Modus Penyelundupan Hukum lewat Menyalah-Gunakan Mekanisme Pembatalan / Batalnya suatu Perjanjian / Perikatan Perdata

ARTIKEL HUKUM
Ternyata betul bahwa kita dapat belajar dari hal-hal besar maupun dari hal-hal kecil yang berangkat dari kehidupan kita sehari-hari. Betapa tidak, setelah sekian lama mempelajari dan mendalami ilmu hukum, nyatanya penulis baru memahami sifat fatalistis dibalik karakter “dapat dibatalkannya” suatu perikatan perdata atau yang lebih dikenal sebagai “perjanjian”, dimana batalnya suatu perjanjian acapkali lebih sering merugikan pihak konsumen atau pembeli—bahkan, yang tidak banyak disadari kalangan masyarakat, kerap dijadikan sebagai modus kejahatan (baca : “penyelundupan hukum”) oleh kalangan penjual guna “menipu” serta “mengeksploitasi” konsumennya.
Baru-baru ini penulis memesan satu dus mie instan Korea pada salah satu website marketplace nasional (toko “online”), dengan harapan dapat disimpan dan dikonsumsi saat dibutuhkan saat masa-masa genting dan darurat. Satu dus mie instan berisi tiga puluh bungkus mie instan, yang mana adalah mustahil dikonsumsi kurang dari seminggu dan setiap harinya, maka adalah wajar bila konsumen hanya menghendaki membeli produk konsumsi dalam kemasan dengan masa kadaluarsa yang masih jauh lama jangka waktunya.
Bahkan dalam segi ilmu kesehatan, tidaklah baik mengkonsumsi produk konsumsi dalam kemasan yang akan kadaluarsa dalam tempo waktu satu bulan atau bahkan kurang dari itu. Serta sebaliknya, adalah sangat jahat penjual / pedagang yang demi mengejar keuntungan pribadi, justru menjual produk dalam kemasan yang seyogianya di-retur pada distributornya karena akan menjelang kadaluarsa alih-alih tetap memaksakan diri menjualnya dengan mengorbankan kesehatan konsumennya yang jauh lebih “mahal harganya” demi keuntungan tidak seberapa diri pribadi sang penjual.
Alangkah terkejutnya ketika penulis menerima paket kiriman pesanan satu dus mie instan yang penulis pesan via marketplace tersebut, sekalipun saat melakukan pemesanan dan pembayaran telah penulis cantumkan catatan bagi penjualnya, bahwa “tiada sepakat untuk membeli bila masa kadaluarsa produk sudah dekat”, namun pihak penjualnya ternyata dengan sengaja tetap mengirimkan paket pesanan berupa satu dus mie instan yang akan kadaluarsa dalam 1 (satu) bulan kedepan.
Segera saja penulis harus kembali membuang-buang waktu serta energi disamping pikiran untuk melakukan komplain terhadap pihak pedagang, diperkeruh oleh mekanisme pengajuan komplain yang sangat rumit (sama buruknya dengan birokratisasi di pemerintahan) serta seolah “berjarak” dengan pembeli yang hendak mengajukan keluhan ataupun komplain keberatan, karena tiadanya nomor kontak kantor resmi yang dapat dibubungi ataupun email pihak marketplace agar dapat seketika dikirimkan komplain oleh pihak pembeli, sehingga penulis merasa merugi dua kali lipat akibat mekanisme komplain yang rumit dan seolah tidak membuka diri terhadap konsumennya dengan menutup diri rapat-rapat lewat penggunaan sekat-sekat atau berlindung dibalik mekanisme teknologi yang sifatnya berjenjang dan “berjarak” sehingga sukar sekali menjamah pihak Customer Servive marketplace bersangkutan.
Jangankan hotline nomor aduan, email resmi untuk komplain pembeli pun tidak akan kita temukan pada website resmi pihak marketplace (cerminan sikap tidak transparan serta tidak akuntabel), sangat menyerupai birokratisasi pemerintahan dengan berlindung dibalik sekat-sekat kecanggihan teknologi yang berjenjang sehingga pembeli yang hendak mengajukan komplain hanya dapat berinteraksi dengan “robot” lewat “klik link ini serta klik link itu” yang tidak jelas maksud dan tujuannya seolah semua masalah dapat dibuat sesederhana jenjang tautan link demi tautan link.
