Dunia Tidak Pernah Kekurangan seorang PELANGGAR, dan Negara Kita Tidak Pernah Butuh para PELANGGAR tersebut

ARTIKEL HUKUM
Baru-baru ini penulis mendapat “pesan kaleng” yang tidak pernah penulis minta juga tidak pernah penulis butuhkan terlebih izinkan untuk mengganggu dan “mengotori” pesan masuk pada aplikasi messenger pada telepon genggam kerja profesi penulis, yang telah merugikan waktu kerja penulis, yakni dari “manusia sampah” (spammer) dengan nomor +62 81215123048, mengaku bernama Triyono Semarang yang bukan urusan penulis dirinya dari Semarang atau dari “Neraka”, juga mengapa diri bersangkutan “sok kenal” disamping “sok penting”?
Jelas bahwa nomor kontak kerja profesi hanya diperuntukkan bagi klien pengguna jasa yang berhak untuk mengubungi, bukan untuk disalah-gunakan oleh para “spammer” yang lebih patut menghuni “tong sampah”. Dirinya (Triyono Semarang) pikir siapa dirinya? Orang penting? Mau tahu tentang dirinya pun penulis sama sekali tidak tertarik, terlebih untuk diganggu olehnya. Berikut transkrip chatting via aplikasi messenger yang terjadi dari Triyono Semarang +62 81215123048:
“Selamat malam Pak Hery. Perkenalkan sy Triyono Semarang. Barusan sy nyimak website bpk ... bahasa penjabarannya jelas dan tegas mudah dimengerti semua kalangan Indonesia butuh org spt Panjenengan ....!!”
Merasa terganggu dan telah disalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis tanpa pernah penulis minta maupun izinkan, maka penulis berikan balasan pesan sebagai berikut tanpa perlu berbasa-basi bagi orang-orang yang begitu tidak sopannya dengan menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis yang diperuntukkan bagi kegiatan penulis untuk mencari nafkah:
“Bapak dapat nomor kontak kerja saya dari mana? Anda sadar ini nomor kontak kerja profesi saya, mengapa masih Anda salah gunakan dan melanggar peringatan di website? Siapa yang izinkan Anda untuk menyalah-gunakan nomor kontak kerja saya? Bila anda bisa mendapat nomor telepon saya, berarti anda telah membaca seluruh peringatan di website, mengapa masih melanggar? Pelanggaran apa lagi yang hendak anda lakukan selanjutnya? Bila anda tidak bisa mempertanggung-jawabkan pelanggan anda terhadap penyalah-gunaan nomor telepon kerja profesi saya, maka sanksi akan saya berlakukan. YOU ASKED FOR IT!”
Patut kita pahami, bila seseorang mampu semudah itu melakukan pelanggaran, maka dirinya dapat dipastikan (dan selalu terbukti dari pengalaman penulis dalam menghadapi sekian banyak para pelanggar) akan melakukan serangkaian pelanggaran baru lainnya, menyerupai sebuah kebiasaan atau sejenis “hobi”. Bagaikan seorang pendusta, akan berbohong bukan karena satu kali kebohongan, namun selalu berupa kebiasaan berkata bohong—alias kebiasaan dan perangai buruk.
Namun pesan balasan dari penulis tidak ditanggapi oleh sang “spammer” tersebut (Triyono Semarang +62 81215123048). Ternyata dirinya melarikan diri, kabur begitu saja dengan memblokir dirinya sendiri sehingga komunikasi tertutup untuk selamanya pada aplikasi messenger. Bagaikan “jelangkung”, yang datang tidak diundang serta perginya pun tidak diantar. Ternyata, Triyono Semarang +62 81215123048 besar kemungkinan adalah seorang “jelangkung”, “jelangkung” modern tentunya karena bisa bermain perangkat handphone dan aplikasi messenger secara online.
Melarikan diri begitu saja tanpa “responsibility” (akar kata dari “to respond”), adalah watak internal diri pelakunya yang mencerminkan suatu kebiasaan berupa sikap tidak bertanggung-jawab sekaligus sebagai simbolisasi karakter khas seorang “pelanggar”. Karena aplikasi messenger telah diblokir oleh sang “jelangkung” Triyono Semarang +62 81215123048, maka dengan sangat terpaksa penulis yang harus mengeluarkan modal merogoh-kocek dari kantung saku pribadi untuk mengirim pesan via SMS seluler sebagai berikut:
“Niat boleh baik, namun bila caranya dengan melanggar, sama artinya itu cerminan sikap seorang PELANGGAR! Pelanggar dan pelanggaran, tidak pernah berhak minta ataupun diberikan kompromi. Dan, yang terakhir, saya tidak pernah butuh seorang PELANGGAR, dimana dunia ini tidak pernah kekurangan seorang PELANGGAR semacam Anda! Sebaiknya Anda kembali bersekolah di bangku Taman Kanak-Kanak perihal BUDI PEKERTI! Mengapa kini Anda justru melarikan diri, tabrak lari?”
