Pekerja FREELANCE Versus Pekerja PEGAWAI / BURUH, Cara Praktis Mengidentifikasikan Kompetensi Diri Anda

ARTIKEL HUKUM
Segala sesuatunya, dalam segala hal, terdapat sisi positif serta sisi negatifnya. Banyak kalangan angkatan kerja, mendambakan pekerjaan dengan jenis pekerja “permanen” alias Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), dan paling tidak mereka mengejar jenis pekerjaan “kerja kontrak” alias Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Tidak banyak diantara mereka yang mencoba memberanikan diri menekuni lapangan kerja “freelance” alias “pekerja lepas”, karena menganggap tidak terdapat kepastian penghasilan dibalik sebuah model usaha demikian.
Namun, benarkah asumsi publik bahwasannya “Pekerja Freelance” selalu diliputi resiko? Seolah, “Pekerja Pegawai” tidak memiliki resiko yang bisa jadi (tidak tertutup kemungkinan) lebih berat lagi? Bila membuka usaha selalu diliputi resiko, namun resiko yang ada tersebut tidak pernah mencegah pengusaha mana pun untuk tetap berusaha, maka tidak terkecuali menjadi seorang “pekerja”.
Dalam ulasan singkat ini, penulis akan mengurai secara lugas apa yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh sebagian besar kalangan pekerja di Indonesia, berangkat dari pengalaman pribadi penulis dalam merintis karir dimulai dari seorang pegawai pada suatu perkantoran dan perusahaan, sebelum kemudian memutuskan untuk segera “lepas landas” menjadi seorang “Freelancer” dibidang layanan jasa konseling seputar hukum, mengenai apa itu pekerjaan dan jenis-jenis angkatan dan ikatan kerja yang mungkin terjadi dan disepakati bersama. Segala bahasan berikut, tidak akan para pembaca dapatkan dalam pendidikan formil baik di sekolah maupun di perguruan tinggi, agar dapat dipahami dengan saksama setiap detail yang penulis uraikan secara se-terbuka mungkin, tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Pertama-tama, akan penulis bahas perihal segi “hubungan hukum” aspek hierarkhi. Dalam konteks jenis pekerjaan PKWT, PKWTT, maupun outsoucing (alias pekerja “alih daya”), hubungan hukum yang terjadi ialah antara “majikan dan tenaga kerja”, “bos dan karyawan”, “atasan dan buruh”, “pemberi kerja dan bawahan”, serta isitlah lainnya, dimana pada esensinya ialah terdapat sebentuk ketimpangan derajat satu sama lainnya secara tegas dan kentara. Di sini, terdapat elemen “posisi dominan” yang mendominasi antara satu pihak terhadap pihak lainnya, yang dapat kita katakan itu sebagai semacam sebuah “peng-kasta-an”.
Sebaliknya, dalam hubungan atau relasi hukum antara pihak “pengguna jasa” dan pihak penyedia jasa “freelance” (pelaku usahanya disebut sebagai seorang “freelancer”), yang sebetulnya terjadi ialah lebih kepada “relasi bisnis”, bukan “relasi ketenagakerjaan”. Karena sifatnya lebih mengarah kepada relasi bisnis, maka antara pihak “pengguna jasa” dan pihak “penyedia jasa” memiliki hubungan hukum berupa “business to business”, bukan antara “majikan dan pekerja”. Karakteristik paling utama di atas itulah, yang menjadi pembeda paling kontras antara seorang “Pekerja Pegawai” terhadap seseorang bergelar “Pekerja Freelance”.
Sekalipun, pekerjaan tetaplah pekerjaan, namun dalam terminologi “Pekerja Freelance”, suatu tawaran pekerjaan lebih sering disebut sebagai “proyek”, dimana imbal jasa sebagai kompensasinya disebut sebagai “tarif (atas) jasa” atau “honor”, bukan “upah”, “gaji”, atau istilah lainnya. Sekalipun juga, perintah tetaplah perintah, hanya saja pihak pemberi perintah dalam konteks “ketenagakerjaan” diistilahkan sebagai “pemberi kerja”, “majikan”, atau “atasan”, sementara dalam konteks “freelance” yang mencuat ialah istilah “rekan bisnis” (mengingat relasi yang terjadi ialah “relasi bisnis”, “business to business”—sekalipun sama-sama sebagai pemberi perintah antara konteks “ketenagakerjaan” maupun dalam konteks “freelance”.
