Mitos Budaya Sopan-Santun Bangsa Indonesia

ARTIKEL HUKUM
Tidak sedikit di antara pejabat negara kita yang perilakunya penuh tata-krama maupun sopan-santun, sehingga mampu memiliki banyak sekali relasi diantara kalangan birokrat, namun dikemudian hari terbukti melakukan aksi “korupsi” maupun “kolusi”. Siapa yang tidak mengetahui sepak-terjang popularitas seorang koruptor bernama Setya Novanto, yang sempat menjadi ketua Partai Politik hingga menjadi ketua Parlemen di Indonesia, memiliki jejaring relasi yang luar biasa berkat keterampilannya “bermain dan bersilat lidah”.
Sebaliknya, ketika rakyat melakukan orasi, kritikan, seruan pertidak-setujuan, bersikap kritis, serta demonstrasi, para pemegang kekuasaan menyebut para rakyatnya tersebut sebagai “tidak sopan”, bahkan hingga masuk pada ranah pidana “pencemaran nama baik”. Seseorang yang adil dan beradab, ketika merasa senang karena dihargai dan diberi penghargaan oleh orang lain, maka mereka sejatinya harus pula bersikap terbuka untuk dikritik, bukan justru menjadi anti kritik.
Sama seperti ketika seorang pengusaha yang baik sedang berusaha, berani mencetak keuntungan maka harus pula siap menghadapi kerugian usaha—jangan seperti mental birokrat pemeras yang memungut pungutan liar dengan alasan “usaha ada keuntungan, maka tidak ada salahnya bagi-bagi sedikit”, namun menolak menanggung beban kerugian yang sama ketika usaha sang pelaku usaha sedang melesu. Karenanya juga, seluruh birokrat bermental “pemeras” demikian adalah seorang pengusaha yang buruk (karenanya tidak mengherankan memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil, agar dapat menjadi benalu atau lintah guna menghisap uang rakyat). Alih-alih melayani masyarakat sebagai pengabdi bagi negara dan rakyat, para Aparatur Sipil Negara kita justru yang lebih kerap meminta dilayani oleh rakyat.
Konon, disebutkan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang penuh sopan-santun tata krama. Namun mengapa faktanya, para Aparatur Sipil Negara kita hanya akan ramah dan penuh sopan-santun, hangat, serta penuh tata-krama terhadap warga yang memberikan “uang pelicin”, dan sebaliknya akan “judes-jutek”, dingin, arogan, kasar, serta tidak responsif (bahkan tidak memiliki kepedulian) ketika warga pemohon layanan publik tidak memberikan “uang suap”, “uang pemerasan” (jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah?), “gratifikasi”, serta istilah lainnya.
Terbukti ketika era komunikasi tatap-muka beralih menjadi fenomena komunikasi jarak-jauh via perangkat genggam digital, “wajah asli” Bangsa Indonesia pun satu per satu mulai bermunculan dari balik topeng kosmetik mereka (selama ini adalah wajah hasil polesan). Bila warga kita betul-betul penuh tata-krama serta sopan-santun, mengapa ribuan pihak-pihak yang mencoba menghubungi nomor kontak kerja maupun email profesi penulis tidak bersedia menghormati serta menghargai “syarat dan ketentuan layanan” yang berlaku, bahkan “belum apa-apa sudah melanggar”-nya, kemudian seketika itu juga “memperkosa” profesi penulis yang jelas-jelas sedang mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab seputar hukum, bahkan sama sekali tidak memperkenalkan dirinya ketika menghubungi penulis. Membalas “air susu dengan pemerkosaan” terhadap profesi penulis, sungguh mengerikan sikap “sopan” bangsa “agamais” kita ini. Lantas, seperti apakah yang disebut sebagai “tidak sopan”, bila yang “sopan”-nya saja sudah seperti itu?
