah COVID-19, sekalipun saat ulasan ini disusun, wabah COVID-19 yang menjangkit di Indonesia baru memasuki bulan pertama (belum memasuki dan tidak terbayangkan untuk bulan kelima dan seterusnya, kondisi pada bulan pertama sudah mendekati kondisi “pra-kiamat”), seperti lesunya kegiatan ekonomi, kelangkaan produk kesehatan hingga harga kebutuhan pokok, kian merangkak naik serta demikian mahalnya harga kebutuhan pokok, bahkan hingga ancaman kredit macet yang menghantui banyak pelaku usaha swasta korporasi maupun pelaku usaha mandiri / kemitraan.
Kembali lagi, konteks ulasan ini ialah disusun saat masih memasuki bulan pertama dari wabah COVID-19 ketika turut menjangkit di wilayah Negara Kesaturan Republik Indonesia. Entah apa yang akan terjadi dimasa depan, namun inilah potret gambaran nyata yang terjadi sebagai rekaman sejarah yang demikian kelam dan ibarat “langit akan runtuh” tanpa diduga-duga yang membuat kita tersentak, betapa ringkih sekaligus rapuh-semu-nya arogansi ras yang bernama umat manusia.
Ternyata, umat manusia yang demikian menyombongkan dirinya dengan teknologi canggih, kepongahan sikap layaknya premanisme, menganggap sebagai makhluk tertinggi derajat hierarkhinya dalam “rantai piramida makanan” hingga merasa berhak menjadi predator bagi makhluk hidup lainnya, berujung pada tunduknya banyak umat manusia kepada supremasi makhluk yang sangat rendah evolusinya dan berukuran mikroskopic bernama Virus Corona. Jangankan kita berbicara perihal UFO (unidentified flying objec) semisal ET atau alien yang mendatangi dan menjajah Planet Bumi, ternyata kita “pontang-panting” dibuat oleh makhluk yang sangat rendah tingkat evolusinya dan sangat “mini-imut”. Sejatinya, penduduk di Bumi ini masih sangat “terbelakang” serta “primitif”, karenanya sebagai momen reflektif untuk mulai saat kini sudah sepatutnya kita sisihkan segala kesombongan dan kecongkakan diri kita.
Nenek moyang kita, PASTI-lah pernah mengalami wabah semacam pandemik Virus Corona, entah apapun varian atau strain dengan ancaman yang bisa jadi jauh lebih mematikan, sehingga kita sebagai generasi penerus mewarisi hasil evolusi manusia nenek-moyang kita, berupa sistem imunitas tubuh terhadap serangan partikel asing, bernama antibodi.
Namun, perbedaan paling kontras sekaligus paling mencolok antara generasi masa kini yang demikian “arogan”, “pongah”, “sombong”, atas kemampuan dirinya dalam mengendalikan dan mengoperasikan teknologi-teknologi canggih, memiliki kendaraan bermotor yang dapat melaju dalam kecepatan ratusan kilometer per jam yang melampaui kecepatan lari seekor cheetah tercepat sekalipun, tinggal dalam perumahan permanen berdinding plesteran semen, namun ternyata sangat goyah ketika berhadapan dengan makhluk organisme berukuran sangat kecil ini dan langsung merasakan seolah “langit akan runtuh”.
Nenek moyang kita dapat bertahan dan tetap “survive” dalam kondisi cuaca ekstrim saat dapur magma perut Bumi masih sangat bergejolak, serta pergeseran lempeng bumi yang belum stabil, hewan-hewan mengerikan sebesar dinosaurus, penyakit-penyakit mematikan yang belum dipahami, bentang alam yang sukar ditaklukkan, alat budidaya tani yang sederhana, cara hidup nomaden, kesulitan air bersih dan sanitasi saat musim kemarau, musim dingin bersalju ekstrim yang menghabiskan seluruh stok makanan mereka, dan berbagai penyulit lain lengkap dengan segala kesukaran hidup yang tidak bisa kita bayangkan layaknya kemudahan hidup kita dewasa kini. Sejarah umat manusia, sudah sama tuanya dengan umur Planet Bumi tempat kita berpijak dan berputar bersama dengannya ini.