Kini mari kita bahas perihal cara kerja antara kedua konteks dimaksud. Dalam konteks “ketenagakerjaan”, modal bagi pekerjanya disediakan sepenuhnya oleh pihak pemberi kerja, semisal ruang tempat untuk bekerja pada kantor, sarana, fasilitas, dan lain sebagainya, hingga aspek transportasi dan akomodasi seperti rumah dinas bagi karyawan, dimana karenanya pihak pegawai menerima bersih “take home pay” yang bersifat netto bernama “upah” atau “gaji”.
Sekalipun seorang buruh diberikan tingkat upah sebesar hanya Upah Minimum Regional / Kota, namun sejatinya “cost” pengeluaran operasional kantor, kegiatan karyawan, resiko malfungsi operasional pabrik atau kantor, dan segala biaya terkait faktor produksi, ditanggung sepenuhnya oleh pihak pemberi kerja. Karenanya, dalam “relasi ketenagakerjaan”, selalu terdapat nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik akan sebentuk tingkat atau skala “upah” yang disusun oleh pihak pengusaha, yakni dengan mengkalkulasi antara berbagai faktor “cost” sebagaimana terurai di atas.
Karenanya, seorang pengusaha dapat selalu membantah pegawainya yang mengajukan protes perihal “upah”-nya yang hanya diberikan sebesar Upah Minimum Kota, bahwa nilai ekstrinsik dari “upah” sang pegawai sejatinya jauh melampaui nilai itu bila seluruh faktor “cost” tersebut di atas disertakan. Sebagai contoh, manakah yang akan Anda pekerjakan, pembantu domestik rumah tangga dengan upah bulanan yang tinggi namun tinggal dan makan di rumahnya sendiri, ataukah pembantu domestik rumah tangga dengan upah yang sangat minim namun tinggal menumpang serta makan di kediaman Anda? Bisa jadi, nilai intrinsik upahnya akan sama saja jika kesemua faktor biaya tempat tinggal dan konsumsi sang pegawai dikalkulasi oleh sang pemberi kerja.
Sebaliknya, dalam relasi bisnis berjenis “Pekerja Freelance”, aspek pengeluaran serta biaya, ongkos, sarana, fasilitas, seluruhnya ditanggung sebagai modal usaha pihak “freelancer”—sebagaimana namanya yang telah penulis singgung berulang kali, “relasi bisnis”, alias “business to business” sehingga reputasi serta profesionalisme “Pekerja Freelance” menjadi pilar penopang utamanya dalam berprofesi serta merintis karir pribadinya. Sehingga, kesemua komponen pengeluaran tersebut dimasukkan ke dalam nilai yang bernama “tarif” jasa. Pihak pengguna jasa hanya mengenal satu nilai itu saja, tiada istilah nilai intrinsik maupun nilai ekstrinsik dalam berelasi dengan seorang “Pekerja Freelance”.
Kini, kita akan mengurai perihal aspek “keahlian”. Sebenarnya, seseorang mempekerjakan baik “Pekerja Pegawai” ataukah “Pekerja Freelance”, bukan karena semata faktor “keahlian” yang dimiliki ataupun yang tidak dimiliki oleh pegawainya, namun semata karena faktor kalkulasi bisnis pihak pengusaha itu sendiri. Banyak sekali spesialis yang dipekerjakan sebagai pegawai tetap oleh berbagai perusahaan, alias direkrut karena keahlian spesifiknya, semisal pegawai dibidang “legal”, “IT”, “auditor”, “perpajakan”, dan sebagainya. Namun, ada kalanya pihak pengusaha memilih untuk sekadar mempekerjakan “Pekerja Freelance” untuk bidang-bidang tersebut, semisal menyerahkan urusan pembukuan kepada Kantor Akuntan Publik.
Bahkan, penulis pernah berkenalan dengan seorang “Pekerja Freelance”, yang bertugas mengantarkan / mendistribusikan mobil-mobil produksi pihak pabrikan (produsen) kepada berbagai “showroom” ke berbagai kota lain, sebagai “pengemudi freelance”—sekalipun kita ketahui bersama, itu adalah jenis pekerjaan tetap alias permanen karena sudah dapat dipastikan selama pabrik otomotif tersebut tetap berdiri dan eksis beroperasi dan berkegiatan menghasilkan produk kendaraan, maka dibutuhkan “kurir” berupa pengemudi untuk mengantarkannya kepada berbagai “showroom” untuk dijual, namun ternyata pihak pabrikan mempekerjakan seluruhnya “pengemudi freelance” untuk urusan pengiriman unit-unit produksinya.