Itukah yang disebut sebagai bangsa yang “sopan” penuh “tata-krama”? Uniknya, ketika penulis menjadi “berang” dan “murka” akibat nomor kontak kerja profesi penulis disalah-gunakan oleh para pelanggar “pengganggu” tersebut, justru tanpa mau menyadari kesalahan mereka, pihak penulis yang kemudian mereka sebut sebagai “tidak sopan”. Sudah dijadikan korban “perkosaan” terhadap profesi penulis, masih juga “dihadiahi” ucapan “sesopan” itu. Sungguh tamu yang tidak pernah penulis butuhkan, terlebih untuk dapat penulis harapkan—dimana bahkan bagi penulis, mereka para pelanggar “pemerkosa” tersebut, mati dan lenyap punah sekali pun penulis tidak akan merasa bahwa dunia ini akan merugi terlebih bersedih seolah kekurangan orang-orang “sampah” semacam mereka.
Sejak diperkenalkannya tekonologi digital, masyarakat kita (juga dunia global sebetulnya) kian tergerus perihal “sopan-santun” maupun “tata-krama”, sehingga tidak mengherankan ketika kemudian timbul fenomena yang demikian mengerikan bernama “cyber bullying” maupun “cyber harassment” yang sebelumnya sukar dilakukan pada dunia nyata tatap-muka dan terbukti telah merenggut banyak korban jiwa, terutama dunia digital mengenal istilah akun “anonymous” alias “anonim” maupun “nama pena” sehingga sekat ruang demikian disalah-gunakan dengan melanggar sendi-sendi “sopan-santun”—bahkan juga hingga melanggar hak-hak privasi orang lain dimana penghargaan personal betul-betul rusak tatanannya dalam dunia semu digital.
Tampaknya definisi serta makna kata “sopan”, memiliki makna yang berbeda antara definisi harafiah di kamus dan yang pengertian “sopan” yang hidup di tengah-tengah masyarakat kita di Indonesia. Penulis tidak menyebutnya sebagai “oknum”, karena fenomena apa yang diurai dalam ulasan singkat ini, merupakan rata-rata ditampilkan serta dipertontonkan oleh warga masyarakat kita di Tanah Air, secara cukup merata, sehingga cukup menjadi sampel uji analisa terhadap hipotesis yang penulis ajukan, dimana afirmasinya sejatinya dapat kita jumpai tepat di depan mata kita sendiri ketika kita melangkahkan kaki dari balik pintu pagar kediaman rumah kita masing-masing.
Contoh sederhana lainnya, guna menggambarkan betapa “sopan”-nya warga masyarakat kita, cobalah tengok kondisi lingkungan pemukiman para pembaca, yang pastinya akan mengalami fenomena sosial yang sama seperti yang penulis alami. Baik kurir perusahaan ekspedisi maupun kurir “ojek online” (Ojok), ketika mengantarkan barang atau paket ke alamat tujuan, seketika mereka akan berteriak secara lantang : “PERMISI, PAKET!
Apa yang kemudian terjadi? Seluruh warga dalam setidaknya radius seratus ratus meter yang mendengar suara teriakan tersebut menjadi terkejut, lalu terpaksa merepotkan diri untuk keluar rumah atau setidaknya menengok kondisi halaman depan kediaman kita, serta bertanya-tanya dalam hati apakah ada paket kiriman yang ditujukan untuk kediaman kita? Ternyata, hanya “PHP” (pemberi harapan palsu), berulang-kali terjadi, bahkan dapat hingga belasan kali terjadi dalam sehari, karena paket sejatinya sedang dikirim sang kurir untuk tetangga kita—sekalipun “polusi suara”-nya merayap lewat medium udara yang merambat mencemari pemukiman warga hingga radius beberapa ratus meter jauh jaraknya, tanpa mau disadari sang kurir bahwa “sampah suara” miliknya telah mengejutkan serta mengganggu warga sekitar yang telah menjadi korban “PHP”, setidaknya telah dibuat repot-repot beranjak dari kursi untuk sekadar mencari tahu apakah ada kurir yang hendak mengantarkan paket kiriman ke alamat kediaman kita. Silahkan kalkulasi sendiri, berapa banyak waktu terbuang dalam setahun, hanya karena gangguan dari “suara sampah” semacam itu dari para kurir “sampah” yang bahkan tanpa rasa bersalah dengan penuh kebanggaan berteriak-teriak, “PERMISI, PAKET!
