KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Memahami Cara Kerja HUKUM KARMA, Pengetahuan Praktis bagi Umat Awam di Keseharian

ARTIKEL HUKUM
Algoritma dibalik bekerjanya Hukum Karma, hanya diketahui oleh mereka yang telah mencapai level atau tingkat kesucian “Arahat”. Namun, bukan artinya kita yang masih sebagai umat awam, tidak dapat memahami cara kerja Hukum Karma. Seperti perangkat digital yang kita para pembaca gunakan dan operasikan di kantor ataupun rumah kita, kita tidak harus perlu betul-betul memahami kode biner yang bekerja dibalik sebuah program komputer, dimana bahkan akan lebih banyak buku-buku yang mengulas “How To” menggunakan sistem operasi komputer di toko buku maupun di pasaran.
Meski, bukan artinya kita tidak dapat mempelajari kode biner yang menyusun suatu program komputer. Sama halnya, bila kita ingin mengetahui “past life” sumber benih karma yang kini berbuah dan kita petik, kita dapat menempuh upaya seperti “past life regression” (cabang disiplin ilmu psikologi modern) maupun Meditasi Samantha untuk dapat melihat sendiri rentetan serial kehidupan-kehidupan lampau kita sebelum ini. Namun demikian, kita pada dasarnya tidak perlu mempelajari segala algoritma yang bekerja dibalik sebuah program untuk dapat bekerja maupun demi keperluan sehari-hari kita.
Sebelum kita memulai bahasan lebih mendalam perihal “cara kerja Hukum Karma”, menjadi penting bagi kita untuk memahami pesan pembuka berikut dari Sang Buddha, guru agung para dewa dan para manusia yang satu-satunya membabarkan perihal Hukum Karma yang mengatur kehidupan setiap makhluk dan alam semesta ini : “Yang disebut perbuatan baik, artinya tidak menyakiti / merugikan orang lain maupun tidak menyakiti / merugikan diri sendiri.” Sehingga, dapat juga kita analogikan : Yang disebut dengan usaha / pekerjaan / mencari nafkah yang baik, artinya tidak merampas maupun mengganggu hak-hak dan ketenangan hidup warga lainnya, juga tidak merugikan diri kita sendiri.
Kini, kita masuk pada postulat yang bekerja dibalik hukum karma : Adil ataupun tidak adil, suka ataupun tidak suka, mengakui atau tidak mengakui, kecil ataupun besar, diingat ataupun dilupakan, benar ataupun tidak benar, korbannya menyadari ataupun tidak mengetahui dirinya telah dikorbankan dan dirugikan, pelakunya lalai ataupun tidak lalai dimana dirinya telah merugikan pihak lain, perbuatan apapun yang dilakukan, maka perbuatan itulah yang akan dipetik oleh pelakunya itu sendiri.
Sejatinya, semua perbuatan kita akan menyerupai “cermin”, berbalik kepada diri kita sendiri, diwarisi oleh diri kita sendiri, berimbas serta berakibat bagi diri kita sendiri—sehingga, tiada sesuatu pun yang dapat benar-benar kita “curangi” dalam hidup dan kehidupan ini, semua akan kembali serta berbuah kepada diri pelakunya itu sendiri. Menyakiti dan merugikan atau mengganggu ketenangan hidup dan hak-hak orang lain, sama artinya sedang menabung (menanam) karma buruk bagi diri diri pelakunya itu sendiri untuk berbuah dikemudian hari. Ada sebab, maka ada akibat. Itulah yang tepatnya disebut dengan “Hukum Sebab dan Akibat” yang merupakan sinonim dari “Hukum Karma”. Singkat kata, ketika kita menyakiti orang lain / makhluk hidup lainnya, sama artinya kita sedang menyakiti diri kita sendiri.