Lalu, kita bahas perihal aspek “perlindungan hukum”. Pemerintah kita telah cukup banyak menerbitkan regulasi perihal “perlindungan hukum” bagi para pekerja PKWT, PKWTT, maupun outsourcing. Dinamika hukum terhadap “perlindungan hukum” bagi jenis-jenis pekerja dimaksud, telah terus berkembang “pasang dan surut”, bagai bandul yang kadang kala bergerak ke satu sisi, namun pada kala lain bergerak ke sisi lainnya. Namun, bagaimanapun tetap patut disyukuri kalangan pekerja, karena telah terdapat “payung hukum” bagi pekerja PKWT, PKWTT, maupun “pekerja outsource”, daripada tidak sama sekali dimana bisa jadi “hukum rimba” yang akan bermain.
Sebaliknya, sama sekali tiada terdapat “perlindungan hukum” apapun dalam konteks “freelance” bagi seorang “Pekerja Freelance”, karena memang dianggap semata sebagai hubungan yang terjadi serta berlangsung dalam suatu ikatan kontrak bisnis layaknya antara dua entitas pebisnis yang saling menjalin relasi “kerjasama”—bukan “pekerjaan layaknya pegawai dan pemberi kerja”. Itulah kata kunci untuk menjelaskan fenomena jenis tipikal “Pekerja Freelance” yang sangat khas, yakni “kerjasama” antara dua entitas bisnis. Maka, selebihnya dan sepenuhnya menjadi urusan kontraktual yang mana tuntutannya hanya dapat berupa “prestasi” atau “wanprestasi”, bukan perihal “upah yang tidak terbayar”, “upah lembur”, terlebih perihal tuntutan “pesangon”.
Sebagai contoh jenis “Pekerja Freelance” yang sangat jarang dipahami masyarakat umum, bahkan diantara banyak kalangan Sarjana Hukum sekalipun, ialah hubungan hukum antara sebuah Perseroan Terbatas yang direpresentasi kehendak dan keputusan dalam forum bernama Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terhadap seorang pejabat direksi maupun komisaris yang ditunjuk serta diangkat, relasinya ialah semata “relasi bisnis”, karenanya seorang pejabat direktur maupun komisaris lebih tepat disebut sebagai “Pekerja Freelance”, bukan pegawai terlebih karyawan dari sang RUPS maupun Perseroan.
Sebagaimana terbukti dari berbagai preseden terkait sengketa pemecatan pejabat direksi oleh RUPS suatu Perseroan Terbatas, Pengadilan Hubungan Industrial hingga Mahkamah Agung RI dalam tingkat kasasi telah menegaskan, bahwa “pejabat direktur” pada sebuah Perseroan Terbatas bukanlah seorang “Pekerja Pegawai” sebagaimana yang dilindungi dan diatur dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, namun semata murni relasi kontraktual antara pihak Perseroan Terbatas dan sang “pejabat direksi”, sehingga yang dapat dituntut oleh sang “pejabat direksi” ialah perihal apakah telah terjadi atau tidaknya suatu peristiwa wanprestasi terkait kontrak pengangkatan direktur ke hadapan Pengadilan Negeri, bukan menjadi domain yurisdiksi Pengadilan Hubungan Industrial untuk memeriksa dan memutus perkara wanprestasi kontraktual keperdataan antara “sipil terhadap sipil”—kembali lagi, “Pekerja Freelance” dikonstruksikan sebagai “relasi bisnis” berwujud skema “business to business”.
Sebagaimana telah penulis uraikan di muka, segala sesuatunya memiliki sisi “plus dan minus”-nya masing-masing, tanpa pengecualian. Semua itu, kembali kepada pilihan kita masing-masing, apakah hendak bekerja berdasarkan “perintah” ataukah berdasarkan “per project”. Setidaknya, seorang “Pekerja Freelance” berhak menganggap dirinya sebagai seorang “professional” mengingat dirinya mampu terus eksis berkiprah sekalipun ikatan relasinya sangat “cair” dan “renggang” (terkadang terdapat kerjasama bisnis, terkadang tidak dari pihak pengguna jasa yang sama), dimana sebaliknya seorang pegawai tetap saja hanya memandang dirinya sebagai ber-kasta “buruh”, setinggi apapun keterampilan yang dimiliki olehnya, dirinya tetap hanyalah seorang “buruh” selama yang bersangkutan masih tunduk pada ketentuan hukum tengang ketenagakerjaan.
Sebagaimana pun pendeknya masa kerja dalam PKWT, setidaknya terdapat kepastian waktu dimana kepastian waktu tersebut mengandung “perlindungan hukum” yang oleh negara disebut sebagai “jaring pengaman” (safety nett) bagi pekerja bersangkutan, berupa jaminan tidak dapat diputus hubungan kerjanya sebelum masa kerja dalam kontrak benar-benar berakhir. Selama masih memiliki sisa jangka waktu kerja dalam kontrak kerja sang pekerja PKWT, kepastian mendapat upah bulanan secara rutin sejatinya tetap dapat membentuk suatu pola mental “comfort zone” pada diri sang pekerja—yang sangat berbahaya karena dapat mematikan kapasitas berpikir sang pekerja dalam berinovasi dan berkreativitas.
