Uang Bukan Sumber Kejahatan, Namun Kekurangan Uang Membuat Kita Rentan / Berpotensi Laten Menjadi Korban Kejahatan

ARTIKEL HUKUM
Apakah uang adalah sumber kejahatan? Bila Robert T. Kiyosaki menceritakan bahwa ayah kandungnya yang bergelar “Phd.” mengatakan bahwa “uang adalah sumber kejahatan” karenanya sang ayah hidup dalam jebakan kemiskinan, sebaliknya ayah angkatnya yang milioner justru mengatakan bahwa “kekurangan uang adalah sumber kejahatan”, sekalipun sudah lama sebelumnya Sang Buddha menjelaskan bahwa bukanlah persoalan uang ataupun kekurangan uang yang menjadi sumber / akar kejahatan, namun adalah keserakahan akar penyakitnya, karena seringkali orang-orang melakukan kejahatan bukan dikarenakan kekurangan uang, bahkan tidak jarang masih juga merampok hak-hak dan merugikan orang-orang yang lebih miskin dari para pelakunya akibat keserakahan. Sudah banyak terbukti dan dapat kita saksikan sendiri di Indonesia, semakin besar kejayaan kalangan “pengusaha ilegal”, semakin serakah dirinya menjadi dan semakin pula dirinya mengorbankan kepentingan warga lainnya yang tidak seberuntung hidup sang pelaku.
Meski demikian, dalam perspektif ilmu viktimologi, orang-orang yang kerap menjadi korban akan tetap berpotensi serta akan selalu menjadi korban “tiada daya” justru akibat kelemahan faktor ekonomi alias “kekurangan uang” sebagai pencetus potensi / kerentanan menjadi korban perilaku ilegal warga lainnya. itulah sebabnya, para penjahat kerap menjadikan sasaran “mangsa empuk” korban-korbannya yang berlatar-belakang ekonomi lebih lemah dari sang pelaku, ibarat seorang preman pemeras dan perampok yang akan memilih calon korban yang lebih lemah dari segi kekuatan fisik maupun jumlah.
Sebaliknya, faktor berdaya secara ekonomi, cenderung menjadikan seseorang lebih resisten dari potensi dijadikan sebagai korban kejahatan—namun disaat bersamaan lebih cenderung tergoda untuk menyalah-gunakan kekuatan faktor ekonomi yang dimiliki olehnya sehingga berangsur-angsur menjadi pelaku perbuatan ilegal alih-alih menjadi korbannya. Mengapa orang-orang yang berlatar-belakang ekonomi kuat, resisten menjadi “korban”? Karena dirinya akan menyerupai sebuah istana megah dengan benteng yang kuat, sehingga pertahannya berupa kekuatan ekonomi membuatnya jauh dari jangkuan para penjahat, kecuali dari sentuhan penjahat yang sama kuat kondisi ekonominya.
Sebagai contoh, seseorang yang mampu secara ekonomi akan menyewa petugas keamanan untuk menjaga kediaman rumahnya dari potensi aksi pencurian, perampokan, penganiayaan, premanisme, dan aksi-aksi ilegal maupun kejahatan lainnya. Sebaliknya, warga dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah, tidak pernah terpikirkan untuk mengalokasikan dana guna mempekerjakan petugas keamanan semacam itu yang hanya menjadi kemewahan bagi kalangan atas.
Betul bahwa praktik di kepolisian, kejaksaan, maupun peradilan kita, penuh oleh aksi-aksi kolusi. Namun, jangankan berbicara berhadapan dengan aksi-aksi kolusi pihak lawan, orang-orang dari kalangan tidak mampu sangat jarang terpikirkan untuk memilihkan opsi seperti menggugat, bahkan orang-orang dari latar-belakang ekonomi kuat yang justru “mempermainkan” lawannya yang lebih lemah dengan cara direpotkan oleh aksi gugatan yang merepotkan lawannya yang tidak mampu menyewa pengacara, dimana bila sang warga berekonomi lemah tidak hadir di persidangan untuk membantah, maka akan dianggap melepaskan haknya untuk membantah dan kemungkinan besar gugatan akan diterima dan dikabulkan oleh sumir oleh peradilan—dimana bila sebaliknya, mencoba membantah dalil-dalil gugatan serampangan demikian, sama artinya harus berpuasa “tidak makan” karena “absen” masuk kerja, “no work no paid”.
