IQ Bukanlah Segalanya, Namun Segalanya Membutuhkan IQ

ARTIKEL HUKUM
Hukum Tidak Perlu Melindungi Warga yang Sengaja Mencari-Cari Penyakit Sendiri
Banyak yang menyebutkan, bahwa Kecerdasan Intelektual atau yang biasa kita sebut dengan akronim “IQ” (intelligence quotien) bukanlah segalanya. Namun, mengapa fakta realita justru menunjukkan sebaliknya, menghadapi orang-orang yang “terlampau bodoh” (terlebih “tidak bijaksana”), amat sangat meletihkan, menguras energi mental, memakan “hati”, membuat frustasi, memicu gejolak emosi, hingga membuat “gila” atas sikap-sikap orang yang “bodohnya tidak dapat diberikan toleransi terlebih kompromi”.
Yang terburuk dari sikap-sikap “bodoh” milik orang-orang “bodoh”, ialah seringkali orang lain yang menjadi repot hingga mengalami celaka karenanya dan akibatnya. Karena itulah, otoritas negara perlu melindungi warganya dari “ulah” perilaku “bodoh” milik sebagaian penduduknya yang masih “bodoh”. Apakah pernyataan penulis, terdengar sarkastik? Tentu, tidak penulis pungkiri, namun itulah faktanya—fakta selalu terdengar “pahit”. Kita tidak perlu membohongi siapa pun di sini, terlebih bersikap “masak bodoh”.
Bila sikap-sikap “bodoh” milik orang-orang “bodoh” tersebut hanya akan mencelakai dan merepotkan dirinya sendiri, maka itu adalah urusannya pribadi yang bersangkutan, bukan urusan kita—karena kita bukan orang yang “kurang kerjaan” selayaknya sikap “kurang kerjaan” khas orang-orang “bodoh”. Namun, kerapkali serta acapkali, sikap “bodoh” milik orang “bodoh” pada gilirannya akan turut membuat orang lain yang terkena “getah”-nya, turut “celaka” akibat terseret oleh perilaku “bodoh” si “bodoh”.
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, tingkat IQ memiliki korelasi yang sangat erat terhadap tingkat kebijaksaan seseorang—meski entah mengapa dan karena apa, jarang sekali hipotesis demikian dipublikasikan. Semakin rendah dan dangkal IQ yang bersangkutan, maka semakin rendah pula kesadaran dirinya terlebih berbicara perihal sikap penuh kebijaksanaan. Mengingat minimnya publikasi perihal bahaya dibalik “IQ yang rendah”, mendorong penulis menyusun ulasan sederhana ini, berangkat dari kehidupan serta pengalaman pribadi penulis.
Tingginya tingkat IQ seseorang, memang dapat mendorong pribadi bersangkutan menjadi dua tipe karakterisasi manusia, yakni jika tidak manusia yang bijaksana, atau sebaliknya ekstrim menjadi manusia yang licik, psikopat, atau bahkan menjadi seorang penipu yang canggih ala “white collar crime”—meski, disaat bersamaan dengan bodohnya merasa bangga serta penuh kesenangan “menggali lubang kuburnya sendiri”, alias “pintar-pintar bodoh (pin-pin-bo)”. Namun demikian, rendahnya IQ ternyata dan entah bagaimana, sangat berkorelasi terhadap sikap-sikap buruk yang sangat jauh dari kata “bijaksana” serta cenderung merepotkan bahkan merugikan dan turut mencelakai orang lain yang “terkena getahnya”.
Sebagai contoh, saat Corona Virus Disease COVID-19 menjadi pandemik global yang secara nyata juga sedang mengancam bahkan telah terbukti turut menjadi wabah yang menjangkiti warga di Indonesia, himbauan pemerintah agar setiap masyarakatnya mengenakan masker, menjaga jarak fisik, serta berkegiatan di rumah, tetap saja dilanggar secara masif oleh sebagian rakyat kita. Alih-alih patuh dan taat terhadap otoritas demi kebaikan sang warga itu sendiri, banyak diantara warga masyarakat kita yang justru mempertontonkan sikap arogansi, meremehkan, membangkang, memberontak, “sok pintar meski sejatinya bodoh”, akan marah ketika ditegur oleh warga lainnya, hingga seolah sengaja berdekatan dengan warga lainnya lewat aksi kumpul-kumpul yang tidak berfaedah, tanpa masker penutup hidung maupun mulut.