Itulah sebabnya menjadi tidak mengherankan serta menjadi dapat mulai kita jelaskan serta maklumi bersama, sangat minim prestasi terlebih reputasi yang mampu dicetak oleh kalangan Pegawai Negeri Sipil di negara Indonesia, segemuk apapun personel Aparatur Sipil Negara kita, mengingat kian terjamin gaji bulanan didapatkan, bahkan amat sukar “dipecat” (itulah sebabnya menjadi Pegawai Negeri Sipil sangat digemari oleh banyak kalangan pencari kerja), maka semakin merosot pula tingkat kebutuhan akan aktualisasi dirinya—kecuali kian sibu melakukan aksi korupsi serta kolusi, “cerdas” dalam perihal merancang modus.
Sebaliknya, bagi seorang “Pekerja Freelance”, setiap harinya adalah ajang untuk berjuang untuk dapat tetap “survive”, karena “relasi bisnis” amatlah cair, satu waktu dapat dibentuk kesepakatan “kerjasama”, dan dilain waktu dapat tiada sama sekali dengan pihak yang sama. Karena itulah, tiada dikenal istilah “comfort zone” bagi seorang prefesional bernama “Pekerja Freelance”. Mereka hidup hari demi hari dengan terus melakukan inovasi pengetahuan serta upgrade keterampilan, agar dapat terus eksis serta menyediakan jasa spesifik yang dibutuhkan oleh masyarakat calon pengguna jasa.
Seorang “Pekerja Freelance” tidak hanya cukup bermodalkan pengetahuan serta keterampilan layaknya “Pekerja Pegawai” atau yang juga sering dijuluki dengan sebutan “Pekerja Kantoran”. Seorang “Pekerja Freelance” mencari nafkah dengan pula menyiapkan modal membuka usaha, membangun reputasi, lengkap dengan segala modal peralatan guna mendukung fungsi pekerjaan yang bersangkutan. Karenanya, komponen pengeluaran demikian tercakup dalam nilai “tarif” jasa atau layanan yang nilainya wajar bila jauh diatas tingkat “upah” seorang karyawan pada perkantoran.
Namun sisi positif dibalik jenis pekerjaan “freelance”, seorang “Pekerja Freelance” dapat bebas menentukan jam kerjanya sendiri, alur kerjanya sendiri, menentukan arah visi dan misi, menyusun dan menetapkan target pencapaiannya sendiri, melakukan pembaharuan atau bahkan perubahan dimensi bisnis tertentu, menentukan target pasar, memprioritaskan pekerjaan tertentu, menyusun strategi pemasaran, membangun ciri khasnya tersendiri, mempromosikan “brand” miliknya sendiri (“branding”), bahkan bebas untuk menolak bekerja-sama dengan pihak-pihak calon pengguna jasa tertentu yang dinilainya tidak “worthed” untuk disepakati tawaran “relasi bisnis”-nya.
Karenanya pula, hanya seorang “Pekerja Freelance” yang betul-betul mampu menjaga idealisme profesi, karena seorang “Pekerja Freelance” selalu kaya akan kesadaran bahwa dirinya adalah pekerja yang mandiri serta independen dalam membuat keputusan, disamping memahami betul bahwa dirinya selalu memiliki “kehendak serta pilihan bebas”. Bandingkan dengan seorang “Pekerja Pegawai” pada berbagai perkantoran, mereka dipaksa dan terpaksa melakukan hal-hal paling kotor yang dapat terpikirkan, sesuai perintah sang atasan, dengan ancaman dianggap membantah perintah dengan resiko “perang dingin” atau bahkan dimutasi dan dipaksa mengundurkan diri sebagai akibat bila menolak perintah.
Tidak sedikit penulis jumpai pengalaman para “Pekerja Pegawai” di Indonesia, dimana para pegawai pembukuan dan keuangan terpaksa membuat resi pengeluaran fiktif sebagaimana perintah direksi keuangan guna mengelabui laporan perpajakan, terpaksa menjadi “bumper” ketika perusahaan melakukan manuver bisnis yang ilegal karena dianggap itulah pekerjaan dan tugas tanggung-jawab seorang “legal staff”, pegawai bagian HRD / hubungan indistrial memecat karyawan tanpa diberikan pesangon, bahkan hingga aksi menyuap aparat dan pejabat dengan menggunakan tangan-tangan karyawan yang hanya dapat melaksanakan tanpa dapat membantah ataupun berkeberatan.
