ARTIKEL HUKUM
Ulasan perihal “psikologi hukum” ini terinspirasi ketika penulis merancang sebuah Peraturan Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT—RW). Tantangan paling utama bagi penulis saat merancang substansi setiap klausul di dalam draf Peraturan RT & RW dimaksud, ialah salah satu contohnya terkait larangan mengalih-fungsikan lingkungan pemukiman untuk kegiatan usaha yang bukan berskala usaha kecil rumahan, namun menjelma industri / usaha berskala besar bahkan menjadi menyerupai perkantoran, dengan berbagai kegaduhan, jumlah karyawan yang mencapai lebih dari sepuluh orang, lahirnya parkir-parkir liar tamu pengunjung maupun kurir pesanan sang pelaku usaha, maupun polusi suara dan polusi lainnya seperti masalah sampah dan resiko kebakaran atas gedung yang dialih-fungsikan sebagai pergudangan oleh sang pelaku usaha yang berdiri di atas lingkungan perumahan padat penduduk yang “sudah jelas-jelas” tidak diperuntukkan bagi kegiatan usaha.
Bila komplek perumahan baru berdiri, tentu mudah menertibkan serta mendisiplinkan para pemilik dan penghuni rumah. Namun, menjadi tantangan tersendiri ketika lingkungan pemukiman yang hendak diterapkan Peraturan RT/RW tersebut ialah lingkungan pemukiman yang sejak semula sudah “semrawut”, dalam artian seolah tiada aturan dimana berbagai pelanggaran Tata Ruang Wilayah terlanggar tanpa adanya pengawasan maupun penindakan secara tegas oleh aparatur negara, bahkan tidak jarang pihak Kelurahan mengetahui eksistensi kegiatan usaha ilegal di tengah-tengah pemukiman warga namun alih-alih secara seketika dengan tegas menertibkan dan melindungi warga pemukim yang paling perlu diperhatikan kepentingannya, justru pejabat dan aparatur negara melindungi sang pelaku usaha semata karena telah diberi “suap” oleh sang pelaku usaha ilegal bermodal kuat.
Tentu saja, ketika aturan yang semestinya kemudian hendak ditegakkan, akan timbul resistensi-resistensi oleh mereka yang selama ini telah nyaman melanggar hukum—terutama oleh mereka yang mengambil keuntungan lewat pelangaran terhadap hukum. Siapa yang akan dengan tenang dan diam saja, ketika “comfort zone” miliknya diusik dan diganggu sekalipun diri yang bersangkutan memahami betul bahwasannya perilaku atau kegiatannya telah melanggar hukum positif negara yang berlaku semisal terhadap norma larangan sebagaimana dalam Undang-Undang tentang Pemukiman maupun Peraturan Daerah perihal Tata Ruang Wilayah.
Ketika pihak pengurus masyarakat warga setempat bernama Ketua Rukun Tetangga dan Rukun Warga hendak mengandalkan penertiban warganya lewat strategi secara swadaya masyarakat internalnya bernama mekanisme pembentukan dan pemberlakuan “norma otonom” (autonomic legislation) bernama Peraturan RT dan RW, sehingga penegakan hukum negara yang “tumpul” dan tidak tegak secara “sebagaimana mestinya” tidak lagi perlu dijadikan andalkan, namun secara mandiri menegakkan hukum lewat mekanisme konsensus antar warga lewat pembentukan serta penerapan Peraturan RT dan RW, maka perlawanan dan keberatan pasti akan dilayangkan dengan sangat hebatnya oleh para pelanggar hukum tersebut yang selama ini memang seolah “dilestarikan” serta “dipelihara” oleh negara menjelma “raja-raja kecil di jalanan / pemukiman penduduk”.
Pada akhirnya penulis mendapatkan suatu siasat, agar potensi resistensi demikian sekalipun tidak akan dapat diredam untuk seutuhnya, namun setidaknya dapat diminimalisir serta dimitigasi. Bagaimanya triknya? Itulah yang menarik untuk kita bahas bersama. Caranya, ialah dengan mengajukan pertanyaan : bagaimanakah caranya dapat membuat pihak-pihak pelanggar ataupun calon pelanggar yang akan melakukan resistensi berupa penolakan, bahkan perlawanan sengit atas pemberlakuan aturan yang “sebagaimana mestinya”, tidak lagi mampu membantah secara tataran moril, sekalipun substansi norma Peraturan RT dan RW yang akan diberlakukan ini sejatinya hanya sekadar mem-beo alias menegaskan kembali Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Wilayah yang selama ini dijadikan “macan kertas” oleh pemerintah penerbit regulasi karena kerap diabaikan dan ditelantarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) setempat tanpa penindakan hukum yang memadai terlebih yang konsisten lewat komitmen penegakannya—sungguh, Pemda kita sangatlah “genit” sekaligus “centil”, produktif mencetak berbagai Peraturan Daerah namun minim serta miskin implementasinya alias ditegakkan secara “separuh hati” (tanpa komitmen serta tanpa konsistensi) hingga “tebang pilih” (membuat aturan dengan harapan diberikan “suap” dengan iming-iming diberi toleransi boleh melanggar, regulasi sebagai “lahan empuk” bagi birokrasi), sehingga secara terpaksa para warga lewat konsensus seluruh warga penghuni perlu menerapkan strategi berupa penerapan “hukum otonom” secara mandiri dan secara swadaya dengan kemasan “Peraturan RT/RW”.