Ketika pada gilirannya pandemik tidak segera terputus dan berakhir akibat banyak serta masifnya sikap-sikap “masak bodoh” milik orang-orang “bodoh”, sehingga warga “bodoh” yang akhirnya benar-benar terjangkit COVID-19 kemudian dengan sikap “masih bodoh”-nya tersebut turut menularkan kepada orang lain, pada gilirannya bagai efek berantai, wabah tidak akan pernah mengenal kata usai sepanjang masyarakat kita masih “bodoh” akibat sikap-sikap “masak bodoh” khas milik orang-orang “bodoh”.
Dari contoh sederhana tersebut di atas saja, kita telah dapat menarik benang-merah dengan satu kesimpulan yang tidak lagi terbantahkan: rendahnya kecerdasan intelektual berkorelasi terhadap sikap-sikap yang TIDAK BIJAKSANA. Kita tidak pernah mendengar atau membawa biografi orang-orang besar yang dikenal karena kebijaksanaannya, adalah orang-orang “bodoh”. Sebaliknya, banyak orang-orang tidak bijaksana di luar sana yang pernah kita kenal, ketika kita selidiki latar-belakangnya, hampir selalu dipastikan ternyata adalah orang-orang “bodoh” disamping ciri khas berupa sikap serba “masak bodoh”.
Mereka yang meremehkan pandemik dengan tetap melakukan aktivitas sosial seperti “kumpul-kumpul” sekadar untuk bicara omong-kosong khas “tong kosong nyaring bunyinya”, menganggap EQ (emotional quotien) mereka amatlah tinggi dan berbangga karenanya, meyakini EQ lebih berharga dan lebih penting ketimbang IQ—sementara, sebaliknya kontras dengan kaum “bodoh”, orang-orang ber-IQ tinggi cenderung menghindari kegiatan demikian, dan benar-benar mengikuti arahan pemerintah maupun himbauan WHO guna “social and physical distancing”, agar tidak mencelakai orang lain juga tidak mencelakai diri sendiri, terlebih sampai membawa resiko mematikan bagi anggota keluarganya sendiri. Membawa resiko penularan bagi orang lain dan diri sendiri, disebut sebagai ber-EQ tinggi? Untuk apakah merasa atau mengaku sebagai memiliki EQ yang tinggi, namun bila senyatanya “bodoh”?
Apakah dunia ini kekurangan orang-orang “bodoh”? Apakah kita benar-benar butuh orang-orang “bodoh”? Kita bersekolah dan menyekolahkan anak-anak kita, guna melawan kebodohan itu sendiri, bukan justru berbangga diri atas kebodohan yang kita miliki. Entah mengapa dan bagaimana, sebagian di antara masyarakat kita justru berbangga diri atas kebodohan serta sikap “masak bodoh” mereka, bahkan hingga menantang maut lewat sikap-sikap “bodoh” mereka tersebut, sehingga layak disebut sebagai orang “dungu”.
Contoh nyata berikut akan menggambarkan betapa sikap “bodoh” milik orang-orang “bodoh” akan menjadi bukti bahwa “IQ bukan segalanya, namun segalanya membutuhkan keterlibatan IQ”, dimana “kebodohan” dan “sikap bodoh” dapat membaca bencana hingga petaka bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri—alias, tidak bijaksana, sekaligus mematahkan argumentasi bahwa seolah “IQ bukan segalanya” meski segala sesuatunya selalu membutuhkan kecerdasan paling minimum.
Saat ulasan ini disusun, Indonesia tidak terkecuali sedang dilanda bencana “alam” (bukan bencana “manusia”, itulah bukti bahwa pemerintah kita yang mengkategorikan wabah Virus Corona sebagai bencana “manusia”, diisi oleh jajaran birokrat serta pengambil kebijakan yang tergolong “bodoh”) berupa wabah pandemik Corona Virus COVID-19 yang mematikan karena tingkat penularan maupun mortalitas tergolong tinggi disamping cara penularannya membutuhkan perhatian ekstra yang bahkan dokter maupun perawat pada instalasi medik beralat pelindung diri pun masih berpotensi terpapar dan turut terinfeksi, maka bagaimana dengan masyarakat umum yang hanya berbekal masker kain seadanya dengan pengetahuan yang minim perihal kesehatan dan hal-hal medis?