Entah mengapa dan bagaimana, itulah fenomena sosial yang terjadi, kurir perusahaan ekspedisi manapun, serta pengendara “ojek online” manapun, ketika mengantarkan / mengirim paket, sekadar berteriak-teriak “PERMISI, PAKET! PERMISI, PAKET! PERMISI, PAKET!” Itukah yang disebut sebagai “sopan-santun” serta “tata-krama”? Sopan-santun “ala preman” alias “bak preman”, dalam bahasa penulis, sekalipun mereka telah dewasa secara umur, namun bersikap seolah kapasitas otak mereka belum berkembang secara cukup sempurna layaknya orang yang mampu berpikir secara normal yang dicirikan oleh kemampuan berpikir secara ber-“akal sehat”.
Betapa tidak, jika kurir pengirim paket di republik ini benar-benar menghayati maksud serta makna kata “sopan-santun”, mereka tidak perlu berteriak-teriak dengan nada tinggi demikian, cukup secara santun dan cerdas berseru secukupnya : “Bapak/Ibu pemilik ... (nama Blok kediaman serta nomor rumah), ada kiriman paket”, atau “Permisi, ada paket untuk ... (nama Blok kediaman serta nomor rumah)”, atau “... (nama Blok kediaman serta nomor rumah), permisi, ada paket.” Dengan cara demikian, tetangga sekitar tidak lagi terganggu dan seketika mengetahui bahwa sang kurir tidak hendak bermaksud mengirimkan paket pada kediaman warga tetangga lainnya. Mengganggu banyak warga sekitar, lewat “polusi suara”, sama sekali tidak patut disebut sebagai “sopan-santun” terlebih “tata-krama”. Mengganggu ketenangan warga, disebut sebagai “sopan”?
Mungkin juga hanya terjadi di Indonesia, pelaku kejahatan justru lebih “galak” daripada para korbannya. Mengapa sang pelaku, mampu merasa dirinya berhak untuk lebih “galak” dengan cara balik menghardik korban-korban mereka? Mungkin, karena (khusus teruntuk) di Indonesia, korban yang menjerit dan protes artinya sang korban telah bersikap “tidak sopan”—entah sejak kapankah, logika “konyol” demikian mulai mengjangkiti masyarakat Indonesia. “Tidak sopan” kepada siapakah? Apakah pelakunya berhak diperlakukan secara “sopan”, terlebih diperlakukan secara “sopan”? Apakah berbuat jahat adalah “sopan”? Apakah upaya “membungkam” korban-korbannya agar tidak “menjerit”, dengan cara bersikap lebih “galak” daripada korban-korbannya, bahkan hingga kembali menganiaya korbannya yang “memekik”, adalah sebuah “kesopanan”? Jika memang demikian adanya, mohon agar definisi kata “sopan” di Kamus Besar Bahasa Indonesia, agar perlu direvisi menjadi bermakna “lebih galak daripada korbannya”.
Pada daerah domisili penulis bertempat-tinggal, terdapat kantor Kelurahan yang berdiri di tengah-tengah perkampungan dengan jalan yang sempit, sekalipun masih dalam kawasan daerah kota metropolitan urban bernama Jakarta. Namun, pernah suatu ketika penulis “diusir” ketika telah jauh-jauh datang dan tiba guna mengurus administrasi kependudukan, semata karena tidak mengenakan celana panjang semata kaki, sehingga oleh pejabat Kelurahan dianggap sebagai “tidak sopan”. Bagi pejabat Kelurahan tersebut, hanya warga yang “sopan seperti pekerja kantoran” yang berhak dilayani. Mengapa tidak benar-benar sepenuhnya “sopan seperti pekerja kantoran” sehingga warga yang memakai sandal juga perlu ditolak dan “diusir” keluar dari kantor Kelurahan?
