Jenis-Jenis Manusia yang Paling Berbahaya di Muka Bumi

ARTIKEL HUKUM
Ulasan dalam artikel singkat ini, sifat pembahasannya akan mengangkat topik yang sederhana saja, tanpa mengurangi betapa penting ulasan berikut mengingat jarang sekali masyarakat kita menyadari fenomena sosiologi dan psikologi yang oleh sebab telah menjadi suatu kebiasaan maka dipandang sebagai bagian dari kewajaran—meski sejatinya sama sekali tidaklah wajar untuk ukuran manusia yang mengaku sebagai bagian dari bangsa yang telah beradab.
Artikel ini membahas perihal jenis-jenis manusia yang paling berbahaya di jagat raya. Anda keliru, jika berasumsi bahwasannya artikel ini akan mengupas perihal “ulah nakal” para peneliti jenius yang mampu meluluh-lantakkan planet bernama Bumi ini menjadi keping-kepingan dan puing lewat satu buah tombol pemicu hulu ledak nuklir yang dianggapnya sebagai “mainan”. Anda keliru juga ketika berasumsi bahwa penulis akan menyinggung perihal “kegilaan” Adolf Hitler sang pembunuh “berdarah dingin”, ataupun tokoh-tokoh diktator lainnya.
Faktanya, orang-orang paling berbahaya ada di sekitar kita, di dekat kita, si seputar kehidupan kita sehari-hari, bahkan mungkin terdapat di “musuh dalam selimut”, tanpa kita sadari, atau bahkan diri kita yang merupakan salah satu jenis manusia paling berbahaya bagi orang lainnya (menjadi salah satu “agen”). Kita dapat memulainya dengan semudah mulai bersikap lebih peka terhadap setiap fenomena sosial yang terjadi di tengah-tengah kita, mulai dari lingkungan tempat kita bersekolah, lingkungan tempat kita beribadah, lingkungan tempat kita bekerja, lingkungan tempat kita bermain, lingkungan tempat kita tinggal, bahkan hingga di dalam rumah-tangga kita pribadi.
Kini kita masuk pada bahasan perihal jenis manusia pertama yang paling berbahaya, yakni mereka yang sejatinya “bodoh namun sok pintar” alias “sok tahu”. Contoh, ketika kita memperingatkan mereka agar tidak keluar rumah kecuali ada kepentingan yang amat sangat mendesak dikala situasi sedang menghadapi ancaman wabah pandemik yang telah menjangkiti negara dan kota tempat kita tinggal, namun mereka justru menanggapi dengan ringannya sembari bersikap menantang, “Ah, jangan berlebihan.” Orang-orang bodoh, cenderung tidak bijaksana serta meremehkan potensi resiko—seolah menunggu untuk melantunkan nyanyian “penyesalan selalu datang terlambat”, sekalipun kita ketahui, mereka yang telah dikubur di liang kubur tidak lagi dapat membuat penyesalan diri, karena sudah terlambat.
Ketika kita memperingatkan mereka untuk memakai masker ketika keluar rumah, agar tidak tertular dan tidak menulari warga lain di jalan, mereka kembali meremehkan dan bersikap menantang, “Ah, ketakutan sekali.” Orang-orang bodoh tidak akan mau terlebih mampu untuk memahami, bahwa Virus Corona yang mematikan dapat menular lewat pernafasan normal (“bioaerosol”), tidak harus selalu berupa percikan-percikan bersin dan batuk dari penderita lainnya.
Mereka tidak akan bersedia memahami, bahwa bisa jadi dirinya mengidap infeksi virus, namun “orang tanpa gejala”, sehingga sekalipun dirinya tidak menunjukkan gejala terjangkit, namun bukan berarti dirinya tidak dapat menulari warga lain. Orang-orang bodoh, cenderung membawa petaka bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain, serta menggampangkan segala sesuatunya yang tidak sesederhana itu dan tidak semudah “bicara besar”.