Namun, penulis mengenal seseorang warga yang telah berumur diatas enam puluh tahun, sekalipun telah terdapat himbauan pemerintah agar tetap berada di rumah, sosialiasi bahwa warga yang berpotensi tinggi terpapar ialah mereka yang tergolong lansia (lanjut-usia) berumur enam puluh tahun keatas, hingga penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (jika warga masih juga tidak kooperatif dengan tidak mengindahkan langkah darurat ini, maka apakah gunanya penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar selain hanya sekadar slogan yang menyerupai “macan ompong” separuh hati penegakannya oleh pemerintah maupun oleh rakyatnya yang sama “bodoh”-nya?), disamping pemberitaan yang sudah sangat mengerikan bahwasannya Kota Jakarta menjadi pusat episentrum penyebaran wabah COVID-19 di Indonesia, namun ternyata demi sekadar membeli sekotak kue dan “nasi uduk”, sang lansia memaksakan dirinya untuk pergi keluar dari rumah mengendarai sepeda.
Hanya demi urusan “kesenangan perut”, sekalipun keluarganya telah menyiapkan berlusin-lusin bahan pangan siap saji di rumah yang bersangkutan dan tidak akan habis untuk konsumsi sebulan penuh, dirinya tetap bersikukuh untuk keluar rumah dan bepergian guna membeli kue dan “nasi uduk”, seolah dirinya akan mati tanpa memakan kue, dan seolah dirinya akan mati hanya memakan makanan secukupnya dan seadanya meski juga senyatanya di kediaman yang bersangkutan tersedia bahan pangan yang lebih dari cukup, tanpa mau menyadari bahwa banyak orang di luar sana yang bahkan tidak bisa lagi makan tiga kali dalam sehari dan bahkan hanya mampu makan “nasi ditemani ikan asin sebagai lauknya” sehari-harinya.
Demi urusan “kesenangan perut” dirinya pribadi belaka, dirinya justru mencari-cari resiko yang sejatinya tidak perlu, dimana resikonya demikian mematikan, sekalipun secara akal sehat seseorang tidak akan mati tanpa memakan kue ataupun “nasi uduk” sekalipun di kediamannya tersedia stok bahan pangan yang jauh lebih cukup dan melimpah serta telah siap saji maupun yang dalam kemasan. Orang-orang “bodoh” berpikir secara “irasional”, dimana sikap irasional merupakan akar penyebab sikap-sikap yang tidak bijaksana, menyerupai “akal sakit” milik “orang-orang sakit”.
Seolah-olah menantang resiko potensi penularan virus mematikan, terlampau “overestimated” terhadap dirinya sendiri yang secara tidak bijaksana tidak mau menyadari betapa umurnya telah tergolong sangat lanjut-usia, bahkan mencari-cari resiko yang tidak perlu yang sejatinya dapat tidak dicari-cari (dihindari), serta tanpa mau menyadari bahwa perilakunya dapat mencelakai anggota keluarganya di rumah ketika dirinya benar-benar terpapar dan terinfeksi untuk kemudian menulari anggota keluarga lainnya di rumah.
Sebaliknya, kontras dengan cara berpikir orang-orang “bodoh”, orang-orang bijaksana memiliki cara berpikir yang sangat “logis” (logic), khas orang-orang “tidak bodoh”. Mereka akan berpikir secara bijaksana “penuh pertimbangan” (khas orang-orang “bijaksana”), bahwa wabah ini baru terjadi satu kali setelah berselang waktu puluhan tahun keadaan normal hidup penduduknya di Indonesia. Karenanya, menjadi tidak masalah jika dalam beberapa bulan ke depan bahkan hanya mampu memakan “mie instan” dalam kemasan secara secukupnya dan seadanya, karena selama ini telah memakan berbagai bahan pangan secara cukup memadai pada kala keadaan normal sebelum ini.
Bicara masalah “rasa bosan”, orang-orang “bodoh” kerap juga tidak menyadari (terlebih diharapkan bersikap cukup “arif”), betapa dirinya telah “memandikan” diri dengan berbagai kesenangan hidup seperti hiburan dan berbelanja di “shopping mall” maupun jalan-jalan wisata ke berbagai tempat di luar rumah, tatkala keadaan normal, sehingga semestinya mereka telah cukup puas untuk semua pengalaman mencari-cari kesenangan di kala keadaan normal, dan tidak perlu mengeluh “bosan” tatkala keadaan memasuki keadaan genting dan darurat seperti wabah penyakit mematikan yang telah resmi dinyatakan sebagai pandemik negara maupun bagi dunia global—dimana wabah ini baru terjadi selang puluhan tahun keadaan normal di Indonesia, sehingga sikap-sikap “cengeng” warga kita yang mengeluhkan “kebosanan” amatlah sangat tidak dapat diberi kompromi, terutama ketika masyarakat kita masih menuntut dan bersikukuh untuk diizinkan “mudik” bepergian ke kampung halaman tatkala pandemik sedang ganas-ganasnya, SECARA TIDAK ARIF-BIJAKSANA, tentunya.
