Urgensi Menghapus Istilah Turut Tergugat, Celah Pintu Masuk Eksepsi Gugatan Kurang Pihak

ARTIKEL HUKUM
Kalangan pengacara di Tanah Air sangat gemar melakukan apa yang dalam terminologi litigasi dikenal dengan istilah “eksepsi” alias eksepsi terhadap formalitas penyusunan surat gugatan, seolah dengan diterima dan dikabulkannya eksepsi, maka sang Tergugat telah “menangkan” pertarungan hukum di “meja hijau”—sekalipun sejatinya kemenangan “semu” belaka, sebelum kemudian pihak Penggugat kembali mengajukan gugatan yang serupa dikemudian hari tanpa terancam dinyatakan “nebis in idem” oleh Majelis Hakim di pengadilan, dimana sang pengacara tentu saja akan dengan senang hari menerima success fee dan lawyering fee dua kali lipat, jika perlu menang eksepsi berkali-kali agar semakin memakmurkan pundi-pundi kantung saku diri pribadi sang pengacara.
Dari strategi gugat-menggugat, sejatinya bila memang posisi hukum pihak Tergugat lebih terlindungi dari segi yuridis, maka lebih ideal tidak mengajukan eksepsi sama sekali, agar perkara seketika memiliki status hukum “Menyatakan gugatan Penggugat DITOLAK” dan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) alih-alih membuang-buang waktu dan memboroskan energi untuk “menangkis” gugatan lewat eksepsi yang sejatinya pihak Penggugat berhak mengajukan upaya hukum gugatan baru karena gugatan hanya dinyatakan sebagai “tidak dapat diterima” oleh Majelis Hakim.
Salah satu celah masuknya eksepsi yang paling digemari kalangan advokat, ialah perihal “kurang pihak”, yang menurut penulis sangatlah absurd diberlakukan praktik demikian mengingat “kurang pihak Turut Tergugat” pun berpotensi mengakibatkan gugatan dinyatakan “tidak dapat diterima”, tanpa suatu urgensi ataupun kepentingan hukum apapun yang dapat berdampak bagi pihak-pihak yang ditarik sebagai Turut Tergugat.
Siapa sajakah pihak-pihak yang menjadi Turut Tergugat yang harus turut ditarik sebagai para pihak dalam gugatan pun, sangat sumir, bias, serta ambigu pengaturan maupun landasan filosofisnya. Betapa tidak, sebagai contoh, bila Tergugat berdomisili pada sebuah tempat kos atau rumah persewaan, maka apakah sang “ibu kos” atau pemberi sewa rumah pun wajib turut ditarik sebagai pihak Turut Tergugat? Semisal lainnya, terjadi sengketa wanprestasi antara seorang pemasok / distributor dan pihak pelanggannya, maka apakah artinya produsen yang memanufaktur produk-produk yang dipasok oleh sang distributor, ataupun pihak kurir eksepedisi, wajib juga secara formalitas ditarik sebagai pihak Turut Tergugat?
Dalam praktik di ruang peradilan, kerap terjadi “gugatan bombastis”, karena terjadi “inflasi” hukum acara dengan membengkaknya jumlah para pihak yang dijadikan baik sebagai Tergugat maupun Turut Tergugat, sekalipun sejatinya tiada terdapat “hubungan hukum” apapun yang relevan antara pihak Penggugat dan para pihak yang diseret / didudukkan sebagai Tergugat maupun Turut Tergugat. Sekadar membuat gugatan yang fantastis jumlah Tergugat dan Turut Tergugatnya, menjadikan proses gugat-menggugat menjadi demikian berlarut-larut dan tampak kompleks meski sejatinya penuh “omong kosong” dan kesia-siaan, alias pemborosan.
Sebagai contoh, yang kerap terjadi dalam praktik hukum acara perdata di ruang peradilan, ialah dinyatakannya “kurang pihak” karena pihak Penggugat tidak “menyeret” pihak notaris sebagai “Turut Tergugat”. Pertanyaan utama yang penulis ajukan ialah, apakah urgensi dan kepentingan menarik serta pihak notaris sebagai Turut Tergugat dalam suatu gugatan wanprestasi, sebagai contoh, antara dua pihak pebisnis yang saling bersengketa?