Ketika kita memperingatkan mereka untuk tidak kumpul-kumpul untuk tujuan yang tidak produktif (membangkang himbauan sosial and physical distancing), mereka kembali meremehkan sembari menantang, “Ah, manusia itu makhluk sosial, hak asasi manusia untuk berserikat dan berkumpul.” Orang-orang bodoh, cenderung bersikap “masak bodoh” serta arogan—tidaklah mengherankan, kapasitas otak mereka terlampau kecil, kalah besar dengan otak limbik mereka. Atau, mereka benar-benar menjadi “bodoh” akibat terbiasa bersikap “masak bodoh”—cara mendidik diri sendiri yang amat buruk dan tidak sehat.
Ketika kita memperingatkan mereka untuk segera mencuci baju dan mandi ketika baru pulang dari luar rumah, demi menghindari serangan virus yang masuk ke dalam rumah akibat menempel di tubuh ataupun di pakaian yang kita kenakan, banyak warga tetangga di sekitar kita yang justru bersikap biasa-biasa saja, seolah keadaan tidak sedang dalam keadaan genting-darurat siaga terhadap ancaman wabah, dengan pergi keluar rumah lalu kembali dan menetap beberapa lama lalu kembali keluar rumah (bepergian) dan kembali masuk ke dalam rumah, tanpa mengganti pakaian ataupun mandi.
Mereka berkata, “Ah, merepotkan saja, harus mandi sampai empat atau lima kali sehari, bahkan harus mencuci kembali baju yang baru saja dipakai.” Orang-orang bodoh, cenderung pemalas serta senantiasa “berspekulasi” dengan nasib—mereka hidup dalam asumsi, asumsi seolah mereka kebal terhadap serangan infeksi dan musibah, tanpa bersedia menyadari bahwa korban-korban pasien terjangkit yang tewas tidak sedikit jumlahnya, dimana korban-korban tersebut telah menjelma mayat yang terbujur kaku di peti jenasah sehingga tidak lagi dapat memberikan testimoni akibat sikap lalai mereka untuk benar-benar menjaga kesehatan dan keselamatan diri lewat perlengkapan alat pelindung diri yang paling minimal maupun adaptasi (rekayasa kebiasaan hidup oleh kesadaran diri sendiri) terhadap pola hidup keseharian.
Jika sikap “masak bodoh” belum dirasakan cukup merepotkan kita sebagai akibat “terkena getah”-nya, maka “orang bodoh yang (justru bersikap) sok tahu” akan jauh lebih berbahaya bagi orang banyak serta peradaban. Sebagai contoh, orang-orang “bodoh” tersebut menyatakan dengan begitu percaya dirinya, bahwa Virus Corona COVID-19 dapat diatasi dengan meminum vitamin C dosis tinggi, hingga meminum alkohol (seolah minuman alkohol adalah “hand sanitiser” untuk organ dalam tubuh kita).
Vitamin C dosis tinggi seringkali berupa vitamin C “sintetik”, yang dalam jangka panjang dapat mengiritasi lambung serta merusak organ ginjal, hingga bermuara pada akumulasi toksik (racun) dalam tubuh ketika ginjal mengolah dan mencoba membuang vitamin sintentik tersebut dari dalam tubuh. Badan kesehatan pangan Amerika Serikat bahkan pernah melaporkan, keracunan dapat terjadi akibat “asupan yang berlebihan dari suplemen makanan dan vitamin”. Perihal minuman alkohol, orang dengan kadar kecerdasan paling minim sekalipun mengetahui, bahwa Virus Corona menyerang dan menginfeksi organ dalam tubuh seperti jantung, saluran pernafasan atas, dan paru-paru, sehingga tidak memiliki relevansi dengan saluran pencernaan ketika meminum minuman alkohol.
