Cara Kerja Manipulasi Pikiran, Bahaya Laten yang Menghantui dari dalam Cara Kita Berpikir

ARTIKEL HUKUM
Manipulasi pikiran, terjadi tatkala terdapat sebentuk cacat (defect) dalam struktur pikiran seseorang (korban) yang dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku manipulasi (manipulator) lewat penetrasi permainan pikiran, dimana cacat dalam struktur pikiran tersebut dapat berupa “harapan / ketakutan yang tidak realistis” maupun akibat “cara berpikir yang irasional”. Dalam ulasan ini kita berfokus membahas topik disiplin ilmu “psikologi hukum” perihal “cara berpikir yang irasional”.
Masyarakat kita belum cukup cerdas dan belum dewasa pola berpikirnya, sekalipun notabene telah mengenyam pendidikan tinggi secara formil. Sekali lagi, dalam konteks ini kita berbincang perihal tataran pola pikir yang rasional—yang mana sifatnya tidak mengenal pandang “bulu”, pandang “kasta”, pandang status sosial, pandang tingkat pendidikan, pandang umur, pandang gender, maupun tingkat ekonomi.
Contoh sederhana, para pengamat politik kita menyebutkan bahwa masyarakat kita telah cukup cerdas dan dewasa dalam memilih dalam suatu “pesta demokrasi”. Faktanya selalu berkata lain, calon Kepala Daerah yang pernah tersandung kasus korupsi, kembali terpilih dan kembali tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kedua kalinya. Bukan sang koruptor yang tidak jera untuk menantang hukum, namun para rakyat pemilih kita yang tampaknya tidak jera-jera untuk kembali memilih pemimpin daerah yang korup seolah sedang “mengejek” dan memperolok KPK. Mengapa dapat terjadi demikian? Itulah yang tepatnya disebut sebagai “cara berpikir yang irasional”.
Dalam kesempatan ini, penulis tidak akan mengulas perihal “cara berpikir yang irasional” secara teoretis, namun dalam suatu kasus konkret-praktis yang tampaknya penting untuk diketahui oleh para pembaca—setidaknya agar dapat terhindar dari modus-modus manipulatif yang selalu terselubung sifatnya. Bila Anda terkena manipulasi oleh modus yang transparan (tidak terselubung), berarti Anda sendiri yang terlampau “bodoh”. Singkatnya, hanya ada dua cara untuk menghindari modus-modus pelaku manipulator, agar tidak menjadi korban manipulasi, yakni dengan cara menutup rapat kedua “celah” yang telah penulis sebutkan sebelumnya di muka.
Namun, tidak banyak diantara kita yang benar-benar sepenuhnya dapat menutup kedua “celah” tersebut, terlebih bila tidak pernah melakukan latihan kekuatan pikiran diri kita. Ibarat berlatih, latihan tidak hanya perlu kita lakukan bagi latihan fisik, namun juga latihan bagi pikiran kita—suatu istilah yang tampaknya masih belum cukup familiar bagi sebagian dari kita. Terkait “harapan / ketakutan yang tidak realistis”, masih dapat dengan cukup mudah untuk kita atasi, yakni dengan menata diri dengan kebiasaan baru yang bernama “berlatih menjadi manusia yang realistis”.
Meski demkian, selalu menjadi masalah ketika kita masuk pada bahasan perihal “cara berpikir yang irasional”, dimana untuk mengatasinya tidak semudah membalik telapak tangan. Justru karena adanya tantangan yang tidak dapat kita remehkan itulah, menjadi menarik bagi penulis untuk mengulas dan menguraikan secara lugas perihal “cara berpikir yang irasional”, serta betapa berbahayanya pintu “celah” masuk bagi manipulasi pikiran.