“Perbuatan” / “aksi” (action, “kata kerja” verba), dalam Bahasa Pali bernama “kamma”, sementara dalam Bahasa Sansekerta disebut sebagai “karma”. Namun, banyak salah-kaprah yang berkembang di masyarakat kita, seolah “Karma” adalah buah atau akibat / reaksi dari sebab / perbuatan. Sementara itu, “buah (dari) perbuatan” (result / reaction) dalam Buddhisme disebut sebagai “vipaka”, alias buah dari karma, buah dari perbuatan kita sendiri yang sebelumnya kita tanam. Buah karma buruk disebut sebagai “akusala vipaka”, sementara buah karma baik disebut sebagai “kusala vipaka”.
Secara singkat dan paling sederhana, cara kerja Hukum Karma dapat kita gambarkan dalam skema berikut : Apa yang kita alami pada kehidupan masa kini, merupakan akibat / buah dari perbuatan diri kita sendiri di kehidupan-kehidupan lampau serta perpaduan dengan perbuatan / usaha kita dikehidupan saat kini. Sementara apa yang akan terjadi pada diri kita dikehidupan yang akan datang, merupakan perpaduan antara buah dari perbuatan yang kita tanam di kehidupan saat kini serta apa yang kita lakukan dan tanam di kehidupan yang akan datang.
Sehingga, sejatinya apa yang terjadi pada kehidupan kita di masa kini, bukanlah deterministik dari karma masa lampau layaknya “robot”, karenanya juga kita tidak dapat bersikap pasif ataupun pasrah menerima “nasib”, “takdir”, atau “kodrat” ataupun istilah lainnya. Karena sifatnya adalah perpaduan, maka dalam Buddhisme menekankan kesadaran kita pada apa yang disebut sebagai “kehendak / pilihan bebas” (free will). Apa yang terjadi pada masa kini, adalah hasil perpaduan antara karma masa lampau yang tidak lagi dapat kita ubah, namun kita masih berdaya serta memiiki daya terkait karma masa kini—yakni lewat perbuatan konkret kita sehari-hari di kehidupan masa kini.
Contoh sederhananya, jika kita memiliki segelas garam yang asin rasanya sebagai representasi “karma buruk”. Bagaimana caranya kita menghadapi satu gelas garam asin itu? Jangankan satu gelas, satu sendok teh garam saja kita dapat dipastikan tidak sanggup menelannya. Kita tidak dapat berharap agar karma dapat dihapus, karena itu sama artinya kita berupaya bersikap “curang” terhadap hidup dan kehidupan yang adil. Bagaimana juga bila yang terhapus ialah karma baik milik Anda, setuju?
Namun, dalam Buddhisme, kita bisa berusaha untuk mengimbanginya dengan cara yakni menanam benih karma baik baru, sehingga ibarat segelas garam tersebut kita tuangkan ke dalam air tawar seluas danau, maka rasa asinnya menjadi hampir tidak lagi kentara. Tantangan bagi kita saat ini yang masih belum hidup secara “suci”, sebagai perumah-tangga, ialah dengan menjalankan esensi dari Dhamma (ajaran Sang Buddha), yakni sebagaimana terangkum dalam “Ovada Patimokkha” yang berbunyi : Tidak melakukan perbuatan buruk yang dapat dicela oleh para bijaksana (menghindari karma buruk), serta senantiasa melakukan perbuatan yang patut dipuji oleh para bijaksana (menanam karma baik).
Kita bahkan dapat merancang apa yang akan kita petik di kehidupan berikutnya, yakni dengan cara secara rajin menanam di kehidupan masa kini dengan rumusan pola sebagai berikut : Menanam benih karma buruk, akan berbuah “akibat” berupa perbuatan yang sama pahitnya. Menanam benih karma baik, akan berbuah “akibat” berupa perbuatan yang sama manisnya—tidak mengherankan bila Hukum Karma kerap dijuluki pula sebagai “Hukum Sebab-Akibat”.