Orang-orang bodoh “yang sok pintar” kembali membuat ulah, dengan mengkampanyekan agar masyarakat “berjemur” di bawah sinar matahari, karena diyakini Virus Corona dapat mati terkena sinar matahari. Sebelum wabah Virus Corona resmi dinyatakan sebagai pandemik di Indonesia, masyarakat kita apakah belum cukup memaparkan diri dan terpapar dengan sinar matahari guna meningkatkan kekebalan tubuh? Buktinya, tetap saja mereka tidak “kebal” terhadap infeksi Virus Corona, sekalipun kulit mereka selama ini telah menghitam akibat terbakar sinar matahari. Bila betul bahwa sinar matahari adalah “hand sanitiser” alami, maka mengapa negara-negara Timur-Tengah seperti Iran yang banjir oleh cuaca panas, turut mengalami wabah COVID-19? Di Thailand, pantai-pantai yang kaya akan sinar matahari untuk berjemur, tetap saja di “lock down” oleh pemerintahnya.
Betulkah bahwa Virus Corona akan “tewas” ketika terkena suhu dengan derajat diatas 26 derajat Celsius (suhu iklim negara tropis) maupun ketika terkena sinar ultraviolet dari matahari (Indonesia adalah negeri khatulistiwa dengan tingkat paparan radiasi sinar UV tertinggi di dunia)? Namun, anak ukuran Sekolah Dasar pun memahami, Virus Corona menginfeksi organ dalam tubuh, bukan di kulit, sehingga tiada relevansinya antara “mandi” sinar matahari dengan terbebas dari ancaman wabah virus mematikan. Justru, ketika warga mengambil potensi resiko keluar rumah untuk “berjemur” badan, mereka akan berpapasan atau berdekatan dengan pengguna jalan lainnya, dan itulah cara penularan yang paling rasional dapat terjadi sewaktu-waktu tanpa kita sadari DALAM HITUNGAN DETIK MASUK DARI SALURAN NAFAS SATU ORANG WARGA KE SALURAN NAFAS WARGA LAINNYA YANG BERPAPASAN DI JALAN.
Mereka seolah tidak menyadari logika yang paling sederhana, bahwa sekalipun pasien pengidap infeksi Virus Corona suhu tubuhnya naik hingga 38 derajat Celsius, virus di dalam tubuh manusia tetap dapat berkembang secara cepat karena kondisi dalam tubuh manusia adalah ideal bagi mereka untuk mereplikasi diri (berkembang biak)—terlebih hanya suhu luar tubuh yang hanya mencapai 26 derajat Celsius? Sama seperti ketika kita hanya menghangatkan makanan dalam respuker penanak nasi, sekalipun suhunya cukup tinggi, namun tidak sampai mencapai titik didih air, maka bakteri justru akan berkembang biak makin optimal, bukan sebaliknya. Penelitian terbaru menyebutkan, COVID-19 ternyata tidak akan mati bila dipanaskan mencapai suhu 60 derajat Celsius sekalipun, terlebih hanya suhu luar ruang yang sebatas 26 derajat hingga 35 derajat Celsius? Bila sinar Ultraviolet adalah segalanya, mengapa pandemik terjadi juga di negara-negara khatulistiwa yang kaya akan sinar UV? Beredar rumor seorang pasien terinfeksi COVID-19 mengklaim sembuh berkat berjemur sinar matahari, sejatinya baik yang menyebarkan hoax semacam itu maupun masyarakat yang termakan hoax, sama-sama tidak logis, karena pasien dalam pengawasan diisolasi di dalam ruang tertutup di rumah sakit sehingga mustahil bagi dirinya untuk mandi pancaran matahari. Banyak rumor beredar di masyarakat, yang sejatinya dapat ditangkal lewat logika yang paling sederhana, sekalipun masyarakat kita sejatinya telah cukup terdidik secara sekolah formil.
