Mental yang Tidak Tergoyahkan, Laksana Batu Karang yang Tetap Berdiri Kokoh sekalipun Dihempas oleh Ombak maupun Angin Badai [Sabda SANG BUDDHA]

ARTIKEL HUKUM
Tampaknya kita semua pernah mengalami, menjadi korban kejahatan namun sang korban yang melakukan komplain dan protes kepada pelakunya justru kemudian dimarahi oleh sang pelaku kejahatan yang ternyata “lebih galak daripada korbannya”? Tentu saja, penjahat mana yang tidak akan marah ketika niat jahatnya tidak terlaksana karena digagalkan oleh calon korbannya?
Ketika “libido birahi” (dalam arti luas) tidak tertahankan lagi oleh pelakunya yang gagal mengendalikan dirinya sendiri, maka korban yang menghambat niat jahat pelakunya untuk melampiaskan nafsu “bejat”-nya akan dianggap sebagai telah membuat marah pelakunya yang kemudian benar-benar menjadi “berang” terhadap sang korban yang melakukan perlawanan. Itulah uniknya sikap “biadab”, pelakunya menjelma “binal” seperti hewan (sifat kebinatangan). Jangankan berbicara menggugat pelakunya, bahkan pelakunya tidak jarang balik menggugat korbannya atau bahkan terlebih dahulu menggugat korbannya serta mengkriminalisasi guna membungkam korbannya.
Korban yang tidak kuat dan berdaya dari segi mentalitas kejiwaan, bahkan tidak siap menghadapi “putar-balik logika moril” (baca : modus) oleh pelakunya, maka besar kemungkinan menjadi pula korban eksploitasi dan manipulasi pikiran, bahkan tidak jarang sang korban yang justru harus merasa meminta maaf pada pelakunya tanpa menyadari bahwa dirinya telah diperdaya dan telah dipermainkan (baca : dibodohi) oleh pelakunya yang terampil dalam memanipulasi pikiran para korbannya.
Kata kuncinya ialah, jangan pernah terobsesi untuk menjadi “Mr. / Mrs. Nice Guy.” Ada kalanya kita memang harus tersenyum ramah, dan ada kalanya kita perlu dan patut (menjadi wajar adanya) untuk melakukan perlawanan sengit, sebagaimana pesan simpatik oleh Bhikkhu Ajahn Brahm : “Ada kalanya, seorang suciwan sekalipun perlu memperlihatkan taringnya agar tidak di-bully”, dan agar tidak mati konyol dari orang lain yang suka mem-bully orang-orang baik. Singkatnya, agar tidak menjadi korban “mangsa empuk”, bahkan seorang “malaikat” sekalipun terkadang perlu menyembunyikan sayap malaikat dan lingkaran emas di atas kepalanya guna melindungi diri dari tangan-tangan “usil yang serba jahil”.
Kini mari kita bahas perihal dilematika kalangan pembentuk kebijakan di negeri ini. Tiada satupun kebijakan pemerintah maupun kebijakan yang kita buat akan dapat memuaskan semua pihak. Jelas, dan sudah tentu, pelaku kartel dan monopoli usaha manakah yang tidak akan merasa berkeberatan terhadap pemberlakuan Undang-Undang tentang Anti Monopoli Usaha serta eksistensi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang cukup “bertaring”?
Koruptor manakah yang akan senang bila diawasi serta dipantau oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Jika perlu sang koruptor akan “memperlemah” (yang akan diberi label sebagai “penguatan”, tentunya) KPK dengan cara mengubah Undang-Undang tentang KPK atau jika perlu menguji materiil pasal-pasal terkait korupsi agar membuka ruang celah untuk berkelit bagi sang pelaku korupsi. Siapa pula diantara kalangan penjahat-penjahat di tengah-tengah masyarakat kita yang akan dengan senang hati dituntut serta dimintakan pertanggung-jawaban oleh negara ataupun oleh para korbannya?
Perlawanan-perlawanan sengit baik secara kasat-mata maupun secara lobi-lobi politis, selalu mewarnai setiap langkah kebijakan pemerintah kita dalam menyelenggarakan negara. Salah satu contoh yang terjadi saat artikel ini disusun oleh penulis, ialah ketika momennya bertepatan dengan merebaknya wabah pandemik Corona Virus Disease (COVID-19), dimana pemerintah selaku otoritas negara terkesan “gamang”, ambigu, ambivalensi, serta tidak jelas arah kebijakannya karena berbagai kepentingan saling tarik-menarik.