Keadaan darurat, membutuhkan penanganan serta cara hidup secara darurat pula layaknya keadaan masyarakat di negara-negara Jepang yang kerap dilanda gempa bumi dimana masyarakat Jepang telah terlatih serta terbiasa atas kondisi darurat serta cara bijaksana dalam menyikapinya. Jika keadaan darurat terjadi, masyarakat di Jepang telah sadar untuk menurunkan tuntutan hidupnya menjadi seminim mungkin, sehingga mereka jarang mengeluh tatkala kondisi normal maupun saat tiba masuknya keadaan darurat seperti bencana. Sebaliknya, masyarakat di Indonesia terkesan sangat “manja”, disamping “cengeng”, yang sangat “kekanakan” alias “bodoh”. Penulis mengira, itulah akibat meremehkan fungsi IQ, benar-benar menjadi bangsa yang serba “bodoh”, baik dari segi kebiasaan maupun cara berpikir dan menyikapi perubahan keadaan.
Tampaknya, masyarakat kita di Indonesia terlampau di-“lena”-kan serta selama ini “terlena” oleh kondisi alam maupun kehidupan yang cukup makmur dan stabil-mapan, sehingga kebiasaan demikian membuat sebagian masyarakat kita tidak mampu menyadari bahwa kondisinya saat kini telah berubah serta berbeda secara kontras, bahwa kini keadaan memasuki kondisi genting dan darurat, bukan keadaan normal seperti biasanya. Ketidak-mampuan untuk beradabtasi sesuai kondisi alam, itulah cerminan mental “dangkal” khas milik orang-orang “bodoh” alias “tidak bijaksana”.
Atau, masyarakat dan bangsa kita yang sejatinya tidak mampu belajar dari pengalaman musibah tsunami, gunung meletus, hingga gempa bumi yang kerap melanda dan meluluh-lantakkan ekosistem habibat hidup manusia perkotaan maupun perkampungan di Indonesia, dan merasa sikap “bodoh” mereka kembali mampu “menaklukkan” alam? Itulah bahaya dibalik sikap “bodoh”, mereka tidak menyadari bahwa diri mereka telah berada “di ujung tanduk”.
Baru-baru ini juga tersiar kabar, seseorang warga yang ditegur dan ditertibkan oleh satuan aparat kepolisian karena tidak mengenakan masker di dalam kendaraan umum, diminta untuk turun dan berjalan kaki saja karena sikapnya dapat membahayakan penumpang lainnya, lalu membantah petugas dengan nada menantang : “Kamu siapa, mengapa kamu mengatur saya?
Polisi menerangkan dan menjelaskan secara persuasif dan santun, bahwa mereka menegur demi kebaikan banyak orang maupun diri bersangkutan itu sendiri agar tidak terpapar ataupun agar tidak menularkan orang lain, akan tetapi sang warga justru bersikap menantang, sekaligus menyatakan dirinya dari wilayah “garis keras” purnawirawan militer, dan masih juga melakukan perlawanan dengan mengeluarkan lalu mengacung-acungkan sebilah senjata tajam ke arah petugas yang bertugas menertibkan sekalipun hanya memberi himbauan secara halus kepada yang bersangkutan.
Barulah ketika akhirnya diri sang warga “pembangkang” tersebut benar-benar diamankan oleh petugas ke dalam pos, dirinya pada saat itulah baru mengakui kesalahan ketika telah benar-benar dalam kondisi dibekuk dan ditindak secara keras. Apakah terhadap setiap masyarakat kita, harus terlebih dahulu ditindak secara keras oleh aparatur penegak hukum, barulah akan patuh dan taat terhadap aturan? Yang bersangkutan kemudian mendalilkan bahwa tali kain masker penutup wajahnya putus, sehingga tidak mengenakan masker. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa tidak dari sejak semula menjelaskan duduk masalahnya, lalu mencari solusi dengan mencari penjual masker untuk dibeli, alih-alih membangkang dan menantang petugas penegak hukum?