Ketika penulis merumuskan pasal-pasal di dalam draf Peraturan RW/RT, penulis memasukkan elemen penjelasan moralitas ke dalam bagian dari pasal-pasal ataupun ayat di dalamnya. Sebagai contoh, ketika memasuki pasal atau bab perihal kegiatan usaha di perumahan, penulis mencantumkan keterangan bahwasannya fungsi lingkungan pemukiman pada asasnya ialah tempat dimana warga penghuni memiliki hak mutlak untuk bebas dari segala jenis gangguan, dimana rumah menjadi tempat yang semestinya paling aman untuk berlindung serta beristirahat bebas dari segala jenis gangguan maupun polusi, terutama dari segala kegaduhan dan keonaran akibat kegiatan usaha ilegal dimana akan berdampak langsung terhadap warga setempat (bukan terhadap pejabat penerbit perizinan) seperti maraknya parkir liar, kebisingan, kekotoran, kerusakan jalan, ancaman kebakaran terhadap gudang sang pelaku usaha di tengah-tengah pemukiman padat penduduk, dimana pelaku usaha tidak dilarang berkegiatan komersiel sepanjang dilakukan di kawasan yang memang diperuntukkan untuk kegiatan niaga. Sehingga, peraturan yang baik perlu lebih akomodatif melindungi warga yang taat terhadap hukum, bukan sebaliknya.
Sebaliknya, bila substansi klausul pada Peraturan RT/RW hanya berupa norma-norma “perintah” maupun “larangan”, maka dapat dipastikan akan mendapat resistensi dari para penduduk Indonesia yang memiliki karakter bawaan “suka membangkang”, hingga “melanggar” dan “menantang dengan cara sengaja melakukan pelanggaran”—suatu kesenangan atau mungkin “rasa bangga karena melanggar” yang sama sekali “tidak sehat” dan cenderung “merugikan diri sendiri serta orang lain”. Sikap sebagian warga kita, yang kerap tidak patuh dan tidak taat terhadap hukum, adalah cerminan sikap “tidak takut” serta “tidak malu” untuk melanggar dan menjadi seorang pelanggar.
Karena itulah, penting untuk memasukkan pesan-pesan “sponsor” berupa kalimat-kalimat berisi muatan moralitas agar peraturan yang kita buat dapat juga menjadi sarana edukasi “tepat guna” serta sarana menyuntik pelajaran budi-pekerti lewat pesan-pesan moril sarat “penyadaran” yang dapat dipahami oleh setiap subjek hukum yang diatur oleh peraturan bersangkutan.
Sebagai seorang “Legal Drafter”, jangan pernah membuat aturan hukum yang demikian “kering”, karena cenderung “normatif” semata, namun bangun dan rancanglah aturan hukum yang memiliki nuansa sifat-sifat humanis dan kaya kandungan muatan moril, sehingga setiap subjek hukum yang diatur olehnya memiliki alasan untuk turut kooperatif dengan bersikap patuh serta taat menjalaninya tanpa perlu mempertunjukkan sikap-sikap arogansi semacam pembangkangan dengan melanggar dan merugikan warga lainnya.
Bila dalam kontrak bisnis, biasanya akan kita jumpai bagian awal kontrak berupa konsideran yang berisi latar-belakang maksud dan tujuan para pihak saling mengikatkan diri dalam perikatan kontraktual perdata yang saling mereka rancang dan sepakati bersama. Biasanya pula, penyusun kontrak bisnis merasa tidak perlu mencantumkan banyak aspek moralitas didalamnya, oleh sebab semua pihak yang terlibat sudah sama-sama tahu bahwa tiada rekan bisnis yang hendak merugi dalam suatu kerja-sama, dimana sesama pebisnis telah saling memahami satu sama lain, karena latar-belakangnya—mungkin pengecualiannya ialah perjanjian hutang-piutang antara kalangan kreditor berhadapan dengan debitornya.