Entah bagaimana, manusia modern sekalipun dimanjakan berbagai kemewahan maupun kemudahan hidup serta kecanggihan teknologi maupun berbagai kemajuan ilmu pengetahuan terutama sejak ditemukannya listrik beserta perangkat elektronika, serta modernisasi transportasi hingga urusan medis, manusia justru kian semakin “ringkih”, rapuh, bagai sebatang pohon yang berdiri tegak menjulang tinggi, namun ternyata isi di dalam rongga batangnya sangat rapuh dan siap tumbang sewaktu-waktu karena manajerial keuangan skala rumah-tangga yang cukup buruk. Keinginan tiada batasan dan tiada kenal puas, sementara godaan untuk hidup “hedonis” selalu mewarnai setiap sapuan pandangan mata kita, membuat banyak diantara masyarakat kita yang gagal untuk menekan pengeluaran harian dan bulanan.
Ketika terjadi krisis ekonomi tatkala wabah Corona Virus menjangkiti teritori nasional kita, banyak diantara pekerja maupun pelaku usaha yang menjadi in-aktif karena terpaksa merumahkan diri atau dirumahkan. Alhasil, pendapatan menjadi merosot atau bahkan terputus sama sekali karena tiada faktor produksi serta aktivitas pasar melambat karena daya beli konsumen menurun disamping supply barang yang terganggu atau bahkan menjadi langka. Banyak diantara kita yang berpikir, pada saat seperti itulah kita harus berhemat sehemat-hematnya. Betulkah sudut pandang demikian, ataukah dapat menjurus pada membahayakan diri sendiri?
Namun, banyak pula diantara mereka tersebut yang tidak memahami bahwa cara berpikir atau paradigma-pikir semacam itu adalah keliru besar. Justru selama ini kita harus hidup berhemat dengan menyisihkan separuh penghasilan bulanan untuk keperluan menabung dalam konteks keadaan normal, dalam rangka untuk mengantisipasi munculnya keadaan genting atau keadaan-keadaan penyulit lain yang tidak dapat diprediksi sebelumnya semacam wabah COVID-19 yang tidak dapat kita tolak kemunculannya ke dalam dunia manusia.
Ketika keadaan genting seperti sekarang ini kemudian benar-benar muncul, maka kita tidak boleh bersikap “pelit” untuk menggunakan dana cadangan / tabungan yang selama ini kita tabung selama bertahun-tahun kita hidup dalam kondisi normal (patut kita sadari, keadaan genting tidaklah selama keadaan normal, dimana selama puluhan tahun terakhir belakangan ini, barulah terjadi satu kali wabah pandemik mematikan semacam COVID-19).
Dengan kata lain, alam telah memberikan kita waktu yang lebih dari cukup untuk mempersiapkan diri, terutama penguatan basis tabungan masing-masing individu—“prepare for the worst case”, bersiap diri untuk skenario terburuk. Nenek-moyang kita, yang tidak pernah mengenyam fungsi lembaga perbankan untuk menabung, ternyata dapat tetap survive berkat gaya hidup sederhana dan kehidupan mereka yang bersahaja.
Orang kebanyakan tidak terkecuali pemangku jabatan negara kita justru menggunakan pendekatan sebaliknya, serba “boros” saat keadaan normal, dan “pelit-kikir” saat keadaan genting (berhemat yang salah waktu dan salah tempat), padahal yang benar adalah sebaliknya, dimana kita jangan “pelit” untuk membeli segala kebutuhan pokok dan suplemen penunjang kesehatan saat keadaan sedang genting-gentingnya virus mematikan sedang mengancam serta menyerang masyarakat tanpa kenal kompromi, karena jika kita bersikap “pelit-pelit” maka bisa fatal akibatnya.