Antara tingkat upah yang “tidak seberapa” dengan resiko serta “kejahatan” yang dilakukan selama bekerja pada sang pengusaha, amatlah tidak sebanding. Karenanya, “iming-iming” berupa gaji bulanan yang rutin diberikan, sama sekali tiada memiliki arti bagi seorang profesional yang mengedepankan kode etik profesi, sehingga itulah dorongan serta motivasi utama untuk memulai “solo karir” ketika menghadapi momen betapa “harga” yang harus dibayar oleh seorang “Pekerja Pegawai” masih jauh diatas upah bulanan yang diterima olehnya sebagai kompensasi atas berbagai “keringat” serta “kejahatan” yang dilakukan oleh sang pekerja demi menuruti perintah atasannya.
Seorang “Pekerja Freelance” dapat hidup damai, makan dengan tenang, serta tidur secara “nyenyak”, hingga mati secara tanpa beban, karena dirinya mampu membuat berbagai pilihan bebas selama hidupnya, untuk menerima ataupun menolak tawaran “kerjasama” yang dinilainya tidak patut untuk disepakati—semisal antara tarif dan “resiko” serta “kejahatan” yang dilakukan, sama sekali tidak berbanding lurus. Karenanya pula, yang dilakukan oleh seorang advokat senior bernama Otto Cornelis Kaligis ketika menerima tawaran “kerjasama” seorang klien yang merupakan seorang pejabat gubernur yang tersandung kasus korupsi, menjadi turut tersandung pidana “penyuapan” terhadap hakim, hukuman pidana penjara, disamping dosa yang harus dibayarkan olehnya di alam baka—tarif jasa “makelar” sebesar apakah yang ditawarkan serta diterima oleh sang pengacara “beken” ini, sampai-sampai merasa layak menggadaikan idealisme profesi dengan menerima pekerjaan kotor semacam itu? Ternyata, semurah itulah harga diri dan masa depan diri sang OC Kaligis, yang sempat mengajukan protes : “Pengadilan hendak membuat saya membusuk di penjara?”—dimana hakim berhak pula menjawab : “YOU ASKED OF IT, Anda sendiri yang memintanya, Bung!”.
Selalu ada harga yang harus dibayarkan”, itulah postulat kedua yang hendak penulis ajukan relavansinya. Ada harga yang harus dibayarkan oleh seorang “Pekerja Pegawai”, serta ada harga yang harus dibayarkan oleh seorang “Pekerja Freelance”. Seorang “Pekerja Pegawai”, bagaimana pun secara mental mereka telah “terkungkung” ibarat “katak dalam tempurung”. Mereka kehilangan kesempatan membangkitkan seluruh potensi yang dimilikinya, sekalipun perusahaan tempat mereka bekerja memiliki jenjang karir yang jelas dan tampak menjanjikan di masa mendatang.
Percaya atau tidak, para “Pekerja Pegawai” harus membayar mahal demi “comfort zone” yang mereka miliki selama ini, dan terus saja merasa terlena serta dilenakan oleh karenanya. Percaya atau tidaknya, penulis yang juga pernah mengecap masa-masa bekerja sebagai “Pekerja Pegawai”, mengetahui betul betapa kontras perbedaan setelah penulis ber-transformasi (alih profesi) menjadi seorang “Pekerja Freelance”, dimana selama bekerja sebagai tenaga “freelance” barulah segala potensi diri penulis mampu dikembangkan dan disalurkan secara optimal. Bayaran yang harus penulis bayar, ialah melepas “comfort zone” dengan mulai meniti langkah di atas resiko layaknya pebisnis manapun : dapat untung dan dapat juga merugi.
Fakta ketiga, sekeras dan serajin apapun seorang “Pekerja Pegawai” bekerja dan mengabdi bagi perusahaan tempatnya bekerja, dirinya hanya menerima tingkat upah yang sama, dari bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun. Sekalipun terdapat mekansime yang transparan perihal promosi, tetap saja upah di-“kunci” oleh manajemen perusahaan, sebanyak apapun peningkatan penghasilan dihasilkan bagi pihak perusahaan. Berbeda dengan seorang “Pekerja Freelance”, dimana untung-ruginya usaha “freelance” ditanggung sepenuhnya oleh pihak “Pekerja Freelance”, namun potensi yang mungkin diraih sama besar dengan potensi resiko yang dihadapi, alias senada dengan pepatah “high gain, high risk” menjadi sangat relevan sekali dalam konteks “Pekerja Freelance”.
