Uang Anda Bukanlah Segalanya, Itulah Pesan dari Virus Corona

ARTIKEL HUKUM
Penulis hendak membahas sebuah isu yang cukup sensitif, mengapa seolah saat menangani wabah pandemik Virus Corona COVID-19 yang turut menjangkiti teritori dan kedaulatan Republik Indonesia, seolah pemerintah bersikap lebih reaktif daripada menangani ancaman kematian laten akibat penyakit katastrofik seperti kanker, jantung, dan segala penyakit yang bersumber dari konsumsi produk bakaran tembakau, dimana jumlah kematian akibat produk bakaran tembakau setiap tahunnya berjatuhan jauh lebih masif ketimbang ancaman Virus Corona serta jauh lebih berbiaya tinggi.
Saat ulasan ini disusun, tanggal 26 Maret 2020, Indonesia sedang memetik “paket hadiah” kiriman dari Tuhan (mungkin juga “azab”, tanpa bermaksud untuk “sok tahu” tentang isi pikiran Tuhan, namun sekadar meminjam istilah / kutukan yang pernah penulis dengar beberapa waktu lampau), Virus Corona yang menjangkiti rakyat Indonesia dan merusak struktur tatanan ekonomi yang telah relatif mapan, kutukan dari Bangsa Indonesia terhadap Bangsa China yang ternyata berbuntut “bumerang” bagi Bangsa Indonesia itu sendiri.
Sebaliknya, pemerintahan China dianggap sukses menangani wabah Corona Virus dan membuktikan pada dunia sebagai negara adidaya serta betapa ekonomi dunia sangat bergantung pada eksistensi dan keselamatan China. Singkat kata, “mengutuk” Negeri Tiongkok sama artinya mengutuk diri sendiri, sebagaimana terbukti pada realita, setidaknya saat ulasan ini disusun. Dengan kata lain, China kini telah diakui terbukti sebagai negara paling penting di dunia dan paling berusaha secara proaktif dan nyata melindungi rakyatnya (itulah yang paling terpenting). Ibarat anak “durhaka”, rakyat Indonesia seolah tidak mampu berterima-kasih atas berbagai geliat ekonomi warganya yang selama ini didukung oleh segala pasokan bahan baku maupun produk impor dari China yang berkualitas namun dengan harga jual yang terjangkau oleh konsumen maupun oleh pedagang di Indonesia.
Terdapat beberapa faktor yang akan kita kupas, mengapa pejabat negara di Indonesia demikian reaktif ketika Virus Corona benar-benar menjangkiti republik ini. Faktor pertama, ialah ketakutan kalangan pemilik kekuatan ekonomi seperti kaum “borjuis” maupun kaum pemodal kuat dan pemilik kekayaan ekonomi yang menguasai sebagaian besar uang yang beredar di pasaran maupun tabungan di perbankan, dimana sekalipun mempunyai uang dan sanggup membayar namun ternyata tiada produk yang tersedia untuk dibeli. Pernah terjadi saat ulasan ini disusun, masyarakat digemparkan akibat kelangkaan masker penutup mulut dan hidung maupun “hand sanitiser” untuk mencegah penularan Virus Corona, dimana selain harganya yang melambung tinggi, pasokan masker kesehatan tersebut langka di pasaran maupun di “pasar gelap”.
Akibatnya, terjadi kepanikan masyarakat, dimana bahkan instalasi medis kekurangan suplai Alat Pelindung Diri (APD) yang ironisnya kemudian justru diimpor dari China yang cukup berbaik hati bersedia menjualnya kepada Indonesia sekalipun China juga sedang membutuhkannya serta sekalipun Indonesia pernah “mengutuk” China yang sedang berjuang melawan wabah menyerang tiba-tiba secara mendadak pada awal tahun 2020.
Itulah, ketika PUNYA UANG DAN SANGGUP MEMBAYAR SEKALIPUN, PRODUKNYA TIDAK ADA DI PASARAN UNTUK DAPAT DIBELI. Itulah ketakutan paling utama kalangan “borju”, dimana seluruh harta yang dimiliki olehnya menjadi tidak bermakna dan tidak lagi berarti. Lembaran uang, menjadi sangat menyerupai “uang mayat” yang dibakar untuk mengantar kepergian almarhum, sama sekali tidak memiliki nilai ketika menghadapi Virus Corona.