Untuk memudahkan pemahaman, penulis akan ilustrasikan lewat contoh konkret yang tampaknya memiliki kedekatan dengan para pembaca di keseharian. Sebagai contoh, seorang pengusaha memberikan pegawainya upah bulanan sebatas Upah Minimum Kota, namun sesekali diberikan bentuk “perhatian” lewat dibelikannya bagi mereka makan siang yang dibeli dari restoran populer dari mall. Sang karyawan menjadi demikian penuh loyalitas, seolah melupakan segala kenyataan “pahit-getir” bahwa senyatanya dirinya hanya diupah sebatas Upah Minimum Kota.
Uniknya, secara kalkulatif bisnis, pemberian makan siang “mewah” demikian terjadi secara sesekali saja, baik rutin sebulan sekali ataupun insidentil, dimana total “cost” untuk belanja upah pegawai perusahaan hanya terpaut sedikit dari Upah Minimum Kota. Sebatas mengeluarkan sedikit “ongkos” pembelian makan siang yang cukup “mewah”, namun dapat meningkatkan produktifitas pegawai maupun loyalitas pegawainya bagi perusahaan—membeli dengan harga yang sangat murah, bukankah begitu?
Sebaliknya, pegawai yang selama ini diberikan upah bulanan jauh di atas tingkat Upah Minimum Kota, namun tidak pernah diberikan sentuhan “perhatian” lewat sesekali diberikan makan siang “mewah” demikian, tingkat loyalitasnya ternyata tidak setinggi apresiasi dari karyawan yang sesekali diberikan makan siang “mewah”. Memang hipotesis penulis tersebut belum dibuktikan lewat uji “klinis”, namun dapat secara kasat-mata penulis saksikan dan rasakan “atmosfer”-nya.
Hal kecil, namun membuat perbedaan yang sangat kontras—itulah tepatnya rahasia dibalik permainan manipulasi pikiran. Demikianlah pengusaha cerdas membangun “kultur” perusahaan, lewat memanipulasi “cara berpikir yang irasional” para karyawannya, baik lewat cara halus maupun cara politis, tanpa disadari oleh para pegawainya. Kalangan manipulator menyebutnya sebagai sebuah “seni pertunjukkan”.
Jangan salah, pemerintah kita pun melakukan “seni pertunjukkan” kepada rakyatnya, semisal lewat slogan “hari gini, belum bayar pajak?”, atau seperti politik pencitraan Pegawai Negeri Sipil yang diberikan segala keistimewaan dan kemewahan berupa gaji ke-14, remunerasi, fasilitas kendaraan hingga rumah dinas, jaminan uang pensiun dan hari tua, dengan menyebut mereka sebagai “imbalan atas jasa mengabdi bagi negara dan rakyat”. Betapa rajin dan baik hati-mulianya para Aparatur Sipil Negara kita, berlomba-lomba menjadi Pegawai Negeri Sipil demi “mengabdi”? Mengabdi bagi perut sendiri, tentunya.
Istilah “Aparatur Sipil Negara”, seolah “bos” para Aparatur Sipil Negara tersebut ialah negara, kepala kantor tempat mereka bekerja, presiden, dan menteri, BUKAN RAKYAT. Tidak mengherankan bila kemudian rakyat yang seolah “menghamba” kepada sang Aparatur Sipil Negara ketika meminta pelayanan publik yang anehnya monopolistik oleh instansi sang Aparatur Sipil Negara “mengabdi” dimana warga tidak dapat meminta layanan publik ke tempat lain maupun kepada penyedia jasa swasta. Bandingkan dengan bagaimana Amerika Serikat justru sebaliknya, memanipulasi kalangan pegawai pemerintahannya dengan memberi mereka julukan sebagai “civil servant”, pembantu rakyat, agar sigap mengabdi bagi rakyatnya.