Pihak notaris, ketika memberikan jawaban tertulis sebagai Turut Tergugat atas gugatan Penggugat, biasanya hanya berupa satu lembar surat jawaban, yang menyatakan : “Tetap pada keterangan yang tercantum dalam akta yang pernah saya buat”. Memang logis jawaban demikian, dan memang sudah sepatutnya menjawab demikian, tidak kurang dan tidak lebih dari itu. Akta yang dibentuk oleh notaris, bersifat akta otentik, yang artinya memiliki kekuatan pembuktian formil maupun materiil dimana stelsel hukum pembuktian dalam hukum acara perdata memang hanya sebatas pembuktian yang bersifat formil belaka, sehingga barulah menjadi keliru bila sang notaris menjawab lain atau diluar dari apa yang telah tercantum dalam akta yang dibuat olehnya.
Lantas, pertanyaan pamungkas yang hendak penulis kemukakan ialah, yang pastinya juga disadari sepenuhnya oleh kalangan litigator mana pun di Tanah Air sebagai momok yang menyerupai “duri dalam daging” (karena kerap digunakan oleh para litigator tersebut sebagai alat atau sarana eksepsi paling “seksi” ketika mewakili klien yang berstatus sebagai Tergugat, namun disaat bersamaan mengalami kendala serupa karena juga dapat dieksepsi oleh pihak lawan ketika bersidang sebagai kuasa hukum pihak Penggugat), apakah yang menjadi urgensi, kepentingan, serta faedah atau tujuan ditariknya pihak notaris baik sebagai pihak Tergugat maupun Turut Tergugat?
Hukum acara perdata, memang bersifat sebagai hukum prosedur, namun tidak dapat dibenarkan bersifat prosedural tanpa mengakomodasi asas kemanfaatan. Hukum acara, ketika tiada memiliki faedah, tentu akan digugat oleh seorang filsuf bernama Jeremy Bentham dengan teori utilitarianismenya. Karena itu jugalah, penulis mulai memperkenalkan sebuah postulat yang penulis sebut sebagai : Bila rumusan pokok tuntutan dalam surat gugatan (petitum) tidak mewajibkan atau memerintahkan (menghukum) suatu pihak untuk melaksanakannya (petitum jenis condemnatoir), maka suatu pihak tidak wajib ditarik sebagai pihak Tergugat maupun sebagai pihak Turut Tergugat.
Jika perlu, istilah “Turut Tergugat” dihapus sepenuhnya dari kamus hukum acara perdata kita di Indonesia, dan mendahulukan “asas kemanfaatan” dengan mengutarakan pertanyaan falsafah : Apa yang menjadi faedahnya, dengan menarik atau untuk tidak menarik suatu pihak sebagai pihak Turut Tergugat? Turut digugat sebagai “Turut Tergugat” hanya sebagai penonton, pajangan, serta sebagai figuran belaka? Betapa “genit”-nya gugatan “manja” semacam itu, terutama bila sang hakim pemeriksa perkara sama “genit”-nya.
Sebagai contoh, betapa hukum acara perdata kita yang demikian prosedural kerap dimanfaatkan dengan baik (jika tidak dapat disebut sebagai telah dan kerap disalah-gunakan) oleh berbagai kalangan perbankan di Tanah Air, ketika melakukan lelang eksekusi terhadap agunan baik berupa benda bergerak (objek kredit Fidusia) maupun benda tidak bergerak (seperti objek hak atas tanah yang diikat Hak Tanggungan), dan ketika telah terdapat pemenang lelang selaku pembeli, maka identitas seperti nama dan domisili sang pembeli akan dirahasiakan serapat-rapatnya, yang menjadikan pihak debitor ataupun pemilik agunan “tersandera” akibat status dan identitas pemenang lelang menjadi “gelap” tanpa petunjuk apapun untuk dapat ditarik sebagai pihak Turut Tergugat.
Mengapa juga untuk dapat menggugat, pihak Penggugat wajib menyewa jasa seorang detektif atau terpaksa menyuap pejabat kelurahan setempat ataupun Kantor Lelang Negara untuk membuka data rahasia privasi seseorang warga lainnya? itu sama artinya memaksa serta mendorong pihak Penggugat untuk melanggar hukum dan menjadi “penjahat” guna menuntut keadilan di ruang peradilan perkara perdata.