Sebaliknya, mampu dan berdaya secara ekonomi, memberikan lebih banyak opsi pilihan bagi dirinya untuk melakukan upaya perlindungan diri maupun perlawanan secara penuh daya dan merasa penuh daya tanpa pernah merasa tersudutkan. Sebagai contoh, pihak lawan menyuap hakim pemeriksa dan pemutus perkara di Pengadilan Negeri, namun karena Anda juga tidak kalah mampu secara ekonomi, Anda pun pada akhirnya terpaksa harus “meladeni” pemerasan (kolusi, alias penyalah-gunaan kekuasaan dan kewenangan) oleh sang hakim dengan memberikan sejumlah dana “gratifikasi” yang jauh lebih besar dari pihak lawannya, semata agar keadilan dapat benar-benar ditegakkan sekalipun “mahal harganya”. Segala sesuatu membutuhkan “modal”, bahkan untuk bisa menghadirkan keadilan—kecuali bila kita lebih mengandalkan Hukum Karma, yang ideal adilnya namun buruk perihal waktu berbuahnya.
Sebagai contoh, korban-korban aksi penganiayaan maupun aksi tindak pidana asusila, justru ketika mereka hendak melaporkan kejadian penganiayaan ataupun perbuatan pelecehan seksuil yang dialami olehnya, pihak kepolisian justru memeras korban pelapor dengan hanya memberikan surat rujukan ke rumah sakit tertentu yang ditunjuk oleh sang penyidik, guna di-visum, dengan biaya yang sangat tinggi, dimana tentunya sudah ada “kerja sama kongkalikong” antara pihak rumah sakit dan pihak kepolisian yang membuat rujukan.
Jangan Anda pikir bahwa negara menanggung biaya visum yang dilakukan oleh korban pelapor, dimana besar nominalnya dapat mencapai seminggu biaya hidup korban pelapor. Karenanya, keadilan serasa jauh tidak terjangkau bagi orang-orang berekonomi lemah. Lagi dan lagi, kekurangan uang menjadi faktor rentannya menjadi korban kejahatan maupun modus-modus perbuatan ilegal lainnya. Tidak mengherannya, terdapat sindiran bahwa orang-orang miskin hanya dapat “gigit jari” dan menjadi penonton belaka, keadilan yang tidak tersentuh, dan hukum yang tidak terjangkau oleh jangkauan tangan.
Hukum tumpul ke atas, dan tajam ke bawah. Sebetulnya sinisme demikian tidaklah tepat, sebagaimana telah kita gambarkan bersama sebelumnya di atas, bahwa hukum tidak tajam ke bawah dan tidak juga tumpul ke atas, hanya saja keadilan dan penegakan hukum butuh “modal” tersendiri. Kita tidaklah perlu memaksakan kondisi ideal, terlebih Bangsa Indonesia belum cukup beradab, sehingga langkah terbaik ialah kita bersikap realistis, bahwa penegakan hukum di Indonesia membutuhkan sejumlah “modal” yang harus direlakan oleh pihak korban yang menuntut keadilan konteks hukum negara. Korban-korban yang berlatar-belakang ekonomi mampu, tidak pernah mengatakan bahwa hukum bersifat “tebang pilih”. Mengapa? Karena sang korban yang kuat secara ekonomi dapat memberikan kapak yang lebih tajam dan lebih efektif untuk “menebang”, sehingga membuat aparatur penegak hukum termotivasi bekerja menegakkan hukum (perhatikan makna implisit dari apa yang penulis uraikan, ketimbang makna harafiahnya).
Sebagai contoh lainnya, seseorang bisa saja menjadi korban penganiayaan dan pengeroyokan, semata karena dirinya rentan akibat hanya berdiri seorang diri menghadapi segerombolan pengusaha ilegal yang mengalih-fungsikan wilayah pemukiman sebagai tempat usaha berskala besar yang menyerupai preman “berduit” dengan belasan anak buah yang lebih pandai meneror serta menganiaya warga setempat ketimbang berbisnis. Maka, korban yang hanya mampu menggaji “dirinya sendiri” untuk menghadapi preman-preman demikian, berpotensi akan menjadi korban “bulan-bulanan” (pengeroyokan). Sebaliknya, bila sang warga mampu dan kuat secara ekonomi, tiada salahnya membayar warga setempat yang juga sama-sama merasa terganggu, untuk melakukan perlawanan sengit terhadap sang pengusaha ilegal, sekalipun seluruh pegawai “preman”-nya turun tangan.