Keseluruh cerminan sikap irasional warga kita tersebut di atas, penulis dapati ketika mengamati tetangga di sekitar kediaman penulis saat Kota Jakarta diberlakukan “pembatasan sosial berskala besar”, baik warga berpendidikan tinggi maupun yang kurang berpendidikan, ternyata tidak menampakkan perbedaan berarti dari segi kebiasaan dalam perilaku keseharian mereka, seolah mereka tidak menyadari kondisi dan situasi telah berubah serta berbeda dari keadaan normal, sehingga perlu rekayasa ataupun adaptasi perilaku kita selaku warga yang “cerdas”.
Masyarakat cerdas, dicerminkan oleh slogan yang tumbuh dan disikapi secara konsisten serta serius penuh ketegasan oleh masyarakat di Tiongkok saat pandemik Virus Corona melanda negeri mereka, dengan menyatakan bahwa : “Dengan tidak keluar rumah, itu sudah merupakan perbuatan baik yang paling baik. Dengan tetap berada di dalam rumah, sudah sangat cukup berbuat kebaikan.” Slogan demikian yang dijiwai oleh segenap warga di Tiongkok, secara KOMPAK SATU PADU, mencerminkan betapa tingkat intelektual warga Tiongkok telah sangat tinggi level peradabannya ketimbang di Indonesia yang warganya dikenal “pembangkang” dan sulit diatur akibat “bodoh namun sok tahu”.
Tiada yang lebih merepotkan, ketimbang menghadapi bangsa yang masih dikungkung oleh kebodohan—sekalipun rata-rata tingkat pendidikan formal warga kita telah cukup tinggi dan ekonomi mereka cukup mapan. Untuk menjadi bangsa yang maju, pertama-tama kita perlu memerangi “kebodohan” bangsa kita sendiri, dimana kebodohan perlu dipandang sebagai ancaman yang paling nyata dan telah berada tepat di depan wajah kita, lebih berbahaya ketimbang ancaman virus manapun. Penulis menyebutnya sebagi “ideologi kebodohan” yang dipegang erat dengan begitu bangganya, seoleh tidak dapat hidup tanpa “memamerkan” kebodohannya kepada dunia luar.
Entah mengapa dan bagaimana, masyarakat kita di Indonesia sangat tidak kooperatif, mengeluh dan berkeluh-kesah sepanjang hari tidak dapat keluar rumah, karena bosan, karena tidak dapat makan enak dan tiga kali sehari seperti keadaan normal. Mereka tidak mampu atau tidak mau menyadari, bahwa keadaan sedang darurat (emergency) serta genting, bukan lagi hidup dalam kondisi normal. Karena sedang menghadapi kondisi dan situasi genting, kita tidak menggunakan standar hidup kita sebagaimana keadaan normal. Karena itulah, orang-orang bodoh cenderung bersikap dan berperilaku TIDAK BIJAKSANA, alias jauh dari kata “bijaksana”.
Suka atau tidak suka, itulah fakta realita yang selalu penulis jumpai ketika mengobservasi orang-orang “bodoh” lengkap dengan perilaku “bodoh”-nya. Mereka kerap memaksakan keadaan, bukan justru beradabtasi dengan keadaan. Mereka mencoba mendikte situasi, alih-alih memahami dan menyesuaikan diri “hidup berdampingan” dengan situasi. Hipotesis tersebut telah menjadi postulat, karena afirmasinya telah penulis jumpai dalam banyak kasus sehari-hari.
Karenanya pula, menjadi dapat dimaklumi, bila penulis sempat mengutarkan wacana agar dibuat peraturan baru oleh negara kita, yang mungkin terdengar “sarkastik” di telinga orang kebanyakan, bahwa “Orang bodoh dilarang untuk berpendapat ataupun berkomentar, terlebih bagi orang-orang bodoh yang ‘sok pintar’ dan ‘sok berkuasa’, karena dapat menjadi sumber ancaman bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.” Kebodohan, di mata penulis, adalah “penyakit”. Sementara “orang-orang bodoh”, karena itulah, patut disebut sebagai orang-orang “sakit”. Namun, sekalipun aturan demikian adalah ideal, orang manakah di bangsa kita yang akan bersedia mengakui dirinya sebagai “si bodoh”? Si “bodoh” bahkan akan bersikap lebih “galak” daripada pihak yang menegur perilakunya. Anggaplah impian penulis demikian hanyalah sebagai wacana “utopis”.