Setelah susah-payah selama seharian penuh penulis menjelajahi website sang marketplace yang rumit dan tidak efisien, sekadar untuk mengajukan komplain ini, akhirnya aduan berhasil di “submit”, lagi-lagi penulis harus berhadapan dengan “robot”, dimana sentuhan manusia “customer care”-nya benar-benar tidak tampak, tidak pernah hadir, seakan jauh tersembunyi dan bersembunyi (dalam arti harafiah yang sebenarnya, bukan kiasan), demikian “berjarak” seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya di atas, tiadanya suatu bentuk perhatian dari pihak marketplace dengan tiadanya nomor hotline maupun Call Center bagi konsumen yang hendak mengajukan aduan selain harus merepotkan diri memahami “robot” sang marketplace berupa “link demi tautan link” yang membingungkan dan membuang-buang waktu disamping merepotkan konsumen yang telah merugi sehingga kian merugi waktu dan tenaga—dimana penulis sempat berminat untuk “menyerah” dan mengurungkan niat untuk mengajukan keluhan dan komplain akibat “ruwet”-nya dan “tembok tebal” birokratisasinya sang marketplace yang ternyata jajaran terdepannya (frontliner) bukanlah manusia namun “robot-robot” berupa tampilan laman website yang berisi “tautan link demi tautan link”, dimana konsumennya dibiarkan “self care” dengan robot-robot tersebut.
Penulis sempat berpikir, betapa nyamannya para penjual yang berdagang di marketplace ini, dimana konsumen yang kecewa dapat dipastikan sebagian besar langsung akan “tersisih”, menyerah untuk mengajukan komplain, akibat tembok tebal birokratisasi yang “berjarak” dari pihak sang marketplace dimana pihak konsumen hanya dapat menemui “self care” dengan membuang-buang waktu membaca dan membuka “tautan link demi tautan link” tanpa adanya sentuhan manusia terlebih sentuhan perhatian seorang manusia bernama “Customer Service” era tahun pra-digital dimana kita berhubungan dan terkoneksi dengan sesama manusia ketika melakukan komplain sehingga mendapatkan rasa kehangatan serta empati ketika mengajukan komplain—dimana separuh beban perasaan kecewa sejatinya dapat “surut” ketika berhasil mengungkapkan “unek-unek curahan hati dari hati ke hati” untuk didengarkan oleh sesama manusia, bukan hanya disuguhkan untuk berhadapan dengan “robot”. Itu jugalah yang justru di-nihil-kan oleh sang marketplace yang entah mengapa bisa begitu populer di Tanah Air meski senyatanya membuat penulis merasa “kapok” untuk kembali membeli dari marketplace yang sama bersangkutan di kemudian hari.
Tidak lama berselang, tibalah hasil aduan atas komplain yang penulis ajukan sebelumnya, dimana hasilnya : “pihak penjual tidak bersedia bertanggung-jawab”, alias MENOLAK untuk dimintakan pertanggung-jawaban (tiada rasa malu terlebih rasa takut berbuat jahat terhadap konsumennya sendiri, seolah reputasi diri adalah harga yang “murah” dan “murahan” untuk semudah itu mencoreng citra wajah reputasi sendiri) dengan alasan satu dus mie instan yang dikirimnya masih belum kadaluarsa untuk 1 bulan kedepan—luar biasa, serakah dan tidak etisnya sang pedagang, yang hanya mengejar profit dengan mengorbankan kesehatan konsumennya.
Karena itulah, kemudian pihak marketplace selaku ajudikator membuat keputusan, bahwa penjual menjual barang dengan produk yang ternyata dapat disimpulkan “berlainan dari deskripsi dalam iklan penjualan yang dibuat oleh sang penjual”, dengan alasan sebagaimana telah penulis buat “syarat batal” dalam pemesanan, dimana sebelum memesan penulis telah membuat catatan bagi penjualnya bahwa “tiada sepakat membeli bila tanggal kadaluarsa produk telah dekat”. Kedua, jumlah produk yang dipesan adalah mencapai 30 bungkus mie instan, dimana adalah tidak patut dijual-belikan produk konsumsi dalam kemasan sebanyak satu dus dengan sisa jangka waktu kadaluarsa mendekati 1 bulan.