Begitupula propaganda yang selama ini disebar-luaskan oleh pemerintah, berupa istilah “uang negara”. Menjadi seolah, pajak yang dibayarkan oleh rakyat menjadi bukan milik rakyat (“uang rakyat”), namun sebagai “uang (milik) negara”, sehingga bebas untuk dikorupsi oleh pemegang tampuk kekuasaan di pemerintahan. Rakyat yang masih dikuasai oleh “cara berpikir yang irasional” kolektif, tidak akan pernah menyadari bahwa mereka selama ini telah dieksploitasi serta dibodohi oleh pemerintah mereka sendiri.
Kembali pada contoh kasus dalam konteks hubungan industrial yang selalu menarik untuk dibahas serta tiada habisnya untuk dimanipulasi—agak pula cukup dilematis, buruh perlu cerdas agar tidak dapat dimanipulasi, namun bila semua buruh bisa bersikap cerdas, maka tiada lagi buruh para satu perusahaan mana pun, itulah dilemanya. Justru, seseorang memilih sekadar menjadi buruh karena dirinya tidak bersedia menjadi cerdas, karenanya memilih diperdaya dan menjadi “bodoh” serta dimanipulasi sebagai kodrat yang memang telah dipilih olehnya. Menjadi buruh, maka siap-siaplah untuk dimanipulasi. Tidak bersedia dimanipulasi, maka solusinya hanya satu, memulai karir sendiri seperti langkah yang penulis tempuh ketika pertama kali membangun usaha sendiri sebagai seorang Konsultan Hukum independen.
Daya tawar kalangan pengusaha kita tinggi, karena mereka tahu betul, bahwa terdapat banyak manusia-manusia yang tidak cerdas di luar sana, yang hanya mampu mencari nafkah dengan cara menjadi pegawai / buruh. Dunia ini tidak akan pernah kekurangan orang-orang “bodoh” semacam itu. Namun juga, dilematikanya, menjadi mengherankan ketika kalangan pengusaha kita menjadi “marah-marah” terhadap karyawannya karena menganggap pegawainya tersebut sebagai orang-orang “bodoh”—tampaknya sang pengusaha tidak menyadari, bahwa jika para pegawainya tersebut tidaklah se-“bodoh” itu, maka mereka tidak akan bekerja bagi sang pengusaha, namun akan menjadi kompetitor bisnis sang pengusaha. Semestinya, sang pengusaha patut bersyukur karena para pegawainya terlampau cukup “bodoh” untuk bisa menjadi seorang manusia yang berdiri sendiri dari segi kemampuan finansial dan bisnis.
Mari kita bahas perihal “jebakan mental” dibalik sebuah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau yang biasa kita singkat dengan julukan “PKWT” atau yang lebih populer dengan sebutan sebagai “kerja kontrak”. Bila Anda berasumsi bahwa kalangan pengusaha kita paling menggemari model hubungan kerja berupa PKWT terhadap para karyawan mereka, semata demi menghindari kewajiban pembayaran pesangon ataupun potensi resiko beban “upah proses” ketika memutus hubungan kerja pegawainya, maka asumsi Anda keliru besar. Bukanlah itu yang menjadi sasaran paling utama dibalik sebuah penyalah-gunaan sebuah mekanisme PKWT. Pesangon adalah “kecil”, bagi kalangan pelaku usaha.
Bila Anda diikat hubungan kerja berdasarkan sistem kerja “permanen” (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu), maka pegawai akan memasuki apa yang oleh kalangan pengusaha disebut sebagai “comfort zone”, Anda akan dinilai sebagai tidak lagi produktif dan hanya akan dipandang sebagai “beban” bagi keuangan perusahaan yang perlu segera disingkirkan lewat berbagai modus mulai dari rotasi / mutasi fungsi dan tempat kerja, dsb.
Sebaliknya, ketika Anda diikat dengan hubungan kerja jenis PKWT, maka Anda akan terpacu untuk selalu berusaha menghadirkan kinerja terbaik, sekalipun tanpa diperintahkan, mengambil berbagai inisiatif secara pribadi untuk meningkatkan kinerja serta produktifitas kerja, semata agar menebar asa berupa harapan agar dapat diperpanjang masa kerja PKWT-nya oleh sang pemberi kerja. Itulah ketika eksploitasi tenaga buruh, tidak lagi disadari oleh sang buruh, bahwa espektasinya tersebut menjadi gerbang pintu masuk bagi manipulasi pikiran.