Hal berikutnya, ialah perihal membangun kredibilitas serta reputasi. Bila Anda adalah seorang “Pekerja Pegawai” pada suatu kantor ataupun perusahaan, maka segigih dan se-jenius apapun Anda bekerja, hanya sebatas itu saja upah yang akan Anda terima. Disamping itu—dan inilah kabar buruknya—reputasi serta kredibilitas di mata dunia luar akan dimiliki oleh pihak pemberi kerja yang dinilai memiliki prestasi unggul pada suatu bidang. Hal tersebut akan lebih kontras bila Anda adalah penemu Hak Kekayaan Intelektual seperti paten, desain industri, rahasia dagang, dan sebagainya, namun status Anda saat menemukannya adalah sebagai seorang pegawai.
Terutama, dan berikut inilah poin terburuk yang paling perlu Anda pertimbangkan, ketika Anda hendak berhenti bekerja dan melamar di tempat baru, maka seringkali Anda harus “mengemis-ngemis” pada mantan pengusaha tempat Anda dahulu bekerja agar memberikan “referensi” yang baik untuk nama Anda ketika calon “pemberi kerja baru” menghubungi mantan atasan Anda. Ibarat, nasib Anda bergantung pada testimoni serta rekomendasi yang diberikan mantan “bos” Anda.
Bila mantan “bos” Anda memiliki itikad buruk terhadap Anda, sebaik apapun kinerja serta kontribusi Anda di perusahaan dahulu tempat Anda bekerja, maka itu akan menjadi mimpi buruk bagi Anda selaku “Pekerja Pegawai”, karena itu sama artinya “TAMAT” bagi karir Anda sebagai “Pekerja Pegawai”, karena tiada lagi perusahaan ataupun kantor baru yang hendak mempekerjakan Anda. Segenap kinerja baik Anda selama mengabdi di perusahaan lama, seolah menguap tanpa jejak, tidak diakui oleh mantan “bos” Anda ketika memberikan referensi kepada pihak lain yang hendak merekrut dan mempekerjakan Anda.
Sebaliknya, bila Anda adalah seorang “Pekerja Freelance”, Anda membangun reputasi serta karir dari prestasi serta rekam-jejak untuk diri Anda sendiri, bukan bagi pihak “pemberi proyek”. Atasan Anda adalah diri Anda sendiri, karenanya Anda menjadi tidak akan sungkan lagi membangun reputasi dengan cara mencetak prestasi demi prestasi yang unggul secara produktif—sepenuhnya “tancap pedal gas akselerasi”, melaju dalam kecepatan penuh dan mengangkasa bagaikan roket yang melesat tinggi tidak lagi dapat terhentikan. Tiada yang sia-sia dalam pekerjaan sebagai seorang “Pekerja Freelance”, dimana apa yang didapatkan selalu lebih dari sekadar “tarif profesi”, namun Anda akan mendapatkan juga kredibilitas yang akan perlahan namun pasti mendongkrak reputasi Anda sebagai seorang “Pekerja Freelance” di mata publik calon pengguna jasa—dan itulah, yang dalam pandangan pribadi penulis paling menarik untuk ditempuh serta ditekuni, apapun yang harga yang harus dibayar dengan menjadi seorang “Pekerja Freelance”, yakni keberanian melepaskan “comfort zone” menuju zona yang “tiada kepastian” namun mengandung “segala kemungkinan tidak terbatas”, demi mendapatkan potensi “reputasi” serta “kredibilitas” di mata publik, alias “pengakuan” atas kompetensi profesi maupun spesialiasi bidang jasa tertentu yang Anda tawarkan kepada masyarakat.
Terakhir, namun bukan yang paling akhir, ialah perihal “mimpi buruk” dan ketakutan terbesar seorang “Pekerja Pegawai”, yakni ketika dirinya memasuki masa akhir jangka waktu dalam kontrak kerja, diputus hubungan kerjanya (istilah kasarnya, “dipecat” karena bagaimana pun faktanya kontrak kerja yang bersangkutan tidak diperpanjang), terpaksa mengundurkan diri karena tidak kuasa menghadapi intimidasi pihak pemberi kerja yang memutasi jabatan maupun tempat kerja, atau bahkan pihak pemberi kerja menutup usahanya karena pailit atau lain sebab.
Seketika itu jugalah, dirinya yang selama ini hidup cukup mapan dengan “income” yang stabil, mendadak menjadi “jobless” (pengangguran). Karenanya, profesi Anda sangat bergantung pada satu pihak pemberi kerja, sementara kita ketahui, ilmu ekonomi yang paling mendasar telah berpesan : “Jangan taruh seluruh telur milik Anda, dalam SATU buah keranjang saja. Jika satu keranjang tersebut terjatuh, maka seluruh telur milik Anda akan beresiko pecah.” Apakah Anda siap menanggung potensi resiko semacam ini?
