Kesalahan Marathon, Melakukan Kesalahan secara Bertubi-Tubi, Berulang-Ulang, dan Berlarut-Larut, dengan Penuh Kebanggaan

ARTIKEL HUKUM
Satu buah kesalahan terhadap orang lain, sudah lebih dari cukup, bahkan sudah terlalu banyak. Setidaknya, itulah filosofi hidup dari penulis. Entah mengapa, sebagian diantara masyarakat kita di Indonesia, seolah tidak “menabukan” perbuatan-perbuatan keliru yang dapat dicela dan buruk, terlebih menyakiti dan merugikan warganegara lainnya. Bahkan, seolah merasa bangga dan menjadikan perilaku salah sebagai jati diri atau bagian dari identitas diri sang warga.
Dalam ulasan ini, penulis akan mengulas betapa sebagian diantara masyarakat kita demikian “tidak malu” serta “tidak takut” untuk berbuat kesalahan (pangkal dari kejahatan), bahkan menutupi kesalahan baru dengan kesalahan lainnya, serta memperparah kesalahan satu dengan serangkaian hingga “berondongan” kesalahan lainnya secara “membabi-buta” dan “bertubi-tubi”. Apakah karena salah didik, salah keyakinan, ataukah karena salah kode genetik suatu keturunan atau ras suatu bangsa, entahlah, namun penulis sekadar menggambarkan realita secara perspektif ilmu psikologi hukum serta sosiologi-empirik.
Sebagai contoh pembuka, mungkin para pembaca baru akan menyadari fenomena yang lumrah kita baca di media massa, namun dengan suatu pemahaman serta perspektif baru betapa mengerikannya sebuah “kebiasaan berbuat kesalahan” seolah menjadi hobi atau karakteristik pelakunya, yakni akan menyerupai rentetan atau serangkaian episode demi episode kejahatan membentuk serial “kehidupan / kisah seseorang yang bernama penjahat”, yakni ketika seorang koruptor melakukan aksi korupsi—sudah merupakan satu (buah) kesalahan (terlebih bila kembali mengulangi perbuatannya maupun residivis)—lantas tidak segera melakukan introspeksi dan perbaikan diri—kesalahan kedua—kemudian berkelit saat diselidiki oleh aparatur penegak hukum—kesalahan ketiga—disikapi dengan mengajukan gugatan praperadilan atau uji materiil terhadap aparatur penegak hukum yang menyidiknya—kesalahan keempat—berdusta saat dihadapkan ke persidangan serta memberikan keterangan penuh dusta, berbelit, jika perlu “melarikan diri” keluar negeri, maupun tidak kooperatif terhadap pertanyaan Jaksa Penuntut Umum maupun Majelis Hakim—kesalahan kelima—berlanjut dengan tidak mengembalikan kerugian “uang rakyat” yang dikorupsi olehnya sekalipun telah terbit vonis amar hukuman “uang pengganti” yang menjadi salah satu sanksi bagi sang koruptor—kesalahan keenam—disikapi kembali dengan melakukan upaya hukum banding, jika perlu menyuap hakim / polisi / jaksa, alih-alih mengakui kesalahan—kesalahan ketujuh—bergulir dengan kasasi dengan argumentasi “hakim pengadilan hendak membuat saya mati membusuk di penjara?”—kesalahan kedelapan—menuntut kemewahan serta diperlakukan secara “humanis” manusiawi saat mendekam menjalani hukumannya di penjara sekalipun dirinya telah merampok nasi dari piring orang-orang yang lebih miskin daripadanya (tidak punya “rasa malu”)—kesalahan kesembilan—yang mana ternyata sekalipun sedang menjalani masa vonis hukuman di penjara, sang koruptor menyuap sipir agar dibolehkan berjalan-jalan “menghirup udara segar kebebasan” keluar sel penjaranya, bahkan keluar lingkungan penjara untuk makan siang di “restoran masakan Padang”, hingga ke toko bahan bangunan, atau bahkan menjadi penonton pertandingan tenis—kesalahan kesepuluh—selanjutnya sang koruptor masih merasa berhak menikmati hasil-hasil kejahatannya setelah bebas dari penjara dengan merasa berhak menikmati “obral” remisi dan grasi serta pembebasan bersyarat—kesalahan kesebelas—dimana setelah dirinya menjelang menutup mata untuk selamanya (meninggal), masih juga mengharap, meyakini, serta bahkan menuntut agar dimasukkan ke alam surgawi—kesalahan keduabelas. Jika perlu, mencoba “menyuap” Tuhan—kesalahan ketigabelas.