Dalam jenis kasus-kasus PKWTT, pengusaha yang didudukkan sebagai “loyalis” bagi para buruhnya, karena setiap bulan wajib memberikan upah, apapun tingkat kinerja pegawainya. Sebaliknya, dalam konteks PKWT, para buruh secara sendirinya (otomatis) akan menaruh loyalitas sekalipun tanpa diperintahkan oleh atasannya. Berusaha menunjukkan kinerja terbaik, seolah esok dirinya akan dipecat karena tidak diperpanjang masa kerja dalam kontrak kerjanya, itulah “suntikan” yang menyerupai stimulan otak yang tergolong “manipulasi tingkat tinggi”—yang sayangnya, sama sekali negara kita tidak berupaya melindungi rakyatnya dari pertimbangan aspek psikologi semacam ini, seolah dibiarkan berjuang dan “bergerilya” seorang diri.
Dimana juga kabar baiknya, berbagai getir-pahitnya dunia ketenagakerjaan di Indonesia, mendorong pekerja yang “kapok” serta “tobat” menjadi karyawan, memilih untuk membangun karir atau usahanya sendiri dengan berwiraswasta. Bila kalangan pengusaha di Indonesia tidak menyerupai “vampire penghisap darah”, mungkin sampai saat kini atau mungkin hingga selamanya tidak akan pernah ada website ini maupun Konsultan Shietra.
Di mata kalangan pekerja, pemberi kerja bak “malaikat” karena memberikan mereka nafkah secara rutin berupa upah bulanan. Namun, secara lugas Robert T. Kiyosaki, seorang pengusaha “real estate” sukses di Amerika Serikat mengungkap fakta sebaliknya, yakni di mata kalangan pengusaha, para pekerjanya tersebut adalah semata dipandang sebagai “mesin pencetak uang”. Betapa tidak, mereka cukup dibayar sebatas Upah Minimum Kota, namun sang pengusaha mendapatkan waktu, tenaga, serta banyak keuntungan yang jauh lebih tinggi berkali-kali lipat tingkat upah para pegawainya. Dengan kata lain, mereka dipekerjakan semata demi keuntungan sang pengusaha yang telah mengkalkulasikan bisnis secara matang lewat proyeksi untung-rugi dari mempekerjakan dan membayar upah para pegawainya.
Kini kita kembali kepada psikologi yang bermain dalam tataran hubungan birokratis-hierakhis penguasa (pemangku jabatan) terhadap rakyat sipil ketika saling berhadap-hadapan terkait pelayanan publik. Seperti biasanya, monopolistik kewenangan pelayanan publik di tangan institusi pemerintahan yang dikuasai para Aparatur Sipil Negara, mendorong godaan penyalah-gunaan wewenang monopolistiknya (berkuasa terhadap rakyat sipil). Segala aksi kolusi, terjadi akibat negara memberikan kewenangan monopolistik demikian kepada para Pegawai Negeri Sipil mereka—itulah “jebakan mental” yang pertama sekaligus sangat kontraproduktif bagi kepentingan rakyat luas.
Pada gilirannya, menghadapi monopolistik kewenangan di tangan para Pegawai Negeri Sipil demikian, membuat “daya tawar” rakyat sipil menjadi lemah. Karenanya, kemudian mulailah berkembang adagium yang terus hidup hingga saat kini, yakni “lagu lama” yang begitu populer di tengah kalangan birokrat kita : “Jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah?
