Pemerintah yang Tidak Transparan terhadap Rakyat, Berbuntut Rakyat yang Tidak Kooperatif terhadap Kebijakan Pemerintah

ARTIKEL HUKUM
Merosotnya Wibawa Hukum akibat Pemerintah Terbiasa dan Terkenal Tidak Akuntabel saat Merumuskan Norma Hukum
Dalam kesempatan sebelumnya, penulis mengurai betapa peraturan atau norma hukum negara wajib dibentuk secara demokratis, namun penegakkannya wajib pula diberlakukan secara k0munistik, tegas serta keras tanpa kenal kompromi terlebih membuka ruang “tawar-menawar negosiasi”. Ketika pemerintahan suatu negara telah memberlakukan asas ataupun prinsip-prinsip demokratis dalam perumusan, penyusunan, hingga pembahasan suatu kaedah hukum yang berlaku dan mengikat bagi umum, maka pemerintah dapat secara penuh percaya diri menegakkannya setegak-tegaknya dimana publik pun pastinya akan turut mendukung lewat sikap taat serta patuh disamping memberikan dukungan moril.
Namun suatu momen tatkala pemerintah bersikap “separuh hati” (terkesan “gamang”, sekadar “panik” namun tanpa mengetahui apa yang semestinya dan tindakan apa perlu untuk ambil untuk dijalankan) ketika menerapkan kebijakan “lock down” tatkala situasi internal negeri telah menjelma keadaan darurat wabah pandemik virus mematikan bernama varian terbaru Corona Virus Disease (strain COVID-19), mengapa justru terkesan tidak bisa percaya diri menegakkan kebijakan negara secara k0munistik (tegas serta keras), sekalipun keadaan bangsa membutuhkan ketegasan pemerintah selaku otoritas negara tanpa lagi “berlama-lama” dalam “kegamangan” penguasa negeri?
Pemerintah justru hanya sejauh membuat kebijakan bernama “himbauan” menjaga jarak sera “pembatasan sosial berskala besar” yang sama sekali tidak efektif menindak sebagian penduduk yang dengan sengaja melanggar, tidak patuh, serta tidak taat. Ada apakah gerangan dengan pemegang kekuasaan di republik ini, tidak tegas dengan mempertaruhkan banyak nyawa penduduk yang kian hari kian riskan turut terpapar, kian bertumbangan satu per satu, dan kian terpuruknya kehidupan ekonomi warga?
Dimanakah para produsen serta pabrikan produk tembakau, setelah sekian lama mengeruk kekayaan ekonomi rakyat dan merusak fondasi kesehatan rakyat dengan menjadikan racun bernama produk bakaran tembakau menjadi “kebutuhan pokok” rakyat (baca : perbudakan) yang juga kebetulan disukai Virus Corona untuk bersarang, tiba-tiba seolah raib dari dunia ini batang hidup pemilik usaha pabrikan bersangkutan.
Oroiras negara, yang selama ini juga merasa perlu memelihara produsen produk bakaran tembakau, dengan alasan adanya pemasukan dari cukai produk tembakau yang tidak seberapa nilainya ketimbang “health cost” yang harus ditanggung pemerintah dan hilangnya produktivitas warga yang terjangkit berbagai penyakit sehingga hanya menjadi beban bagi anggota keluarga lainnya, sekalipun anggaran Jaminan Kesehatan Nasional terus mencetak defisit akibat rusaknya fondasi kesehatan rakyat berkat produk bakaran tembakau, kini turut “dihajar” secara telak oleh wabah pandemik virus mematikan yang disebut-sebut sangat menyukai penghisap produk bakaran tembakau yang notabene kondisi paru-parunya telah penuh lubang menganga tempat virus mudah berkembang-biak.
Mengapa pemerintah justru bersikap “separuh hati” menegakkan hukum yang sejatinya paling dan sedang dibutuhkan ketegasannya secara efektif mengatur warga “pembangkang”, bahkan hanya sekadar mampu sejauh membuat “himbauan” yang bukanlah ciri suatu norma hukum? Himbauan adalah tugas dokter dan pemuka agama maupun pengamat masyarakat, bukan produk politik-hukum. Kembali lagi pada pertanyaan semula, mengapa pemerintah “tidak percaya diri” membuat serta menerapkan aturan hukum yang lebih tegas dan keras saat negara dilanda kondisi DARURAT seperti “perang” melawan pandemik virus mematikan?