Jenis manusia kedua yang paling berbahaya, ialah mereka yang tergolong “orang-orang (yang sejatinya) jahat namun sok suci” alias memasang wajah serta tutur-kata seolah-olah sebagai orang yang “jujur” dan “baik hati”. Mereka adalah kriminal, penjahat, seorang penipu, karena mereka “tidak otentik”. Tiada satu pun, contoh kasus dimana seorang penipu berperilaku jujur sedari sejak semula. Semua aspek dari orang-orang dengan tipe ini, baik tutur-kata maupun perilaku, telah mereka rancang sedemikian rupa sebagai jebakan (permainan persepsi semu) untuk memudahkan mereka memanipulasi dan mengeksploitasi calon korban potensial mereka.
Semakin jahat niat mereka, semakin manis tutur-kata mereka, serta semakin “baik hati” mereka membuat pencitraan diri. Dengan kata lain, para “penipu” dan “penjahat” tersebut ketika melancarkan aksi / modus kejahatannya, semakin tampak “ramah” serat “baik hati” mereka menampilkan wajah dan ucapan, maka kita patut semakin perlu untuk menaruh kecurigaan, menjaga diri, dan mawas diri. Itulah ketika, peran “negative thinking” menjadi relevan untuk diterapkan sebagai “benteng” perlindungan serta pertahanan diri yang paling esensial ketika kita hidup dan tinggal menetap di Indonesia.
Jangan mudah percaya pada orang asing (orang yang belum kita kenal betul), itulah nasehat yang paling bijak dari orang-orang bijaksana zaman dahulu yang akan tetap relevan sampai kapan pun. Khusus di Indonesia, pemberian / diberi kepercayaan dipandang sebagai lebih murah ketimbang uang recehan, yang akan dapat disia-siakan serta disalah-gunakan semudah “bersilat lidah”. Semurah itukah, nilai sebuah integritas serta reputasi diri? Mungkin si “dungu” akan berpikir (lebih tepatnya “berasumsi”), sepanjang orang lain atau aparatur penegak hukum tidak mengetahui dan tidak memiliki bukti perilaku tercela dirinya, maka artinya mereka “masih sebagai orang baik”.
Kini, mari kita masuk pada bahasan jenis manusia ketiga yang paling berbahaya dan patut kita waspadai, ialah mereka yang “sok kuat” alias “overestimated kemampuan dirinya sendiri”. Sebagaimana kita ketahui, karateka sabuk hitam sekalipun akan dapat ditumbangkan oleh virus yang tidak “kasat mata”, dimana latihan fisik selama belasan hingga berpuluh-puluh tahun, ditaklukkan oleh inkubasi Virus Corona yang hanya membutuhkan waktu dua minggu untuk merubuhkan sistem pertahanan tubuh inangnya. Bahkan, dokter yang turut tertular pun tidak sedikit dikabarkan turut tewas karenanya. Kurang cerdas seperti apakah pengetahuan medis sang dokter? Maka, bagaimana mungkin, seseorang warga yang bahkan juga memiliki kebiasaan menghisap produk bakaran tembakau, penuh percaya diri tetap “berkeliaran” tanpa alat pelindung diri paling minimum seperti masker?
Orang-orang “sok kuat” seperti itulah, yang menjadi ancaman nyata bagi orang banyak, karena manusia-manusia tipe inilah yang kerap menjadi “carrier” penyebaran wabah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka mungkin kuat secara fisik dan metabolisme tubuh, namun mereka dapat menularkan virus dalam tubuhnya kepada orang lain yang belum tentu sekuat mereka metabolisme tubuhnya, seperti kepada anggota keluarganya di rumah yang telah lanjut usia ataupun anak-anak dibawah umur, kepada tetangganya, kepada komunitasnya, serta kepada masyarakat umum—menjadi bagian dari “ancaman” itu sendiri. Mereka yang “sok kuat”, cenderung bersikap arogan, dimana arogansi merupakan sumber sikap-sikap yang jauh dari kata “bijaksana”.