Apa yang menjadi motif dibalik slogan “lagu lama” di atas? Tujuannya tidak lain ialah semata untuk “memeras” alias “ajang pungutan liar (pungli)”, lewat aksi-aksi penyalah-gunaan kekuasaan (kolusi) yang terjadi secara masif, tersistematis, berjemaah, serta terang-terangan demikian “vulgar” pada berbagai kantor pemerintahan yang dapat kita saksikan sendiri secara kasat-mata dimana semua “sudah sama-sama tahu”.
Ketika warga sipil menyerah, hanya dapat pasrah mengikuti segala kemauan sang pemegang kekuasaan, akhirnya memberikan sejumlah “uang pelicin” agar tidak dipersulit dan tidak kian merugi waktu serta tenaga. Ketika proses akhirnya berjalan “sebagaimana mestinya” berkat “uang pelicin” yang diberikan, dan pelayanan publik menjadi “lancar” bagi sang pemberi “uang pelicin”, lantas sang warga pemohon pelayanan publik mengucapkan “terimakasih” pada sang Pegawai Negeri Sipil, seolah itu bukan tugas dan tanggung-jawabnya untuk bekerja melayani masyarakat “sebagaimana mestinya”.
Sang Aparatur Sipil Negara yang mendengar kata “terimakasih” dari korban “sapi perahannya”, merasa dirinya bak pahlawan penolong. Meski sejatinya, makna implisit sang warga ialah “berterima-kasih untuk tidak terus-menerus mempersulit dan mempermainkan saya sekalipun akhirnya tetap saja harus saya bayar mahal dengan uang pelicin dan menjadi penyuap aparat”. Itulah contoh gambaran nyata betapa “gilanya” jungkir-balik permainan logika moralitas yang terjadi di republik “agamais” ini.
Penulis menyebutkan, penyumbang angka inflasi pada negeri ini ialah disumbangkan oleh berbagai pungutan liar yang luar biasa “sadistik”-nya oleh berbagai Kantor Pertanahan di Tanah Air, mulai dari pegawai paling bawah sampai kepala kantor, seluruhnya korup. Siapa pun yang pernah berurusan dengan Aparatur Sipil Negara di Kantor Pertanahan, mengetahui betul kebenaran fakta yang penulis uraikan—sehingga menjadi tidak wajar bila terdapat pegawai atau pejabat pada Kantor Pertanahan yang berkeberatan atas “testimoni” penulis ini. Rakyat sipil berhak mempublikasikan “testimoni” pengalaman pribadi.
Kembali pada kasus-kasus terkait ketenagakerjaan, yang isunya tidak pernah habis “digoreng” dan untuk “digoreng ulang” dengan minyak jelantah. Kalangan pengusaha tahu betul (pengusha mana juga yang tidak terkenal karena kelicikan bisnisnya, Anda yang berharap terlampau banyak bila berpikir bahwa pengusaha adalah “juru selamat”), bahwa orang-orang pencari kerja selalu dirudung oleh ketakutan tidak mendapat pekerjaan, serta disaat bersamaan dikuasai oleh espektasi bahwa dirinya dipekerjaan, mendapat pekerjaan, serta diberi upah.
Kedua unsur tersebut di atas, antara ketakutan dan espektasi, saling menguatkan efeknya satu sama lain, hingga membentuk suatu fenomena psikologis yang dinamakan sebagai “tidak realistis”—dan itulah tepatnya pintu masuk manipulasi pikiran dengan tujuan eksploitasi oleh sang manipulator, sekaligus menjadi momen paling rentan bagi kejiwaan seseorang yang “mengidap”-nya, serta karenanya menjadi mudah “disetir” dan ter-“setir”.
Apa yang kemudian terjadi, berikut fakta yang mungkin akan membuat para pembaca berpikir ribuan kali sebelum mengajukan lamaran pekerjaan dan seketika akan mengalihkan niat menjadi pekerja menjadi seorang pengusaha mandiri dengan usaha bisnis sendiri. Berdasarkan pengakuan seorang pengusaha yang memiliki ribuan pegawai serta pabrik pada berbagai kota di Indonesia, ketika dirinya membuka lowongan pekerjaan, sebagai contoh lowongan bagi penanggung-jawab bagian pajak perusahaan, dirinya sejatinya mengundang hadir para kandidat bukan benar-benar hendak mempekerjakan seorang penanggung-jawab bagian pajak perusahaan, namun untuk MENCURI ILMU (modus).