Namun poin terhakhir yang penulis sebutkan, hanya diketahui oleh diri yang bersangkutan setelah kematiannya dan tiba di alam baka. Namun juga kita patut menduga, jangan-jangan para penghuni neraka akan protes pada Tuhan, karena jatah para penghuni neraka di-korup oleh sang koruptor, sehingga para penghuni neraka memohon pada Tuhan agar melempar sang koruptor ke alam lain. Berhubung Tuhan hanya memiliki surga dan neraka, terpaksa Tuhan melempar sang koruptor ke alam “surga”. Paragraf ini hanya sekadar candaan ber-genre “satiris”, mohon untuk tidak disikapi secara berlebihan oleh para pembaca, sekadar untuk melepas ketegangan pada urat saraf.
Kini, dapat kita pahami, bahwa seorang penjahat koruptor sekaliber Gayus Tambunan, Setya Novanto, Frederick Yunadi, Patrialis Akbar, Akil Mochtar, Otto Cornelis Kaligis, Anas Urbaningrum, dan berbagai koruptor lainnya yang tidak henti dan tidak habis-habisnya untuk dapat kita rinci satu per satu seolah negara ini demikian produktif mencetak koruptor, yang sejatinya mereka berlatar-belakang gelar akademik yang tergolong “berpendidikan” tinggi lebih dari cukup, ternyata setidaknya melakukan dua belas kejahatan dalam satu waktu, bukan hanya satu buah kejahatan.
Menjadi kontras dengan seorang Nazaruddin, narapidana korupsi yang notabene seorang mantan bendaharawan suatu Partai Politik, kini jasa-jasanya dikenang sebagai salah satu “pahlawan” bagi masyarakat, ketika dirinya melakukan kesalahan berupa korupsi, ia segera menyadari kesalahan dan kekeliruannya dengan melarikan diri ke negara asing, lalu mulai mengakui kesalahannya dan bersikap kooperatif terhadap aparatur penegak hukum, bahkan kemudian merelakan dirinya menjelma menjadi “wistle bloower” yang sangat membantu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengungkap beragam kasus-kasus dan modus korupsi raksasa yang menjerat banyak petinggi Partai Politik maupun pengusaha negara pada masa itu.
Tidak tanggung-tanggung, Nazaruddin bahkan membocorkan aksi kejahatan rekan satu partai dengannya, yakni Anas Urbaningrum yang saat itu merupakan petinggi Partai Demokrat. Dimana kita masih ingat bersama, Anas Urbaningrum sesumbar kepada publik, bahwa dirinya akan gantung diri di Monas, bila terbukti korupsi. Ternyata, hanya “omong kosong”—kesalahan keempatbelas. Nazaruddin merasa cukup dengan satu buah kesalahan, dan seketika itu juga memutuskan untuk mencukupi satu kesalahannya itu dengan “membanting setir putar-haluan” menjadi “sahabat bagi penegak hukum”, dalam arti yang sesungguhnya.
Kesalahan, sangat menyerupai sebuah kebohongan yang membuat “kecanduan” bagi pelakunya, sangat menyerupai virus pikiran—toh, sebuah kata dusta juga merupakan sebuah kesalahan. Tiada itu yang namanya “white lie”, karena secara berangsur-angsur secara gradual akan menjelma “gray lie”, sebelum kemudian tanpa kita sendiri sadari telah masuk serta tenggelam dalam zona “black lie”.