Sebagai akibat logisnya, pemerintah terkesan kompromistis untuk tidak segera melakukan langkah tegas seperti “lock down”, karantina wilayah parsial atau bahkan berskala total nasional, hingga pembatasan sosial berskala besar yang dinilai oleh sebagian kalangan seolah mematikan pelaku usaha bahkan ketika himbauan untuk tidak “mudik” dinilai melanggar hak asasi manusia untuk bersosialisasi, untuk beribadah, untuk mencari nafkah, dan lain sebagainya yang bernama mendiskreditkan arah kebijakan otoritas negara.
Ketika pemerintah tidak atau belum memiliki “mental yang tidak tergoyahkan”, pada gilirannya pemimpin atau pembentuk kebijakan di negeri kita akan benar-benar goyah arah langkah kebijakannya, seolah “tarik-ulur”, seolah tidak memiliki pijakan kuat untuknya berdiri dan berpendirian teguh-mantap, serta terkesan “malu-malu” ketika hendak melangkah secara lebih tegas. Pemerintah seolah mencari perlindungan terhadap pencitraan dirinya sendiri yang serba populis sekalipun sejatinya kepentingan umum secara urgensi menghendaki penerapan sikap tegas untuk mempercepat aksi tanggap darurat dapat menuntaskan misinya memutus mata rantai wabah COVID-19.
Suara-suara bernada apatis, suara-suara “cibiran”, penolakan, celaan, hingga tudingan yang bermuatan niat atau tujuan utamanya semata untuk “menjungkalkan / menumbangkan mental”, tentulah akan mengisi ruang-ruang media terutama oleh kalangan komentator (yang sudah barang tentu hanya lebih pandai mengomentari sebagai penonton, bukan sebagai “pemain” lapangan yang paling tahu perihal kendala di lapangan), maupun oleh sebagian pihak-pihak yang merasa kepentingannya telah terganggu, hingga “deal-deal” politis yang menyandera pemimpin negara, mengakibatkan negara seolah lumpuh karena otoritas negaranya “gamang” serta tidak tegas bandul arah tujuannya.
Hendak dibawa kemanakah negeri kita ini, kira-kira seperti itulah yang patut kita kumandangkan sebagai reaksi wajariah dari penduduk terhadap pemimpin mereka yang “plin plan”. Maka, untuk apakah adanya negara ini bila tiada otoritas yang berani untuk mengambil sikap tegas setegas-tegasnya tanpa kenal kompromi lewat kebijakan yang penuh ketegasan yang sejatinya telah lama kita tunggu-tunggu sekalipun pemimpin negara silih-berganti? Pemimpin yang tidak tegas, dapat membawa potensi resiko yang jauh lebih besar lagi dan lebih mengkhawatirkan bagi kepentingan publik lebih luas sebagai “taruhannya”. Apakah pemimpin negara kita hendak berspekulasi terhadap nasib segenap rakyatnya demi sikap-sikap “mental yang mudah goyah” atau bahkan “rapuh tidak berpendirian” dimana untuk bisa berdiri tegak saja masih perlu ditopang pihak lain yang pada gilirannya hanya menjadi beban bagi warga masyarakat?
Pengalaman sederhana berikut ini mungkin juga pernah dialami oleh para pembaca, karena pastilah tidak jarang kita jumpai dikeseharian. Ketika penulis memesan barang secara daring, dengan dikirim oleh kurir jasa pihak perusahaan ekspedisi, terdapat kurir yang entah bagaimana menampilkan sikap “jutek” dan tidak ramah terhadap penulis. Penulis kemudian menjadi berpikir, sebenarnya apakah “yang salah dari sikap atau diri penulis”, adakah kesalahan dari penulis sehingga sikapnya begitu “jutek” dan tidak ramah? Esok harinya, datang kembali kurir lainnya mengantarkan barang pesanan, namun ternyata berbeda dari penampakan kurir sebelumnya, yakni sang kurir bersikap sangat penyabar, ramah, suka membantu, suka tersenyum, dan baik hatinya sehingga membuat perasaan penerima paket menjadi hangat serta penuh persahabatan lewat sikapnya yang bersahaja.
