ARTIKEL
HUKUM
Mengapa pemerkosaan secara
dasariahnya adalah jahat sekaligus sebagai kejahatan paling primitif yang
ternyata masih diwarisi oleh generasi masa kini? Perkosaan apapun, pemerkosaan
oleh pemerkosanya selalu adalah perbuatan jahat yang tidak termaafkan, dan
pelakunya (sang pemerkosa) adalah orang yang jahat sejahat-jahatnya.
Sebagai perbandingan pembuka,
mengapa hubungan intim antara pasangan suami-istri, tidak dapat disebut sebagai
pemerkosaan? Karena adanya unsur kesukarelaan dari kedua-belah pihak
tanpa dapat dipaksakan satu sama lainnya. Kedua, karena adanya unsur persetujuan.
Ketiga, karena tiadanya unsur kerugian bagi salah satu pihak. Keempat,
karena tiada satupun pihak diantaranya yang merasa didominasi atau tidak
berdaya.
Maka, barulah menjadi sebentuk
“pemerkosaan” bila keempat unsur tersebut yang terjadi kemudian ialah
sebaliknya—dimana khusus dalam konteks rumah-tangga, istilah yang lebih lazim
kita kenal ialah sebagai “kekerasan seksuil dalam rumah-tangga” dimana
Undang-Undang tentang Kekerasan Rumah Tangga (KDRT) telah mengaturnya dan telah
pula dapat kita jumpai berbagai preseden praktik peradilan di Indonesia yang
benar-benar memberlakukan pasal berisi ancaman hukuman bagi pelakunya secara
efektif, tanpa kompromi—dan memasng sudah seharusnya pelakunya ditindak dan
diberi sanksi tanpa kenal kompromi.
Sehingga, dalam setiap
pemerkosaan dan kejadian perkosaan oleh pemerkosanya, selalu dapat kita jumpai
pula empat buah karakterisasi, yakni tiadanya kesukarelaan dari salah
satu pihak, tiadanya terjadi unsur persetujuan ataupun sebentuk
kesepakatan untuk terjadinya “perkosaan” dimaksud, terjadinya kerugian
pada salah satu pihak (yang kita sebut sebagai korban “perkosaan”), serta terjadinya
dominasi salah satu pihak sehingga pihak korbannya merasa terlecehkan,
tidak berdaya, direnggut harga diri dan hal-hal privat-personalnya, maupun
terhadap suatu hal yang paling prinsipal terampas atau tercerabut dari dirinya
seperti “virginitas” seorang gadis sebagai contoh paling ekstrimnya.
Kesalahan akibat kelalaian,
masih terbuka maaf bagi pelakunya oleh sang korban. Namun, suatu perkosaan dan
pemerkosaan selalu adalah manifestasi dari sebentuk “kesengajaan” derajat
paling buruk dari niat batin (mens rea)
pelakunya. Karenanya pula, pelaku pemerkosaan alias seorang pemerkosa, tidak
pernah layak untuk meminta maaf terlebih mengharap untuk dimaafkan dan mendapat
restu untuk “diputihkan”.
Sebagai contoh, seseorang gadis
tampil mempesona dengan potongan rambut bergelombang atau lurus panjang yang memikat,
gaun yang tergerai anggun, bentuk lekuk tubuh yang semampai bagai liukan “gitar”,
wajah yang cantik menawan hati, suara yang merdu bagai nyanyi burung pipit,
bibir yang semerah bunga mawar, keharuman tubuhnya yang sehangat musim semi,
lirik mata serta senyumnya yang menenggelamkan hati, kulitnya yang putih merona,
apakah artinya dirinya mengundang niat buruk atau mengundang para penjahat
untuk datang, menggoda, dan “mengusili” sang gadis?
Setiap gadis mana pun, selalu
memiliki hak untuk tampil mempesona. Menjadi cantik, bukanlah sebuah kejahatan.
Namun, barulah merupakan sebentuk kejahatan ketika seseorang hendak
menyalah-gunakan indera penglihatannya dan kekuatan tubuhnya untuk menyakiti
dan melukai sang gadis semata karena ketidak-mampuan pelakunya untuk mengontrol
dirinya sendiri. Bukan objeknya, namun subjek pelakunya.
Karenanya pula, dari contoh
sederhana tersebut di atas, kita mulai memahami dan menjadi tahu serta mafhum,
bahwasannya pemerkosaan selalu bertalian dengan penyalah-gunaan, baik
menyalah-gunakan indera matanya, menyalah-gunakan kekuatan otot fisiknya,
menyalah-gunakan posisi dominannya atas ketimpangan derajat seperti antara guru
dan siswa, orangtua dan anak, pejabat dan sipil, menyalah-gunakan keindahan
tubuh sang korban, menyalah-gunakan “kesempatan dalam kesempitan”, serta
berbagai penyalah-gunaan lainnya.