Karenanya, kitalah yang paling bertanggung-jawab atas kehidupan kita sendiri. Kita tidak dapat menyalahkan ataupun mengutuk apa yang kita alami dikehidupan ini sebagai ketidak-adilan “langit”, namun diri kita bertanggung-jawab atas diri kita sendiri, serta siswa Sang Buddha diajarkan untuk mengambil tanggung-jawab atas diri mereka sendiri, atas “nasib” baik ataupun “nasib” buruk diri mereka sendiri.
Kini, mari kita implementasikan pengetahuan sederhana tersebut di atas sebagaimana telah penulis uraikan perihal esensi cara kerja dibalik Hukum Karma. Sebagai contoh, seorang tetangga merubuhkan rumahnya dan membangun rumah baru yang dilakukan secara mendadak, sehingga mengejutkan dan mengganggu tetangga yang berbatasan lewat suara denduman bombardir palu kepada tembok rumah hingga bergetar sepanjang hari.
Ketika perilaku pemilik rumah yang merubuhkan dan membangun rumah baru secara “tidak sopan” tersebut ditegur oleh sang tetangga yang merasa terganggu dan terancam, karena kepentingan serta keselamatan properti milik tetangganya tidak diperhatikan, pihak pemilik rumah maupun para tukangnya bersikap menantang dengan berkata : “Tidak butuh Izin Mendirikan Bangunan untuk membuat rumah baru dari rumah lama yang dirubuhkan (sekalipun rancang bangun bangunan sama sekali berbeda dari rumah yang sebelumnya)”.
Orang-orang yang taat dan patuh terhadap hukum, tidak akan membuat lontaran pernyataan yang “mau menang sendiri”. Sehingga, dari indikasi sikap “mau menang sendiri” dengan bersikap “sembarangan sesuka hatinya” dalam bersikap maupun bertutur-kata demikian, sama artinya diri bersangkutan adalah “percuma untuk diajak berdialog maupun berdebat”, karena sama sekali tidak logis dan tidak rasional cara berbicaranya.
Sehingga, ketika kita menyadari dan mengetahui bahwa adalah percuma membuang-buang waktu berbicara dengan orang-orang yang hanya “maunya menang sendiri”, demikian pula hukum negara dan aparatur penegak hukum yang korup di Negeri Indonesia ini sehingga tidak dapat diandalkan untuk menegakkan hukum sebagaimana mestinya, melakukan upaya hukum yang justru menyerupai “hilang sapi justru akan kehilangan mobil”, maka cukuplah kita serahkan kepada Hukum Karma—dimana bahkan kita tidak perlu mengajukan laporan, tidak perlu menyuap agar pelakunya ditindak, tidak perlu juga untuk takut-takut Karma bersikap tidak adil, karena hakim dan eksekutor Hukum Karma akan bekerja secara sendirinya, dimana bahkan bila pelakunya melakukan perbuatan (karma) dengan senang hati tanpa penyesalan ataupun rasa bersalah, maka buah Karmanya akan berlipat-ganda miliaran kali lipat (bukan bermaksud menakut-nakuti, namun itulah yang telah dibabarkan Sang Buddha dalam Abhidhamma Pitaka, salah satu Pitaka dari Tripitaka). Karenanya, jangan pernah “lengah”, terlebih meremehkan dampak akibat perbuatan kita.
Sama halnya, ketika kita menjumpai pengusaha ilegal “serakah” bahkan juga bersikap “kriminal” terhadap warga pemukim yang telah bertempat-tinggal selama hampir separuh abad lamanya pada suatu wilayah perumahan padat penduduk, yang oleh sang pelaku usaha ilegal pendatang tersebut dialih-fungsikan untuk kegiatan usaha berskala besar yang mengganggu ketenangan dan merugikan hak-hak warga pemukim, semisal terjadinya kebakaran pada gudang yang dibangun oleh sang pelaku usaha, mengakibatkan warga yang diresahkan, bukan sang pelaku usaha yang tidak tinggal bermalam di wilayah pemukiman tersebut.