Ternyata, semua itu adalah faktor karakter bawaan pribadi sang kurir, masing-masing kurir memiliki watak yang saling berbeda satu sama lain. Sehingga, masalahnya senyatanya bukan terletak pada diri maupun sikap penulis, sehingga menjadi bodoh ketika penulis justru menjadi bersikap “gamang” dan “goyah” dari segi mental menghadapi orang-orang yang tidak ramah, intoleran, egoistik, arogan, premanis, sinistik, kasar, “tidak sabaran”, pengeluh, “penggerutu”, hingga yang selalu memasang wajah “cemberut” serta “ketus” (tidak sedap dipandang serta tidak sedap didengar).
Menjadi tidak penting dan tidak relevan faktor eksternal diluar diri kita, kita tidak bisa mengatur mereka, namun yang paling penting ialah memastikan kesiapan dan kondisi mental diri kita sendiri yang perlu kita jaga dan pertahankan ialah agar mental kita senantiasa siap apapun faktor eksternal yang muncul dan terjadi untuk kita hadapi, maupun mental kita agar senantiasa kokoh laksana “batu karang yang tetap berdiri kokoh sekalipun dihembas ombak dan angin badai”, alias “mental yang kokoh”, sebagaimana sabda Sang Buddha yang sekalipun telah sempurna perilakunya, namun tetap dan masih saja dicela oleh mereka yang tidak bijaksana (sang Mara).
Penulis menjadi teringat lama sebelum ini, ketika penulis masih seorang mahasiswa pada bangku pendidikan tinggi hukum pada salah satu perguruan tinggi swasta di Indonesia. Sang dosen pengajar menyatakan di depan ruang perkuliahan di hadapan puluhan mahasiswa, bahwa yang dimaksud dengan “domisili” dalam terminologi hukum ialah “alamat pada KTP (Kartu Tanda Penduduk)”. Penulis yang merasa tidak percaya pada pendengaran dari telinga penulis atas pernyataan seorang dosen hukum senior demikian, melakukan verifikasi dengan bertanya dari bangku mahasiswa, “Domisili artinya alamat pada KTP?
Namun seluruh mahasiswa lainnya secara serempak dan serentak menertawakan dan mengolok-olok diri penulis, sekalipun saat itu penulis masih berstatus sebagai seorang mahasiswa namun penulis telah memahami betul bahwa yang dimaksud dengan “domisili” dalam terminologi hukum acara artinya ialah “alamat tempat tinggal DE FACTO bukan DE JURE”.
Dari contoh sederhana tersebut kita telah dapat melihat dan mulai memahami, orang-orang bodoh cenderung melecehkan orang-orang yang sejatinya lebih tahu sesuatu yang benar. Telah bersikap dan berkata secara benar, tidak menjadi jaminan bahwa diri kita akan luput dari pelecehan dari massa secara masif, itulah pembelajaran paling berharga yang dapat penulis petik, yakni “orang bodoh banyak terdapat di sekitar kita, namun akan lebih bodoh ketika kita terpengaruh dan goyah mentalnya oleh orang-orang bodoh semacam mereka”. Positive thinking-nya, setidaknya hanya terdapat sedikit kompetitor profesi penulis yang benar-benar memahami ilmu hukum secara baik dan benar, terbukti dari jumlah jutaan Sarjana Hukum di Indonesia, namun hanya hitungan jari diantara mereka yang eksis dan dikenal namanya oleh masyarakat dalam profesi hukum.
Karena itulah, Sang Buddha kemudian bersabda, hanya hiraukan celaan dari orang-orang yang bijaksana, bukan celaan dari orang-orang yang tidak bijaksana. Karenanya, bukan faktor subjek eksternal diri kita, namun adalah faktor internal diri kita menjadi faktor yang paling esensial dan paling krusial untuk kita pastikan kondisinya untuk siap dan kokoh. Seorang Buddha tidak pernah bermaksud untuk memuaskan semua orang. Sang Buddha hanya membabarkan Dhamma bagi orang-orang yang hanya sedikit “debu yang menutup mata mereka”, dimana seorang Buddha akan diam tanpa sedikitpun kesediaan untuk membabarkan Dhamma ketika audiens-Nya tidak menaruh hormat kepada uraian Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Buddha.