Adapun jenis manusia keempat yang paling berbahaya serta layak untuk kita antisipasi, yakni orang-orang yang tidak kompeten namun mengaku-ngaku sebagai ahli, bahkan diberikan dan memiliki kekuasaan baik secara sosiologis, secara hukum, maupun secara politis. Pernah terdapat sebuah “selentingan” berita, bahwa seorang calon gubernur pada suatu ibukota negara di Indonesia, berkampanye kepada warga calon pemilih, agar “memilih yang ahlinya” untuk mengatasi macet serta ancaman banjir tahunan yang melanda ibukota. Namun, ketika dirinya benar-benar kemudian terpilih oleh warga sebagai Kepada Daerah, ternyata kemacetan dan banjir masih menjadi wajah kota sehari-hari, tanpa perubahan yang berarti, bahkan menunjukkan gejala kian parah.
Apa yang kemudian menjadi tanggapan sang gubernur terpilih, atas kritikan serta komentar kekecewaan warga? Sang gubernur semudah berkilah, “Anda telah salah memilih. Saya katakan dalam kampanye, agar memilih yang ahlinya mengatasi banjir dan kemacetan di perkotaan. Namun apakah saya pernah mengaku-ngaku ahli dibidang banjir dan kemacetan? Apakah kalian pernah bertanya pada saya, apakah saya ahlinya? Apakah salah, saya katakan dalam kampanye, agar memilih ahlinya?” Terdapat dua jenis manusia yang tidak boleh dipercaya satu pun ucapannya : Pertama, pengacara. Kedua, politikus. Bagi kalangan yang meragukan penuturan lugas penulis tersebut, maka siap-siaplah “mencicipi” konsekuensinya.
Contoh lainnya, adakah kalangan Sarjana Hukum di Tanah Air, yang berani membuat sesumbar bahwa dirinya pakar dalam seluruh bidang disiplin ilmu hukum? Bahkan, untuk kalangan profesi hukum sekaliber penulis sekalipun, tidak berani untuk membuat klaim demikian. Hukum, kian hari kian menjelma “rimba belantara hukum” akibat produktifnya dan kian kompleksnya tatanan, instrumen, lembaga, maupun regulasi masing-masing sektoral-hukum. Yang paling rasional dan relevan, saat kini sebagai Sarjana Hukum kontemporer, ialah menjadi profesional hukum yang terspesialisasi, tidak lagi dapat generalis “palugada” (apa “elu” mau, “gua” ada). Bahkan, kalangan kedokteran medik pun akan merujuk pasien yang butuh penanganan khusus kepada dokter spesialis ketika mendapati kasus-kasus medis yang perlu penanganan khusus dan spesifik dari pakarnya.
Menjadi pertanyaan selanjutnya, mungkinkah Sarjana Hukum yang kemudian menjabat sebagai Hakim Konstitusi Ri, dapat menghadirkan putusan yang benar dan seadil-adilnya? Mahkamah Konstitusi RI tidak membatasi jenis perkara hukum dalam permohonan uji materiil yang diajukan oleh warga (yang tidak jarang warga yang pakar dibidang tertentu), mulai dari terkait Hak Cipta, Kepailitan, Perbankan, Tanah, Lembaga Keuangan, Perpajakan, Koperasi, Pasar Modal, Ketenagakerjaan, Administrasi Kependudukan, Perkawinan, Waris, Peternakan, Perkebunan, Pemilihan Umum, Pertambangan, dan berbagai bidang disiplin ilmu hukum lainnya.