Mengapa pada dasariahnya (nature)
suatu pemerkosaan dikategorikan sebagai kejahatan yang berat sifat atau bobot
derajat kesalahannya? Karena latar-belakang peristiwanya, itulah jawaban
yang paling ideal untuk menjelaskan fenomena aksi pemerkosaan. Simak
kronologinya secara lugas sebagaimana akan kita ulas dan urai satu per satu
secara holistik untuk menangkap gambaran alam batin seorang pelaku pemerkosaan
secara lebih utuh dan gamblang.
Seorang pemerkosa, tidak pernah bersedia untuk “repot-repot” terlebih
untuk merepotkan dirinya mengeluarkan sejumlah “modal” (biaya) untuk pacaran
(PDKT), untuk menjalin pertunangan, untuk menikah dan memberi nafkah bagi istri
dan anak-anaknya hasil hubungan suami-istri. Jangankan berbicara perihal
komitmen bagi korbannya, untuk “repot-repot” saja sang pelakunya tidak
bersedia. Pemerkosa mana yang mau “repot-repot”?
Itulah esensi dibalik makna frasa “perkosaan”, pemerkosa mana juga yang
mau dan bersedia untuk membayar korbannya? Sama halnya, pemerkosa mana juga
yang akan bersedia untuk bertanggung-jawab terhadap anak hasil hubungan
perkosaan dengan korbannya? Bila masih terdapat pihak-pihak yang merasa belum
paham mengapa pemerkosaan disebut demikian jahatnya, penjelasan di atas
sejatinya sudah lebih dari kata “cukup menjelaskan”, yakni sifat “curang” dan
“kecurangan” pelakunya.
Karenanya untuk itu pula, suatu pemerkosaan selalu dapat kita identikkan
pula dengan sebuah “praktik (penuh) kecurangan”, semisal bersikap curang
terhadap kondisi tubuh korbannya yang lebih lemah, kecurangan lewat
memanfaatkan daya tawar yang lebih kuat daripada korbannya, kecurangan untuk
tidak mau bertanggung-jawab (jangankan bersedia dimintakan pertanggung-jawaban,
seringkali pelakunya bahkan “tidak mau tahu” akan kondisi sang korban akibat
perbuatan ilegal pelakunya, atau bahkan akan berkelit dengan berbagai cara ketika
dilaporkan kepada pihak berwajib), kecurangan untuk senantiasa “tabrak lari”
dan melarikan diri begitu saja tanpa rasa bersalah, kecurangan untuk
berulang-ulang melakukan kejahatannya bila sang korban bersikap pasif-pasrah
tanpa daya, bahkan kecurangan untuk tetap mengharap masuk surga sekalipun
korban-korbannya telah sangat menderita sebagai akibat perbuatan sang pelaku.
Sejatinya, makna kata “perkosaan” sangatlah luas dalam perspektif
psikologis dan ilmu sosiologi. Realita dalam praktiknya, suatu pemerkosaan
dapat terjadi kapan saja dan dalam bidang apa saja. Sebagai contoh, seorang
koruptor dapat disebut sebagai telah memperkosa hak-hak dari orang-orang yang
lebih miskin dari diri sang koruptor, seorang aparatur penegak hukum yang
justru menelantarkan dan mengabaikan aduan warga pelapor yang meminta
perlindungan hukum dapat dikategorikan sebagai telah memerkosa harkat dan
martabat seorang sipil yang dicabut haknya untuk “main hakim sendiri”, begitu
pun kalangan pengusaha yang mengeksploitasi tenaga para pekerjanya dapat
dinamakan sebagai telah memperkosa harga diri para pegawainya, pengusaha yang
secara mengalih-fungsikan lingkunan pemukiman sebagai tempat usaha yang
mengganggu ketenangan warga setempat dapat kita sebut sebagai telah memperkosa hak-hak
warga penhuni atas fungsi penghunian yang bukan diperuntukkan sebagai kawasan
usaha, tidak terkecuali ketika seorang guru yang “anti (terhadap) kritik”
karena selalu menganggap para siswanya lebih bodoh daripada diri sang guru
adalah sebentuk perkosaan terhadap prinsip keilmuan yang paling utama yakni
sikap “terbuka” dan “meritokrasi” (karena bukan zamannya lagi seorang murid
dianggap selalu lebih bodoh daripada guru mereka).