Pemukiman, fungsinya ialah sebagai tempat beristirahat, bebas dari segala jenis gangguan apapun, semisal dari polusi suara, polusi udara, polusi air, hingga polusi sosial semisal parkir liar yang menjadi marak dari tamu-tamu pengunjung hingga kurir-kurir pesanan sang pelaku usaha. Rumah sang warga pemukim, semestinya menjadi tempat yang paling aman untuk menetap, berkegiatan rumah-tangga, menghuni, serta beristirahat. Tiada yang melarang siapa pun untuk mencari nafkah, namun mengapa mencari nafkah dengan cara merugikan warga lainnya?
Ketika warga merasa terganggu dan mengajukan komplain, pihak Kelurahan selaku otoritas Pemerintah Daerah justru memihak dan melindungi sang pelaku usaha, semata karena sang pelaku usaha bermodal besar mampu “membeli” para pejabat dan aparatur sipil negara kita yang terkenal dan terbukti korup sekorup-korupnya. Sang pelaku usaha sekalipun ditegur para warga bahwa wilayah tersebut adalah daerah peruntukkan bagi pemukiman penduduk, bukan tata ruang wilayah untuk tempat usaha, tetap melakukan aksi ilegalnya, bahkan lewat belasan anak buahnya menganiaya serta mengeroyoki seorang warga yang cukup vokal bersuara karena telah sangat dirugikan dan sangat terganggu selama bertahun-tahun kegiatan usaha ilegal sang pelaku usaha “serakah” mengganggu ketenangan hidup warga.
Ketika ditegur secara tertulis, pelakunya tidak sadar diri. Ketika telah ditegur secara lisan dan baik-baik, sang pelaku usaha tidak juga sadar diri. Ketika diteriaki dan diprotes keras, si pelaku membalas dengan aksi penganiayaan. Ketika negara seolah dan terbukti “korup” bahkan tidak benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat, ketika berbagai Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Wilayah hanya sekadar menjadi “macan ompong kegenitan” pemerintah daerah, maka, cukuplah kita menyerahkan seluruh berkas “perkara” ini kepada Hukum Karma untuk diselesaikan. Kita, cukup melanjutkan hidup kita—lives goes on. Kita bahkan tidak perlu menyewa pengacara, jaksa, ataupun algojo untuk membalas perbuatan sang pelakunya.
Sang Buddha memberi pedoman yang sangat efektif bagi para siswa-Nya, agar tidak terperosok dalam lembah perbuatan buruk, yakni apa yang dalam Bahasa Pali sering disebut dengan istilah “hiri” (malu untuk berbuat jahat) dan “ottappa” (takut untuk berbuat jahat). Hukum negara kita, yang menyerupai “hutan rimba”, tidak sebanding dengan kedua pedoman dari Sang Buddha tersebut, dimana etika moralitas tertinggi terkandung di dalam kedua pedoman tersebut, yakni “hiri” dan “ottappa”, malu berbuat jahat, serta takut berbuat jahat karena menyadari bahwa Hukum Karma berlaku supremasinya, tanpa pengecualian. Bisa kita katakan, itulah “hukum” tertinggi dalam Buddhisme, yakni tidak berbuat kejahatan. Bila tidak dapat berbuat kebaikan, maka setidaknya tidak menanam benih Karma buruk.
Lantas, apakah guna atau manfaat dibalik pengetahuan tentang cara kerja dibalik Hukum Karma ini? Ketika kita mulai memahami cara kerja Hukum Karma, kita mulai menjadi paham serta mahfum, bahwasannya yang sejatinya paling patut merasa takut untuk berbuat jahat, ialah sang pelaku kejahatan itu sendirikita akan menjadi penuh ketakutan untuk menyakiti maupun merugikan warganegara lainnya, serta disaat bersamaan kita akan termotivasi untuk “menabung” benih-benih karma baik dengan menghargai perbuatan-perbuatan kebajikan, karena kita mulai memahami bahwa tiada perbuatan baik sekecil apapun yang sia-sia terlebih menguap percuma tanpa makna.
