ARTIKEL HUKUM
“Penyalah-Gunaan Posisi MUTLAK” Vs. “Penyalah-Gunaan Posisi DOMINAN”
Terminologi hukum mengenal istilah “penyalah-gunaan”, yang sudah sejak lama dikenal dalam kamus ilmu hukum, sekalipun sangat minim dalam elaborasi praktik berhukum di lapangan. Kita kerap mendengar atau menggunakan penyebutan seperti “penyalah-gunaan keadaan”, “penyalah-gunaan kekuasaan”, “penyalah-gunaan kewenangan”, hingga peristilahan seperti “penyalah-gunaan posisi dominan”. Namun, jarang kita mendengar istilah “penyalah-gunaan status”, yang dalam istilah lainnya ialah “penyalah-gunaan posisi mutlak”.
Tepatnya yang disebut terakhir itulah, yang akan kita bahas bersama, dan untuk itu akan penulis berikan contoh-contoh sederhana yang memiliki kedekatan (proximity) terhadap keseharian para pembaca. Sebelum itu, penting untuk kita pahami perbedaan karakteristik antara “penyalah-gunaan posisi dominan” dan “penyalah-gunaan posisi mutlak”. Dalam konteks “penyalah-gunaan posisi dominan”, masih terdapat pilihan bebas bagi salah satu pihak yang lebih lemah untuk keluar dari kondisi penuh tekanan demikian, semisal relasi antara seorang pemberi kerja dan pihak pekerja.
Memang, bila seorang pekerja pindah tempat kerja kepada pemberi kerja lainnya, dan tidak berani mengambil resiko menjadi seorang pengusaha yang mempekerjakan dirinya sendiri, maka selamanya dirinya akan bernasib sebagai seorang pekerja dibawah tekanan seorang pemberi kerja dan selama itu juga dirinya berada dalam kemelut ancaman “penyalah-gunaan posisi mutlak” oleh atasan maupun oleh majikan diri sang pekerja bersangkutan.
Namun, ketika sang pekerja mulai menyadari pilihan hidupnya untuk memulai membuka usaha sendiri, maka ketika dirinya masih sebagai seorang pekerja sembari sedang mempersiapkan usaha pribadinya untuk “launching” serta bersiap-siap untuk menjadi seorang wirausahawan, maka dirinya hanya sebatas rentan menghadapi potensi “penyalah-gunaan posisi dominan” oleh atasannya yang dalam waktu dekat tidak akan lagi dapat mengontrol hidup maupun memberi perintah kepada sang pekerja yang telah bersiap untuk mandiri secara ekonomi. Bila semula, ketidak-patuhan dianggap sebagai tindakan indispliner yang ditakutkan oleh para kalangan pekerja, kini sang pekerja dapat sewaktu-waktu menolak perintah dan siap untuk mengundurkan diri dan memutuskan hubungan kerjanya tersebut.
Singkat kata, potensi ancaman atau resiko dibalik sebuah “penyalah-gunaan posisi dominan”, sifatnya sangat temporal atau tentatif, bergantung pada kondisi yang masih relevan, dimana sewaktu-waktu kondisi serta situasi dapat berbalik menjadi tidak lagi relevan ketika pihak yang lebih lemah posisinya menggunakan dengan baik pilihan bebas (free will & free chooise) yang dimiliki olehnya.
Terdapat juga variasi lainnya, yakni “penyalah-gunaan posisi mutlak” yang seiring berjalannya waktu dapat berubah menjadi “penyalah-gunaan posisi dominan”. Sebagai contoh, seorang anak harus mengikuti wajib belajar sembilan tahun, dalam artian diri sang anak harus tunduk pada kondisi yang rentan terhadap potensi “penyalah-gunaan posisi mutlak” ketika berhadapan dengan seorang guru di sekolah.
Namun, ketika dirinya memilih untuk bekerja ketika telah melewati masa wajib belajar sembilan tahun, maka pada saat itu jugalah “penyalah-gunaan posisi mutlak” tidak akan lagi dipikul ataupun dihadapi olehnya. Namun ketika dirinya berniat kembali meneruskan jenjang pendidikan di bangku sekolah formal hingga universitas / perguruan tinggi, maka dirinya masuk dalam potensi resiko tataran “penyalah-gunaan posisi dominan” oleh pihak dosen, sebagai ilustrasinya.