Sebagaimana juga telah kita maklumi, tiada seseorang yang dapat kita percaya bahwa dirinya baru pertama kali berbohong, atau hanya akan berbohong sebanyak satu kali. Ingatlah selalu, satu buah kebohongan sudah terlampau banyak. Satu buah kebohongan, akan membawa kita pada jebakan serangkaian kebohongan baru. Ingatlah juga selalu, satu buah kesalahan sudah lebih dari cukup, kita tidak perlu membuat kesalahan baru bahkan serangkaian kesalahan demi kesalahan baru berikutnya—dengan maksud untuk menutup-nutupi, seolah lawan bicara kita adalah orang “bodoh”. Sejatinya, sang pendusta itu sendiri yang “bodoh”, sehingga bahkan tidak sadar telah dibodohi oleh dirinya sendiri.
Apa yang penulis alami berikut ini, adalah salah satu contoh kecil kejadian nyata yang sehari-harinya harus penulis “alami” seolah menjadi menu sehari-hari, yakni pihak-pihak yang dengan segala modus tipu-daya, mencoba memperdaya dan mengeksploitasi profesi penuli selaku konsultan hukum dengan menyalah-gunakan nomor kontak pekerjaan ataupun email profesi penulis, semata untuk “memperkosa” profesi penulis.
Mereka melakukannya, tanpa “rasa malu” terlebih “rasa takut”—mungkin itu terjadi, karena mereka berpikir (asumsi “kelewat berani”) bahwa dirinya bisa selamat lewat aksi berkelit dan mencoba mendebat (overestimated dirinya sendiri) jika diri bersangkutan “dipergoki” oleh korbannya, atau bahkan memandang penulis terlampau bodoh untuk dapat dibodohi olehnya (bukankah adalah lebih bodoh orang-orang yang mencoba meminta opini hukum dari orang-orang bodoh?).
Berikut, salah satu contoh perilaku “perkosaan berdarah-darah” yang pernah penulis alami ketika sedang mencari nafkah sebagai profesi dibidang hukum, dari seorang anak (hasil didikan) “tukang perkosa” bernama Joko Daryanto <jk.dryanto@gmail.com>. Anak “tukang perkosa” bernama Joko Daryanto ini tanpa memperkenalkan diri (betapa sopannya), bersikap “sok kenal” bahkan bersikap seolah sebagai “bos besar” yang sedang meminta dilayani, seketika melecehkan dan “memperkosa” profesi penulis dengan mengirimi email penuh tipu-muslihat (belum apa-apa sudah mencoba menipu), dengan subject email berjudul “KONSUL” (sehingga dirinya telah mengecoh penulis agar membuang waktu untuk membuka email dari sang “anak tukang perkosa), berikut:
“Mau tanya nih… Perjanjian hak tanggungan merupakan perjanjian tambahan karena ada perjanjian pokok berupa hutang piutang. Pertanyaannya adalah apabila perjanjian pokoknya tidak ada tetapi ada perikatan lain yaitu karena ada perbuatan melawan hokum yang mengakibatkan timbulnya piutang, dapatkah dibuat perjanjian hak tanggungan. contohnya adalah tempat saya bekerja… di suatu BUMN, ada karyawan melakukan fraud sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan. atas kerugian fraud tersebut maka kerugian perusahaan dianggap piutang bagi karyawan yang melakukan fraud dan karyawan menyetujui sebagai hutangnya. Nah atas persetujuan karyawan tersebut, dapatkah dibuat perjanjian hak tanggungan?”