Jangan pernah bermain-main dengan seseorang yang sedang mencari nafkah, bahkan menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi orang lain. Sikap gemar melanggar lalu kemudian kabur begitu saja tanpa menunjukkan sikap tanggung-jawab terhadap pihak-pihak yang telah diganggu, dilecehkan, dan dirugikan olehnya, mirip sebuah penyakit mental yang berbahaya karena kerap tidak sadari atau disadari namun tidak diakui oleh diri si pelakunya.
Sekadar menggambarkan latar-belakang profesi penulis selaku Konsultan Hukum yang berprofesi serta mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab ataupun pelatihan seputar hukum, dimana untuk mendalami ilmu hukum hingga penulis bisa menjadi Sarjana Hukum dan sebagai seorang Konsultan Hukum, pengorbanan diri yang telah penulis kerahkan begitu luar biasa besarnya dan sudah tidak terhitung lagi jumlah nilainya, dimulai dari harus menempuh jenjang Sekolah Dasar hingga tamat Sekolah Menengah dengan biaya, tenaga, serta pengorbanan waktu yang tidak sedikit, harus bangun subuh selama bertahun-tahun menempuh masa kuliah, sehari-hari diisi oleh kegiatan belajar yang kadang menjemukan dan membuat letih, merasakan tekanan saat harus mengikuti ujian, belajar giat dengan menyisihkan waktu bermain ataupun hiburan, membeli buku ilmu hukum maupun peraturan perundang-undangan yang tidak murah harganya, membayar biaya kuliah yang tidak sedikit nilainya, membayar biaya makan serta ongkos transportasi, bertahun-tahun bergelut dalam profesi hukum dengan segenap suka dan duka setelah lulus kuliah, begitu pula saat penulis membangun website saat ini yang merupakan hasil belajar ilmu hukum selama ratusan ribu jam kerja untuk untuk riset dan menekuni bidang hukum dengan pengorbanan wantu-biaya-tenaga yang demikian besarnya tidak lagi dapat dihitung jumlahnya.
Maka, terhadap pihak-pihak yang merasa dapat semudah itu menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis “segampang” memainkan tuts pada handphone di tangan mereka tanpa mau repot-repot untuk mendatangi kantor Konsultan Hukum, tanpa mau repot-repot untuk membaca kontrak kerja sama layanan hukum, tanpa mau repot-repot untuk membuat janjian jadwal pertemuan, tanpa mau repot-repot untuk mengantri, tanpa mau repot-repot mengisi formulir ataupun mengisi buku tamu (jangankan itu, memperkenalkan diri saja pun ketika mencoba menghubungi penulis, seringkali tidak), terlebih tanpa mau repot-repot untuk membayar tarif layanan jasa SEPERAK PUN (baca : memperkosa profesi orang lain), namun maunya SEMUDAH DAN SEGAMPANG MENYALAH-GUNAKAN NOMOR KONTAK KERJA PROFESI PENULIS, karenanya mengingat segala pengorbanan yang telah penulis korbankan dan kerahkan hingga bisa sampai pada hari ini dan sebagaimana bisa eksis website profesi hukum yang penulis bangun dengan susah-payah dengan tetasan keringat darah pribadi penulis ini, tidak lain ialah sebentuk pelecehan yang tidak lagi dapat ditolerir, PELECEHAN TERHADAP SEGENAP DAN SEGALA PENGORBANAN YANG TELAH PENULIS LAKUKAN HINGGA SEJAUH INI MAUPUN KETIDAK-ADILAN BAGI ORANGTUA PENULIS YANG SELAMA INI TELAH MEMBESARKAN DAN MENAFKAHI MAUPUN MEMBIAYAI SEKOLAH PENULIS DARI KECIL HINGGA BERANJAK DEWASA.
Karenanya pula, demi menghadirkan keadilan bagi diri penulis pribadi maupun bagi keluarga penulis yang selama ini membesakan penulis, maka sudah sepatutnya serta sudah seharusnya penulis melakukan “pembalasan” terhadap para pelakunya lewat sanksi penjeraaan yang tegas dan sekeras mungkin. Mengingat pula, bagaimana mungkin penulis dapat menawarkan jasa sebagai seorang Konsultan Hukum bila penulis belum mampu untuk bersikap adil terhadap hak-hak serta harkat dan martabat diri penulis pribadi?