Karenanya juga, “penyalah-gunaan posisi mutlak” terbagi menjadi dua jenis kategorisasi, yakni “penyalah-gunaan posisi mutlak” yang bersifat “permanen” serta “penyalah-gunaan posisi mutlak” yang bersifat “temporal” semata. Contoh lainnya “penyalah-gunaan posisi mutlak” yang bersifat “temporal”, ialah ketika seorang pekerja terikat jenis pekerjaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, dimana sang pekerja terikat secara “mutlak” sepanjang jangka waktu dalam Kontrak Kerja masih berlaku.
Contoh “penyalah-gunaan posisi mutlak” yang bersifat “permanen”, ialah relasi antara warganegara terhadap pemerintah yang mengepalai sebuah negara. Sebagai warganegara, kita terikat oleh berbagai aturan maupun kebijakan yang ditetapkan secara sepihak oleh pihak otoritas negara, “top to down”, mulai dari ketika kita masih di dalam janin, lahir, tumbuh dewasa, bekerja, menikah, bahkan ketika kita menjadi tua hingga meninggal dunia.
Bila ada diantara para pembaca yang tidak memercayai bahwa bahkan seorang janin pun telah diatur oleh hukum negara, simak ulasan berikut. Kesemua aspek kehidupan warga, telah diatur oleh hukum negara kita di Indonesia, semisal hukum waris ketika seseorang masih di dalam kandungan (sebagai contoh), hukum pajak dan retribusi, hukum pidana bagi seorang wanita yang menggugurkan kandungannya secara ilegal, hukum perdata, hukum perkawinan, hukum dagang, hukum administrasi kependudukan, dan lain sebagainya. Bahkan orang yang meninggal dunia pun turut diatur pula, semisal perihal surat wasiat dan perihal boedel waris, hak atas kekayaan intelektual yang beralih demi hukum kepada ahli warisnya, dan sebagainya. Orang yang sudah “almarhum” pun merupakan subjek hukum yang dapat dipailitkan, sekalipun ahli warisnya yang harus menghadapi konsekuensi hukumnyanya.
Kini, sebagai penutup bahasan, terdapat satu jenis (potensi resiko) “penyalah-gunaan posisi mutlak” yang bersifat “bersyarat”, dan itulah yang tepatnya dapat kita sebut sebagai “penyalah-gunaan status”—dimana syaratnya potensi resiko “penyalah-gunaan posisi mutlak” terjadi ketika syaratnya tersebut masih relevan pada kondisi saat kini, yakni berupa “status”. Seorang suami, secara hukum wajib memberi nafkah materi kepada sang istri, dengan ancaman hukuman pidana sebagai “kekerasan dalam rumah tangga” bila terjadi penelantaran atau pengabaian pemberian nafkah oleh sang kepala keluarga—sekalipun, sejatinya sang istri dalam era emansipasi wanita ini, dapat saja mencari nafkahnya sendiri sebagai wanita karir. Itulah juga sebabnya, kalangan suami di Tanah Air selalu berpotensi menghadapi ancaman kriminalisasi oleh istri mereka.
Relasi antara suami dan istri, terjalin sepanjang status tersebut masih melekat pada mereka masing-masing. Ketika syarat ini kemudian “putus”, semisal “putusnya perkawinan akibat perceraian”, maka syarat tersebut itu pun tidak lagi menjadi relevan, karena tiada lagi tanggung-jawab seorang “mantan suami” terhadap “mantan istrinya”. Meski demikian, relasi antara orangtua dan anak, agak cukup lebih kompleks sebagaimana akan kita urai di bawah ini.
Dalam satu waktu, ketika anak-anak masih sangat kecil, butuh diberi makan dan dinafkahi serta disekolahkan, maka itu adalah (potensi resiko) “penyalah-gunaan posisi mutlak” ketika sang anak “merengek” meminta mainan berbiaya mahal dari orangtuanya yang akan “membanting-tulang” dan “memeras keringat” demi memenuhi keinginan sang anak, atau ketika masih saja bergantung meski dirinya sudah cukup umur untuk belajar mandiri dari segi kehidupan maupun dari segi ekonomi. Status “anak” dan di sisi lain berhadapan dengan status seorang “orangtua”. Ternyata, sifat temporer demikian dapat berbalik menjadi kondisi yang berkebalikan seutuhnya, seiring berjalannya waktu.
Ketika sang anak telah beranjak dewasa dan telah cukup umur untuk mencari nafkahnya sendiri, dan sang orangtua telah beranjak menjelma lanjut usia (lansia), status yang sama dapat berbuntut pada kondisi berkebalikan dengan kondisi yang sebelumnya telah kita singgung di muka, dimana pihak yang dapat secara “apik” memanfaatkan “penyalah-gunaan posisi mutlak”, ialah sang orangtua terhadap anak-anaknya.