Setelah melakukan perenungan sejenak, maka penulis mendapat satu penjelasan sosiologis yang sangat masuk akal. Baru-baru ini saja, revisi terhadap Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disahkan antara Pemerintah dan Parlemen Republik Indonesia, dimana prosesnya seolah meninggalkan rakyat selaku stakeholder yang turut berkepentingan, disusun serta disahkan secara sembunyi-sembunyi tidak transparan, tidak akuntabel, serta seolah menjaga jarak dari publik agar kepentingan segelintir elit-elit politik tidak di-intervensi oleh pengamat kebijakan publik maupun oleh para kritikus yang dinilai “meng-gerah-kan” pemerintah.
Kita masih ingat betul, kekecewaan sebagian besar rakyat kita terhadap pencalonan petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi, kemarahan rakyat kita terhadap revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga tuntutan rakyat agar Presiden membatalkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi namun tidak digubris, berbuntut pada aksi demonstrasi mahasiswa yang direpresi oleh pemimpin negara ini lewat aparatur penegak hukumnya. Rakyat, sejak saat itu, telah hilang segala kepercayaan untuk dapat kembali diberikan kepada otoritas negaranya, karena dianggap memiliki agenda politik yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Singkatnya, pemerintah patut “diragukan” maksud serta itikadnya.
Ketika otoritas negara lewat aparatur penegak hukumnya, begitu agresif menekan dan merepresif penyebaran dan pergerakan massa mahasiswa yang melakukan aksi-aksi demonstrasi, mengapa kemudian saat mengadapi “perang” melawan virus mematikan yang telah menjadi wabah yang jauh lebih berbahaya daripada mahasiswa yang tidak bersenjata, dan bahkan mungkin saja dapat benar-benar membuat punah umat manusia lewat serangan wabah pandemik “gelombang kedua”, “gelombang ketiga”, dan seterusnya karena terbukti mantan penderita tidak otomatis memiliki kekebalan terhadap infeksi virus yang sama, pemerintah kita seolah “mendadak alim” dan “kalem” menghadapi situasi, bahkan hanya mampu sekadar “menghimbau” tanpa menindak ataupun membuat agar seluruh warga patuh dan taat terhadap “himbauan”—sekadar “himbauan”, namun warga dituntut untuk mematuhi, pimpinan negeri ini mengharap terlampau banyak, rupanya. Terhadap yang “mewajibkan” saja, rakyat kita kerap membantah dan mem-“bandel”, terlebih yang hanya sekadar bertajuk “himbauan”? Apakah pemerintah kita sedang bermain-main dan ber-lelucon dengan rakyatnya pada saat yang tidak tepat ini?
Tampaknya sikap tidak kooperatif warga kita terhadap “himbauan” pemerintah untuk melakukan “social and physical distancing”, bahkan sebagian diantara membangkang dan seolah menantang untuk dilanggar, adalah wujud “komunikasi politik” oleh rakyat kita yang sedang hendak melakukan aksi pembalasan (retributif) lewat sebentuk “olok-olok” terhadap “himbauan” milik pemerintah. Itulah, buah karma buruk yang harus dibayar mahal oleh pemerintah kita, dengan reputasi penanganan oleh pemerintah kita yang turut diawasi oleh dunia global, dengan kian tidak terbendungnya penyebaran wabah pandemik Virus Corona, dan disaat bersamaan defisit anggaran (yang dikelola) negara kian membengkak. Kini, para penguasa di negeri ini akan membayarnya secara lebih mahal lagi bila tidak segera belajar dari pengalaman “pahit” yang terjadi ini.
Karena selama ini pemerintahan kita tidak pernah benar-benar demokratis saat membuat aturan hukum, mengakibatkan masyarakat kita tidak memberikan apresiasi penghargaan maupun dukungan moril terhadap aturan hukum bentukan pemerintah, dimana motif ataupun tujuan pembentukannya menjadi begitu diragukan oleh publik, maupun dari segi penegakannya tidak lagi berwibawa di mata rakyat, terlebih untuk dipatuhi bila tiada terdapat ancaman sanksi—dimana bilamana pun terdapat ancaman sanksi penjara, toh para narapidana saja gaibnya dibebas-bebaskan oleh pemerintah dari penjara. Mengapa pemerintah kita, memainkan lelucon pada saat yang tidak tepat seperti ini? Rupa-rupanya banyak diantara para pembuat kebijakan di republik ini yang diisi oleh para “komedian”, bukan hanya terjadi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat kita.