Di mata kaum berpunya, harta adalah segalanya, sehingga dikumpulkan sedemikian rupa sekalipun dengan cara merampok hak-hak serta mencuri nasi dari orang-orang yang bahkan lebih miskin dari mereka, dengan asumsi bahwa “segalanya di dunia ini dapat dibeli dengan uang” (termasuk untuk urusan percintaan, yang sedikit banyak ada benarnya karena cinta menjadi tanpa daya bila perut sang istri / suami menjadi kelaparan). Namun, ketika memiliki uang sebanyak apapun ternyata dirinya tetap tidak dapat menemukan untuk dapat membeli sehelai pun masker penutup hidung dan mulut, itulah MIMPI BURUK kaum “borju”.
Faktor kedua, Virus Corona ialah “musuh tidak terlihat”, karenanya mampu membayar puluhan ataupun ratusan “tukang pukul” sebagai bodyguard pribadi, memiliki ribuan anggota pengikut gerakan massa ataupun pimpinan partai politik yang mampu memobilisasi massa “bayaran”, tidak terkecuali “bos” dengan ribuan anak-buah dan karyawan yang siap disuruh dan diberi perintah untuk menganiaya orang lain, tidak mampu benar-benar membentengi diri dari “musuh tidak terlihat” ini.
Faktor ketiga, Virus Corona tidak dapat “disuap” dan tidak suka “uang” milik para koruptor maupun para “borju”. Selama ini para elit politik berpikir, deal-deal politik menjadi kunci sukses melanggengkan kekuasaan dan sekaligus melindungi praktik korupsi “berjemaah” yang dilakoni olehnya. Semuanya menjadi serba “lancar” serta “aman” bilamana terdapat uang “tutup mulut” maupun uang “pelicin”. Seolah, dunia ini telah berada dalam genggaman tangan sang pengusaha dan pemodal kuat. Ternyata, para borju dan politikus tersebut tidak berdaya menghadapi makhluk sekecil virus bernama Corona.
Namun juga, ketika serangan Virus Corona melanda tanpa ampun, sebesar apapun tawaran uang disodorkan oleh sang “borju”, Virus Corona tidak menunjukkan minatnya terhadap selembar pun uang yang ditawarkan oleh sang “borju”. Virus Corona bukanlah kebal terhadap “hand sanitiser”, namun ternyata sangat kebal terhadap “uang”—ironi satiris, berkebalikan dengan manusia yang cenderung bermental “korup”, sekalipun konon virus adalah makhluk yang paling rendah tingkat evolusinya, namun ternyata virus lebih “tidak serakah harta” ketimbang manusia-manusia yang diserakahkan serta digelapkan matanya oleh harta dan uang. Memang, Virus Corona rendah dalam tataran evolusi, namun ternyata perihal sifat “beradab”, rata-rata umat manusia jauh dibawah tingkat “keberadaban” Virus Corona (setidaknya pada satu sisi dan sudut pandang).
Faktor keempat, Virus Corona ternyata tidak kebal terhadap beberapa obat kimiawi yang dapat menekan perkembangan-biakan replikasi RNA sang virus di dalam sel tubuh inangnya, namun Virus Corona kebal terhadap manusia-manusia “agamais / ber-Tuhan”. Sayangnya, dalam Buddhistik, segala sesuatu bersumber dari Hukum Karma, karenanya dalam perspektif Buddhisme, tiada kaitan antara Virus Corona dan Tuhan. Yang menjadi tempat berlindung dan perlindangan yang paling dapat kita andalkan ialah, menanam Karma Baik sepanjang hidup kita, dan menghindari perbuatan-perbuatan buruk agar tidak memetik Karma Buruk yang bisa saja berupa serangan virus apapun atau petaka dan bencana lainnya seperti penyakit jantung yang kerap dijuluki sebagai “the silent killer” yang tidak pernah meminta izin dari korbannya ketika melakukan serangan mendadak yang dapat merenggut nyawa.