Uniknya, dan berikut ini adalah kisah fakta, sang pejabat Kelurahan yang sama dengan kisah di atas, justru kemudian menjadi pelindung bagi suatu kalangan pengusaha ilegal yang mengalih-fungsikan wilayah pemukiman padat penduduk menjadi tempat usaha berskala besar pengganggu yang telah nyata-nyata meresahkan warga setempat bahkan menganiaya warga setempat yang melakukan protes terhadap kegiatan usaha sang pelaku usaha ilegal. Alih-alih melindungi warga pemukim yang telah puluhan tahun menetap dan menjadi pemukim, sang pejabat Kelurahan lewat banyak personelnya justru melindungi dan sama sekali tidak menertibkan ataupun menindak sang pelaku usaha ilegal, sekalipun terang-terangan terjadi pelanggaran terhadap Peraturan Daerah terkait Tata Ruang Wilayah, dimana adalah tugas dan kewajiban perangkat daerah untuk menegakkannya—bukan sebagai sekadar “aturan di atas kertas” namun ternyata lebih menyerupai “macam ompong”.
Warga yang tidak memakai celana panjang disebut sebagai “tidak sopan”. Namun, mengapa mengabaikan tugasnya untuk melindungi dan mengayomi warga, disebut sebagai “sopan”? Bersikap “kolusi” dengan pengusaha ilegal, menyebut diri sebagai “sopan” serta mengharap dihormati (itulah “catat mental” warga abad modern)? Tidak menerapkan Peraturan Daerah sebagaimana mestinya, patut disebut sebagai “sopan”? Makan “gaji buta”, disebut sebagai “sopan”? Korupsi, disebut sebagai “sopan”? Menyalah-gunakan kewenangan dan jabatan, disebut sebagai “sopan”? Tidak pernah benar-benar hadir saat dibutuhkan oleh warga, disebut sebagai “sopan”?
Pernah pula terjadi dan penulis alami sebagai pengalaman pribadi yang sangat “aneh bin ajaib” (aneh namun nyata) perihal fakta betapa masyarakat kita kerap “memutar-balik” logika moralitas serta logika kesopanan. Suatu pagi, penulis menyapu halaman depan kediapan rumah penulis. Mendadak datang seseorang pria dewasa berbadan besar mengendarai kendaraan bermotor roda dua, dengan nada arogan bertanya tanpa didahului tata-krama apapun : “Ini rumah nomor XXX?
Penulis jawab, “Bukan”. Sang orang asing kembali berkata dengan nada bak dirinya “bos besar” dimana seolah penulis adalah “budak” yang bersangkutan. “Rumahmu ini nomor berapa?” Penulis tidak bersedia menjawab pertanyaan orang asing yang tidak jelas, sekaligus sedikit terganggu karena mengganggu kesibukan dan waktu produktif penulis, sehingga penulis kembali menyapu tanpa menghiraukannya. Dirinya pikir siapa dirinya? Polisi penyidik dari kepolisian? Sejak kapan warga yang satu merasa lebih tinggi harkat dan martabatnya dari individu warga lainnya.
Sang pendatang tidak diundang serta tidak dikenal tersebut kemudian menghardik penulis, “Ini orang, DITANYA MENGAPA DIAM?!” Akhirnya terjadi keributan antara pendatang bersangkutan dan pihak penulis. Dirinya mengklaim hendak mengantar surat. Mengapa, seolah penulis tidak punya hak untuk diam? Apakah ada kewajiban bagi penulis untuk “melayani” dan meladeni sang “tuan besar” ini? Bahkan, seorang tersangka saja berhak untuk tetap diam, “right to remain silent”.