Pada mulanya sang penjual berkilah bahwa mereka tidak telah bersalah, terlebih diharapkan untuk proaktif menghadirkan pertanggung-jawaban terhadap pembelinya. Barulah setelah mendapat keputusan dari pihak marketplace, sang penjual kemudian semudah “mencuci tangan” dengan mengatakan bahwa produk agar di-retur saja oleh pihak pembeli.
Jadilah penulis kembali merasa “berang dan meradang” (kesal), karena retur bukanlah solusi “win win solution” yang ideal karena tetap saja merugikan pihak pembeli, dimana sama artinya penulis selaku konsumen yang telah tertipu harus menanggung kerugian 2 (dua) kali ongkos kirim yang ternyata tidak dikembalikan oleh pihak Tokopedia yang hanya bersedia memberikan opsi refund harga jual-beli minus ongkos kirim yang sebelumnya telah dibayarkan oleh pembeli saat pemesanan dilakukan dan dibayarkan pada mulanya, yakni yang pertama ialah ongkos kirim pemesanan yang ternyata tidak dapat di-refund sekalipun barang di-retur (hanya harga pembelian yang dapat di-refund) sementara itu untuk retur maka pihak konsumen kembali harus menanggung kerugian biaya ongkos kirim ketika mengembalikan barang kepada pihak penjual.
Ketiga, penjual yang telah beritikad buruk, mengapa juga pihak pembeli yang telah ditipu dan dirugikan yang harus merepotkan diri melakukan proses pengiriman barang retur? Mengapa beban tanggung-jawabnya seolah menjadi terbalik di sini, konsumen (korban) yang harus direpotkan dirinya serta beresiko dirugikan ongkos kirim sebanyak dua kali? Belum lagi bila kita memperhitungkan faktor kerugian waktu, tenaga, perhatian, resiko tidak bertanggung-jawabnya pihak penjual, pulsa akses internet, serta berbagai kerugian immateriel lainnya—semisal mengkalkulasi kemungkinan bahwa pihak penjual bersama-sama pihak marketplace menolak komplain / aduan pembeli, maka bilamana produk tetap dibiarkan teronggok tanpa segera dikonsumsi, artinya benar-benar merugi sendiri, produk menjadi kadaluarsa dan dana jual-beli “lenyap”.
Karenanya dan artinya, solusi yang ditawarkan pihak penjual maupun pihak marketplace, berupa pembatalan lewat cara retur, tetap saja merugikan pihak konsumen dimana pihak konsumen harus setidaknya menanggung kerugian berupa dua kali ongkos kirim—sekalipun kesalahan dan pelanggaran terjadi diakibatkan oleh perbuatan penjual. Sama sekali tiada punishment ataupun pinalti dari pihak marketplace bagi pihak penjual yang melakukan penjualan melalui platform milik sang marketplace, maupun insentif bagi konsumen (korban) sebagai kompensasi atas berbagai kerugian yang telah diderita akibat perbuatan beritikad buruk sang penjual dimana sejatinya ada faktor keterlibatan “turut serta / penyertaan” antara pihak penjual dan pihak marketplace yang memlihara dan menampung penjual yang sudah terbukti memiliki itikad buruk demikian.
Penulis merasa berkeberatan, dan kembali mengajukan komplain dengan “robot” pihak sang marketplace, tentunya, karena memang tiada hotline atau semacam call center untuk berkontak dengan sesama manusia yang menjadi customer service representative sang marketplace, bahwasannya penulis selaku konsumen yang tertipu dan telah merugi demikian banyak dirugikan dari segi waktu, biaya, serta tenaga disamping perhatian yang menjadikan kegiatan penulis menjelma tidak produktif, menuntut pula disamping refund dana pembelian produk juga agar ongkos kirim produk dari dan menuju sang penjual juga agar dikembalikan kepada pihak konsumen, setidaknya sebagai bentuk reward and punishment bagi konsumen maupun bagi penjual bersangkutan. Mengapa juga ongkos kirim selalu harus ditanggung oleh pihak pembeli?