Sama “bodoh”-nya ketika negara melepaskan para kriminil kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk kembali ber-“ulah” dan membuat keonaran, dengan alasan “asimilasi warga binaan” agar tidak membuat penjara menjadi sarang pandemik wabah virus. Sama “bodoh”-nya pula ketika para akademisi kita mendalilkan bahwa berbagai penjara di negara kita telah terlampau penuh-sesak oleh para penjahat, sehingga jangan membuat penjahat-penjahat baru dimasukkan ke penjara—namun disaat bersamaan para penjahat meresahkan masyarakat tersebut dilarang untuk ditembak mati oleh “Petrus” sang “penembak misterius”.
Kedua opini dan sikap “bodoh” demikian sama saja ujung muaranya, yakni seolah berkata bahwa “biarkan saja para kriminil terus berkeliaran di jalan-jalan mengganggu dan meresahkan masyarakat, tidak perlu ditanggak, dihukum, ataupun dijebloskan ke sel, serta para narapidana yang ada di sel silahkan di bebas-bebaskan agar kembali bergentayangan di jalan-jalan pemukiman warga”, semudah melontarkan dalil bahwa “penjara telah over-kapasitas”.
Bukanlah penjahatnya yang harus dibebaskan atau yang tidak dibekuk dan dipenjarakan, namun mengapa selama ini pemerintah tidak pernah membentuk lembaga pemasyarakatan-lembaga permasyarakatan baru guna memenuhi / menyeimbangkan “supply and demand”, sementara kita ketahui bersama bahwa isu masalah penuh-sesaknya berbagai lembaga pemasyarakatan kita adalah isu klasik, yang tidak pernah diselesaikan oleh pemerintah. Sehingga, janganlah alasan demikian terus-menerus dijadikan sebagai “komoditas politik alias alibi cadangan yang dapat dipolitisir dan disetir” dengan turut membebaskan napi “koruptor”.
Orang-orang ber-IQ tinggi mungkin dapat menjadi penjahat yang berbahaya, namun fakta-fakta empirik di atas membuktikan bahwa orang-orang ber-IQ rendah lebih cenderung menjadi arogan serta dengan sikap “masak bodoh”-nya dapat mengakibatkan bencana bagi banyak orang lainnya, dengan tidak menyadari dan tidak menghargai hak-hak ataupun kepentingan orang lain dari segi kesehatan dan lain sebagainya.
Barulah ketika para orang “bodoh” lewat sikap “bodoh” mereka benar-benar mengakibatkan diri mereka terkena bencana ataupun musibah, baik tidak mengenakan masker ketika wabah, tidak mengenakan helm ketika berkendara kendaraan bermotor roda dua, ketika masih meneruskan kebiasaan menghisap bakaran tembakau, lalu betul-betul terkena penyakit hingga mengalami musibah kecelakaan di jalan raya, mereka baru akan merasa menyesal—penyesalan yang selalu datang terlambat yang sejatinya dapat dihindari, karena resikonya tidak perlu dicari-cari dan bisa dihindari dari sejak semula.
Bahkan yang tidak pula jarang terjadi berdasarkan pengamatan penulis, sebagaimana namanya, orang-orang “bodoh” bahkan masih juga bersikap “bandel” dan “bebal” tanpa adanya rasa bersalah dengan tetap menghisap produk bakaran tembakau ketika telah benar-benar divonis mengidap kanker, mengalami patah tengkorak kepala akibat tidak mengenakan helm saat berkendara, atau bahkan benar-benar positif terinfeksi virus mematikan ketika menantang sang virus mematikan yang “tidak kasat mata” ini, masih juga tidak “kapok” dan tidak “sadar diri” dengan tetap meremehkan dan bersikap “masak bodoh” seolah dirinya “kebal” serta “imun”.
Disayangkan, banyak diantara orang-orang “bodoh” demikian kemudian betul-betul tewas akibat kebodohannya. Namun, sebagaimana namanya, mayat di “liang kubur” tidak lagi dapat memberikan testimoni kepada publik sesama orang-orang “bodoh” agar tidak lagi berkelakuan “bodoh”, agar tidak lagi meremehkan, agar tidak lagi menantang dan “memasang badan”, karena segalanya telah terlambat, nasi telah menjadi bubur, dan si “bodoh” telah bisu-membisu terbujur kaku dingin di pemakaman, yang membuat pula orang lain repot dibuatnya untuk memakamkan si “bodoh” yang tewas akibat kebodohannya sendiri. Penyesalan selalu datang terlambat, namun si “dungu” justru mencari-cari penyesalan, yang pada gilirannya orang lain yang akan direpotkan.