Mengapa tidak dirinya saja yang menjawab pertanyaan interogasi balik dari pihak penulis, siapa nama bersangkutan? Dirinya tinggal di mana dan alamat apa? Berapa nomor KTP yang bersangkutan? Bahkan untuk kita datang ke sebuah perkatoran sekalipun, kita tidak bisa protes terhadap aturan main pemilik kantor, seperti harus menyerahkan kartu identitas seperti Kartu Tanda Penduduk, suka atau tidak suka, itulah aturan sang “tuan rumah” yang perlu kita hormati dan hargai dengan cara patuh sebagai seorang tamu yang santun. Uniknya, serta “gaib”-nya, penulis oleh yang bersangkutan kemudian diberikan olok-olok dengan julukan sebagai “tidak sopan”. Hebat sekali tamu tidak diundang satu ini, sebagai pendatang merasa berhak menghakimi warga setempat.
Dirinya sejak semula datang (tanpa diundang, serta mengganggu kegiatan penulis), bahkan tidak pernah memperkenalkan diri ataupun mengucapkan basa-basi seperti “selamat pagi...”, namun kemudian merasa dirinya sudah “sopan” serta berhak untuk menghakimi orang lain sebagai “tidak sopan”? Negeri ini rupa-rupanya kekurangan orang “waras”, dimana orang-orang “kurang waras” rupanya lebih banyak mendominasi serta berkeliaran di luar sana, menjadi predator yang terus mencari “mangsa” guna diputar-balik logika moralitas serta logika berpikir perihal kesantunan.
Seorang pengusaha ilegal pendatang yang meresahkan warga, ketika penulis selaku warga yang telah bermukim selama hapir separuh abad lamanya pada wilayah pemukiman ini, melakukan komplain atas usaha ilegal yang menyalahi aturan tata ruang wilayah dengan alih-fungsi wilayah pemukiman padat penduduk menjadi tempat usaha berskala besar, justru sang pelaku usaha yang kembali melakukan putar-balik logika moralitas, dengan menyebut bahwa penulis : “Orang yang tidak berpendidikan dan kurang sekolah”.
Mengherankan sekali, melanggar Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Wilayah, disebut sebagai “berpendidikan”? Hendak komplain sesuai hak-hak warga pemukim atas peraturan hukum yang berlaku, disebut sebagai “kurang sekolah”? Ini bangsa dan penduduk negeri ini, entah “rusak otaknya”, ataukah memang “cacat secara daya berpikir” alias “moralitas yang belum beradab”, serta “sudah putus urat malunya” disamping “tumpul hati nuraninya”?
Pernah pula suatu ketika terjadi—masih pada contoh sederhana pada wilayah pemukiman tempat kita bermukim, guna menggambarkan kedekatan kasus keseharian yang kemungkinan juga dialami para pembaca—seorang pejabat Lurah setempat, hendak mengadakan “hajatan” pernikahan bagi anak-anaknya. Penulis dapat memprediksi, seperti yang sudah-sudah, bahwa sang Lurah yang kediamannya tepat di seberang kediaman rumah penulis, akan mengokupasi seluruh halaman depan kediaman rumah penulis ketika menggelar hajatan, tanpa menyisakan sejengkal pun jalan bagi tetangga pemilik rumah untuk keluar-masuk rumah sendiri, bahkan untuk bisa keluar dari pintu pagar rumah kediaman penulis dengan berjalan kaki, sejengkal pun tidak disediakan ruang keluar-masuk, karena sang pemilik hajatan menggelar kursi serta panggung bagi penonton maupun tamu-tamunya.