Justru pada saat pandemik mematikan seperti COVID-19 inilah, kita perlu cukup berani menganggarkan dan mengeluarkan budget lebih dari bulan-bulan biasanya sewaktu keadaan masih normal, untuk biaya membayar kurir, biaya pembelian suplemen kesehatan, serta membeli bahan kebutuhan pokok secara cukup sekalipun harganya melambung tinggi dengan harapan vitalitas tubuh tidak menurun saat pandemik masih merebak secara tidak “kasat-mata” agar dapat bertahan secara optimal dari pandemik—bukan justru sebaliknya mencukupi segala kecukupan gizi dan nutrisi saat keadaan normal, bahkan cenderung berlebihan (boros), dan bersikap penuh “hemat” saat keadaan “darurat / urgen untuk sehat”.
Siapa pun yang pernah terlibat dengan instansi pemerintahan, apapun itu lembaganya, mulai dari kantor Kelurahan, Badan Pertanahan, hingga peradilan sekelas Mahkamah Agung RI, pastilah tahu betul betapa aparatur pemerintah kita sangat boros soal anggaran, mulai dari gaji ke-14 bagi Aparatur Sipil Negara yang lebih banyak menjadi “benalu” ketimbang “mengabdi bagi bangsa”, meeting-meeting di hotel berbintang sekalipun memiliki fasilitas meeting pada kantor pemerintahan mereka sendiri, seolah bukan “proyek yang menghabiskan anggaran belanja negara” namun “proyek untuk menghabis-habiskan anggaran negara” dimana penulis mampu mempertanggung-jawabkan pernyataan penulis tersebut.
Kita tidak dapat selamanya atau dalam seluruh hal mengandalkan pemerintah ataupun itikad pemerintah yang kadang kala bertentangan dengan kehendak dan kepentingan publik, kita sendiri yang perlu menggali informasi secara swadaya, mandiri, serta berdaya. Sebagai contoh, banyaknya informasi resmi dari pihak pemerintah Indonesia bagi warganya yang justru saling simpang-siur antar juru bicara yang satu dan yang lainnya. Tiada satu pun diantara juru bicara resmi pemerintahan kita yang memberikan edukasi berupa pengetahuan praktis maupun pengetahuan bagi masyarakat sehingga masyarakat menjadi tahu dan paham siapa atau apa itu Corona Virus, serta cara menangkal dan mengatasinya. Pemerintah berasumsi, kalangan dokter merupakan juru bicara yang ideal, namun itu adalah asumsi yang keliru, karena seorang dokter bukanlah seorang “ahli /spesialis dibidang virus”.
Sebagai contoh, ketika kita tidak mengetahui karakter, kelemahan, serta kekuatan lawan kita, maka kita akan diliputi ketakutan dan merasa tidak berdaya—justru yang disebut terakhir itulah yang paling berbahaya, karena tidak menjadi tidak tahu apa langkah yang paling tepat untuk dapat kita lakukan. Semua menjadi serba “meraba-raba” dalam kegelapan.
Sebagai contoh, dahulu kala, sebelum kita memiliki ilmu pengetahuan canggih berupa televisi yang menayangkan kehidupan bawah laut, kita merasa begitu ketakutan terhadap dunia asing misterius dibawah permukaan air laut, lengkap dengan segala misteri tentang makhluk-makhluk raksasa “mengerikan” di dalamnya. Kita mungkin saja akan menganggap bahwa hewan-hewan semacam kepiting, lobster, ikan paus, cumi-cumi dan gurita, adalah monster mematikan dan mengerikan—karena kita tidak mengetahui karakter mereka, masih sangat asing dan terasingkan dari kita. Sehingga akan sangat berbeda ceritanya ketika umat manusia telah menjadikan hewan laut tersebut sebagai objek penelitian yang bermuara pada pengetahuan umum, lengkap dengan segala karakternya, sehingga kini hewan-hewan tersebut yang paling patut merasa takut terhadap manusia yang saat ini justru memburu dan memangsa mereka, bukan sebaliknya.