Joko Daryanto ketika bertemu perempuan di jalan, akan bertanya: “Mbak Mbak, boleh saya perkosa Anda? Siapa suruh Mbak keluar rumah ke jalan, jadi membuat mata saya yang ‘mata keranjang’ ini tergoda dan tidak mampu menahan birahi untuk memperkosa Mbak. Jangan salahkan saya ya, saya ini korbannya Mbak.”. Entah didikan “tukang perkosa” manakah Joko Daryanto telah di-didik, diasuh, dan dibesarkan, yang tentunya adalah hasil didikan orang tuanya yang sama-sama berkarakter “TUKANG PERKOSA” (disamping “hidung belang”), bahkan memberi makan anak dan keluarganya dengan cara “merampok nasi dari piring orang lain”—lebih hina daripada pengemis. Bila dirinya tidak kompeten dibidang hukum, mengapa tidak “mati saja”, alih-alih memperkosa profesi orang lan?
Mengapa tidak dirinya perkosa saja profesi dirinya sendiri, atau perkosa anak gadisnya sendiri? Anak “tukang perkosa” bernama Joko Daryanto ini berpikir dirinya siapa? Dirinya hanyalah seorang MANUSIA SAMPAH (SPAM), dan tidak lebih berharga dari seonggok kotoran di tong sampah yang berbau busuk menyengat. Setelah penulis berikan teguran secara keras akibat penyalah-gunaan email korespondensi profesi penulis, berikut inilah respon si “anak tukang” perkosa bernama Joko Daryanto, yang “datang tidak diundang, serta pergi tidak perlu repot-repot penulis antarkan agar Joko Daryanto dapat kembali sendiri ke kuburan tempat dirinya dimakamkan“:
“lho... anda menawarkan diri di buku anda makanya saya manfaatkan tawaran ​​anda, mungkin saya ada miss. Tapi okelah saya jadi tahu siapa anda...sampai mendoakan yang tidak sepantasnya. Mudah-mudahan doa anda di konter oleh teman2 saya yang hari ini mendoakan saya. cukuplah saya saja yang jadi korban.”
Dirinya yang abai dan seenaknya membaca serampangan serampangan, lantas penulis yang diperkosa dan dipersalahkan? Penulis menawarkan diri untuk “DIPERKOSA”? Itu maunya sang anak “tukang perkosa” Joko Daryanto. Tiada satu pun penulis buku yang “segila” itu bersedia disuruh mati “makan batu”, namun hanya Joko Daryanto yang segila itu juga “setega” itu—RAJA TEGA. Joko Daryanto didoakan oleh teman-temannya yang sesama PENGEMIS TUKANG PERKOSA, akibat bergaul dengan para PENGEMIS TUKANG PERKOSA, menjelma menjadi makhluk “tidak punya malu” PENIPU bernama Joko Daryanto <jk.dryanto@gmail.com>.
Ribuan eksemplar buku karya penulis telah dipasarkan dan diserap oleh masyarakat luas dengan berbagai latar-belakang profesi, namun baru satu kali itu saja terjadi, ada orang segila (tidak waras) Joko Daryanto <jk.dryanto@gmail.com> yang berpikir bahwa dirinya berhak memperkosa setiap penulis buku hukum yang ia jumpai di toko buku, di perpustakaan, ataupun di lain tempat. Bahkan mengartikan kartu nama profesi hukum sebagai “menawarkan diri” untuk “diperkosa” oleh si “anak tukang perkosa bernama Joko Daryanto yang bahkan mendatangi kantor hukum, kantor konsultan pajak, hingga kios salon untuk diminta dilayani tanpa bersedia membayar tarif SEPERAK PUN. Seluruh buku hukum yang terbit dan beredar di Tanah Air, adalah wajar mencantumkan profil penulisnya serta nomor kontak untuk tujuan bisnis dan KERJASAMA, terlebih penulis telah menegaskan bahwa materi buku disusun ketika penulis membawakan training sebagai narasumber, yang artinya penulis berprofesi juga sebagai seorang trainer yang mencari nafkah dari menjual ilmu serta jasa pelatihan—hanya orang segila Joko Daryanto yang berpikir bahwa itu adalah tawaran untuk “DIPERKOSA”.