Penulis melakukan komplain, “Sudah minta izin keluarga kami, belum, untuk membangun panggung maupun menggelar kursi tepat di depan kediaman rumah kami?” Namun warga lain yang menjadi “anak buah” sang Lurah kemudian menghardik penulis dengan suara bernama bentakan melecehkan, “Penguasa lagi mau hajatan, mengapa kamu larang-larang!?” Luar biasa, sipil hanya boleh “bungkam-membisu”, sekalipun “terzolimi” oleh sang penguasa. Sementara bagi seorang penguasa, apapun menjadi “halal”. Menggelar hajatan dengan memakan seluruh ruas jalan (milik) umum, bahkan hingga mengokupasi halaman depan kediaman warga tanpa menyisakan sejengkal pun ruang untuk keluar-masuk kediaman rumah penulis pribadi, tidak disediakan, disebut sebagai “sopan”?
Sang Lurah bergaji tinggi, puluhan juta Rupiah setiap bulannya ia kantungi, belum termasuk uang “siluman”, masih juga secara serakah menggelar hajatan di jalan umum (menutup serta mengokupasinya demi kepentingan pribadi, kepentingan umum dikorbankan, seolah kebal terhadap dosa) seolah dirinya tidak mampu menyewa gedung untuk resepsi pernikahan, menjelma “raja jalanan”, layak disebut sebagai “sopan”? Bagi penulis, sang Lurah bukanlah orangtua yang baik ketika menggelar hajatan bagi putra maupun puterinya, karena setidaknya ada satu keluarga yang alih-alih memberikan restu, justru memberikan doa berupa “kutukan” bagi sang mempelai dan keluarganya, yakni doa-kutukan dari keluarga penulis yang menjadi “korban-tumbal”-nya.
Pernah juga terjadi, contoh nyata yang paling aneh (namun juga lagi-lagi nyata, menyerupai “mimpi buruk”), ialah ketika kediaman rumah penulis kedatangan tiga orang pria berbadan besar berkulit hitam, mengetuk pintu rumah penulis. Ketika penulis bertanya, ada perlu apa dan dari siapa? Sekalipun pertanyaan penulis sangat wajar diajukan dengan seramah mungkin sebagaimana tuan rumah yang baik, namun mereka sama sekali tidak bersedia menjawab.
Berulang-ulang penulis kembali bertanya dan meminta penegasan, siapa mereka dan ada perlu apa? Seolah menantang tuan rumah, mereka justru kembali “tidak memberi jawaban” dan bahkan seseorang diantaranya “tertawa-terkekeh” seolah meremehkan tuan rumah yang hendak menanyakan maksud para “tamu tidak diundang” yang meski sejatinya juga patut “diusir tanpa diantar”.
Akhirnya meledakkan amarah penulis, kemudian terjadi perselisihan antara penulis dan tiga tamu asing tidak dikenal tersebut. Mereka datang dalam kondisi malam, ketika penghuni rumah sedang beristirahat dengan telah mengenakan baju piyama untuk tidur, dalam kondisi tiga orang asing tidak dikenal berupa pria berkulit hitam berbadan besar. Jika tidak bersedia menjawab apa maksud dan tujuan mereka, sekalipun telah penulis tanyakan hingga lima kali pengulangan pertanyaan, apakah tidak wajar, bila penulis menyimpulkan bahwa diri mereka adalah “perampok” yang hendak “merampok”?
Gaibnya, penulis yang kemudian oleh mereka dikatakan sebagai “tuan rumah yang tidak sopan”. Seolah, diri mereka para “tamu tidak diundang yang salah waktu” adalah “tamu yang sudah bersikap sopan”. Tamu yang “sopan”, akan ikuti, patuh, serta menghargai disamping menghormati tuan rumah maupun aturan milik sang tuan rumah ketika bertamu dan berkunjung. Jika tidak bersedia, mengapa juga masih bertamu dan datang berkunjung? Untuk hal yang “sepele” saja mereka melecehkan tuan rumah, maka bagaimana dengan hal-hal prinsipil lainnya?