Masyarakat kita di Indonesia, entah mengapa serta bagaimana, sekalipun bergelar “agamais”, namun senyatanya dikenal sebagai bangsa yang serba “membangkang” alias sebagai masyarakat “pembangkang”. Karenanya menjadi tidak cocok bila penegakan hukum diterapkan secara “humanis”. Pemerintah Indonesia perlu meniru kebijakan tegas penegakan hukum seperti Tiongkok maupun Vietnam saat mengatasi pandemik wabah virus mematikan, mengingat yang dihadapi ialah masyarakat Indonesia yang suka sekali melanggar, memamerkan sikap “tidak taat”, bangga bila mampu bersikap “tidak patuh”, dan “bodoh”, tentunya. Penegakan hukum secara humanis, lewat sebatas himbauan, hanya cocok diberlakukan terhadap warga yang “cerdas” secara intelektual. Cukup “separuh kata”, maka sang warga yang “cerdas” tidak akan merasa perlu bersikap arogan terlebih mencoba menantang maut dan “cari penyakit sendiri”.
Ketika si “dungu” tidak berdaya dari segi kapasitan otak dan kemampuan berpikir akibat IQ-nya yang “tiarap”, maka dapat dipastikan dirinya akan selalu mengandalkan kekerasan fisik untuk menyelesaikan masalahnya. Itulah sebabnya, amat sangat merepotkan menghadapi orang-orang “bodoh”, hanya mulutnya yang lebar-besar dan serba hanya pandai perihal urusan “main otot” (baca : kekerasan fisik yang selalu dijadikan sebagai solusinya).
Kontras dengan pendapat umum yang menyatakan bahwasannya “IQ bukanlah segalanya”, berangkat dari pengalaman pribadi penulis, hanya berhadapan dengan orang-orang ber-IQ tinggi yang tidak membuat repot ataupun “pusing kepala” disamping “emosi yang terpicu bangkit” akibat merasa “jengkel”. Sebuah peribahasa Belanda pernah menyebutkan: “Een goed verstaander heeft maar een half woord nodig.” Artinya, orang yang pandai memahami, (cukup) membutuhkan separuh perkataan. Jika masih belum jelas, tahu berbuat apa yang diharapkan dari dia. Tidak ada yang lebih meletihkan ketimbang menghadapi orang-orang “bodoh”.
Adalah sangat merepotkan sekaligus paling menakutkan, menghadapi kebodohan milik orang-orang “bodoh”. Betapa tidak, ketika terjadi sengketa antara diri kita terhadap orang-orang “bodoh” demikian, maka dapat dipastikan kita tidak dapat mengandalkan kemampuan berdebat ataupun argumentasi secara logis dalam menghadapi jenis manusia satu ini. Otak mereka “kosong”, sehingga akan sama percuma seperti ketika kita mencoba berdebat dengan seekor harimau yang “dungu”—“kebodohan yang berbahaya”. Mereka yang akan justru akan lebih banyak “berkoar-koar” sebagaimana pepatah, “tong kosong nyaring bunyinya”.
Secara pribadi, penulis lebih memilih berhadapan dan berdebat dengan orang-orang yang ber-“otak”, karena dapat dipastikan kita tidak perlu “berdebat kusir”, juga tidak perlu melontarkan ribuan argumentasi dan penjelasan secara “panjang kali lebar” agar seseorang yang kita hadapi dapat memahami maksud kita. Orang-orang ber-“otak” cukup logis, sehingga komunikasi ataupun argumentasi secara logis cukup dapat diandalkan dalam menghadapi mereka dan cukup efektif tanpa perlu berpanjang-lebar, “cukup sepatuh perkataan” maka mereka akan paham secara sendirinya. Tingkat keberadaban seseorang, sangat ditentukan oleh tingkat kapasitas “otak”-nya. Bandingkan dengan betapa kontras meletihkan serta frustasinya kita dibuat ketika menghadapi orang-orang yang tidak ber-“otak”.
Begitupula ketika kita sedang berada di tengah-tengah masyarakat, manakah yang Anda pilih, berada dalam kominitas atau di dekat atau di tengah-tengah orang-orang “bodoh”, ataukah memilih hidup di tengah-tengah warga yang “cerdas” dan ber-“otak”? Perlu kita pahami, orang-orang yang tidak ber-“otak” dapat membawa potensi resiko bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, akibat cara berpikir “bodoh” maupun sikap-sikap “masak bodoh” mereka. Faktor pertimbangan kedua, ialah semata fakta empirik bahwa orang-orang “bodoh” lebih cenderung mengandalkan “otot” alias “kekerasan fisik” untuk menyelesaikan segala sesuatu masalah terkait pihak lain yang berseteru.