Coba perhatikan, secara sosiologis, siapa yang berani mengganggu kalangan “bos” dengan ratusan anak buahnya? Anda ganggu dirinya, ratusan anak buahnya yang akan turun tangan, bukan sang “bos” itu sendiri yang perlu merepotkan dirinya. Karenanya, seorang “bos” dengan ratusan atau bahkan ribuan anak buah, selalu aman dari aksi premanisme manapun. Itulah yang dimaksud dengan orang-orang “borjuis” resisten dari aksi-aksi premanisme karena dirinya memiliki pasukan yang selalu siap menjadi “benteng manusia” dan turun tangan melindungi. Sebaliknya, orang-orang tidak berpunya hanya dapat mengandalkan dirinya sendiri saja (solo fighter), apapun ancaman dari luar yang ia hadapi.
Contoh lainnya, ketika warga membuat aduan ataupun komplain kepada instansi pemerintah agar melakukan penindakan terhadap seorang pelanggar, agar aturan hukum ditegakkan sebagaimana semestinya (alias memohon agar terlapor “ditertibkan” serta “dibuat agar patuh terhadap hukum”), namun tanpa “uang pelicin”, maka dapat dipastikan aduan ataupun laporan hanya membuang-buang waktu warga pelapor.
Contoh realitanya, bila Anda hanya membayar sejumlah biaya resmi eksekusi pengosongan di pengadilan, maka dapat dipastikan Anda akan mendapat “cibiran” dari pejabat di pengadilan alih-alih dilayani sebagaimana mestinya. Mereka yang pernah berurusan dengan birokrasi dan pelayanan publik di Kantor Pertanahan, tahu belum fakta realita ini, bahwa permohonan terkait sertifikat tanah yang diajukan bisa sewaktu-waktu “lenyap” tanpa jejak bila tidak disertai “uang pelicin” yang mendampingi proses pengajuan permohonan pelayanan publik.
Semakin besar “pelicin” diberikan, maka semakin lancar prosesnya berjalan, sekalipun sang pemohon eksekusi merupakan warga yang lebih berhak untuk menempati dan sekalipun penghunian oleh pihak tereksekusi bersifat penghunian ilegal. Sang pemohon, sekadar hanya memohon haknya kepada pengadilan, karena dilarang oleh hukum untuk “main hakim sendiri” dengan menyewa “preman-preman berotot”, namun tetap saja hak baru akan diberikan dan diakomodir oleh lembaga semacam pengadilan, bila pemohon “mampu secara ekonomi”.
Contoh lainnya, seorang terdakwa berlatar-belakang ekonomi tidak mampu, hanya pasrah disuguhkan pengacara “tanpa bayaran” (yang maka jangan mengharap “selamat”) untuk mendampinginya selama proses persidangan. Sebaliknya, terdakwa berlatar-belakang ekonomi kuat, akan membuat berbagai ulah, mulai dari mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi RI, mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri, hingga berbagai aksi upaya hukum dan “menyetir” opini publik lewat pemberitaan yang diekspos secara massal, sehingga segala sesuatunya dapat dikondisikan demi kemenangan sang klien yang mampu membayar seluruh proses yang “mahal” demikian—terlepas apakah sang terdakwa benar adalah bersalah ataupun tidaknya, namun secara eksplisit pesan ini memberi kita kesan yang kuat, bahwa keadilan dan kebenaran terkadang (bahkan kerapkali) memang membutuhkan banyak “modal”.
Sebagai contoh praktik-teknis lainnya, untuk membuktikan seseorang telah melakukan aksi kejahatan kepada kita, maka pihak penyidik di kepolisian akan bertanya, adakah dan apakah buktinya? Bila kita berlatar-belakang ekonomi mampu, besar kemungkinan kediaman kita dipasang alat perekam video semacam CCVT (close circuit television) yang mampu mendeteksi, menangkap, dan merekam aktivitas di luar dan di dalam rumah secara 24 jam dan sehari dan 7 hari dalam seminggu, bahkan kini telah hadir CCTV dengan teknologi high definition.