Namun hingga kini tiada respons atau bentuk itikad baik apapun dari pihak penjual maupun dari pihak marketplace. Ternyata, sebagai kesimpulan yang dapat penulis simpulkan, baik pihak penjual maupun sang marketplace, sama-sama “perampok” yang hidup dari merampok dan menipu dana konsumennya sendiri, menjadi besar dari cara-cara merampok dan memeras konsumennya sendiri.
Lagi dan lagi, konsumen yang harus menanggung kerugian, ketika pihak pelaku usaha semudah membalik telapak-tangan dengan mengatakan agar di-retur saja (sebagai hukuman atas itikad buruk yang sama sekali tidak membuat efek jera pelakunya) yang mana biaya kirim serta kerepotan harus ditanggung sendiri oleh pihak pembeli yang telah sangat merugi akibat tertipu. Dimanakah letak kekadilan “solusi” semacam itu yang seolah pihak marketplace hanya berpihak kepada pelaku usaha yang berorientasi profit sekalipun dihimpun dengan cara yang tidak sehat dan bahkan tidak beretika bisnis.
Karena itu pula, penulis lantas mempertanyakan kepada pihak marketplace sebagai bentuk keluhan atau komplain terakhir sebelum memutuskan untuk mengucapkan “selamat tinggal selamanya” serta berhenti selamanya dari membeli barang dari Tokopedia (Ups, kelepasan menyebutkan nama sang marketplace, anggap saja ke-“khilaf”-an penulis karena “tidak disengaja” mengungkap FAKTA realita yang penulis alami ini, agar dapat dimaklumi, atau anggap saja ulasan ini ditulis oleh “robot” yang penulis sewa dan pekerjakan), bahwa kebijakan demikian sama artinya melestarikan penjual “nakal”, dimana para pedagang jahat akan mencoba-coba modus berikut, yakni : mencoba-coba menipu konsumennya, dimana bila konsumennya tertipu atau pasrah tanpa bersedia repot-repot dan merepotkan ataupun direpotkan untuk sekadar mengajukan komplain, maka sang penjual akan mencetak keuntungan besar. Dimana sebaliknya, bila sang konsumen merasa keberatan dan mengajukan komplain, maka resikonya hanya sebatas retur sementara tetap saja ongkos kirim dan dari dan menuju sang penjual tetap ditanggung alias menjadi beban pihak konsumen yang telah tertipu dan telah sangat merugi—alias merugi berkali-kali lipat, alias kebijkan pihak marketplace semata hanya “pro” terhadap pihak penjual, sekalipun telah terbukti berjualan secara tidak etis (tidak beretika bisnis).
Hanya sebatas itu sajakah, pinalti atau sanksi hukuman bagi sang penjual oleh pihak marketplace? Sama sekali tiada efek jera karena lagi dan lagi kerugian yang harus menanggungnya ialah pihak konsumen? Tentu saja, Tokopedia akan berpikir secara pragmatis saja, bila penjualnya di-“banned”, itu sama artinya menutup keran keuntungan bisnis sang marketplace. Bila Tokopedia keberatan terhadap fakta yang penulis ungkapkan sebagai bentuk “testimoni konsumen” ini, maka pembuktiannya akan penulis ajukan di persidangan bila pihak Tokopedia hendak memperkarakan fakta yang penulis ungkap.
Pihak penjual “nakal”, dengan demikian (justru) seolah mendapat “insentif”, sehingga akan kembali memakan korban serupa yang terus berjatuhan, semudah kembali mencoba-coba : jika konsumennya tertipu dan hanya diam pasrah, maka artinya keuntungan besar—dimana jika sebaliknya konsumen melakukan komplain, maka resikonya hanya sebatas retur dimana tetap saja konsumen yang merugi dua kali karena harus menanggung pula kerepotan disamping ongkos kirim. Serta, yang terpenting, tiada sanksi “banned” oleh pihak Tokopedia, sehingga sangatlah melestarikan pedagang-pedagang “nakal” untuk terus “mencoba-cobai” (memperdaya dan menipu) konsumennya.
Karenanya pula, penulis selalu menyebutkan bahwa “Tokopedia adalah sarangnya penjual penipu dan penipuan” (sebagai pemberi sarana atau penyedia sarana praktik penipuan), dimana Tokopedia karena itu juga memiliki kontribusi keterlibatan (pelaku “penyertaan”) sebagai marketplace dengan tetap memelihara penjual-penjual yang terbukti telah melakukan praktik “fraud” dalam bisnis komersiel dimana sampai kini sang penjual masih saja dibiarkan merajalela dengan bebas berjualan dalam marketplace milik Tokopedia, untuk kembali menjadi predator “memakan” korban-korban konsumen baru lainnya.