Diversifikasi sumber pemasukan bukan hanya dari satu pihak, itulah keunggulan utama dari profesi sebagai “Pekerja Freelance”. Bagi seorang “Pekerja Freelance”, “mati satu klien maka tumbuh seribu klien”. Tiada ada pernah kata “SKAT-MAT” ataupun “DEADLOCK” bagi seorang “Pekerja Freelance”. Tiada “matinya” bagi seorang “Pekerja Freelance”, dimana yang paling menarik dari seorang “Pekerja Freelance” ialah : Pengguna jasa sebagai pihak yang membutuhkan jasa yang sediakan sang penyedia jasa (dalam hal ini ialah sang “Pekerja Freelance”), menjadi berkebalikan dengan kondisi daya tawar antara seorang pemberi kerja dan pihak “Pekerja Pegawai”. Perlu kita pahami, pengguna jasa memilih diantara sekian banyak kompetitor layanan jasa yang ditawarkan oleh sang “Pekerja Freelance”, namun karena terdapat spesialisasi kemampuan yang unik sifatnya yang hanya dimiliki oleh sang “Pekerja Freelance”, sehingga menjadi suatu ciri “khas” tersendiri yang membedakan dirinya dengan “Pekerja Freelance” lainnya—serta, inilah yang terpenting, TIDAK TERGANTIKAN OLEH YANG LAIN.
Seorang “Pekerja Pegawai”, dapat digantikan oleh pelamar kerja manapun lainnya yang tidak pernah berhenti mengalir mengajukan lamaran kerja, sehingga karenanya pula daya tawar dalam konteks hubungan ketenagakerjaan antara pemberi kerja dan sang “Pekerja Pegawai”, tidak pernah mencapai titik ekuilibrium, namun selalu “timpang sebelah”—atau bila dapat kita sebut sebagai tiada daya tawar sama sekali. Ingat, sekali lagi, pemberi kerja hanya membutuhkan seorang “generalis”, bukan seorang “spesialis”, untuk direkrut sebagai seorang “Pekerja Pegawai”.
Karena itu jugalah, seorang “Pekerja Freelance” menjadikan dirinya menonjol serta dikenal kalangan luas, karena spesialiasinya, keunikannya, ciri khasnya talenta, pengetahuan, serta keterampilannya, bukan karena “generalisasi” dirinya. Itu juga sebabnya, mengapa seorang “Pekerja Freelance” selalu dapat eksis, setimpang apapun “supply and demand” antara angkatan kerja dan lapangan kerja (kebutuhan pasar) yang tersedia untuk dimasuki.
Sebaliknya, seorang “Pekerja Pegawai” dapat dengan mudah digantikan oleh “Pekerja Pegawai” baru lainnya, semata karena dirinya hanya seorang “generalis”, bukan seorang “spesialis”—mengingat, kembali lagi, seorang pengusaha atau pemberi kerja hanya membutuhkan seorang “generalis” untuk direkrut sebagai seorang “Pekerja Pegawai”. Seorang pengusaha, tidak akan merekrut Anda sebagai seorang “Pekerja Pegawai” bila Anda adalah seorang “spesialis”.
Karena itu jugalah, jangan sampai salah mengidentifikasikan siapa diri Anda, minat, maupun apa kelemahan dan apa kelebihan diri Anda. Serta, yang terlebih terpenting, memahami dengan baik bahwa Anda memilih minat untuk menjadi seorang “generalis” ataukah menjadi seorang “spesialis”. Keliru dalam menjadi “siapa” dan menentukan sikap, mengakibatkan Anda akan selalu berada di “tempat yang keliru”, alias “orang yang keliru di tempat yang keliru”.
Gaji atau tingkat upah seorang “Pekerja Pegawai”, dapat di-“lelang” (mohon maaf atas bahasa penulis yang demikian lugas, karena memang demikianlah fakta adanya tanpa “tedeng aling-aling” untuk menegaskan maksudnya). Semakin “deras” jumlah angkatan kerja yang mengajukan lamaran kerja dan membutuhkan pekerjaan, semakin ter-“obral” murah tenaga sang “Pekerja Pegawai”, harga yang “dibanding serta terbanting jatuh”, dimana “jual murah” pun belum tentu ada yang bersedia membeli di “pelelangan” yang bernama “bursa kerja” ini.