Karenanya, tiada yang lebih menyukarkan dibanding berhadapan dengan orang-orang “bodoh” (sering kita sebut sebagai orang berkepala “bebal”, alias “gablek” / “dablek”). Si “dungu” berpikir dan berasumsi, orang lain akan senang diperlakukan secara jahat dan tidak adil. Jadilah berbagai konflik sosial yang sejatinya tidak perlu terjadi. Hanya orang-orang beradab alias memiliki “otak”, yang tidak akan pernah membuat repot orang lain terlebih mengganggu hidup orang lain—karena mereka sangat kreatif, solusi hidup mereka ditempuh lewat cara-cara kreatif, bukan dengan cara-cara “busuk” seperti menipu ataupun perilaku usaha ilegal lainnya. karenanya, kita selaku warga masyarakat jarang sekali dibuat repot terlebih dibangkitkan amarahnya oleh orang-orang “cerdas”.
Saat Indonesia dilanda wabah pandemik COVID-19, sekalipun telah banyak warga yang terinfeksi, hingga himbauan pemerintah agar mengenakan masker saat di luar rumah demi keselamatan diri sendiri serta demi kepentingan warga lain agar tidak tertular dimana mungkin saja diri sang warga membawa virus dalam tubuhnya, hingga diberlakukanlah kebijakan pembatasan sosial berskala besar, tetap saja warga-warga “bodoh” keluar rumah, bangga menentang kebijakan pemerintah, dan berkeliaran tanpa mengenakan masker seolah sedang menantang sang virus, berkumpul-kumpul tanpa tujuan yang produktif (seolah meremehkan, menantang, serta sengaja melanggar kebijakan pemerintah).
Pada gilirannya, sikap “masak bodoh” demikian sebagai imbasnya kemudian merugikan warga lainnya yang patuh dengan berdiam di rumah, menutup tempat usahanya, merumahkan karyawan, karena pendemik menjadi tidak kunjung usai sehingga pengorbanan diri warga yang patuh menjadi sia-sia dan seolah tiada artinya akibat “nila setitik oleh orang-orang bodoh menjadi rusak susu sebelanga”.
Orang-orang “bodoh” lebih cenderung membawa malapetaka serta musibah bagi orang lain, lebih patut kita waspadai ketimbang menghadapi orang-orang yang “cerdas” secara intelektual. Mengapa? Karena orang-orang “bodoh” tidak akan merasa malu terlebih takut untuk melanggar hukum, tidak akan merasa malu ataupun merasa takut untuk melakukan kejahatan. Karena itulah, berulang-kali telah penulis sebutkan, bahwasannya orang-orang “bodoh” cenderung bertindak secara tidak bijaksana. Alih-alih merasa malu dan takut, mereka bahkan merasa gemar dan bangga mempertontonkan kebodohannya ke hadapan publik.
Banyak kecelakaan maut mematikan, diakibatkan suatu bus yang terperosok memasuki jurang akibat dikemudikan oleh pengemudi yang “bodoh”—kebodohan yang membawa dampak fatal bagi banyak penumpangnya. Tidak sedikit pun pula kendaraan bermotor di jalan raya, yang dikemudian oleh orang-orang “bodoh”, dan tipe pengendara semacam itulah yang paling patut kita waspadai dan awasi dengan sangat hati-hati, karena mereka memang “bodoh” karenanya bersikap “masak bodoh” sangat mengemudi, dimana ketika kita tegur sekalipun karena bermain handphone saat mengemudi, sebagai contoh, justru sang pelaku yang lebih memilih bersikukuh mempertahankan kebodohannya dengan bersikap “lebih galak daripada penegurnya”, sekalipun perilakunya dapat membawa petaka bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri.
Singkat kata, hanya orang-orang “bodoh” yang kerap mencari-cari penyakit sendiri yang sejatinya tidak perlu diremehkan terlebih untuk ditantang, tidak pernah belajar bahwa “menyesal datangnya terlambat”, mengandalkan otot ketika dirinya kalah dalam segi kapasitas otak ketika berdebat, bicara “maunya menang sendiri” sekalipun “konyol” substansi perkataannya alias “kata-kata sampah” yang identik dengan “tong kosong nyaring bunyinya”, ketidak-mampuan untuk melakukan “bercermin diri” ataupun “introspeksi diri”, kegagalan untuk mengontrol “libido / birani nafsu hewani otak limbik” yang menguasai dirinya, hingga tiadanya “rasa malu” terlebih “rasa takut” untuk berbuat jahat dan melanggar, hingga kebodohan yang tertinggi, yakni “penuh perbuatan dosa / jahat”, namun meyakini dirinya terjamin akan masuk surga (yang dalam penulis : para zombie). Bukankah, itu artinya manusia telah terdegradasi menjadi seperti “hewan”, dimana hewan tidak memiliki rasa malu terlebih rasa takut berbuat kejahatan?