Kedua, proses pembentukannya oleh kedua belah pihak yang bersepakat telah saling berkomunikasi maksud dan tujuan pembentukan masing-masing pasal untuk dibahas dan disepakati bersama, baik diskusi maupun negosiasi isi pasal, karena memang yang terlibat dalam kontrak bisnis tidak berlaku umum terhadap seluruh warganegara, namun bersifat inklusif para pihak yang saling mengikatkan diri, sehingga dapat dipastikan setiap pihak didalamnya telah memahami betul latar-belakang ataupun seluk-beluk “kisah” serta maksud dan tujuan dibentuknya masing-masing pasal dan ayat di dalamnya.
Namun akan berbeda ketika kita berbicara aturan yang berlaku umum, atau setidaknya berlaku untuk suatu komunitas seperti komunitas lingkungan pemukiman warga dalam lingkup Rukun Warga, maupun organisasi lewat pengaturan norma bagi segenap anggotanya dalam wujud Anggaran Rumah Tangga dan Anggaran Dasar-nya, sekolah lewat Peraturan Sekolah, perusahaan dengan Peraturan Perusahaannya, dan berbagai komunitas dengan masing-masing keunikan “norma otonom”-nya. Karena diberlakukan terhadap umum, maka berlaku luas kepada publik, dimana belum tentu seluruh warga kita memahami betul mengapa suatu kaedah normatif hukum dirancang, dibentuk, serta diberlakukan.
Seseorang pernah menuturkan kepada penulis, bahwa dirinya memiliki orangtua yang merupakan pendiri suatu rumah sakit. Sang orangtua selaku pemilik dari rumah sakit merasa heran tidak mengerti sekaligun tidak sependapat ketika rumah sakitnya hendak diawasi oleh pemerintah. Sang anak kemudian menerangkan, bahwa itu dilakukan pemerintah demi kebaikan banyak orang. Sebagai contoh mengapa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengawasi izin edar pangan di pasaran, tidak lain untuk melindungi konsumennya agar ada setidaknya derajat paling minimum dalam segi perlindungan keamanan dan keselamatan bagi mereka yang mengkonsumsinya. Setelah mendengar penjelasan demikian, barulah sang orangtua mulai kooperatif dan tidak lagi resisten terhadap pengawasan dari pemerintah tehadap rumah sakit yang dijalankan olehnya.
Dalam produk hukum sekelas Undang-Undang, sebagai contoh produk hukum yang berlaku secara lebih umum mengikat publik luas, terdapat medium bagian dari Undang-Undang dimaksud tersebut berupa bab tentang “Penjelasan Umum” maupun pada bagian pertimbangan “Menimbang” mengapa undang-undang ini disusun, dirumuskan, serta disahkan sehingga menjadi imperatif mengatur dan mengikat setiap subjek hukum. Namun, bagian-bagian tersebut sangatlah tidak cukup menjelaskan muatan moril yang terkandung secara implisit didalam setiap pengaturannya, dimana pada bagian “Penjelasan pasal per pasal” selalu secara sumir menyatakan “sudah cukup jelas” atau semata mengurai dengan bahasa normatif “kering” belaka. Pesan moril perlu dirumuskan secara eksplisit, itulah yang paling efektif.
Karena itulah, menjadi tidak mengherankan bilamana banyak pelaku pelanggaran terhadap norma-norma aturan berupa “larangan” maupun “perintah” yang terkandung dalam suatu Undang-Undang, tidak lain karena tidak memuat serta penjelasan moril mengapa aturan-aturan tersebut dirumuskan dan diberlakukan sehingga setiap warganya merasa sukarela untuk penuh kesadaran patuh dan taat terhadap hukum (ujungnya bermuara pada timbulnya atau lahir terbentuknya kesadaran pribadi setiap warganya untuk menjadi warganegara yang baik dengan cara tidak tergoda untuk melanggar dan menantang hukum).
Percaya atau tidak, dari berbagai pengalaman pribadi penulis menghadapi manis dan pahitnya berurusan dengan para kalangan Sarjana Hukum di Tanah Air, sebagian besar diantara mereka adalah seorang “pelanggar tulen”, mengetahui dilarang dan ada sanksinya, namun tetap juga melanggar dan jika perlu mencari-cari “celah hukum” dengan berbagai cara mencoba “menyelundupkan hukum” atau bila perlu “melecehkan hukum”.
Semakin mengetahui aturan hukum, alih-alih menjadi warga yang baik, justru semakin banyak melanggarnya secara disengaja. Bila tidak tahu hukum artinya lalai, maka tahu hukumnya namun tetap melanggar, apakah artinya? Seolah, mereka begitu jauh dari sikap menjiwai dan menghormati hukum lewat kepatuhan. Jangankan patuh, taat dan menaruh hormat pada sakralitas hukum pun tidak. Menjadi mengherankan, mengetahui aturan hukum yang mengatur, namun justru kemudian melanggarnya—seolah tahu hukum hanya untuk melanggarnya.