Kurang-lebih berikut inilah potensi skenario yang mungkin dapat terjadi, antara relasi seorang anak yang telah dewasa dan orangtua sang anak yang telah beranjak “lansia”. Jika semula sang anak dikala kecil “merengek” meminta mainan dari orangtuanya, kini sang anak yang harus meladeni “rengekan” dan segala sikap “kekanakan” orangtuanya. Dimana, ketika sang anak merasa tidak lagi sanggup untuk menghadapi segala sikap orangtuanya yang dirasakan sangat “membebani”, dan memutuskan untuk hidup bebas seorang diri di luar kediaman orangtuanya, maka diri sang anak terbentur pada satu fakta yang tidak jarang disalah-gunakan oleh kalangan orangtua terhadap putera-puterinya, yakni frasa “DURHAKA”.
Orangtua, tidak memiliki kata “durhaka” dalam kamus hidupnya terhadap anak-anaknya. Sehingga, tiada satu pun “text book” yang pernah menyebutkan bahwa orangtua dapat bersikap “durhaka” terhadap anak-anaknya, meksi tidak jarang kita jumpai pemberitaan maupun pengalaman bahwasannya kalangan orangtua kerap melakukan “penyalah-gunaan posisi mutlak” terhadap putera dan puterinya yang masih kecil dan lemah (karena belum mampu hidup mandiri).
Sebaliknya, seburuk apapun perilaku orangtua sang anak terhadap sang anak, ketika sang anak telah beranjak dewasa dan orangtuanya telah beranjak “lansia”, maka seburuk apapun perilaku yang diterima sang anak mulai dari kecil hingga beranjak dewasa, seburuk apapun perilaku yang dilakukan oleh sang orangtua kepada sang anak yang masih kecil maupun hingga sang anak beranjak dewasa, sang anak selalu terikat oleh potensi resiko ancaman disebut sebagai “anak DURHAKA”, ketika sang anak hendak hidup “bebas” dan “merdeka” tanpa lagi bersedia hidup dibawah “diktatoriat” sang orangtua.
Sebaliknya, kalangan orangtua “lansia” selalu menampilkan wajah tua renta yang seolah “play victim / innocent face”, semata dengan memanfaatkan dengan baik kelemahan tubuh mereka yang mulai berkeriput dan rambut memutih, terutama ketika mereka tidak lagi dapat “mendominasi” anak-anak mereka, seolah tidak pernah menggunakan “penyalah-gunaan posisi mutlak” ketika putera-puteri mereka masih sangat kecil hingga beranjak dewasa. Seolah hendak “cuci tangan”, dengan memasang wajah “tua renta” penuh keriput (seklipun, bisa jadi, ketika masih kuat dan muda, menampilkan karakter yang serba “pamer” kekuatan serta kekuasaan terhadap anak-anaknya yang tidak berdaya), sang anak terjebak dalam permainan yang bernama “penyalah-gunaan posisi mutlak” yang dimainkan secara apik oleh orangtuanya. Itulah sebabnya, dalam ilmu psikologi, posisi seorang anak selalu lebih rentan ketika “dibenturkan” dengan kedudukan “status” orangtua mereka.
Dari berbagai ilustrasi sederhana sebagaimana telah kita bahas bersama tersebut di atas, kita mulai menjadi mafhum, bahwasannya potensi resiko berupa ancaman “penyalah-gunaan posisi mutlak” masih jauh lebih “abuse” ketimbang “penyalah-gunaan posisi dominan”. Tiada terdapat elemen “kemerdekaan” untuk memilih dalam suatu kondisi “penyalah-gunaan posisi mutlak”, yang ada ialah relasi “tunduk”, dimana terampasnya kemerdekaan dapat menyerupai “penjara” secara mental.
Bila dalam relasi yang terkait “penyalah-gunaan posisi dominan”, istilah yang kita jumpai ialah “penundukan diri” salah satu pihak kepada pihak lainnya, sebagai contoh seseorang angkatan kerja mengajukan lamaran kerja kepada suatu perusahaan, bilamana diterima bekerja maka sang pelamar yang ketika resmi menjadi seorang pekerja maka dirinya sejatinya tengah melakukan “penundukan diri”. Sebaliknya, dalam relasi yang timbul dalam kondisional sebuah “penyalah-gunaan posisi mutlak”, yang ada ialah “tunduk”, dimana “kepatuhan” menjadi syarat mutlaknya, dengan melepaskan kemerdekaan diri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.