Kemungkinan besar diantara para pembaca baru mengetahui informasi sebagaimana berikut ini, karena memang tidak pernah disosialisasikan oleh pemerintah selaku otoritas negara. Menurut sosialisasi dari salah satu ahli virus (virologi) yang disiarkan oleh salah satu radio swasta nasional, bahwasannya terdapat dua ragam virus dari jenis struktur tubuh luarnya, yakni virus tanpa “cangkang” dan virus dengan “cangkang” (semacam kapsul / tablet yang didalamnya terdapat kode genetik maupun RNA sang virus). Virus dengan “cangkang”, ada semacam pembungkus tubuhnya yang terbuat dari protein semacam lemak, dan kebetulan Virus Corona berjenis virus dengan cangkang protein.
Protein yang menjadi cangkang virus ini, akan hancur jika terkena cairan pembersih yang biasa kita jumpai pada rumah-tangga, seperti cairan pembersih lantai, deterjen untuk keperluan mencuci baju, sabun batang untuk mandi, sabun cair untuk cuci tangan, dan PEMBERSIH PIRING (yang selama ini kita pakai untuk membilas piring berminyak).
Disinfektan alami selain “hand sanitiser” yang mengandung alkohol, ialah daun sirih, terutama sirih merah. “Hand sanitiser” yang dijual bebas tidak cocok buat tangan untuk makan makanan, karena mengandung alkohol 70 persen disertai H202 (hidrogen peroksida yang sifatnya keras). Alkohol dibawah 62 persen tidak efektif membunuh Virus Corona, bahkan virus ini berpotensi menjadi kebal karena mutasi. “Hand sanitiser” oplosan banyak yang tidak pas kadar alkoholnya antara 62 sampai 72 persen (kadar yang paling efektif membunuh Corona Virus). Akan lebih ideal, bila masyarakat memiliki bahan baku pembuatan “hand sanitiser” tidak meng-oplos sendiri terlebih guna diperjual-belikan, dapat meminta tolong apoteker pada berbagai apotek untuk mencampur ramuan tersebut hingga kadar yang tepat.
Jika tidak terdapat “hand sanitiser” yang konvensional untuk menghancurkan Virus Corona, maka KHUSUS untuk menghadapi Virus Corona (sekali lagi, ada jenis virus lain diluar Corona yang tidak memiliki cangkang dari protein sehingga tips berikut ini tidak diperuntukkan untuk menangkal semua jenis virus), buat saja cairan dari pembersih piring untuk keperluan mengelap handphone, sebagai cairan tissue basah, dan keperluan lainnya sebagai pengganti “hand sanitiser” ketika menuju keluar rumah dan sekembalinya ke rumah. Dalam waktu beberapa menit, Virus Corona yang terkena peluruh minyak itu akan mati bila cangkang proteinnya rusak.
Jangan jadikan deterjen atau pembersih lantai, klorin, pemutih pakaian (merek apa saja) untuk ke tubuh manusia, itu semua disinfektan untuk benda mati. Kedua, sifat virus ialah mudah berkembang biak dengan 3 syarat: lembab, gelap, dan dingin. Sehingga, percuma saja ketika warga maupun pemerintah hendak menyemprotkan disinfektan ke tempat-tempat yang kering, terang, dan panas.
Ketikdak-tahuan kita atau bahkan ketidak-tahuan pemerintah atas karakter, kelebihan, serta kekuatan lawannya satu ini, mengakibatkan kebijakan pemerintah akan seolah tidak tepat sasaran seperti menyemprotkan disinfektan ke permukaan jalan di tengah siang hari dimana sinar ultraviolet sedang sangat terik-teriknya menyengat.
Begitupula ketika warga secara swadaya hendak menyusun strategi penanggulangan penyebaran wabah pandemik apapun, jangan menunggu instruksi ataupun rambu pedoman dari pemerintah yang belum tentu kompeten sekalipun dilengkapi begitu banyak personel yang menghabiskan sebagian besar anggaran belanja negara (uang rakyat), namun cobalah secara mandiri menghimpun informasi serta membuka mata kita dari karakteristik penyebab ancaman, semisal pengetahuan seputar kelebihan dan kelemahan virus penyebab COVID-19, serta ketahui dan kelemahan diri kita sendiri, bukan memaksakan keadaan dan diri kita sendiri (inilah yang paling terpenting).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.