Menjadi pertanyaan paling sederhana yang patut kita ajukan, apakah mungkin Sarjana Hukum yang bukan spesialis dibidang disiplin ilmu hukum terkait perkara permohonan uji materiil yang diajukan warga, dapat memutus secara tepat, akurat, benar, serta adil? Bisa jadi, warga pemohon lebih paham dan lebih ahli (pakar) dibidang hukum yang diajukan uji materiil, ketimbang Hakim Konstitusi yang memutus. Sekalipun sang hakim sejatinya tidak pakar dibidang hukum tersebut, dirinya tetap wajib membubuhkan tanda-tangan sebagai hakim pemutus, tanpa kebolehan untuk “abstain” atau secara jujur menyatakan “tidak paham” (ius curia novit).
Artinya, dirinya tetap menjatuhkan pilihan serta putusan, berupa “dikabulkan” ataupun “ditolak”, sekalipun dirinya sama sekali tidak paham seluk-beluk serta bukan pakar dibidang hukum yang dimohon uji materiil. Itulah yang tepatnya, disebut sebagai “judicial corruption”. Karenanya pula, dengan mengajukan diri atau bersedia ditunjuk sebagai Hakim Konstitusi, sama artinya telah siap menjadi hakim yang “korup” dalam artian kualitas putusannya sama sekali tidak memiliki kelayakan serta “patut diragukan”.
Pernah terjadi, Mahkamah Konstitusi RI mendapati permohonan uji materiil terkait Undang-Undang Pertenakan “impor ternak” oleh kalangan akademisi maupun pakar dan dokter hewan, dimana dari semula Mahkamah Konstitusi RI memutus bahwa ancaman penyakit hewan dan ternak tidak dapat dipertaruhkan masuk ke dalam teritori wilayah NKRI sebagai “maximum security”. Namun demikian, secara gaibnya, pemerintah kembali membentuk regulasi terkait importasi hewan dan ternak, yang kembali diajukan uji materiil oleh kalangan dokter SPESIALIS hewan dan ternak, yang memohon pada Mahkamah Konstitusi agar kembali menjatuhkan putusan “maximum security”.
Namun, kesembilan Hakim Konstitusi RI kita seolah lebih “pakar” dengan sehari-hari berurusan dengan hewan dan ternak, lebih “ahli” tentang peternakan, lebih “kompeten” perihal penyakit hewan dan ternak, ketimbang sang pemohon yang berlatar-belakang kalangan dokter SPESIALIS hewan dan ternak. Apa yang kemudian terjadi, amatlah mengejutkan, Mahkamah Konstitusi menyimpangi putusan MK RI sebelumnya, dengan menyatakan dalam putusannya menjadi “RELATIVE security”.
Yang unik dari fakta empirik-yuridis demikian, dimana penulis mampu membuat hipotesis mutlak yang tidak terbantahkan, bahwa kedelapan Hakim Konstitusi RI sama sekali tidak kompeten dalam memutus terkait Undang-Undang Pertenakan yang diajukan oleh para warga pemohon yang lebih SPESIALIS / PAKAR dibidang hewan dan ternak, karenanya hanya mem-“beo” terhadap Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang ternyata melakukan kolusi dengan menjual-belikan amar putusan kepada kalangan pengusaha importasi hewan dan ternak.
Apakah Hakim Konstitusi mem-“beo” terhadap putusan yang “korup” yang disetir oleh Hakim Konstitusi yang “korup”, tidak termasuk dalam jenis delik “pidana penyertaan”? Dalam opini pribadi penulis, keseluruh Hakim Konstitusi wajib tanggung-renteng terhadap kejahatan moral maupun kejahatan yuridis Patrialis Akbar, sebagai tanggung-jawab profesi mereka selaku Hakim Konstitusi pemutus—mengingat putusan diputuskan secara suara bulat, tanpa satu pun Hakim Konstitusi yang menyatakan “dissenting opinion”.