Orang-orang cerdik-pandai tidak akan pernah memilih untuk “menggali kubur sendiri” lewat perilaku yang dapat mencelakai diri sendiri ataupun yang dapat membawa musibah bagi orang lain, selalu mengkalkulasi betapa ruginya diri sendiri karena menanam benih karma buruk, sehingga karenanya “malu dan takut berbuat jahat” terlebih untuk melanggar, mudah untuk dinasehati / dihimbau / disosialisasi, penuh kemauan untuk mendengarkan dan instrospeksi / perbaikan diri, tidak membutuhkan banyak kata-kata / argumentasi untuk membuat diri mereka paham maksud dan tujuannya, patuh dan kooperatif terhadap himbauan pemerintah, taat terhadap hukum, bicaranya “nyambung” serta “logis” ketika berdialog “sepanas” apapun situasinya (tidak “mau menang sendiri”, karena akan mengakui kesalahan ketika dirinya menyadari telah bersalah), serta tidak pernah merasa perlu untuk “merampok nasi dari piring orang lain untuk dapat makan” terlebih melakukan aksi-aksi kejahatan seperti penipuan dan kejahatan lainnya. itulah sebabnya, betapa letihnya hidup kita di tengah-tengah Bangsa Indonesia ini—semata karena terlampau banyak orang-orang “dungu” super “bodoh”, “bodoh” yang kelewat “bodoh”.
Orang-orang “bodoh” tidak dapat diharapkan terlebih diandalkan untuk menolong orang lain—jangankan diharapkan untuk menyelamatkan orang lain, dirinya yang selama ini justru kerap membawa potensi resiko hingga setiap waktunya mencelakai orang lain lewat perilaku “bodoh” dan “masak bodoh” dirinya yang tidak malu dan tidak takut melanggar terlebih untuk berbuat jahat. Orang-orang “bodoh”, selalu merepotkan, serta identik dengan malapetaka bagi orang lain serta bagi dirinya sendiri.
Hanya orang-orang ber-“otak” yang dapat diharapkan serta kita andalkan untuk menolong dan menghargai harkat serta martabat hidup warganegara lain. Karenanya, bukanlah orang-orang ber-IQ tinggi yang perlu kita waspadai, justru sebaliknya, negeri kita kekurangan orang-orang ber-IQ tinggi dan disaat bersamaan kita tidak pernah kekurangan orang-orang “bodoh” yang selalu siap membawa potensi ancaman bagi warga lainnya akibat “kebodohan” dan sikap “masak bodoh” khas milik orang-orang “bodoh”. Karenanya, ketika terdapat seseorang berkata bahwa seolah “IQ bukan segalanya”, faktanya orang-orang yang meremehkan kadar minimum IQ yang dibutuhkan untuk hidup bermasyarakat, justru kerap kita jumpai menjadi sumber “penyakit sosial”.
Ingin rasanya penulis mendorong pemerintah selaku regulator menyusun dan menerbitkan regulasi baru, bahwa “Orang bodoh dilarang untuk berbicara, terlebih bersikap ‘sok pintar’”. Ingatlah selalu, bahwa kebodohan itu dapat “menular”, dapat lebih berbahaya daripada virus paling mematikan manapun. Karenanya, jauhi berkomunitas dengan orang-orang “bodoh”, perbanyak sikap dan cara berpikir orang-orang “cerdas” agar dapat turut menjadi bagian dari kaum “cerdik-pandai”.
Anda baru akan dapat diharapkan untuk menyelamatkan dan menolong rakyat serta bangsa ini, ketika Anda “cerdas”. Sebaliknya, bila Anda “bodoh” terlebih bersikap penuh “masak bodoh”, maka sejatinya Anda hanya menjadi “beban” bagi dunia ini serta menjadi sumber bahaya bagi banyak orang yang sudah cukup repot hidupnya untuk kembali dibuat repot kesehariannya oleh ulah orang-orang “dungu” yang sejatinya tidak pernah akan kekurangan stok “orang dungu” di dunia ini. Singkat kata, kita tidak perlu membuat dunia ini bertambah penuh-sesak oleh orang-orang “bodoh”. Satu orang “dungu”, sudah terlampau banyak.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.