Lewat berbagai proses interview dengan banyak kandidat, dimana para kandidat tersebut terdorong secara mentalitas untuk mempertunjukkan pengetahuan terbaik yang diketahui olehnya. Jadilah, ajang konsultasi pajak secara “tanpa bayaran” yang diberikan secara gamblang oleh para kandidat, dimana sang pengusaha penipu duduk tenang di kantornya sementara para kandidat tersebut yang datang dari jauh-jauh tanpa diberikan ongkos perjalanan, serta menjawab seluruh pertanyaan terkait pajak yang selama ini menjadi masalah pajak perusahaannya oleh penjelasan para kandidat, yang menjawabnya lewat uraian secara utuh sesempurna yang mampu dijelaskan oleh sang kandidat.
Pada akhirnya, ketika informasi terkait pengetahuan pajak berhasil dihimpun oleh sang pengusaha, maka lowongan ditutup, dengan tanpa satu pun dari para kandidat tersebut yang betul-betul dipekerjakan. Sang pengusaha hanya keluar modal berupa pembayaran biaya untuk memasang iklan lowongan kerja, dan menganggap modus yang berhasil secara lancar “mencuri ilmu” milik orang lain lewat tipu-daya adalah sebentuk keuntungan bisnis bagi dirinya berupa “penghematan biaya konsultasi pajak”.
 Dari pengalaman pribadi penulis, tiada satupun pengusaha di Indonesia yang takut akan Hukum Karma—semakin kaya secara materi, justru semakin serakah. Suka atau tidak suka, itulah fakta yang selalu penulis jumpai afirmasinya di lapangan, apapun agama sang pengusaha dan telah sebetapa menyerupai kerajaan dinasti bisnis telah dikuasai olehnya. Kemasan luarnya “rekruitmen”, namun “udang dibalik batu” yang menjadi agenda tersembunyinya, ialah untuk merampok waktu, tenaga, ongkos, serta ilmu pengetahuan kalangan profesi lainnya.
Yang kedua, yang tidak kalah patut diwaspadai oleh kalangan pencari kerja mana pun, ialah terhadap iming-iming “akan dipromosikan” bila berkinerja baik. Belum efektif resmi direkrut sebagai pengawai, namun sudah diberikan iming-iming semacam itulah, justru itulah salah satu indikator paling konkret adanya anasir tendensi penipuan serta eksploitatif oleh sang calon perekrut. Kata-kata “akan dipromosikan” hanya wajar disampaikan ketika seseorang telah bekerja dan lama dipekerjakan oleh perusahaan tempatnya bekerja, bukan olah seseorang yang bahkan masih sebatas “calon” pemberi kerja. Ingatlah selalu, manipulator kerap menggunakan iming-iming sebagai senjata ampuhnya.
Bila terdapat diantara pembaca yang bertanya-tanya, bagaimana pada mulanya Konsultan Shietra memulai debut perdana karirnya sebagai seorang Konsultan Hukum, maka kini sedikit-banyak telah penulis “bocorkan” sejarah kisah latar-belakangnya sampai akhirnya benar-benar membuat branding Konsultan Shietra eksis hingga saat kini. Fakta adalah pahit adanya, namun mari kita buat fakta pahit tersebut sebagai obat bagi kehidupan serta bagi kebaikan karir pribadi kita. Jangan biarkan mimpi buruk berakhir sekadar sebagai mimpi buruk semata, tanpa langkah yang konkret untuk mengatasi dan mencari solusinya.