Esensial berikutnya dari aksi perkosaan, yakni pelakunya mengetahui dan
sadar betul bahwa korbannya tidak menyukai diperlakukan demikian, bahwa korbannya
akan menolak diperlakukan demikian, serta korbannya akan berkeberatan ketika
mengetahui akan diperlakukan demikian, dimana pelakunya pun tidak jarang
memahami betul bahwa niat jahatnya sejatinya dilarang oleh hukum maupun telah
dilarang oleh korbannya.
Sebagai contoh, sudah pasti kita tahu betul bahwa seorang wanita hanya
akan bersedia “digauli / disetubuhi” oleh suami sang sah dari sang wanita. Seorang
pemerkosa, tidak pernah bertanya kepada calon korbannya, “Apakah saya boleh memperkosa Anda?” Pemerkosa mana pula yang
meminta izin pada korbannya? Sudah jelas korbannya akan menolak dan
berkeberatan, mengapa masih ditanyakan bila sekalipun pelakunya “cukup sopan” dengan
terlebih dahulu meminta izin.
Bila korbannya tidak memberikan izin, itu menjadi resiko bagi sang
pemerkosa (resiko ditolak dan tidak diberikan izin oleh calon korbannya), karenanya
seorang pemerkosa lebih memilih untuk langsung memerkosa alih-alih terlebih
dahulu meminta izin dari korbannya. Tidak ada orang yang “segila” itu akan
merasa senang dijadikan korban pemerkosaan, adalah “kegilaan” asumsi milik
pelakunya bahwasannya orang lain akan senang dijadikan korban perkosaan.
Sama halnya, sudah jelas bahwa penulis adalah berprofesi sebagai seorang Konsultan
Hukum dan sedang membuka layanan jasa menjual konseling tanya-jawab seputar
hukum, dimana sudah begitu jelas pula website ini adalah website profesi bisnis
komersiel penulis selaku penyedia jasa Konsultasi Hukum, masih juga ribuan pihak-pihak
yang tidak bertanggung-jawab menyalah-gunakan nomor kontak kerja yang tercantum
dalam website profesi penulis ini, dengan maksud semata untuk “memperkosa”
profesi penulis yakni meminta dilayani tanpa bersedia membayar tarif layanan
jasa SEPERAK PUN, bahkan tidak sedikti diantaranya yang mencoba modus-modus penipuan
berpura-pura mendaftar sebagai klien, hingga mencoba memaksa dan menuntut
dilayani tanpa bersedia memberikan kompensasi berupa tarif SEPESER PUN.
“Boleh tanya tentang masalah hukum
saya?” Boleh tanya? Sudah jelas penulis sedang mencari nafkah dari menjual
jasa tanya-jawab seputar hukum. Pertanyaan yang sangat melecehkan atau “kelewat
bodoh”. Sudah jelas website ini adalah website komersiel profesi Konsultan Hukum.
Sudah jelas website ini mencantumkan “syarat dan ketentuan” layanan serta
peringatan tegas bahwa “hanya melayani klien pembayar tarif”. Sudah jelas nomor
kontak kerja profesi penulis dicantumkan dalam website ini bukan untuk disalah-gunakan
pihak-pihak yang hanya bermaksud untuk memperkosa profesi orang lain. Sudah jelas
pula, hak untuk mencari nafkah adalah hak asasi manusia, dimana penulis pernah
dicela sebagai “mata duitan” semata karena sang pemerkosa tidak bersedia
membayar tarif SEPERAK PUN. Pemerkosa selalu lebih “galak” daripada korbannya, itulah
ciri yang paling krusial dari pelaku pemerkosaan.
Sudah jelas penulis akan “murka” sejadi-jadinya bila mereka bermaksud
untuk merampok nasi dari piring profesi penulis. Sudah jelas pula bahwa diri
mereka seolah hendak menyuruh penulis yang sedang bekerja mencari nafkah untuk “menjadi
babu mereka dan disuruh mati makan batu”. Mengapa tidak mereka sendiri saja
yang menjadi budak bagi penulis sesuai profesi mereka, serta mengapa tidak
mereka sendiri saja yang mati makan batu? JIka hendak mati “makan batu”,
mengapa juga mengajak-ajak orang lain untuk mati “makan batu” bersama dengan si
“kepala batu”? Para pelakunya, bukan tidak berpendidikan, namun terlampau
serakah. Ciri paling utama dari pelaku pemerkosaan, dirinya adalah seseorang yang
dikuasai oleh sifat penuh keserakahan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.