Pemerkosa bernama Joko Daryanto tersebut telah menyalah-gunakan alamat korespondensi penulis dalam buku karya penulis, yang berfungsi layaknya kartu nama profesi. Bahkan, penipu bernama Joko Daryanto tersebut mencoba menipu dan mengecoh penulis dengan membuat judul email sebagai “KONSUL”, yang artinya dirinya sadar dan tahu profesi penulis mencari nafkah dari jual jasa tanya-jawab (konsultasi), namun tetap saja memperkosa profesi penulis tanpa rasa malu barang setitik pun (ternyata Joko Daryanto “sudah putus urat malunya”). Berikut, kita bedah satu per satu kesalahan jahat (penjahat) yang telah diperbuat oleh seorang penjahat “TUKANG PERKOSA” bernama Joko Daryanto <jk.dryanto@gmail.com>
- Tidak memperkenalkan diri (pemerkosa mana juga yang bersedia merepotkan diri memperkenalkan dirinya kepada sang korban)—kesalahan pertama.
- menyalah-gunakan email “kartu nama profil” penulis—kesalahan kedua.
- Menggunakan judul “subject” email yang bersifat mengecoh dengan judul “KONSUL”, sekaligus bukti bahwa dirinya mengetahui bahwa penulis berprofesi mencari nafkah sebagai seorang KONSULTAN alias menjual jasa tanya-jawab—kesalahan ketiga.
- Putar-balik fakta (kejahatan dengan tingkat paling BIADAB), yang pastinya adalah kebiasaan dari sang anak “tukang perkosa”, sebagaimana didikan orangtua sang Joko Daryanto <jk.dryanto@gmail.com>—kesalahan keempat.
- Tidak mampu menyebutkan seperti apa “tawaran” dalam buku karya penulis yang mengizinkan yang bersangkutan selaku pembaca untuk memperkosa profesi penulis, alias BERDUSTA seolah orang lain sebodoh itu untuk dapat dirinya bodohi, sekalipun notabene ADALAH PENULIS YANG SECARA PRIBADI MENULIS BUKU YANG DIBACA OLEHNYA—kesalahan kelima.
- Merampok nasi dari piring profesi orang lain (perilaku yang lebih hina daripada pengemis)—kesalahan keenam.
- Memberi makan keluarga anak-istrinya dengan cara memperkosa profesi orang lain—kesalahan ketujuh.
- Alih-alih meminta maaf, dirinya yang abai dan seenaknya membaca dengan serampangan, lantas penulis yang diperkosa dan dipersalahkan?—kesurupan kedelapan.
- Joko Daryanto didoakan oleh teman-temannya yang sesama PENGEMIS TUKANG PERKOSA, akibat bergaul dengan para PENGEMIS TUKANG PERKOSA, menjelma menjadi makhluk “tidak punya malu” PENIPU. Menjadi satu “geng” dengan sesama PENGEMIS TUKANG PERKOSA, merasa bangga karenanya?—kegilaan kesembilan.
- Bila dirinya tidak kompeten dibidang hukum, mengapa tidak mengundurkan diri dari pekerjaannya dan “mati saja”, alih-alih memperkosa profesi orang lan?—kebiadaban kesepuluh.
- Dirinya tidak bersedia repot-repot belajar dan membuang-buang waktu, energi, serta biaya untuk berkuliah hukum, untuk membaca buku, untuk riset regulasi, namun ingin semudah MEMPERKOSA profesi Konsultan—kejahatan kesebelas.
- sama sekali tidak menyesali perbuatannya yang telah melecehkan serta memperkosa profesi orang lain—kemunafikan keduabelas.
- “Maling teriak maling”, korban perkosaan oleh sang Joko Daryanto pun masih punya dipersalahkan seolah sebagai pelaku dan sang pemerkosa sebagai korbannya—kebusukan ketigabelas.