Agar para pembaca tidak semakin apatis terhadap hidup dan kehidupan ini, maka ulasan ini akan penulis tutup dengan satu kisah “horror” namun nyata adanya, semoga tidak semakin membuat “shyok” kalangan masyarakat yang hendak bermimpi menjadi pengacara “kondang” di republik yang kebanjiran Sarjana Hukum “kurang kerjaan” (inflasi, over supply) ini. Perlu kita pahami bersama sebelumnya, menjual produk adalah kebutuhan primer perusahaan manapun, sifatnya menyerupai rutinitas makan tiga kali sehari atau mandi dua kali sehari. Sementara itu, masalah hukum seringkali adalah kebutuhan tersier yang sifatnya insidentil semata.
Berikut gambaran kondisi internal korporasi di kota metropolitan seperti Jakarta. Sebuah perusahaan besar dengan jumlah pegawai mencapai ribuan orang, seringkali hanya mempekerjakan satu orang staf bagian hukum, dipekerjakan untuk menangani seluruh masalah hukum terkait perusahaan dari A hingga Z. Perusahaan merekrut ratusan hingga ribuan sarjana bidang disiplin ilmu diluar hukum, namun hanya membuka satu lowongan bagi penanggung-jawab dibidang hukum yang dituntut sekaliber “superman” karena harus mampu menjawab dan mengatasi seluruh masalah hukum yang terjadi di perusahaan.
Dari contoh ilustrasi sederhana tersebut saja, sudah dapat kita kalkulasikan betapa angkatan kerja bagi lulusan Fakultas Hukum tidak akan pernah terserap, karena memang minimnya kebutuhan pasar akan tenaga kerja dibidang hukum, sementara itu jutaan Sarjana Hukum baru dicetak setiap tahunnya dari perguruan tinggi ilmu hukum. Itu adalah kondisi korporasi di Jakarta, menjadi lebih kontras lagi dengan kondisi berbagai perusahaan di berbagai polosok daerah, tiada satu pun diantara para pengusaha di daerah yang membuka lowongan bagi pekerja hukum. Dengan kata lain, angka lapangan kerja profesi tenaga hukum tidak pernah berbanding lulus dengan jumlah angkata kerja dibidang hukum.
Alhasil, pengusaha yang mengetahui betul kondisi yang timpang ini, antara “supply” dan “demand”, mengakibatkan daya tawar pekerja hukum menjadi lemah selemah-lemahnya, dan kondisi itulah yang disalah-gunakan serta dipergunakan dengan sangat baik guna mengekspolitasi tenaga kerja dibidang hukum. Bayangkan, ketika pasokan terus mengalir secara demikian derasnya, sementara itu kebutuhan pasar sangat sedikit yang membutuhkan dan menyerapnya, apa yang kemudian akan terjadi? Maka pedagang akan membiarkannya terongkok dan membusuk, menjadi sama sekali “tidak berharga” alias tidak memiliki nilai intrinsik semurah apapun diperdagangkan serta “di-obral” di bursa kerja.
“Bencana” psikologis berikut inilah yang kemudian terjadi dan sudah masif terjadi di lapangan. Gengsi, yang terpenting menjadi “lawyer” (pengacara), maka dirinya menerima lowongan pekerjaan sebagai “inhouse lawyer” atau “corporate lawyer” suatu perusahaan, setiap hari mengantor pada perusahaan tersebut, dengan jam kerja sebagaimana karyawan lainnya, menjadi “babu” (bahkan “budak”) yang harus selalu siap menerima perintah dari sang pengusaha pemberi kerja, dan diberi tanggung-jawab besar dibidang hukum yang meletihkan dan bekerja lembur setiap harinya dengan membaca ratusan dokumen tebal, dimana kecerobohan sekecil apapun dapat menjadi malapetaka bagi karirnya, namun dengan tingkat upah bulanan hanya sedikit diatas nilai Upah Minimum Kota.
