KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Choice of Forum ABITRASE Versus KOMPETENSI ABSOLUT

LEGAL OPINION
Question: Dalam kontrak bisnis antara perusahaan kami dan pihak rekanan, ada diatur lembaga penyelesaian sengketa yang disepakati berupa sebuah lembaga arbitrase. Apa artinya perusahaan kami tidak bisa menggugat pailit (sekalipun sejinya berjudul “permohonan”) rekan kami tersebut karena terdapat sengketa hutang-piutang yang tidak terlunasi kepada perusahaan kami, mengingat sejauh yang kami tahu itu kewenangan Pengadilan Niaga?
Brief Answer: Ketika terdapat “choice of forum” alias pemilihan forum penyelesaian sengketa yang berwenang menyelesaikan sengketa keperdataan kontraktual antar para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian (pacta sunt servanda), tidak dimaknai dapat mengesampingkan “Kompetensi Absolut” kewenangan peradilan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara “kontekstual”. Bagaimana pun, sekalipun para pihak bebas untuk bersepakat dan bebas untuk menentukan materi kesepakatan, namun terdapat norma atau rambu pedoman dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menggaris-bawahi bahwasannya para pihak hanya bebas membentuk substansi perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan materi peraturan perundang-undangan.
Salah satu materi hukum acara perdata, ialah terdapat dalam HIR (hukum acara perdata) maupun berbagai aturan hukum sektoral semisal perihal Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pengadilan Niaga), Hak Kekayaan Intelektual (Pengadilan Niaga), Hubungan industrial (Pengadilan Hubungan Industrial), tata usaha negara (Pengadilan Tata Usaha Negara) dan berbagai norma hukum “perdata khusus” lainnya, yang didalamnya terkandung kaedah imperatif perihal “Kompetensi Absolut”, yang tidak dapat disimpangi oleh ketentuan dalam perjanjian kontraktual.
PEMBAHASAN:
Perlu kita ingat, hukum acara pada masing-masing jenis peradilan sangat kontekstual sesuai jenis karakteristik perkaranya. Sebagai contoh, tidak seluruh lembaga peradilan semacam Pengadilan Negeri terdapat Pengadilan Niaga, karenanya bila para pihak membuat perjanjian dengan klausula “choice of forum” berupa Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sebagai contoh, maka apakah artinya salah satu pihak tidak dapat mengajukan permohonan pailit terhadap salah satu pihak lainnya, mengingat Pengadilan Niaga terdapat dibawah yurisdiksi administrasi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat?
Terlebih, bila para pihak memilih “choice of forum” berupa arbitrase seperti Badan Arbitrase Indonesia (BANI) ataupun arbitrase asing di luar negeri, dimana masing-masing berlaku hukum acaranya masing-masing sementara kita ketahui ketentuan perihal Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memiliki kaedah hukum acara yang telah secara tegas ditentukan dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Karenanya, dapat kita simpulkan pula bahwa “choice of forum” hanya relevan dalam konteks memilih antara “Arbitase” ataukah “Pengadilan Negeri”, atau antara “Pengadilan Negeri” yang satu ataukah “Pengadilan Negeri” lainnya (“Kompetensi Relatif”). Karenanya juga, “choice of forum” tidak dapat dibentuk secara menyimpangi kaedah normatif hukum acara di Indonesia mengenai “Kompetensi Absolut”.
Undang-Undang tentang Abitrase menyatakan, “choice of forum” dapat disepakati oleh para pihak dalam suatu hubungan kontraktual, sepanjang substansi dalam kontrak perdata yang mereka bentuk saling mengikatkan diri di dalamnya adalah perikatan yang masih dalam lingkup “hukum dagang”. Salah satu materi “hukum dagang”, ialah terkait “Hak atas Kekayaan Intelektual” (HKI). Namun, sebagaimana telah kita ketahui pula, bahwasannya sengketa HKI merupakan yurisdiksi Pengadilan Niaga sebagai Kompetensi Absolutnya.
Karenanya, mengingat pada asasnya “choice of forum” hanya dapat mengatur “Kompetensi Relatif”, maka “choice of forum” dalam kontrak perdata hanya dapat memilih, apakah Pengadilan Niaga di Jakarta ataukah Pengadilan Niaga di provinsi lainnya yang berwenang menangani sengketa HKI yang terjadi antara para pihak yang sebelumnya telah saling mengikatkan diri dalam hubungan kontraktual.