Faktor kelima, bila koruptor merasa tenang-tenang saja bila dirinya tertangkap-tangan melakukan aksi korupsi, dirinya tahu dan sadar betul bahwa ancaman sanksi hukuman pidana berupa “hukuman mati” hanyalah “pasal macam ompong” yang tidak akan mungkin diterapkan. Setelah mendekam di balik jeruji penjara selama beberapa tahun, seolah segala dosa-dosanya telah tertebus lunas untuk kemudian bebas dan menikmati uang hasil kejahatannya. Sebaliknya, Virus Corona terbukti mematikan dan dapat mengancam keselamatan jiwa yang terinfeksi, secara fatal dan tidak kenal kompromi.
Faktor Keenam, bila dalam persepsi ilmu hukum pidana, anggota keluarga koruptor yang (pastinya dan tentunya) turut menikmati uang hasil korupsi yang dilakukan oleh sang suami atau oleh sang ayah anggota keluarga sang koruptor, tidak dapat turut dijerat dan turut diseret ke penjara sebagai “pelaku yang turut menikmati uang hasil kejahatan tindak pidana korupsi”. Sebaliknya, Virus Corona berhubung tidak mengerti bahasa manusia, terlebih Bahasa Indonesia, karenanya tidak dapat dinegosiasi agar tidak turut menyerang dan menyandera tubuh hingga mengancam keselamatan jiwa anggota keluarga sang terjangkit.
Faktor ketujuh, negara yang terjangkit Virus Corona akan mengerahkan lebih banyak sumber daya terutama dari segi pendanaan untuk mengatasi kian merebahkan sang Virus ke berbagai wilayah perkotaan maupun perkampungan dan pedesaan, sehingga semakin kecil dana yang dapat disusupkan untuk dapat dikorupsi lewat pengadaan proyek-proyek yang kini tidak lagi dapat terealiasi akibat segala fokus perhatian dan pendanaan dikerahkan semata untuk menangani ancaman dan keganasan sang Virus.
Jangankan berbicara anggaran yang disusun oleh lembaga sekelas parlemen maupun lembaga eksekutif, pernah penulis jumpai “proyek buang-buang uang” yang dilakukan oleh lembaga sekelas Mahkamah Agung RI dimana Mahkamah Agung yang pada tahun 2015 pernah menerbitkan buku “sampah” yang hanya berupa kliping berita-berita dari surat kabar harian, dimana pada dari satu lembar kertas isi bukunya hanya tercantum satu halaman isinya dimana halaman di balik kertasnya kosong-melompong (itu pun dengan font dan jarak antar spasi yang sangat besar) sehingga dari sekitar dua ratus halaman praktis hanya berisi seratus halaman yang berisi materi yang seolah “dipaksakan” untuk diterbitkan dengan berbiaya tinggi terlihat dari betapa tebal jenis kertas dan cover buku dimaksud. Bila lembaga peradilan dan kepolisian di republik ini wajahnya sudah demikian “korup” dan penuh “kolusi”, maka bagaimana dengan lembaga-lembaga non-penegak hukum lainnya? Wajar bila kita bersikap apatis terhadap para penyelenggara negara di republik ini.
Faktor kedelapan, pemerintah Indonesia ternyata baru mulai menyadari, banyak devisa yang masuk ternyata bersumber dari sektor ekonomi pariwisata terutama wisatawan asing, bukan investor asing berupa pabrik dan sebagainya yang berpotensi hanya menguras kekayaan ekonomi negeri lewat aksi “transfer pricing”, sehingga otoritas Indonesia sejatinya telah salah menargetkan haluan dengan bersikap ambigu apakah mengidentifikasikan pilar penopang negerinya adalah sebagai negara industri, negara bahari, negara maritim, negara real estate, negara hortikultura, ataukah negara wisata.
Ketika pemerintah meremehkan sektor pariwisata dan lebih mengedepankan pendekatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan dengan berlandaskan gedung-gedung bertingkat pencakar langit serta luasan jalan tol, pada gilirannya sektor pariwisata kurang mendapat perhatian terlebih sentuhan dari pemerintah pusat sekalipun pariwisata merupakan sektor yang paling bersentuhan dengan ekonomi kerakyatan yang mana dapat menguatkan nilai tukar Rupiah serta perputaran arus keuangan yang lebih merata.