Begitupula agar dapat meyakinkan pihak lain agar bersedia hadir sebagai saksi guna memberikan kesaksian, kesemua itu membutuhkan “modal” yang “cukup merogoh kocek”, yang mana rasanya berat bagi kalangan yang “untuk makan pun sudah berat”. Di sini kita dapat menyaksikan, betapa untuk menghadirkan bukti dan untuk dapat membuktikan kebenaran saja, kita selalu butuh “modal” yang tidak pernah sedikit jumlahnya. Disini pula, kita akan mulai menyadari, bahwa kekurangan uang ialah sumber bencana kedua setelah menjadi korban perilaku ilegal warga lainnya.
Sekali lagi, tanpa bosan-bosannya untuk penulis ingatkan kembali untuk dapat membalik kondisi paradigma awal kita mengenai “uang apakah sumber kejahatan”, bahwasannya dan sejatinya kebenaran membutuhkan “modal”. Itulah dunia realitas, bukan dunia idealisme, dimana Indonesia masih jauh dari kata “ideal” (bila tidak dapat kita sebut masih “biadab”, belum benar-benar beradab sekalipun Bangsa Indonesia mengklaim dan berbangga diri sebagai bangsa “agamais”, yang di mata pribadi penulis lebih seperti menyerupai “berpesta dalam kemunafikan secara massal”, dimana “semua sudah sama-sama tahu”).
Katakanlah, Anda benar-benar penuh perhatian terhadap warga di tempat Anda, dan Anda tergerak berdasarkan kesadaran pribadi untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen agar tidak diisi oleh para “politikus busuk pemakan uang rakyat”. Namun, tetap saja, niat baik Anda hanya akan sekadar menjadi niat baik tanpa akan pernah terwujud bila Anda atau partai politik pengusung Anda tidak memiliki “modal” untuk memodali pencalonan Anda. Bahkan, untuk tampil di depan publik dengan gigi putih mengilap pun Anda butuh modal berupa sikat gigi dan pasta gigi, bukankah demikian? Anda tidak akan bisa tampil dengan hanya sekadar bermodalkan “kaos oblong” dan kepercayaan diri ataupun niat baik belaka.
Andaikanlah negara kita memang memiliki niat baik untuk memasukkan ke dalam sel-sel tahanan para manusia “berandal” (sampah dan penyakit masyarakat) yang kerap mengganggu warga, agar warga dapat hidup tenang tanpa gangguan. Namun, apa daya, mengelola dan membangun penjara (istilah halusnya, “lembaga pemasyarakatan”, Lapas), negara membutuhkan “modal”. Tanpa permodalan yang memadai, akibatnya seperti yang terjadi sekarang ini di Indonesia, fenomena “obral remisi”, fenomena “obral restorative justice”, dan konsep-konsep lain yang pada esensinya hendak men-de-penalisasi berbagai ketentuan hukum pemidanaan agar negara kita tampak lebih beradab dengan sepinya penghuni “hotel prodeo” agar dianggap sebagai bangsa beradab (sekalipun semu sifatnya karena sekadar menutupi “borok”).
Andai kata Anda betul-betul mengasihi dan mencintai pasangan Anda, tetap saja, tiada “pendekatan” (PDKT) tanpa “modal”, termasuk permodalan untuk membelikan bunga mawah, membelikan “buah tangan” bagi calon mertua, resepsi pernikahan, modal untuk memberi nafkah lahiriah, serta modal untuk membangun rumah-tangga hingga membiayai sekolah anak. Cinta mungkin cinta, namun perut tetap dapat merasakan lapar. Cinta adalah cinta, perut lapar adalah perut yang lapar, tidak bisa diisi oleh sekadar “cinta”. Tiada idealisme ketika perut merasakan lapar minta diberikan makan, bukankah itu sangat rasional? Memang itulah idealnya, tiada idealisme lain yang lebih ideal. Namun mengapa juga, bahasan kita menyimpang ke topik ini? Mari kita kembali ke topik semula.
Biaya operasional Komisi Pemberantasan Korupsi, terbilang sangat tinggi. Namun, niat baik negara untuk memberantas korupsi, ternyata tetap saja butuh “modal”, bahkan modal yang tidak sedikit karena investasi sumber daya manusia serta investasi terhadap alat-alat canggih operasional para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Korupsi itu buruk, namun tetap saja, butuh “modal” untuk memberantas korupsi. Kita tidak bisa semudah berkata “berantas korupsi” maka seolah korupsi telah bersih tuntas dari republik ini.