Karenanya pula, idealnya suatu kontrak perdata membagi dua jenis “choice of forum”, yakni : Pertama-tama mengatur kesepakatan antara “Arbitrase” ataukah “Pengadilan Negeri” di Indonesia terkait sengketa
perdata umum”; Kedua, mengatur kesepakatan terkait “Kompetensi Relatif dari Kompetensi Absolut” bila sengketa ialah terkait sengketa “perdata khsusus” (semisal Pengadilan Niaga manakah yang berwenang memutus sengketa).
Bila suatu kontrak perdata hanya mengatur salah satunya, semisal kesepakatan terkait “perdata umum”, bahkan tanpa menyebutkan secara tegas apakah “choice of forum” tersebut terkait “perdata umum” ataukah “perdata khusus”, maka dikemudian hari akan berpotensi menimbulkan benih-benih konflik atau sengketa baru terkait interpretasi atau penafsiran terhadap implementasi “choice of forum” dimaksud yang sejatinya sangat sumir.
Sebagai ilustrasi, ketika para pihak saling bekerja sama dibidang Hak Kekayaan Intelektual semisal perjanjian waralaba penggunaan rahasia dagang, merek dagang, paten, maupun hak cipta, sementara “choice of forum” yang diatur dan disepakati para pihak dalam kontrak, hanya menyebutkan “Arbitrase X”. Maka, ketika dikemudian hari benar-benar terjadi sengketa terkait Hak Kekayaan Intelektual, menjadi pertanyaan utamanya, apakah “Arbitrase X” menggunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang terkait Hak Kekayaan Intelektual?
Logika utamanya, ialah dengan menganalogikan kasus sengketa Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sekalipun para pihak saling mengikatkan diri baik dalam “choice of forum” maupun “choice of law” berupa arbitrase asing serta hukum negara asing, maka tetap saja ketika salah satu pihak hendak dimohonkan pailit atau bahkan dipailitkan oleh pihak ketiga, salah satu pihak lainnya tetap perlu tunduk terhadap Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berlaku di Indonesia ketika berupaya mencocokkan piutang ataupun upaya hukum lainnya seperti “gugatan prosedur renvooi”, lengkap dengan tunduk terhadap “Kompetensi Absolut” bernama kewenangan / yurisdiksi Pengadilan Niaga. Namun Pengadilan Niaga manakah yang akan ditujukan, itulah yang dapat diatur dalam “choice of forum” sengketa “Perdata Khusus”.
Begitupula ketika antara seorang karyawan dan pihak pemberi kerja saling membuat kontrak kerja, dimana di dalamnya diatur pula “choice of forum” berupa lembaga Arbitrase, bahkan ditambahkan pula “choice of law” negara asing seperti semisal pegawai Warga Negara Indonesia pada sebuah Kedutaan Besar asing di wilayah teritori Indonesia (sudah terdapat presedennya, bahwa Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia tetap berwenang memutus sengketa yang timbul), maka ketika sang pekerja dikemudian hari dipecat dan terkena pemutusan hubungan kerja, apakah artinya sang pekerja hanya dapat menggugat sang pemberi kerja, ke hadapan Arbitrase?
Sebagaimana telah kita ketahui, hukum acara dalam sengketa terkait ketenagakerjaan maupun terkait hubungan industrial, telah diatur dalam Undang-Undang yang mengaturnya secara khusus karena tergolong sebagai kriteria “Perdata Khusus”. Mungkinkah Arbitrase dapat memeriksa dan memutus sengketa semacam ini, dan mungkinkah klausul demikian sama artinya menutup kesempatan bagi sang pekerja untuk menggugat ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia?
Berikut salah satu tips tambahan dari SHIETRA & PARTNERS, untuk produk atau jasa berskala besar dengan nilai nominal yang besar, jangan pernah memesan atau membeli dari marketplace. Mengapa? Contoh ilustrasi berikut dapat menjelaskan dengan cara yang mudah dipahami para pembaca. Ketika pihak penjual lewat medium marketplace “toko online” ternyata wanprestasi untuk menyerahkan barang tertentu sesuai spesifikasi produk dalam iklan, alias tidak sesuai dengan yang dipesan, sementara pihak marketplace menganggap tiada kesalahan dalam produk yang telah dikirimkan oleh pihak penjual, maka timbul sengketa keperdataan.