Banyak diantara kalangan pelanggar kita, yang ternyata berlatar-belakang pernah mengenyam pendidikan formil cukup tinggi, dan itulah ironinya. Mereka bukan tidak paham aturan hukum, bukan juga tidak sadar akan kebolehan dan larangan, karena ketika kita berpikir secara logis penuh akal sehat tanpa perlu membaca lembaran undang-undang demikian tebal sekalipun kita sejatinya dapat mafhum, sebagai contoh larangan membangun kegiatan usaha berskala cukup besar dengan belasan pegawai di lingkungan pemukiman penduduk, namun tetap saja secara disengaja melakukan pelanggaran serta pelecehan terhadap hak-hak hukum warga negara lainnya, artinya memang sedang menistakan hukum negara dan melecehkan hak-hak warga lain yang menjadi korbannya yang dirugikan oleh aktivitas sang pelaku usaha ilegal yang hanay saja “tidak pernah tersentuh oleh hukum”.
Tidak sedikit orang di negeri “agamais” bernama Indonesia ini, ketika semakin pintar dirinya, justru semakin tidak mampu mengendalikan keserakahan dalam dirinya. Mungkin mereka merasa cukup hanya patuh pada perintah serta larangan Tuhan. Selebihnya, perihal larangan oleh hukum negara, dipandang sebelah mata, terutama ketika birokrasi di republik kita masih sangat korup dan mudah berkolusi dengan kalangan pengusaha bermodal kuat sehingga penegakan hukum menjadi ajang “transaksional”. Sebaliknya, banyak penduduk kita di pedesaan yang tidak bisa baca-tulis (buta huruf), justru lebih mampu patuh terhadap hukum sekalipun berupa hukum adat maupun terhadap himbauan pemerintah ataupun seruan oleh para tetua yang bersifat dituturkan secara lisan.
Terdapat fenomena yang cukup menarik dapat kita amati ketika mempelajari beragam putusan Pengadilan Negeri perkara pidana, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum demikian elaboratif dan menguraikan dimana letak kesalahan sang pelaku (terdakwa) serta mengapa perbuatan demikian adalah keliru, dilarang, dan patut diberi sanksi, dengan harapan agar sang terdakwa menyadari kekeliruannya dan mulai mau berintrospeksi diri dimana momen pemidanaan yang kini disidangkan oleh sang hakim menjadi momentum yang tepat bagi sang terdakwa untuk mulai mau memperbaiki dirim bercermin diri, dan bersedia untuk mengakui serta memahami kesalahan yang telah dilakukan olehnya.
Gaya penuturan hakim-hakim pada persidangan pidana di Pengadilan Negeri lewat pertimbangan hukum yang “diselipkan” pesan moril penuh budi-pekerti demikian, adalah sangat patut kita berikan apresiasi, dengan harapan sang pelaku tidak lagi menjadi seorang residivis di tengah republik yang dikenal sebagai “telah terbiasa mengobral remisi” bagi warga binaan (tahanan) di berbagai Lembaga Pemasyarakatan di Tanah Air, agar mulai memiliki kesadaran pribadi untuk bersikap patuh serta menjadi warganegara yang taat terhadap hukum.
Bila dalam perkara perdata, dapat dipastikan bahwa pihak yang dikalahkan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri akan melakukan upaya hukum hingga kasasi, jika perlu melalui tahapan upaya hukum luar biasa bernama Peninjauan Kembali, jika perlu melakukan perlawanan guna menggugurkan putusan yang sebelumnya telah berkekuatan hukum tetap. Fenomena demikian tidak kita jumpai secara identik dalam perkara pidana, dimana sebagian diantara putusan vonis bersalah dan penghukuman berupa penjatuhan sanksi bagi terdakwa, terkadang tidak berlarut-larut hingga tahap banding maupun kasasi. Artinya, sang terpidana mulai bersedia untuk memahami kesalahannya, sekaligus mengakui serta menerimanya untuk kemudian menjalani masa hukuman. Itulah yang paling menarik dari suatu vonis putusan perkara pemidanaan di Indonesia untuk kita cermati.
Sama seperti ketika kita mendidik putra-putri kita di rumah, maupun para guru mendidik siswa mereka si sekolah, ataupun perusahaan yang memberi orientasi pada pegawainya, kita tidak sekadar menyatakan mana dan apa yang boleh serta apa yang dilarang. Namun kita lebih menggunakan pendekatan pemberian pemahaman sebagai pilar utamanya, sehingga dengan demikian suatu organisasi yang sehat tidak pernah membutuhkan segudang peraturan tertulis yang kompleks, karena budaya berkesadaran pribadi telah tumbuh dalam setiap pribadi insan warga. Jangan katakan “dilarang”, namun berikan pemahaman mengapa hal demikian adalah buruk serta patut dicela, perlu dihindari, dan wajib ditaati secara patuh sekalipun tanpa adanya teguran dari pihak diluar diri kita.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.