Itikad apakah yang tersembunyi di baliknya, pihak Tokopedia tetap membiarkan penjual “jahat” bebas bergentayangan dengan tetap dibiarkan menjual produk-produk buruk bagi kesehatan masyarakat selaku konsumennya di dalam marketplace milik Tokopedia? Jangankan mengharap agar pelakunya di-“banned”, di-“suspend” pun tidak, meski bisa saja dilakukan oleh sistem milik Tokopedia, sebagai secara tegas sebagai sebentuk efek jera (shock teraphy).
Sampai kini, tiada respons dari pihak Tokopedia. Berhubung sejak awal memang telah penulis ragukan akan direspons, mengingat komplain dan aduan hanya dapat diajukan konsumen lewat laman antar-muka website alias berinteraksi dengan “robot”, dimana konsumen selaku mansuai dipaksa dan terpaksa hanya dapat berinteraksi dengan “robot” bernama sistem “link demi link” yang tiada wujud empati “sentuhan manusia” bagi konsumennya sendiri—betapa sombong, congkak, serta arogannya, “penuh jarak”, menyerupai berdiri di atas “menara gading” yang sangat berjarak dari konsumennya sendiri.
Sebagai kesimpulan, jika ingin berdagang dengan potensi keberhasilan tinggi melakukan aksi modus penipuan, maka gunakanlah media marketplace semacam Tokopedia, dimana pedagang penjual dipastikan akan dipelihara dan dilestarikan oleh Tokopedia, yakni semudah logika berpikir bisnis lewat cara kerja Tokopedia menindak penjual “nakal”, jika pembeli berhasil ditipu maka untung besar, sementara jikalau konsumen tidak berhasil ditipu dan mengajukan komplain maka resiko terburuknya hanyalah retur dimana tetap saja konsumen yang akan merugi disamping telah menjadi korban penipuan.
Untuk kasus penulis pribadi, atas contoh nyata sebagaimana terurai di atas, ternyata kemudian penulis memilih untuk tidak melakukan retur, sekalipun kecewa, agar tidak merugi lebih besar lagi dari segi biaya ongkos kirim dan waktu serta tenaga dan perhatian-pikiran, dimana kerugian dua kali ongkos kirimnya bisa menjadi hampir separuh harga jual-beli—sehingga dari segi kalkulasi bisnis, pihak penjual “nakal” beserta Tokopedia telah menyadari betul, dengan sendirinya akan banyak konsumen (korban penipuan) akan mengurungkan niat mengajukan komplain maupun retur akibat menghadapi ancaman “merugi sendiri” yang lebih banyak lagi pada gilirannya. Itulah cara pebisnis “curang” mencetak keuntungan besar dengan cara-cara “curang”, yang licik dan tidak beretika bisnis.
Teringat pula beberapa waktu lampau, ketika seorang pengusaha developer bercerita pada penulis, betapa dirinya telah menjual berbagai ruko kepada para pembeli yang telah membayar lunas, namun dengan berbagai alasan dirinya mengulur-ngulur waktu dan menunda penyerahan sertifikat tanah yang menjadi hak pembeli, selama bertahun-tahun lamanya, sehingga membuat pembelinya merasa “kesal penuh amarah” yang tampaknya memang ditunggu-tunggu dan dicari-cari oleh sang penjual.
Sang pengusaha kemudian membiarkan dirinya digugat oleh pembelinya, dan memang itulah tujuan utamanya menunda-nunda dan mengulur-ngulur waktu, yakni semata demi kalkulasi bisnis “untung dan rugi, apapun caranya”, dimana bila Akta Jual-Beli dibatalkan, maka sang penjual menghadapi resiko berupa cukup sebatas mengembalikan nilai jual-beli dalam Akta Jual-Beli, sekalipun pada saat kini harga objek tanah telah naik berkali-kali lipat.