Sebagai perbandingan, ketika seorang calon klien berniat mendaftarkan diri sebagai klien kepada jasa konseling hukum yang penulis sediakan, namun ternyata penulis bukan pakar dibidang hukum spesifik yang hendak diajukan oleh sang klien, maka penulis akan memilih untuk menolak memberikan konseling hukum, agar tidak menyesatkan klien serta agar tidak merusak reputasi profesi penulis pribadi. Seluruh permohonan uji materiil, adalah selalu meruapakan perkara serius, butuh penangangan secara khusus, tidak dapat diperiksa dan diputus oleh seroang “dokter” umum. karenanya, Mahkamah Agung RI telah lebih moderat, dengan membagi Hakim Agung ke dalam “kamar-kamar” ter-spesialisasi mulai dari “kamar perdata”, “kamar agama”, “kamar tata usaha negara”, “kamar militer”, dsb.
Apa jadinya, terhadap “pasien” dengan masalah serius yang spesifik, ditangani sebatas oleh seorang “dokter” umum? ingat, dalam contoh kasus di atas, warga pemohon uji materiil adalah dokter SPESIALIS hewan dan ternak, maka bagaimana mungkin, pemohon yang lebih memahami potensi resiko dibalik ancaman penularan penyakit hewan dan ternak, namun diputus oleh kalangan Hakim Konstitusi yang bahkan mungkin belum pernah melihat terlebih menyentuh peternakan terlebih mengetahui dan memahami penyakit-penyakit hewan dan ternak? Seorang Sarjana Hukum yang duduk di bangku Hakim Konstitusi, bukanlah seorang dokter, terlebih seorang dokter SPESIALIS hewan dan ternak sebagaimana latar-belakang profesi warga pemohon uji materiil. Negeri ini hendak dibawa ke mana, bila pemutus perkara justru dijabat oleh hakim-hakim yang sejatinya “BODOH” dibidang hewan dan ternak, namun “SOK TAHU”? Profesi hukum bukanlah profesi yang lebih tinggi derajatnya daripada kalangan profesi lainnya.
Bila itu terjadi, ketika pasien dengan masalah serius yang butuh “penanangan khusus” namun hanya ditangani oleh dokter “umum” tanpa dirujuk kepada dokter “spesialis” semisal dokter mata (bahkan di rumah sakit pun dikenal pembagian-pembagian bidang medis bernama poliklinik), maka hanya nasib satu orang pasien itu saja yang menjadi “taruhannya”. Namun perihal uji materiil Undang-Undang, nasib ratusan juta warga yang menjadi ajang taruhannya.
Seseorang yang bukan pakarnya, namun merasa berhak dan berwenang untuk membatalkan atau sebaliknya mengukuhkan suatu undang-undang yang dimohonkan uji materiil, sama artinya sedang “berspekulasi”, dengan mempertaruhkan hajat hidup orang banyak. Orang-orang yang tidak pakar dibidangnya, cenderung bersikap lewat asumsi serta spekulasi. Pesan penutup dari penulis, jika Anda tidak ingin masuk “neraka”, maka jangan bersikap tidak adil dengan berani menduduki kursi jabatan Hakim Konstitusi.
Dahulu kala, beberapa dekade lampau ketika konsep Mahkamah Konstitusi baru diperkenalkan di Indonesia, aturan hukum tidak sekompleks dan terspesifik seperti sekarang ini, sehingga putusan yang “adil serta benar” masih dimungkinkan untuk diputus oleh seseorang yang berlatar-belakang Sarjana Hukum. Sejatinya, uji materiil hanya dapat dilakukan terhadap “hukum acara”, bukan hukum materiil—karena sang Hakim Konstitusi bukanlah pakar terlebih spesialis dalam seluruh bidang disiplin ilmu di luar hukum yang seringkali bersinggungan sebagaimana representasi contoh perkara permohonan uji materiil terhadap importasi hewan dan ternak terkait ancaman penularan penyakit hewan dan ternak, yang idealnya lebih tepat diputus olah mereka yang lebih pakar dan berlatar-belakang disiplin ilmu terkait hewan dan ternak.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.