Sebaliknya, ketika seseorang tidak memahami cara kerja dibalik Hukum Karma, maka kita-lah selaku korban perbuatan jahat pelaku kejahatan yang merasa ketakutan karena pelakunya sama sekali tidak akan takut berbuat kejahatan—karena dirinya tidak menyadari dirinya sedang menanam karma buruk bagi dirinya sendiri—meski, disaat bersamaan, sang korban patut bersyukur karena memahami bahwa Hukum Karma telah mencatat setiap detail perbuatan pelakunya, diakui ataupun tidak diakui oleh pelakunya, telah menjadi bagian dari lembaran sejarah yang tidak lagi dapat “dihapus”, tanpa perlu kita mengadukan ataupun melaporkan perbuatan jahat yang kita alami, dimana selanjutnya hanya persoalan waktu hingga Karma buruk berbuah terhadap sang pelakunya itu sendiri, cepat ataupun lambat.
Mengapa memahami cara kerja Hukum Karma, menjadi penting serta yang terpenting? Sebagai umpama, Almarhum Steve Jobs yang merupakan pendiri dan pencipta komputer “Apple”, telah tiada. Namun, apakah artinya “Apple” turut “tiada” ketika Steve Jobs meninggal dunia? Kita bahkan tidak perlu mengenal ataupun berkenalan langsung dengan sang legendaris ini untuk bisa memakai komputer “Apple”. Bahkan kini kita masih bisa memakai dan mengoperasikan komputer “Apple” sekalipun penciptanya telah tiada lagi di dunia ini. Karenanya, tidak menjadi relevan siapakah pencipta Hukum Karma, kita harus perlu tahu bagaimana Hukum Karma itu bekerja mengatur kehidupan semesta.
Sebagai penutup, penting bagi penulis untuk mengulangi kembali postulat yang bekerja dibalik hukum karma : Adil ataupun tidak adil, suka ataupun tidak suka, mengakui atau tidak mengakui, kecil ataupun besar, diingat ataupun dilupakan, benar ataupun tidak benar, korbannya menyadari ataupun tidak mengetahui dirinya telah dikorbankan dan dirugikan, pelakunya lalai ataupun tidak lalai dimana dirinya telah merugikan pihak lain, perbuatan apapun yang dilakukan, maka perbuatan itulah yang akan dipetik oleh pelakunya itu sendiri.
Sang Buddha kembali bersabda : Mereka yang “lalai” mewaspadai perilakunya sendiri, akan memetik serangkaian karma buruk dikehidupan-kehidupannya selanjutnya (dimana menyesal pun tiada gunanya, karena sudah terlambat, akibat tidak takut berbuat kejahatan / menanam Karma buruk di masa lampau), dengan bangga dan tanpa rasa malu ataupun rasa takut untuk melakukan perbuatan / menanam benih-benih karma buruk.
Seseorang akan selamat bukan karena mengandalkan pertolongan uluran tangan dari orang lain ataupun makhluk adikodrati, namun dimulai dengan menaruh waspada dan penuh kewaspadaan terhadap perilaku diri kita sendiri, terutama ketika perbuatan kita berdampak bagi orang / makhluk hidup lainnya, sengaja ataupun karena kelalaian kita.
~o0o~
Abhinhapaccavekkhitabbathana Sutta
“Ada lima hal, O para bhikkhu, yang seharusnya kerap kali direnungkan oleh siapa pun, pria ataupun wanita, perumah tangga ataupun bhikkhu.
Apakah lima hal itu?”
Jarādhammomhi
Jara Anatīto.
Byādhidhammomhi
Byādhi Anatīto.
Maraadhammomhi
Maraa Anatīto.
Sabbehi Me Piyehi Manāpehi Nānābhāvo Vinābhāvo.
Kammassakomhi
Kammadāyādo
Kammayoni
Kammabandhu
Kammapaisarao.