Faktor kesembilan, Virus Corona ternyata tidak “pandang bulu”, tidak memandang status sosial, tidak memandang tingkat ekonomi kepemilikan harta kekayaan, tidak memandang pangkat dan jabatan, dimana para pemangku jabatan, pemilik korporasi raksasa, dan para penguasa di negeri ini baru menyadari bahwasannya pemusatan dan kepemilikan harta kekayaan bukanlah segalanya, (mampu mengendalikan) hukum negara bukanlah segalanya, dan (kemampuan untuk) bersikap kolusi bukanlah segalanya, akan tetapi Hukum Karma-lah yang menjadi segalanya.
Faktor kesepuluh, memiliki banyak pengikut, banyak pegawai, banyak umat, banyak fasilitas dan tanah, banyak tabungan maupun investasi, banyak “tukang pukul”, banyak relasi pejabat negara, banyak dilindungi tentara bayaran, dan memiliki setumpuk vitamin maupun suplemen makanan, apalah artinya bila hidup menyerupai TERPENJARA dalam “kerangkeng” yang bernama “lock down” dimana akses menjadi serta dibatasi dan terbatas, merasa tidak benar-benar aman, diliputi paranoid ketika berdekatan dengan orang lain serta segan ketika dikunjungi, bahkan menjadi fobia untuk keluar rumah. Sejatinya, kini kita dapat merasakan langsung “dirampasnya kemerdekaan” (tahanan rumah), selayaknya seorang narapidana dari Virus Corona.
Faktor kesebelas, orang-orang “borju” berpikir bahwa kesehatan dan keselamatan “dapat dibeli” lewat membayar biaya kesehatan dan perawatan maupun bedah medis berteknologi canggih sekalipun memiliki pola hidup dan gaya hidup yang tidak sehat seperti malas berolah-raga, memakan makanan berpotensi tinggi merusak kesehatan, “dugem”, menghisap produk bakaran tembakau, dan berbagai gaya hidup kalangan “berpunya” lainnya seperti pergi shopping ke mall, “ngerumpi” di kafe, dsb.
Sehingga, ketika terjadi penyakit penyulit seperti diabetes, kolesterol, dan lain sebagainya (penyakit khas milik orang “kaya” secara ekonomi), dirasakan bukanlah sebagai hal yang benar-benar menakutkan. Sebaliknya, menghadapi serangan Virus Corona, pola hidup sehat tidak dapat ditawar-tawar, akibatnya “penyakit khas orang kaya” menjadi “mimpi buruk” itu sendiri (bagi orang-orang “borju”, tentunya) ketika menghadapi Virus Corona yang akan lebih ganas ketika tubuh inangnya telah dipenuhi berbagai penyakit penyulit demikian.
Pesan yang disampaikan oleh para koloni “tidak kasat-mata” bernama gempuran Virus Corona ini kepada umat manusia, sudah sangat jelas, bahwa “Anda pikir uang adalah segalanya? Anda pikir uang dapat menyuap kami, si virus-virus kecil yang tidak suka uang ini? Anda pikir dapat berlindung dibalik tumpukan uang milik Anda? Anda pikir Anda dapat selamanya bersembunyi dari buah Karma Buruk yang pernah Anda tanam? Anda pikir diri Anda hebat hanya karena memiliki banyak uang, memiliki pangkat dan kedudukan, memiliki kekuatan serta kekuasaan ekonomi, memiliki banyak pengikut, memiliki banyak pegawai, memiliki banyak aset serta harta? Maaf saja ya, kami tidak perduli dengan uang milik Anda, dan kami tidak bersedia bernegosiasi dengan orang-orang borjuis seperti kalian. Satu hal lagi, setelah Anda tewas oleh teman-teman virus kami, segala harta milik Anda pun tidak akan dapat Anda bawa mati, itulah mimpi buruk terbesar orang-orang borjuis.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.