Sementara itu, sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Kamar Pleno Mahkamah Agung RI terutama pada khususnya Hakim Agung Kamar Perdata telah merumuskan kaedah hukum bahwasannya pembeli yang beritikad baik (terutama pembeli objek barang lelang eksekusi di Kantor Lelang Negara), tidak dapat diganggu-gugat hak kepemilikannya atas objek lelang yang telah dibeli olehnya, dimana “pihak yang paling berhak” hanya dapat menggugat “penjual yang tidak berhak untuk menjual”, dalam bentuk ganti-rugi berupa uang kepada pihak tersebut (pemohon lelang eksekusi), bukan pembatalan sertifikat hak atas tanah atas nama pembeli lelang.
Bila telah terdapat kaedah normatif hukum demikian, maka apakah lagi yang menjadi urgensi serta kepentingan hukum untuk menarik pihak pembeli objek lelang eksekusi sebagai pihak Tergugat maupun pihak Turut Tergugat? Bila rumusan petitum gugatan tidak mencantumkan satu pun butir “condemnatoir” terhadap sang pembeli lelang, maka untuk apa juga menarik pihak notaris pembuat Akta Kredit maupun pihak pembeli lelang ataupun pihak Kantor Lelang Negara sebagai pihak Turut Tergugat selain hanya membuat rumit dan memboros sumber daya waktu maupun energi belaka dalam proses gugat-menggugat?
Sama halnya, secara analogi, ketika kita hendak menggugat suatu entitas hukum berupa badan hukum (rechts persoon) bernama Perseroan Terbatas, tidak penting siapakah pejabat direksi yang saat kini menjabat sebagai Direktur Utama, mengingat pengurus perseroan dapat silih-berganti. Menggugat sebuah badan hukum Perseroan Terbatas, cukup kita jadikan nama badan hukum tersebut sebagai nama pihak Tergugat serta alamat kantor perseroan dimaksud sebagai domisili pihak Tergugat—sebatas itu saja, tanpa perlu mencantumkan siapakah nama direksi badan hukum perseroan bersangkutan dalam surat gugatan. Perihal siapakah yang nantinya akan tampil mewakili pihak Tergugat sebagai direksi dari perseroan, tidak menjadi penting serta bukan urusan pihak Penggugat.
Logika serta paragidma berpikir pragmatis demikian, khusus dalam konteks menggugat entitas hukum berupa badan hukum, telah “on the track” di ruang peradilan kita—mengingat hukum acara perdata peninggalan Kolonial Belanda kita tersebut, saat zaman penjajahan Belanda belum dikenal istilah badan hukum seperti Perseroan Terbatas, justru lebih dan telah menganut “asas kemanfaatan” dalam proses litigasi perdata. Menggugat subjek hukum perorangan yang diatur dalam hukum acara perdata, sebaliknya kontras dengan menggugat sebuah Perseroan Terbatas, mengapa menjadi demikian prosedural serta rumit serta “boros”?
Namun, standar tersebut tampaknya bersifat “ber-standar ganda” ketika kita bersengketa dalam ranah subjek hukum orang-perorangan (natuurlijk persoon), semisal dalam sengketa kepemilikan hak atas tanah, ketika pihak Tergugat ternyata telah meninggal dunia, maka hukum acara perdata dan praktik peradilan kita demikian sarat prosedural dengan mewajibkan pihak Penggugat untuk menarik seluruh ahli waris dari pihak Tergugat untuk dijadikan sebagai pengganti identitas pihak Tergugat.
Kesukaran tersendiri bagi pihak Penggugat untuk mencari serta menemukan data-data rahasia privasi seseorang warga seperti nama-nama lengkap ahli waris pihak Tergugat maupun tempat tinggalnya, yang tertutup informasi non-publik demikian bagi Penggugat yang merupakan seorang sipil. Padahal, ketika kita mengadopsi cara berpikir yang sama dalam konstruksi menggugat suatu badan hukum Perseroan Terbatas, maka bukanlah urusan pihak Penggugat siapa yang akan tampil sebagai wakil atau mewakili sang badan hukum Perseroan Terbatas.