Dengan kata lain, tingkat gaji sang “inhouse lawyer” tersebut, hanya sedikit diatas upah yang diterima oleh sang “ofiice boy” yang bekerja di perusahaan yang sama, namun dengan tangung-jawab dan bobot kerja jauh melampaui seorang “office boy”. Sekali lagi, demi mengejar “gengsi” atau prestise nama karir sebagai “pengacara”, dan itulah yang kemudian menjadi salah satu celah pintu masuknya manipulasi serta eksploitasi.
Anda pikir mengapa selama ini lembaga pendidikan tinggi kita baik Universitas maupun Perguruan Tinggi, selalu mendengung-dengungkan dan mendendangkan “lagu klasik” bahwa seolah dapat menjadi seorang pengacara maka ibarat “mimpi indah” yang menjadi kenyataan, lengkap dengan pencitraan bahwa seorang pengacara selalu identik dengan jas mahal, sepatu mahal, mobil mahal, asisten “mahal”, kantor mahal, hingga cincin berlian mahal. Faktanya, jauh panggang dari api, sebagaimana telah penulis uraikan tanpa satu pun fakta yang penulis tutupi.
Ingatlah juga selalu, pendidikan tinggi hukum adalah komoditas bisnis yang “seksi”. Dengan kata lain, perkuliahan sekalipun dibawah naungan yayasan (nirlaba) yang mengepalai universitas, adalah BISNIS. Dimana para mahasiswanya hanya dipandang sebagai “objek” sapi perahan. Mereka yang “bodoh”, tentu akan terjun masuk ke dalam jebakan pencitraan yang memang sengaja ditebarkan bagaikan “ranjau paku” oleh kalangan pengusaha yang membuka usaha Perguruan Tinggi hukum ataupun Universitas dengan fakultas hukumnya.
Terlebih “seksi” ialah komoditas bernama program studi strata dua Magister Hukum maupun strata tiga Doktoral Hukum, dimana justru substansi materi perkuliahannya jauh lebih membahas teori belaka, jauh dari khasanah keterampilan terlebih keterampilan praktis berhukum, dimana juga ironisnya para mahasiswanya bersedia membayar mahal dan membuang-buang waktu demi teori belaka—yang mana telah penulis buktikan bahwa penulis mampu eksis membangun reputasi serta nama sebagai Konsultan Hukum sekalipun tanpa memiliki embel-embel gelar akademik “segudang”.
Para Sarjana Hukum yang tidak mampu membangun karir hukumnya sendiri bahkan tidak terserap oleh angkatan kerja, bukan diakibatkan kurangnya gelar akademik, namun akibat kurangnya keterampilan praktis, sehingga berkuliah hukum strata dua terlebih strata tiga bukanlah solusi, justru sebaliknya akan memperparah sikap teoretis yang bersangkutan sehingga tidak akan pernah siap pakai dalam dunia kerja yang sifatnya selalu menghendaki kepraktisan.
Sebagaimana dapat para pembaca saksikan sendiri, dunia kita penuh dengan manipulasi, dimana segala sesuatunya dijadikan komoditas, manusia yang didiskreditkan menjadi sebagai “objek” untuk dieksploitasi serta diperdaya sekadar bagai “sapi perahan” tanpa sedikit pun penghargaan terhadap harkat dan martabatnya sebagai sesama manusia. Semakin besar sang pengusaha, semakin eksploitatif.
Meski demikian, kita akan mampu menjaga dan melindungi diri kita dari berbagai modus manipulasi demikian, sepanjang kita memahami dan mengawasi betul bahaya laten dibalik sikap “tidak rasional” serta “tidak realistis” yang bersemayam dalam cara berpikir diri kita sendiri. Untuk mampu melindungi diri kita sendiri, dimulai dengan tidak menjadi orang “bodoh”. Menjadi “cerdas”, tidak pernah semudah menjadi “bodoh”, lengkap dengan konsekuensinya masing-masing”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.