- Pelaku yang lebih “galak” daripada korbannya—kesadisan keempatbelas.
- Tidak punya malu—memalukan kelimabelas.
- Tidak takut berbuat salah—menzolimi keenambelas.
- Apa yang wajib dilakukan murid terhadap guru yang telah mengajari mereka? Alih-alih berterima-kasih atas pengetahuan bernilai dalam buku yang penulis tulis dengan harga jual di toko buku yang sangat murah-meriah (dimana sang anak “tukang perkosa”, Joko Daryanto, belum tentu membelinya, justru “membalas air susu dengan perkosaan”. Untuk bisa bersekolah dan berkualiah pun, harus membayar mahal biaya masuk serta iuran maupun biaya membeli buku. Seorang guru maupun trainer, berhak menuntut kompensasi atas jasa dan pengetahuan—kesetanan ketujuhbelas.
Dunia ini, faktanya, tidak pernah kekurangan PENIPU TUKANG PERKOSA semacam Joko Daryanto <jk.dryanto@gmail.com>. Satu orang PENIPU TUKANG PERKOSA semacam Joko Daryanto <jk.dryanto@gmail.com>, sudah terlampau banyak. PENIPU TUKANG PERKOSA semacam Joko Daryanto <jk.dryanto@gmail.com>, sekalipun “mati” dan “punah”, tiada satu orang pun di dunia ini yang akan sedih, dan dunia tidak akan pernah merasa merugi, justru menjadi berkah bagi semesta karena musnah sudah satu orang MANUSIA SAMPAH (spammer) bernama Joko Daryanto <jk.dryanto@gmail.com>.
Pada halaman pertama buku yang penulis tulis dan pasarkan, terdapat BIODATA PENULIS, tercantum : ...Selain menekuni bidang penelitian dan penulisan ilmiah di bidang hukum dan sosial terutama telaah yurisprudensi dan preseden, cendekiawan hukum yang berdomisili di Jakarta ini, kini aktif sebagai konsultan hukum pada SHIETRA & PARTNERS. Adalah DUSTA, bila menyatakan tidak mengetahui bahwa penulis kini mencari nafkah sebagai penyedia jasa tanya-jawab seputar hukum. Sebagai pesan penutup bagi para pembaca, jangan pernah menjadi predator bernama Joko Daryanto “kedua”, Joko Daryanto “ketiga”, ataupun yang seterusnya. Mulailah tumbuhkan kemampuan serta kepekaan untuk merasa malu serta perasaan takut berbuat kejahatan, karena diakui ataupun tidak diakui kesalahan yang telah kita lakukan, mungkin bukan tangan korbannya yang akan membalas, namun oleh HUKUM KARMA.
Kedua, berdasarkan Abhidhamma Pitaka (salah satu Pitaka dari Tripitaka), berkilah dan memutar-balik fakta artinya “tiada penyesalan”, dan tiada penyesalan saat maupun setelah melakukan perbuatan buruk, maka buah karma buruk yang akan berbuah akan berlipat ganda miliaran kali lipat—bukan mitos, namun itulah fakta sebagaimana digambarkan oleh Abidhamma Pitaka.
Bila menurut Anda itu belum cukup menakutkan, maka silahkan tanam dan cicipi sendiri buah pahit dari karma buruk, yang sebuah pun sudah terlampau banyak—setidaknya menurut penulis secara pribadi, sehingga sangat takut untuk berbuat kejahatan, sekecil apapun, karena selalu menyadari konsekuensi yang harus dibayarkan sebagai “harga”-nya. Orang-orang yang memperkosa profesi orang lain atau bahkan merampok nasi dari piring profesi orang lain, setidaknya telah benar-benar mendoakan dirinya sendiri menjadi seorang pengemis, lewat bersikap layaknya seorang pengemis, bahkan lebih hina daripada pengemis, sama sekali tidak layak untuk ditiru terlebih untuk dipertontonkan, seolah tiada kenal rasa malu.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.