Sama halnya betapa diskriminatifnya hukum acara kepailitan kita yang mewajibkan pihak pemohon pailit menyebutkan setidaknya satu pihak kreditor lainnya dari sang debitor, dimana seseorang kreditor yang hendak mengajukan pailit terhadap seorang debitornya, kesukaran mendapatkan data perihal siapakah kreditor lainnya yang dimiliki oleh sang debitor yang hendak dipailitkan. Berbeda dengan bila pemohon pailit ialah berupa badan hukum berupa lembaga pembiayaan maupun lembaga keuangan, cukup semudah mengakses sistem informasi yang disediakan oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka terbuka selebar-lebarnya informasi keuangan milik sang debitor dan mengetahui siapa sajakah kreditor lainnya dari sang debitor. Itulah gambaran, sekadar mengilustrasikan, bahwa terdapat kesenjangan berupa diskriminasi hukum acara kita terhadap perlakuan bagi seorang penggugat atau pemohon orang-perorangan dan perlakuan bagi suatu penggugat yang berlatar-belakang suatu badan hukum perseroan.
Untuk itulah, sudah saatnya hukum acara perdata kita direvisi dengan cukup menjadikan pihak almarhum sebagai pihak Tergugat, dan siapa nantinya para ahli waris yang akan tampil ke hadapan persidangan mewakili almarhum sebagai ahli warisnya, bukanlah urusan pihak Penggugat untuk dipusingkan, karena yang memang sejatinya terlibat sengketa bisnis wanprestasi ialah antara pihak Penggugat dan pihak almarhum selaku Tergugat selama masih hidupnya, sehingga perikatan yuridis maupun perikatan morilnya terjadi diantara kedua belah pihak yang mana siapa sajakah ahli waris dari sang almarhum bukanlah urusan atau untuk dipusingkan oleh pihak Penggugat.
Kaum atau kalangan pengacara di Tanah Air hendaknya tidak bersenang hati dan bergembira terlebih dahulu dengan kelemahan serta keanehan Hukum Acara Perdata kita ini, karena kerap memenangkan eksepsi dengan cara-cara demikian semudah menyatakan gugatan “kurang pihak”. Karena, sebagaimana kata pepatah, “yang hidup dari pedang akan mati karena pedang”, yang bila kita adopsi maknanya dapat kita analogikan juga sebagai : “Yang hidup dari eksepsi akan mati karena eksepsi”.
Sang pengacara mungkin lupa, bahwa dirinya pun memiliki klien-klien yang berkedudukan sebagai pihak Penggugat, dan akan menemukan lawan yang menggunakan strategi yang sama, yakni meng-eksepsi surat gugatan sang pengacara, semudah menyatakan surat gugatannya cacat formil karena “kurang pihak”. Dari eksaminasi yang penulis lakukan terhadap berbagai putusan peradilan di Indonesia, terbilang tidak sedikit jumlahnya korban-korban yang berjatuhan akibat formalitas surat gugatan dinyatakan “kurang pihak” oleh Majelis Hakim. Kalangan litigator maupun masyarakat umum yang hendak mengajukan gugatan tanpa kuasa hukum, lebih banyak diletihkan oleh aspek urusan formalitas yang sejatinya tidak perlu diharuskan proseduralnya.
Untuk apakah ditarik sebagai Turut Tergugat, bila hanya diposisikan sebagai penonton di ruang persidangan, sebagai pajangan, atau sekadar sebagai “penggembira” belaka? Hukum “purba” bernama Hukum Acara Perdata kita sudah saatnya dijadikan pajangan di museum sebagai bagian dari sejarah purbakala berdampingan dengan tulang-belulang dinosaurus purbakala, bukan terus dilestarikan hingga detik ini, seolah belum cukup banyak korban-korban serupa yang terus bergelimpangan, suatu pemborosan sumber daya. Peradilan semestinya mengadili secara adil, bukan menjadi ajang penghakiman terkait prosedural yang sejatinya hanya mengulur-ngulur waktu yang memboroskan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.