Pernahkah terpikirkan oleh Anda, mengapa tidak akan pernah berhasil upaya untuk “melelang” tarif seorang spesialis bernama “Pekerja Freelance”? Karena, seorang spesialis bertumpu pada sebuah spesialisasi serta keahlian spesifik, yang bisa jadi unik dan khas, karenanya tidak akan pernah dapat digantikan keunikannya dengan “Pekerja Freelance” lainnya. Pernah terdapat sebuah platform “online” yang mencoba “melelang” tarif kalangan “Pekerja Freelance”. Namun hingga kini gagal total sama sekali. Mengapa? Karena memang hanya dua hal yang dapat di-lelang di muka umum, yakni : Kesatu, barang, semisal lelang “ikan asing”. Kedua, “Pekerja Pegawai” (sekali lagi, ingatlah selalu, “Pekerja Pegawai” hanya dipandang sebagai seorang “generalis” yang mudah digantikan dan tergantikan oleh pekerja lainnya).
Pernah sekali waktu, suatu perusahaan menawarkan kepada penulis untuk mengajukan proposal penawaran jasa dibidang hukum, dimana nantinya akan dilelang bersama pihak penyedia jasa lainnya, untuk kemudian oleh pihak perusahaan untuk dipilih salah-satunya. Dalam hati penulis berseru lantang : “Memangnya lelang ikan asin! Bagaimana mungkin, profesi hukum disamakan dengan berjualan ikan asing?
Yang paling unik dari kesemua itu ialah, seorang “Pekerja Pegawai”, setinggi apapun fungsi pekerjaan serta jabatannya dalam suatu perusahaan, dirinya tetap saja berstatus sebagai seorang “pegawai”—tidak berbeda dengan seorang “office boy” yang juga adalah seorang “pegawai”. Karenanya, antara seorang “top manajemen” dengan seorang “office boy”, dapat disebut sebagai “rekan sejawat”, karena mereka memang “senasib sepenanggungan” sebagai sesama “pegawai”. Karenanya, bila terdapat pihak-pihak yang menyombongkan fungsi pekerjaannya sebagai seorang kepala kantor cabang atau sebagai seorang manajer, jawablah, bahwa diri yang bersangkutan tetap sebagai “rekan sejawat” dengan pegawai lainnya, sebagai sesama “pegawai”, tiada bedanya dengan seorang “office boy”.
Sebaliknya, sekecil apapun bidang usaha seorang “Pekerja Freelance”, mereka adalah seorang “entrepeneur” (wiraswasta, pengusaha itu sendiri), sekaligus sebagai seorang “bos”—setidaknya sebagai “bos” bagi dirinya sendiri, “suka dan duka”-nya sendiri. Mengingat relasi yang terbentuk antara pengguna jasa dan pihak “Pekerja Freelance” ialah “relasi bisnis” dengan kategorisasi “business to business”, maka tidak mengherankan bila sang “Pekerja Freelance” disebut dan patut menyebut dirinya sendiri sebagai seorang “businessman”.
“Pekerja Freelance” seringkali berisi orang-orang yang sudah cukup merasa letih menjadi seorang “Pekerja Pegawai”, karena itu memilih untuk menjadi seorang “bos” daripada seumur hidup hingga memasuki usia pensiun, hanya sebatas berstatus sebagai seorang “pegawai”, sebanyak apapun bawahan yang dipimpin oleh sang “manajer”, sebagai contoh.
Sebagai bonus, berikut penulis tambahkan satu bocoran yang tidak kalah pentingnya. Seorang “Pekerja Pegawai” mengenal kata “pensiun”, yang seringkali berkonotasi “nightmare”, karena itu artinya terputusnya mata rantai penghasilan menjadi sebatas uang pensiun ataupun hari tua. Sebaliknya, tiada pernah terdapat kata “pensiun” bagi seorang “Pekerja Freelance”.
Seseorang yang benar-benar mampu membuat kalkulasi “untung dan rugi”, tidak akan pernah selamanya memilih untuk menjadi seorang “pegawai”, menyia-nyiakan kesempatan untuk berkarya dan berkarir untuk seumur hidupnya sebagai seorang “freelancer”. Jika saja penulis masih-lah sebagai seorang “Pekerja Pegawai”, maka hingga detik kini ataupun dimasa mendatang, mungkin saja tidak akan pernah dikenal nama “Konsultan SHIETRA”.
Apa yang sebelumnya telah penulis bayarkan, yakni membayar dengan melepaskan sejumlah “comfort zone”, kini telah penulis tebus dengan membangun reputasi diri, yang jauh melampaui “kepuasan batin” dari segala hal yang menjanjikan dibalik sebuah “upah bulanan”. Dari Sabang hingga Merauke, siapakah warga yang belum pernah mendengar “legal-tech seorang Konsultan SHIETRA”? Itulah tepatnya, dengan apa yang disebut sebagai sebuah “reputasi”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.