Yam Kamma Karissāmi
Kalyāa Vā Pāpaka
Tassa Dāyādo Bhavissāmi.
Evam Amhehi Abhiha Paccavekkhitabba.
“Aku pasti mengalami usia tua.
Aku tidak dapat menghindari usia tua.”
“Aku pasti mengalami sakit.
Aku tidak dapat menghindari sakit.”
“Aku pasti mengalami kematian.
Aku tidak dapat menghindari kematian.”
“Segala yang kucintai dan kusenangi akan berubah, akan terpisah dariku.”
Aku adalah pemilik perbuatanku sendiri, pewaris perbuatanku sendiri, terlahir dari perbuatanku sendiri, berkerabat dengan perbuatanku sendiri, tergantung dari perbuatanku sendiri. Apa pun perbuatan yang kulakukan, baik ataupun buruk, itulah yang kuwarisi.”
“Demikianlah hendaknya kerap kali direnungkan“
“Untuk alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah tangga atau bhikkhu, kerap kali merenungkan hal bahwa mereka pasti mengalami usia tua dan tidak dapat menghindari usia tua?
Ketika masih muda, para makhluk merasa sombong akan kemudaan mereka, dan karena hanyut pada kesombongan kemudaan itu, mereka menjalani kehidupan yang buruk di dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran.
Tetapi di dalam diri orang yang kerap-kali merenungkan kepastian usia tua, kesombongan kemudaan akan sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah.
Untuk alasan yang baik itulah hal mengalami usia tua harus kerap kali direnungkan.”
“Untuk alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah tangga atau bhikkhu, kerap kali merenungkan hal bahwa mereka pasti mengalami sakit dan tidak dapat menghindari sakit?
Ketika masih sehat, para makhluk merasa sombong akan kesehatan mereka, dan karena hanyut pada kesombongan kesehatan itu, mereka menjalani kehidupan yang buruk di dalam perbuatan, ucapan dan pikiran.
Tetapi di dalam diri orang yang kerap kali merenungkan kepastian mengalami sakit, kesombongan kesehatan akan sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah.
Untuk alasan yang baik itulah, hal mengalami penyakit harus kerap kali direnungkan.”
“Untuk alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah tangga atau bhikkhu, kerap kali merenungkan hal bahwa mereka pasti mengalami kematian dan tidak dapat menghindari kematian?
Ketika masih hidup, para makhluk merasa sombong akan kehidupan mereka, dan karena hanyut pada kesombongan kehidupan itu, mereka menjalani kehidupan yang buruk dalam perbuatan, ucapan dan pikiran.
Tetapi di dalam diri orang yang kerap kali merenungkan kepastian kematian, kesombongan kehidupan akan sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah.
Untuk alasan yang baik itulah hal mengalami kematian harus kerap kali direnungkan.”
"Untuk alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah tangga atau bhikkhu, kerap kali merenungkan hal bahwa segala yang dicintai dan disenangi akan berubah, akan terpisah darinya?
Para makhluk mempunyai nafsu yang tinggi terhadap apa yang dicintai dan disenangi, dan karena terbakar oleh nafsu, mereka menjalani kehidupan yang buruk dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran.
Tetapi di dalam diri orang yang kerap kali merenungkan hal bahwa segala yang dicintai dan disenangi akan berubah, akan terpisah darinya, nafsu yang tinggi terhadap apa yang disayangi dan dicintai akan sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah.
Untuk alasan yang baik itulah hal bahwa segala yang dicintai dan disenangi akan berubah, akan terpisah darinya harus kerap kali direnungkan.“
“Untuk alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah tangga atau bhikkhu, kerap kali merenungkan hal bahwa mereka adalah pemilik perbuatan mereka sendiri, mewarisi perbuatan mereka sendiri, terlahir dari perbuatan mereka sendiri, berkerabat dengan perbuatan mereka sendiri, tergantung dengan perbuatan mereka sendiri dan bahwa apa pun perbuatan yang mereka lakukan, baik atau buruk, itulah yang mereka warisi?