Mungkin dapat diumpamakan, bila yang “menggonggong” ialah seekor “manusia-anjing”, maka kita cukup menjadi “khafilah yang berlalu” (sebagai hak kita untuk tidak ambil hirau)—dan kita selalu punya hak untuk “tidak ambil hirau” demi “kesehatan mental” kita apapun sikap sinis dan tidak patut orang lain terhadap diri kita. Mengingat, kita tidak pernah meminta siapapun untuk menaruh hormat kepada diri kita, kita cukup memberi sikap penuh hormat kepada diri kita sendiri—dimana itu sudah lebih dari cukup.
Ilustrasi kisah drama sekalipun fiksi berikut mungkin dapat sedikit atau banyaknya memberikan gambaran, betapa kita tidak perlu selalu menganggap diri kita begitu “tidak berharga” sehingga “hanya melulu menyalahkan diri kita sendiri” atas sikap orang lain. Alkisah, seorang sepasang kekasih telah melangsungkan masa “pacaran” selama empat tahun, akan tetapi ketika sang pria hendak melamar sang kekasih, sang kekasih menolaknya dan menyatakan dirinya hendak “putus”. Ketika sang pria bertanya, “Apa alasannya, mengapa engkau hendak putus?
Sang gadis tidak memberikan alasan ataupun penjelasan, sepatah kata pun, dan pergi berlalu begitu saja. Selama sekian waktu lamanya, sang pria hidup merana dan terus menyalahkan serta mempertanyakan dirinya sendiri, kesalahan apakah yang telah ia buat, dimanakah letak kesalahan itu, apakah yang kurang dari dirinya, apa yang semestinya diperbuat olehnya diwaktu-waktu lampau guna perbaikan diri agar kejadian putusnya hubungan ini tidak sampai terjadi. Selama sekian lama itu pula, sang pria “menyiksa dirinya sendiri” dengan berbagai pertanyaan serta tidak jarang diwarnai imajinasi di dalam alam pikirannya, seolah dirinya yang telah melakukan kesalahan sehingga kejadian demikian dapat tejadi.
Ternyata, ketika sang gadis dan sang pria kembali berjumpa, pada akhirnya sang gadis mengutarakan isi hatinya ketika sang pria kembali mengajukan pertanyaan yang sama, “Apa salah saya?” Sang gadis yang merasa tidak memiliki pilihan lain selain memberikan jawaban, karena merasa tidak adil bila sang pria tidak diberikan penjelasan, memberi respons sebagai berikut: “Engkau tidak melakukan kesalahan. Akulah yang melakukan kesalahan karena mencintai pria lain. Engkau tidak pernah melakukan kesalahan, karena dari sejak semula aku tidak pernah menyukaimu. Namun saat itu aku berpikir, mungkin seiring berjalannya waktu, mungkin hati aku dapat tumbuh rasa cinta terhadap dirimu. Ternyata itu tidak pernah terjadi, dan aku telah keliru.” Karenanya, untuk apa juga selama ini sang pria menyiksa dirinya sendiri, jika senyatanya bukan dirinya yang telah bersalah dalam hubungan demikian.
Perihal pelaku kejahatan yang lebih galak dan lebih beringas daripada korbannya, tanpa rasa malu terlebih rasa takut berbuat jahat terhadap korbannya, sudah menjadi menu sehari-hari dari profesi penulis yang mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab seputar hukum (konseling hukum). Sekalipun sudah sangat jelas sebagaimana keterangan dalam sekujur format website profesi penulis ini, bahwa penulis adalah seorang Konsultan Hukum, tetap saja ribuan pihak secara tidak bertanggung-jawab menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis dengan maksud meminta (bahkan tidak jarang “menuntut”) dilayani tanpa bersedia membayar kompensasi berupa tarif jasa SEPERAK pun, serta memaki dan mengutuk penulis karena tidak bersedia melayani mereka yang secara tidak langsung sedang menyuruh penulis untuk “menjadi budak mereka” sekalipun disaat bersamaan menyuruh untuk “mati makan BATU”.