Disamping pihak-pihak yang telah menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis, terlebih ialah mereka yang dengan lancang meminta (bahkan diantara bersikap “menuntut”) dilayani untuk masalah seputar hukum ketenagakerjaan hingga masalah kredit dan masalah pertanahan (penemis mana juga yang punya semua masalah hukum semacam itu?), tanpa bersedia memberi kompensasi (asas timbal-balik resiprositas) berupa tarif layanan jasa profesi, adalah telah sangat menyakiti serta menyayat hati perasaan penulis yang sudah sangat berkorban banyak, seolah para pelanggar tersebut berhak untuk memperkosa profesi orang lain, seolah-olah penulis tidak berhak untuk mencari nafkah (sekalipun UUD NKRI 1945 telah menegaskan bahwa hak atas nafkah serta kompenasi adalah hak asasi manusia).
Sungguh sedih rasanya, menghadapi Bangsa Indonesia yang serba “agamais” (rajin beribadah) lengkap dengan “kegenitan halal lifestyle” namun perihal perilaku ternyata masih tergolong “biadab” (lawan kata “belum beradab”) namun merasa begitu yakin “sudah terjamin mendapat kapling di surga”, tidak patuh terhadap hukum terlebih diminta untuk taat, gemar melanggar (dianggap sebagai prestasi, sekalipun “tidak sehat”) terlebih-lebih ciri khas “kesopanan” ala rakyat Indonesia yang justru fakta realitanya berupa wajah bangsa yang “lebih galak daripada korbannya” (tidak jarang para pelaku pelanggar tersebut justru memaki dan mengolok-olok penulis karena tidak bersedia di-“perkosa”-nya profesi penulis oleh ulah mereka yang menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis, memerkosa, serta melanggar “syarat dan ketentuan” dalam website profesi ini dengan semudah memainkan handphone di tangan mereka), sekalipun diri mereka mengenakan atribut keagamaan dan mengaku “ber-Tuhan”.
Kembali kepada si pelanggar, sang “spammerTriyono Semarang +62 81215123048, penulis selalu bertanya-tanya terhadap orang-orang yang gemar melanggar semacam mereka, apa juga yang membuatnya berpikir bahwa seseorang yang sedang bekerja mencari nafkah diganggu lewat disalah-gunakan nomor kontak kerja profesinya untuk pesan-pesan “SPAM” oleh seorang PELANGGAR yang “tidak lebih dari seorang PELANGGAR yang tidak berharga SEPERAK PUN”?
Bagaimana mungkin, untuk hal-hal prinsipil yang mendasar seperti ini saja, harus sampai penulis tuangkan dalam bentuk tulisan secara panjang-lebar seperti artikel ini? Singkat kata, penulis memberikan penilaian terhadap Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang masih jauh dari kata “beradab”. Bangsa yang sudah beradab, tidaklah perlu sampai harus merepotkan penulis menguraikan panjang-lebar hal-hal prinsipil paling mendasar dalam hidup ini, yakni JANGAN PERNAH MELECEHKAN ORANG YANG SEDANG MENCARI NAFKAH SETELAH DEMIKIAN BESAR PENGORBANAN SANG PENJUAL JASA ATAS HAK-HAK PROFESINYA.
Tiada siapapun yang berhak untuk mengganggu orang lain yang sedang mencari nafkah secara legal, dimana setiap individu dan pribadi manapun berkewajiban untuk menghormati profesi orang lain yang bekerja secara legal. Bila selama ini penulis bekerja tanpa mengganggu terlebih merugikan orang lain, maka penulis berhak untuk menuntut untuk tidak diganggu serta tidak dilecehkan terlebih dirugikan oleh pihak manapun. Apakah harapan penulis tersebut, diluar batas kewajawan ataukah memang sudah sepatutnya untuk penulis perjuangkan?
Bila bukan penulis pribadi yang memperjuangkan harkat dan martabat pribadi penulis, maka siapa lagi yang bertanggung-jawab atas diri dan hidup-kehidupan diri penulis? Jangan katakan bahwa seolah hak untuk menjerit dan melakukan perlawanan pun tidak penulis miliki, seolah-olah hanya orang lain dan para pelaku pelanggar tersebut yang memiliki hak untuk memangsa profesi dan hak-hak warga lainnya (yang artinya “kewajiban” bagi penulis untuk “dimangsa”), yang membuat mereka tidak ubahnya seorang “predator” yang “kanibal”, cerminan watak NON-humanis sekaligus “terbelakang”. Penulis menyebut mereka sebagai “kanibal yang mengaku ber-Tuhan”. Ironis, memang, dan itulah kenyataan yang terjadi pada praktiknya di negeri bernama Republik Indonesia ini.