Karenanya, ketika rakyat melihat kesempatan dimana otoritas negara sedang jatuh dengan begitu lemahnya akibat gempuran wabah virus mematikan yang langsung mengakibatkan pelemahan ekonomi makro maupun mikro negeri dan “macetnya” roda pemerintahan, dimana masing-masing penyelenggara negara saling sibuk menyelamatkan diri masing-masing, deal-deal politik yang kian cair menguap seperti asap tidak tentu arahnya, pijakan mapan penguasa negara yang kian lemah fondasinya, maka masuklah gerakan rakyat semesta secara komunal untuk tidak koperatif terhadap “himbauan” pemerintah, tidak lain agar kian mencoreng wajah pemerintah Republik Indonesia agar menjadi bahan tertawaan bagi dunia global tatkala China dan Vietnam mampu secara efektif memutus mata rantai penyebaran Virus Corona COVID-19.
Dengan cara itulah, rakyat mengumandangkan dirinya telah menang melawan pemerintahnya yang selama ini tidak tersentuh, tidak terjangkau oleh tangan-tangan kecil rakyat kecil, dan bagai berdiri di atas “menara gading” yang kokoh namun angkuh. Yang juga kemudian terjadi antara pemerintah dan rakyatnya, ialah menjadi menyerupai “adegan” saling “mengunci” serta “memelintir tangan” satu sama lain, Timbullah fenomena saling mogok tidak taat dan tidak patuh, “DEADLOCK”. Masyarakat kita hanya kompak dalam satu hal, yakni kompak “membangkang” terhadap “himbauan” pemerintah—seolah pemerintah kita kekurangan para pakar hukum untuk merumuskan norma hukum.
Itulah ketika, itikad buruk pemerintah berupa tidak transparannya pemerintah selama ini dalam mengelola negeri, dibalas secara komunal oleh rakyat dengan tidak kooperatifnya rakyat sebagai imbas asas “resiprositas” yang tidak berjalan sebagaimana mestinya akibat kekecewaan rakyat yang selama ini menjadi objek permainan politik penyelenggara negara serta pemberian suaranya pada pemilihan umum yang dibalas dengan “pengkhianatan” terhadap publik luas.
Kemudian terjadilah saling lempar tanggung-jawab pemangku bijakan negara, seolah kegagalan pemerintah akibatkan tidak kooperatifnya sebagian rakyat—yang sebaliknya, rakyat menilai inilah kesempatan untuk melakukan “pembangkangan komunal” terhadap “himbauan” dimana memang tiada kewajiban bagi publik untuk patuh terhadap apa yang sekadar disebut sebagai “himbauan” yang bahkan tidak termasuk dalam kategorisasi norma hukum yang dicirikan oleh sifat imperatif-preskriptif “ought to” atau “keharusan” / “kewajiban” yang dapat digunakan daya paksa untuk penegakkannya maupun terdapatnya ancaman sanksi bagi pelaku pelanggarnya.
Mulai dari sekadar himbauan memakai masker penutup hidung serta mulut, himbauan menjaga jarak fisik, himbauan untuk tidak keluar rumah, himbauan untuk bekerja dan belajar di rumah, himbauan beribadah di rumah, hingga himbauan untuk tidak mudik, kesemuanya dilanggar oleh sebagian besar rakyat kita secara terang-benderang di tengah “siang bolong”. Dimana semuakah para personel kepolisian kita yang selama ini begitu sigap melakukan aksi represif membungkam para demonstran mahasiswa di jalanan umum ketika menyerukan aksi kekecewaaan terhadap berbagai produk politik yang jelas-jelas tidak “pro” terhadap rakyat? Mengapa mendadak para aparatur penegak hukum yang “sadistik” tersebut, seolah hilang ditelan bumi atau “mendadak alim”?
Para mafia pun kemudian mulai mengambil alih-alih sendi-sendi roda pergerakan negara, mulai dari keberadaan masker kesehatan maupun masker demi keperluan kalangan medis yang “ada namun tiada”, ada dijual di pasaran (yang artinya ada beredar dan tersedia) namun dengan harga yang sangat tinggi untuk dapat “ditebus” (dibeli warga), sehingga artinya bukan tidak ada yang menjual, namun dikuasai mafia dimana otoritas negara di-“kangkangi” serta di-“pecundang”-kan oleh para mafia yang terang-terangan melakukan kartel harga, dimana bahkan kalangan medik harus membeli alat pelindung diri dari “black market” (pasar gelap) dengan alasan rasionalisasi berupa fakta empirik “kedodorannya” pemerintah dalam mengawasi dan mengatasi aksi-aksi mafia di republik ini yang menguasai jalur logistik peredaran perlengkapan alat pelindung diri—seolah negara tidak pernah benar-benar hadir di republik ini, bahkan bagi kalangan medik seperti dokter, suster, dan rumah sakit yang merupakan garda terdepan (frontliner) penanganan wabah pandemik, kesulitan mengakses alat pelindung diri, sehingga lengkap sudah kegagalan “satuan tugas penanganan wabah Virus Corona” pada republik yang umurnya semestinya tergolong sudah cukup matang ini.