Dari kedua contoh di atas, dapat mulai kita pahami dan lihat serta simpulkan sendiri, bahwa pembatalan selalu lebih menguntungkan pihak penjual dan disaat bersamaan merugikan pihak pembeli yang sejak semula sudah dirugikan—namun senyatanya pembatalan justru hanya membawa kerugian baru bagi pihak pembeli, sekalipun norma Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah menyatakan, ketika terjadi wanprestasi alias “ingkar janji” oleh salah satu pihak dalam suatu perjanjian, maka pihak yang telah dirugikan dapat memilih lewat perantara hakim di peradilan untuk memaksa pihak yang telah “ingkar janji” untuk dihukum guna memenuhi persetujuan, atau sebagai opsi lainnya ialah menuntut pembatalan persetujuan dengan disertai penggantian biaya, kerugian serta bunga.
Meski demikian, dalam berbagai perkara gugatan perdata wanprestasi terkait cidera janji-nya pihak penjual rumah / tanah untuk menyerah-terimakan sertifikat hak atas tanah kepada pihak pembelinya, pihak penjual hanya divonis hukuman untuk membayar harga pembatalan kontrak sebatas harga jual-beli dalam Akta Jual-Beli, dimana artinya ketentuan normatif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di atas tidak pernah benar-benar efektif diberlakukan, dimana pihak Majelis Hakim di pengadilan seolah “mencari aman” dengan sebatas menjadikan nilai harga jual-beli dalam Akta Jual-Beli sebagai nilai pengembalian dana dalam rangka pembatalan kontrak, sekalipun besar kemungkinan nilai jual / harga pasaran objek tanah telah melambung tinggi dari sejak ditanda-tanganinya Akta Jual-Beli lama sebelumnya.
Karenanya menjad dapat dipahami, klien yang meminta opini hukum dari penulis terkait masalah hukum “telah lama membayar lunas harga-jual beli tanah namun belum juga sertifikat tanah diserahkan”, opsi terbaiknya bukanlah pembatalan perjanjian, namun menuntut penjual ke hadapan hakim di peradilan agar dihukum untuk segera menjalankan (berprestasi) isi perjanjian untuk menyerahkan bukti kepemilikan hak atas tanah kepada sang pembeli, dengan disertai “dwangsong” alias “uang paksa”.
Namun akan sangat berbeda konteksnya dengan jual-beli produk konsumsi dalam kemasan yang ternyata akan segera kadaluarsa dalam waktu dekat, sementara pihak penjual tidak bersedia menukar produk dengan produk yang masih baru dan segar kondisinya, maka adalah mustahil bila pihak pembeli memaksakan agar tetap mengkonsumsi produk yang telah “tidak layak konsumsi” demikian, namun satu-satunya opsi terbaik ialah “pembatalan perjanjian”. Hanya saja, yang menjadi kendalanya, ialah sebagaimana telah penulis urai secara panjang-lebar dalam bagian pembuka ulasan ini, sehingga seolah “maju kena, mundur kena”, dimana pihak penjual selalu serba diuntungkan posisinya, sementara pihak pembeli selalu rentan dirugikan tanpa perlindungan berarti dari pihak marketplace tempat pembeli melakukan pemesanan dan pembelian.
Begitupula ketika pihak marketplace pada contoh pertama, tidak bersedia menuntut pertanggung-jawaban berupa ganti-rugi ongkos kirim (“biaya” maupun “kerugian”) kepada pihak penjual yang menggunakan platform milik sang marketplace untuk berjualan, kepada pembelinya yang telah dirugikan sehingga memilih pembatalan pemesanan, maka apakah demi objek sengketa berupa satu dus mie instans, konsumen yang telah dirugikan akan mengajukan gugatan ke pengadilan guna menuntut ganti-rugi berupa ongkos kirim? Biaya menggugatnya dapat dipastikan akan jadi jauh lebih besar dari biaya ongkos kirim yang hendak dituntut di muka hakim.
Itulah sebabnya, pihak marketplace bersama dengan para penjual yang menggunakan platformnya memanfaatkan dengan betul-betul optimal penyalah-gunaan kondisi dilematis kalangan konsumen yang telah dirugikan, untuk mencetak untung, profit, laba, dan keuntungan usaha tanpa resiko berarti, sekalipun telah terbukti dan nyata-nyata menipu dan merugikan konsumennya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.