Ada makhluk yang menjalani kehidupan yang buruk dalam perbuatan, ucapan dan pikiran.
Tetapi di dalam diri orang yang kerap kali merenungkan hal bahwa mereka adalah pemilik perbuatan mereka sendiri, mewarisi perbuatan mereka sendiri, terlahir dari perbuatan mereka sendiri, berkerabat dengan perbuatan mereka sendiri, tergantung dengan perbuatan mereka sendiri dan bahwa apa pun perbuatan yang mereka lakukan, baik atau buruk, itulah yang mereka warisi, perilaku buruk seperti itu akan sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah.
Untuk alasan yang baik itulah hal bahwa mereka adalah pemilik perbuatan mereka sendiri, mewarisi perbuatan mereka sendiri, terlahir dari perbuatan mereka sendiri, berkerabat dengan perbuatan mereka sendiri, tergantung dengan perbuatan mereka sendiri dan bahwa apa pun perbuatan yang mereka lakukan, baik atau buruk, itulah yang mereka warisi harus kerap kali direnungkan.”
“Para bhikkhu, seorang siswa agung merenungkan demikian,
‘Aku bukanlah satu-satunya yang pasti mengalami usia tua, jatuh sakit atau mati.
Tetapi di mana pun para makhluk datang dan pergi, mati dan muncul lagi, mereka semuanya mengalami usia tua, penyakit dan kematian.’
Di dalam diri orang yang sering merenungkan hal-hal ini, Sang Jalan muncul.
Sekarang dia secara tetap mengikuti, mengembangkan, dan memupuk Sang Jalan itu.
Dan sementara dia melakukannya, belenggu-belenggu ditinggalkan dan obsesi-obsesi pun lenyap.“
“Selanjutnya, seorang siswa agung merenungkan demikian,
‘Aku bukanlah satu-satunya yang terpisah dan tercerai dari apa yang kusayangi dan kucintai, aku bukanlah satu-satunya yang merupakan pemilik, pewaris, terlahir dari, berkerabat, dan tergantung dengan perbuatannya sendiri.
Tetapi di mana pun makhluk datang dan pergi, mati dan terlahir kembali, semuanya pasti terpisah dan tercerai dari apa yang disayangi dan dicintai, dan semua merupakan pemilik, pewaris, terlahir dari, berkerabat, dan tergantung dengan perbuatan mereka sendiri.’
Di dalam diri orang yang sering merenungkan hal-hal ini, Sang Jalan muncul. Sekarang dia secara tetap mengikuti, mengembangkan dan memupuk Sang Jalan itu.
Dan sementara dia melakukannya, belenggu-belenggu ditinggalkan dan obsesi- obsesi pun lenyap.“
Mereka yang mengalami usia tua dan penyakit,
Mereka yang berada di tepi kematian,
Memuakkan bagi para makhluk duniawi yang memiliki sifat sama.
Karena aku hidup untuk tujuan yang lebih tinggi,
Tidaklah pantas bagiku untuk menjadi demikian,
Tidak pantaslah bagiku hidup dalam keduniawian.
Sementara berdiam demikian, aku akan mengalahkan
Kesombongan akan kesehatan, kemudaan dan kehidupan.
Setelah mengetahui keadaan yang bebas dari topangan,
Setelah melihat kemantapan di dalam pelepasan.
Ketika kuarahkan pandangan ke Nibbana, dan semangat muncul di dalam diriku,
“Sekarang tak bisa lagi aku mengejar kesenangan-kesenangan indera!
Tidak pernah lagi aku akan berpaling,
Akhir kehidupan suci sekarang adalah tujuan tertinggiku.”
Sumber : Sutta Pitaka (salah satu Pitaka dari Tripitaka), Anguttara Nikaya, Pancaka Nipata, Nivarana Vagga, Abhinhapaccavekkhitabbathana Sutta (AN 5. 57).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.