Mungkin saja salah seorang pelakunya tersebut sedang membaca artikel yang penulis tulis ini dengan “berlinang air mata” ketika mengingat kembali betapa besarnya pengorbanan yang telah penulis curahkan untuk profesi, hidup, serta website ini, disamping betapa menyedihkannya mengingat kembali realita nyata bahwasannya ribuan pihak secara lancang dan berani melecehkan bahkan secara terang-terangan dan tanpa rasa malu (terlebih merasa bersalah) telah memperkosa profesi penulis, seolah diri mereka adalah “kolonial / penjajah” dan diri penulis diperlakukan tidak ubahnya menyerupai seorang “budak” yang dipaksa untuk “kerja rodi” bagi kepentingan mereka, tanpa hak untuk menuntut kompensasi berupa nafkah. Namun sebagaimana namanya, “pelanggar”, mereka bukan disebut sebagai pelanggar jika tidak “gemar melanggar”, dapat kita maklumi, yang pastilah akan tetap melanjutkan kegemarannya “melanggar” sebagai menu sehari-hari mereka, sebagaimana perilaku seorang “pembual” (penuh bualan yang tidak dapat “dipegang” ucapannya baik sepatah kata pun).
Terdapat juga para pelanggar tersebut yang justru tanpa rasa bersalah menyatakan bahwa penulis “tidak sopan” karena marah-marah ketika “diperkosa” profesinya oleh para pemerkosa profesi konsultan tersebut, ibarat “maling teriak maling”, dimana bahkan para pelakunya tersebut memperkosa profesi penulis semudah memainkan handphone di tangan mereka dengan menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis. Korban pemerkosaan mana juga-kah yang tidak akan merasa marah dan menjerit ketika diperkosa? Lantas, sejak kapan di republik ini, “memerkosa adalah atau sebagai hal yang sopan”?
Penulis lantas memberi tanggapan, bahwa penulis tidak sedang “marah”, namun sedang “murka sejadi-jadinya dan pasti akan menjatuhkan sanksi perbuatan para pelanggar yang tega memerkosa profesi penulis yang sedang bekerja dan mencari nafkah secara legal”. Website ini telah mencantumkan peringatan serta ancaman sanksinya, namun bila tetap dilanggar, maka “YOU ASKED FOR IT”.
Seorang pelanggar dan pelanggar mana pun, HARUS DIHUKUM serta WAJIB DIHUKUM. Telah demikian banyak pengorbanan penulis dalam membangun website profesi hukum ini, namun para pelanggar dan para pemerkosa tersebut justru secara lancang dan merasa berani tanpa takut pada dosa untuk “membalas air susu dengan pemerkosaan” terhadap profesi penulis—seolah-olah agama mereka tidak mengenal kata “dosa”. Sungguh, Bangsa Indonesia adalah bangsa “bejat” yang mengaku-ngaku ber-Tuhan dan dengan munafiknya men-cap diri mereka sebagai “agamais” yang rajin “beribadah”.
Dunia ini tidak pernah membutuhkan kaum “agamais”, karena dunia ini sedang kekurangan kaum “humanis” yang “beradab”, yang pastinya ada namun minoritas jumlahnya di negeri ini—sebagaimana terbukti dari perbandingan antara klien yang betul-betul membayar tarif jasa profesi sebagaimana hak penulis, berbanding para pemerkosa yang tanpa malu dan tanpa rasa bersalah telah melanggar dan menyalah-gunakan hingga memerkosa profesi penulis dengan penuh kebanggaan. Persentase perbandingannya, mencapai lebih dari 1 berbanding 1.000 (1 : 1.000).
Mereka yang berlatar-belakang profesi konsultan pajak, psikolog, psikiater, maupun sesama konsultan hukum, tahu betul maksud dan pengalaman pribadi penulis di atas, yang pastilah juga pernah mereka alami sebagaimana pengakuan mereka terhadap penulis. Betapa minoritasnya jumlah orang-orang baik yang “waras” di republik bernama Indonesia ini, tenggelam diantara orang-orang “gila” yang berkeliaran dan merajalela bak “raja jalanan”. Tiada bangsa yang lebih buruk dari “membalas air susu dengan perkosaan”, yang mungkin saja fenomena ini hanya terjadi di Indonesia, karena sepengetahuan penulis tidak terjadi fenomena serupa baik di Thailand, Amerika Serikat, hingga Australia.
Sudahlah, bila mereka (para “pelanggar” tersebut) tidak bersedia untuk berkontribusi bagi kelangsungan hidup penulis, maka setidaknya mereka tidak mengganggu hidup penulis yang sedang berjuang mencari nafkah dan sesuap nasi untuk dimakan dan menafkahi keluarga. Jangan pernah mengusik seseorang yang sedang mencari makan dan nafkah bagi keluarganya, itulah prinsip paling MENDASAR yang semestinya dipahami oleh orang dewasa berakal sehat sekalipun tanpa perlu diajarkan, kecuali bangsa ini belum mengenal arti kata “akal sehat”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.