Percaya atau tidak, rakyat kini mempertawakan pemerintah kita sebagai pemerintahan yang “impoten”, “banci”, “melempem”, serta “tidak berguna”. Bagaimana mungkin mengharap menjadi “macam Asia”, bila menghadapi kenyataan betapa “kalah-tertinggal”-nya otoritas Indonesia dari pemerintahan Tiongkok, sudah menjadi wujud bukti nyata bahwa Indonesia adalah “macan ompong” yang tidak bergigi. Bahkan untuk berbalik sekadar memberi makan rakyatnya selama beberapa bulan masa pandemik, setelah sekian lama berpuluh-puluh tahun memeras rakyat dengan berbagai pungutan pajak maupun iuran, bermewah-mewah dan bermalas-malas dengan uang rakyat, kini tidak mampu untuk menghidupi rakyatnya sekadar untuk beberapa bulan lamanya? Lantas, jika demikian realitanya, untuk apa republik ini, mengapa tidak kita bubarkan saja, dan bukankah sudah saatnya kita meragukan keseriusan ataupun itikad pemerintahan kita?
Pemerintah meminta rakyatnya untuk tidak bekerja keluar rumah, namun disaat bersamaan pemerintah tidak memberikan pasokan kebutuhan primer bagi rakyatnya yang patuh, sebagaimana kebijakan Pemerintah Tiongkok di Wuhan-China yang segera turun-tangan langsung ke setiap rumah penduduk tanpa berlama-lama berwacana perihal anggaran (perhatikan, jumlah populasi penduduk China sangat masif, namun Pemerintah Tiongkok tidak pernah berpikir seribu kali untuk bergerak cepat mengejar waktu agar tidak “kecolongan” oleh wabah), maka sama artinya pemerintah kita hanya pandai bersikap “mau menang sendiri”.
Seolah belum cukup banyak pelecehan dari pemerintah kita terhadap rakyatnya, aksi-aksi teatrikal “palsu” dipertontonkan oleh pemimpin republik ini yang seolah “canggung” bahkan dalam sekedar membuat sosialisasi terhadap publik pun mengandung muatan informasi yang “simpang-siur” serta “tumpang-tindih” antar juru bicara pemerintahan—seolah rakyat belum cukup “muak” terhadap seluruh itikad “yang patut diragukan” yang ditampilkan oleh sang pemangku kekuasaan yang hanya pandai “menina-bobokan” rakyatnya dengan informasi yang “ditutup-tutupi” dengan alasan agar tidak membuat “panik” rakyat atas “informasi utuh” yang sebetulnya adalah hak publik untuk mengetahui.
Betapa tidak, perihal statistik yang di-rilis pemerintah, pasien yang meninggal dunia akibat terinfeksi Virus Corona, ternyata hanya memuat kandungan informasi perihal pasien yang telah berstatus “pasien dalam penanganan”, bukan “orang tanda gejala” maupun “orang dalam pemantauan” yang terlebih dahulu jatuh korban jiwa sebelum hasil laboratorium menyatakan dirinya positif terjangkit Virus Corona.
Seandainya, sejak lama sebelum ini, pemerintah kita bersikap akuntabel dan transparan terhadap rakyatnya, mendewasakan rakyatnya lewat aksi pengayoman nyata yang bertujuan memajukan dan memakmurkan rakyat tanpa motif terselubung kepentingan pribadi segelintir elit penguasa, benar-benar mengabdi secara nyata dan transparan disamping akuntabel terhadap segenap rakyatnya tanpa terkecuali, maka dapat dipastikan saat kini ketika negara dalam keadaan genting dan darurat untuk meminta agar seluruh rakyatnya bahu-membahu bergotong-royong dengan cara kompak serta kooperatif mematuhi serta menaati berbagai “himbauan” yang dikumandangkan pemerintah, maka satu komando dari seorang Presiden selaku Kepala Negara sudah cukup untuk memberi inspirasi bagi segenap rakyat untuk maju berperang melawan “wabah” virus mematikan manapun—dan sang Kepala Negara pun dapat tampil berorasi dengan penuh percaya diri.
Seandainya, namun itu hanya seandainya, kini nasi sudah menjadi bubur, dan pemimpin negara kita-lah yang paling patut bertanggung-jawab atas “hutang dosa” ini, atas kegagalan besarnya mengayomi rakyatnya sendiri. Sebaliknya, bila pemerintah kita masih berani tampil dengan penuh “percaya diri” di hadapan publik meminta agar segenap rakyat “kooperatif” terhadap “himbauan” pemerintah, maka itulah wujud betapa pemerintah kita “tidak kenal malu”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.