Gaibnya, pihak marketplace membuat “term and condition” dalam website marketplace-nya, menyatakan bahwa bila pihak pembeli dengan tetap membeli dari marketplace ini, atau ketika membuat akun pada marketplace, maka diartikan sepakat untuk tunduk pada “choice of forum” berupa ARBITRASE bahkan berupa lembaga Arbitrase di suatu negara asing. Keberadaan penengah jasa perantara jual-beli secara “online” seperti marketplace ini, dari sengketa yang sejatinya dapat sangat sederhana untuk disidangkan dan dibuat putusan Pengadilan Negeri lokal, yakni sengketa wanprestasi antara sang penjual dan sang pembeli yang bisa jadi berada di wilayah atau satu kota yang sama, kemudian menjadi demikian keruh serta sukar proses upaya hukumnya.
Bila saja antara pihak penjual dan pihak pembeli, hanya terlibat dua pihak tanpa diperantarai pihak ketiga seperti suatu marketplace, maka upaya hukum berupa gugat-menggugat menjadi sangat sederhana prosesnya. Namun, hanya karena medium transaksi menggunakan jasa marketplace, maka mau tidak mau dan suka atau tidak suka pihak pembeli hanya dapat menggugat pihak penjual dengan turut serta menyeret pihak marketplace ke hadapan Arbitrase sebagaimana telah ditentukan oleh pihak marketplace.
Menjadi keruh serta problematik pula, bila ternyata sang “pelapak” pada marketplace tersebut mencantumkan pula “choice of forum” dalam setiap detail iklannya sebagai bagian dari “syarat dan ketentuan” pihak pemilik toko / penjual, sekalipun pihak marketplace telah membuat pengaturan perihal “choice of forum”, sehingga menjadi rancu pengaturan satu sama lainnya, yang tentunya menjadi tumpang-tindih antar “choice of forum”.
Apakah “choice of forum” yang dicantum oleh pihak marketplace, berlaku bagi semata pihak penjual ataupun berlaku pula bagi pihak pembeli, dimana bila ternyata antara “choice of forum” yang dibuat oleh pihak “pelapak” ternyata saling berbeda dengan lembaga “choice of forum” yang diatur oleh pihak marketplace, maka manakah “choice of forum” yang berlaku ketika terdapat komplain atau sengketa dari pihak pembeli?
Karena itu jugalah, pembelian barang melalui suatu marketplace hanya cocok untuk jual-beli barang-barang atau produk yang sifatnya “sekalipun terkena modus penipuan dan pembeli / konsumen merugi sejumlah dana pembelian, maka merelakannya masih jauh lebih tidak merugi ketimbang bersikukuh melakukan upaya hukum”, alias untuk sekadar produk-produk yang nilainya kecil “tidak seberapa”.
Untuk nilai transaksi yang sifatnya besar, JANGAN PERNAH MENGGUNAKAN MEDIUM PERANTARA / BROKER ataupun MEDIUM PIHAK KETIGA, yang bisa jadi pihak ketiga tersebut memiliki “term and condition” berupa pencantuman “choice of forum” dalam layanan jasa perantaranya yang mempertemukan antara pihak penjual dan pihak pembeli—kecuali hubungan hukumnya dirancang sedemikian rupa, sehingga pihak perantara hanya terikat dengan pihak pembeli, sementara pihak penjual murni berhubungan hukum “business to business peer to peer” atau “person to person” dengan pihak pembeli.
Itulah hal-hal sederhana seputar aspek hukum perikatan perdata kontraktual, namun akibat sederhana maka seringkali kurang diperhatikan, sebelum kemudian “membentur tembok” ketika bibit-bibit sengketa mulai tampak ke permukaan. Simple is beautiful, sungguh tiada format baku kontrak yang lebih indah daripada kontrak yang sama sekali tidak memuat “choice of forum”, demikian kerap kali SHIETRA & PARTNERS utarakan kepada klien pengguna jasa yang hendak membentuk kontrak bisnis.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.