Ternyata diri meraka hanya sekadar hendak bertemu orangtua penulis, guna meminjam rekaman CCTV kediaman rumah penulis, dengan alasan motor yang bersangkutan hilang tercuri. Mengapa tidak dari sejak awal mengutarakan maksud tujuannya ketika telah penulis tanyakan secara berulang kali, bahkan seolah menantang dan melecehkan? Bukankah memang sudah sepatutnya, orang-orang semacam itu menjadi korban kejahatan? Itulah kedua kalinya, penulis diolok-olok sebagai “tuan rumah yang tidak sopan”, yang mungkin hanya terjadi di Indonesia, dan penulis tidak akan heran bila ada kejadian untuk ketiga kalinya, keempat kalinya, atau kesekian kalinya, mengingat karakter Bangsa Indonesia yang terbilang masih sangat “terbelakang” sekalipun mereka berpendidikan cukup tinggi secara formal serta mampu memainkan gadget canggih berharga mahal—yang ironinya mentalitas mereka jauh tertinggal di belakang, alias masih “terbelakang”.
Tamu yang semestinya terlebih dahulu menunjukkan sikap hormat terhadap tuan rumah bila hendak dihargai oleh tuan rumah, bukan sebaliknya terlebih dahulu mengharap dihormati oleh tuan rumah seolah dirinya “tuan tanah”—itulah yang betul-betul disebut sebagai “etika ke-Timur-an”. Tampaknya, Indonesia adalah pengecualian dari Negara Timur, toh, Bangsa Indonesia lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari Timur-Tengah, lengkap dengan karakterisasi perangai bangsanya.
Jauh sebelum ini, sekadar bernostalgia, ketika penulis masih seorang mahasiswa di bangku pendidikan tinggi fakultas hukum suatu universitas swasta bertajuk “Universitas Takut Rugi” (silahkan para pembaca buat singkatannya, maka akan didapat petunjuk universitas swasta tempat dahulu penulis berkuliah hukum). Saat mengikuti ujian semester, penulis kebetulan mendapat “jatah” kursi di bagian paling depan, tepat di depan tembok. Saat ujian berlangsung, salah seorang teman kuliah penulis memiliki persoalan terhadap soal ujian yang perlu konfirmasi dari dosen pengawas.
Penulis membantu menanyakan verifikasi atas soal yang diujikan kepada dosen pengawas yang duduk santai di belakang ruang kelas. Ingat, kondisi penulis saat itu adalah duduk dalam posisi kursi menghadap ke depan, di mana penulis juga duduk pada kursi paling depan di ruang kelas. Sehingga, ketika meminta klarifikasi, penulis terpaksa memutar leher menghadap ke belakang guna menghadap wajah sang dosen pengawas jauh di belakang kelas.
Ketika sang dosen memberi klarifikasi, adalah mustahil bagi penulis untuk terus dalam posisi “leher tertekuk ke belakang” secara berlama-lama, karena dapat mengakibatkan cedera tulang leher, sehingga leher dan wajah penulis terpaksa kembali duduk menghadap ke arah depan. Gaibnya, dikarenakan sikap “pemalas” sang dosen pengawas, dirinya memberi klarifikasi dengan tetap duduk di belakang kelas, tanpa bersedia bangkit dan berjalan ke arah depan kelas untuk menerangkan kepada seluruh siswa, akan tetapi seketika itu juga sebelum sang dosen pengawas memberi penjelasan, penulis telah dihardik oleh sang dosen “arogan-diktator-otoriter” sebagai “mahasiswa yang tidak sopan” karena wajah penulis tidak menghadap sang dosen pengawas yang hendak menjelaskan—sekaligus meminta untuk dihormati sekalipun sang dosen sama sekali tidak menghargai kondisi dan martabaht para mahasiswanya.