Sudah tidak terhitung lagi besarnya pengorbanan penulis dari segi waktu, tenaga, hingga biaya untuk membangun website hukum ini, namun alih-alih berterima kasih, mereka justru secara “gagah berani” dan dengan demikian lancang bahkan merasa penuh kebanggaan “memperkosa” profesi penulis (merampok nasi dari piring orang lain yang sedang bekerja mencari nafkah). Bila penulis tidak memiliki bekal berupa kesiapan mental yang cukup solid, maka bisa jadi sudah lama penulis akan menutup layanan jasa konsultasi seputar hukum dan beralih profesi, karena ternyata Bangsa Indonesia sangat tidak etis dan tidak patut sikapnya ketika memperlakukan orang lain yang sedang mencari nafkah—dimana nafkah ialah perihal “hidup atau mati” seseorang maupun bagi anggota keluarganya, sehingga merupakan isu sensitif yang tidak patut dipermainkan terlebih dilecehkan oleh tangan-tangan “usil penuh kejahilan”.
Dapat para pembaca bayangkan, penulis diolok-olok para pelakunya tersebut sebagai “mata duitan” semata karena penulis memberi respons “ada tarif (maka) ada jasa” atas pesan yang masuk ke nomor kontak kerja profesi penulis (penyalah-gunaan nomor kontak kerja penulis) : “Boleh tanya?”—sekalipun berbagai peringatan dalam website telah demikian tegas “hanya melayani klien pembayar tarif” dan sekalipun sudah demikian tegas dan jelas bahwa konstitusi UUD RI 1945 telah menyatakan bahwa “hak mencari nafkah adalah hak asasi manusia”, bahkan penulis tidak jarang dipersalahkan pihak-pihak lancang tersebut karena tidak bersedia memberi layanan tanpa menuntut tarif jasa SEPESER PUN, seolah penulis lebih rendah harkat dan martabatnya daripada “budak” yang mana bahkan kerja rodi sekalipun masih berhak menuntut upah kerja sesuai keterampilan dan profesinya.
Luar biasanya perilaku jahat orang-orang jahat (sebagaimana namanya “orang jahat”, menjadi dapat kita maklumi, orang jahat mana jugakah yang manusiawi dan tuhanis?), bahkan para orang jahat tersebut menuntut agar para korbannya hanya bungkam, diam seribu bahasa, pasif agar dapat terus-menerus dieksploitasi dan diperdaya, dan tidak komplain layaknya mayat yang hanya bisa terbujur kaku di peti jenasah seburuk apapun perlakuan orang jahat tersebut terhadap sang “mayat”.
Bahkan, seekor anjing pun masih memiliki hak untuk menggigit Anda ketika Anda menginjak ekor sang anjing, atau setidaknya menyalak dan menggonggong sekeras-kerasnya karena merasa kesakitan dan sebagai wujud / bentuk protes sang anjing (menggigit dan menggonggong sebagai “sarana komunikasi” penyampaian pesan ketidak-sukaan). Maka, bagaimana mungkin seorang manusia yang masih hidup dituntut untuk bersikap layaknya seorang “mayat” yang “hanya boleh diam”? Sebagaimana pula namanya, “seorang manusia” (makhluk hidup), kita bukanlah “sebongkah mayat” (benda mati).
Orang lain bisa saja mengkhianati diri kita, mengecewakan diri kita, bersikap tidak adil terhadap diri kita, melecehkan diri kita, bersikap sinis terhadap diri kita, menghina diri kita, menyakiti diri kita, yang terpenting bukanlah kesemua faktor eksternal diri kita tersebut, namun pertanyaan : Apakah kondisi mental kita telah dipersiapkan secara cukup memadai untuk senantiasa siap menghadapi kondisi eksternal semacam apapun, siap untuk “bagaikan batu karang yang kokoh”, yakni “mental yang tidak tergoyahkan”?
Perlu mulai kita pahami, menjadi seorang “anak manis” sekalipun tidak menjadi jaminan orang lain akan bersikap patut dan layak terhadap diri kita, dimana justru orang-orang baik lebih cenderung dan berpotensi menjadi “mangsa empuk” orang-orang jahat yang menyerupai “predator”. Tidak terkecuali seorang “Mr. Nice Guy”, justru paling berpotensi menjadi korban “bulan-bulanan” dan eskploitasi. Tiada manusia yang paling gagal segagal seorang “Mr. Nice Guy” maupun mereka yang terobsesi menjadi “anak manis” yang hendak memuaskan semua orang—meski senyatanya niat buruk orang lain terhadap diri kita justru harus kita lawan secara sengit, sebagai bentuk pertanggung-jawaban diri kita terhadap diri kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.