Pernah disebutkan, pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi masih jauh dari kata kecukupan jumlah personilnya, dimana bila jumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi cukup memadai, maka dalam satu hari dapat terjadi satu OTT, “operasi tangkap tangan”. Bila negara tidak mendirikan dan mengidupi Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbiaya tinggi ini, maka dapat dipastikan akan terjadi, menjadikan rakyat banyak sebagai korban aksi-aksi korupsi para penyelenggara negara yang bahkan masih juga merampok hak orang-orang yang lebih miskin daripada mereka (keserakahan).
Bila ingin hidup damai, maka bersiaplah untuk berperang (Si vis pacem, para bellum), begitulah semboyan yang sering dikumandangkan oleh pengamat dan penggiat keamanan geopolitik global. Maka, kita tidak dapat sekadar mengandalkan fakta bahwa Indonesia telah menjadi anggota PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), tidak dapat pula kita sekadar mengumandangkan diri kita sebagai negara “cinta damai”, terlebih sekadar menjadi negara “anak manis” yang tidak bermain-main dengan senjata canggih seperti rudal balisik dan pesawat tempur pengebom yang berbiaya mahal (bukan “mainan” yang murah).
Kalangan perbankan demi melindungi keamanan data dan dana milik nasabahnya, menginvestasikan sejumlah besar modal untuk membangun infrastruktur IT yang mumpuni dan canggih. Apa jadinya bila kita memercayakan dana kita pada perbankan yang tidak “bermodal” sekadar untuk membangun keamanan berlapis bagi data-data dan arus lalu-lintas data milik nasabahnya? Bila kita menghendaki dan mengharapkan aman, maka kita perlu mengeluarkan sejumlah “modal”, agar tidak menjadi korban “cyber crime”.
Karenanya, adalah ironis bila untuk hal-hal kuratif seperti mengobati kesehatan, justru terkesan negara yang “menanggungnya” dan warga selaku pasien dibebaskan dari segala beban biaya kesehatan selama berobat. Sementara itu kita ketahui bersama, untuk membangun gaya hidup sehat dan preventif dari penyakit, justru dibutuhkan “modal” tidak sedikit untuk membeli makanan bergizi, suplemen, hingga kecukupan “4 sehat 5 sempurna”. Mengapa seolah-olah, hidup kuratif lebih “tidak butuh modal” ketimbang preventif yang justru “padat modal” dan ditanggung sendiri oleh kita selaku warga? Itulah ironinya, namun itulah juga faktanya yang terjadi hingga detik ini.
Dari contoh-contoh sederhana tersebut di atas saja, kita mulai memahami secara lebih realistis, bahwa bahkan keadilan membutuhkan “modal” agar dapat diberikan oleh negara dan direalisasikan secara nyata sebagaimana mestinya. Ternyata, penegakan hukum membutuhkan modal. Ternyata, agar dilindungi oleh hukum, dibutuhkan modal. Ternyata, agar diberikan hak-hak kita, juga membutuhkan sejumlah modal yang tidak sedikit.
Bahkan, untuk mengetahui aturan hukum negara yang mengatur kita pun, kita membutuhkan modal seperti untuk membaca buku ilmu hukum, biaya akses internet dan perangkat digital, dan sebagainya. Akhir kata, kembali pada postulat awal yang telah kita bahas bersama, kekurangan uang (lack of money) adalah pintu masuk kejahatan yang membuat kita rentan sebagai korban kejahatan.
Itulah ilustrasi-ilustrasi sederhana sebagai motivasi yang dapat penulis bagikan bagi para pembaca ulasan singkat ini, agar dapat mengubah paradigma sebelumnya tentang fungsi dan karakteristik “uang”. Jadikan “uang” sebagai hal positif guna membentengi dan melindungi hidup dan orang-orang yang Anda kasihi, bukan sebagai hal buruk yang dapat mencelakai diri Anda. Sebaliknya, jadikan “uang” sebagai sumber keselamatan dan perlindungan diri Anda dari tangan-tangan “jahil” milik orang-orang yang belum tentu beritikad baik terhadap kita. Bila kita mendambakan hidup damai, maka bersiap-siaplah untuk banyak uang, si vis pacem para bellum (untuk siap berperang sekalipun, kita butuh sejumlah dana yang tidak sedikit jumlahnya). Apakah ulasan ini dimaksudkan sebagai dagelan? Sama sekali tidak, karena justru sangat rasional. Kita tidak hidup dalam dunia dongeng, kita hidup dalam dunia nyata.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.