Ingin sekali rasanya setelah lama lulus berkuliah, tidak lagi dibawah tekanan posisi dominan sang dosen, untuk penulis ajukan tantangan terbuka untuk berdebat dengan membuat bantahan : “Anda punya otak tidak, wahai dosen bergelar sarjana hukum yang lebih patut dihukum, kursi tempat saya duduk menghadap ke depan, dan Anda menuntut saya untuk memutar leher saya 180 derajat ke arah belakang?” Nama dosen tersebut adalah, Abudan.
Bila yang bersangkutan membaca ulasan ini serta keberatan atas nama yang penulis cantum, silahkan kita bertarung di “meja hijau”, setidaknya penulis sudah tidak lagi dibawah posisi dominan seorang dosen terhadap mahasiwanya, sehingga sang dosen bernama Abudan ini tidak lagi dapat menyalah-gunakan statusnya sebagai dosen terhadap mahasiswanya.
Penulis lewat website profesi hukum penulis ini telah membuktikan, bahwa penulis jauh lebih sukses dalam profesi hukum ketimbang yang dosen bersangkutan, serta lebih dikenal maupun diakui disamping lebih dibutuhkan oleh masyarakat, ketimbang sang dosen yang merasa “mahasiswa harus selalu lebih bodoh daripada dosennya, dimana melangkahi dosen artinya tidak sopan”. Faktanya ialah, penulis tidak ingin dikerdilkan oleh dosen yang kerdil, ibarat anak angsa di bawah ketiak seekor bebek, angsa tetap saja angsa yang nalurinya untuk terbang, bukan untuk “berkotek” seperti bebek ataupun seekor ayam.
Dosen yang kerdil biarlah dosen bersangkutan itu sendiri yang kerdil, penulis menyadari betul potensi diri pribadi penulis, yang tidak dapat dimasukkan dan dijejali ke dalam kunkungan “kotak” yang kecil, sempit, serta kerdil. Penulis memahami betul, bahwa diri penulis lebih besar daripada sang dosen. Faktor usia, sama sekali tidak menentukan kebijaksanaan terlebih pemahaman yang baik soal pengetahuan ilmu hukum yang terus berkembang serta berevolusi.
Perihal “sopan” atau “tidak sopan”, cukup kita sendiri yang menilainya—jangan biarkan orang-orang “bodoh” tidak bijaksana mendiktekan kepada kita apa yang “sopan” serta mana yang “tidak sopan”. Orang-orang “bodoh” memakai standar logika “bodoh” milik orang-orang “bodoh”—tidak ubahnya “logika sakit” milik “orang-orang sakit”. Biarlah itu menjadi standar logika milik mereka sendiri. orang-orang kerdil tidak pernah berhak menahan langkah kaki milik orang-orang yang lebih “besar” daripada mereka. Penggaris milik mereka terlampau kerdil untuk mampu mengukur orang-orang yang lebih “besar” dari mereka.
Orang-orang yang lebih bijaksana selalu memiliki standar moralitas dan logika mereka sendiri perihal “kesopanan”, yakni sikap meritokrasi, keterbukaan-transparansi, akuntabilitas, sikap fairnerss, serta daya berpikir logis. Akal sehat adalah hukum tertinggi diatas segala SOP, diatas segala aturan hukum negara, diatas segala “kesopanan”—itulah standar seorang bijaksana yang tidak akan pernah mampu dipahami oleh seorang “kerdil”.
Orang bijak hanya tidak dapat dicela oleh orang-orang bijaksana. Bahkan, Sang Buddha, guru para dewa dan manusia, yang telah sempurna perilaku dan pengetahuannya tentang semesta sekalipun masih juga dicela oleh orang-orang “dungu”. Dimana kemudian Sang Buddha bersikap layaknya batu karang yang kokoh sekalipun dihempas ombak dan angin badai, mental yang tidak tergoyahkan. Kita tidak perlu mengikuti “kesopanan bodoh” milik orang-orang “bodoh”. “PERMISI, PAKET!
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.