ARTIKEL HUKUM
Ulasan ini penulis susun, ketika menyadari sebuah fenomena sosial yang terjadi ketika Virus Corona strain “COVID-19” (Corona Virus Disease 2019) sedang menjadi wabah pandemik di Indonesia, dengan laju prevalensi yang mengerikan dan memang cukup menakutkan karena mematikan serta dampak penyebaran maupun cara penularannya “dari orang ke orang” dimana bahkan tenaga medis yang sudah memakai alat pelindung diri pun masih berpotensi terpapar, terlebih kita yang tidak bekali alat medik pelindung apapun atau hanya secara sederhana saja.
Pemerintah mulai menghimbau agar penduduknya melakukan langkah preventif atau pencegahan bernama “physical distancing” secara kompak dan penuh kesadaran dari masing-masing individu warganya untuk saling menjaga jarak dalam lingkup lingkungan komunitas apapun. Yang terjadi kemudian, banyak di antara masyarakat kita yang bersikap seolah tidak terjadi pandemik berbahaya dengan ancaman mematikan wabah Virus Corona, sehingga bersikap biasa-biasa saja seperti keseharian biasa seolah “menantang” dan “bersikap masak bodoh” (karenanya “menjadi benar-benar bodoh”) yang bisa jadi dan besar kemungkinan dirinya kemudian tertular dan menularkan kepada orang lain. Tiada larangan untuk “bersikap bodoh” seperti mencelakai diri sendiri dengan menantang maut, namun ketika dirinya membawa ancaman bagi orang lain, negara harus melakukan intervensi, tanpa boleh berdiam diri.
Penulis kemudian menjadi teringat pada penuturan Duta Besar Indonesia untuk Kroasia, yang menyebutkan bahwa di Kroasia juga terjadi wabah COVID-19, hanya saja masyarakat di Kroasia patuh terhadap perintah negara yang mewajibkan masyarakatnya untuk melakukan “physical distancing” seperti ketika mengantri untuk membayar barang belanjaan di kasir toko, semua pembeli mengantri dan menjaga jarak antara pembeli satu dan pembeli lainnya sejarak satu meter tanpa perlu diberi komando, hingga jauh ke depan pintu toko, secara patuh. Memang perintah dari Negara Kroasia kepada penduduknya tersebut disertai ancaman sanksi berupa denda, namun penulis meyakini bukanlah itu sumber kepatuhan sang warga, namun kesadaran pribadi masing-masing penduduk Kroasia.
Sebaliknya, Indonesia menerapkan kebijakan “separuh hati” dilematis-populis sekaligus diplomatis bernama “himbauan” (terminologi hukum antara “himbauan” dan “perintah”, mengandung makna yang saling berbeda satu sama lain dan tidak dapat dipertukarkan), yakni “himbauan” agar warga di Indonesia tidak berkerumun ataupun bersosialisasi seperti yang selama ini menjadi aktivitas sosial semacam “kumpul-kumpul” (berkerumun untuk hal-hal yang kurang penting), tidak mengadakan resepsi / hajatan pernikahan, tidak menggelar konser ataupun kegiatan seminar, dan lain sebagainya yang tidak mendukung program pemerintah untuk mengatasi penyebaran pandemik dengan memutus penularannya. Tiada salahnya, untuk beberapa bulan rakyat kita rela “puasa” dari kegiatan sosial semacam itu demi tujuan yang lebih bijaksana, demi kebaikan rakyat kita itu sendiri agar tidak “menyakiti dirinya sendiri” terlebih membawa potensi resiko bagi orang lain.
Begitupula ketika pemerintah mulai melangkah lebih jauh dengan membuat kebijakan larangan “mudik”, sekalipun pemerintah belum bersikap tegas dengan menempuh “karantina wilayah” serta “lock down” yang lebih menyerupai isolasi keluar-masuknya warga suatu wilayah terdampak pandemik, ternyata telah banyak diantara masyarakat kita yang secara “bergerilya” mudik pulang kampung yang membawa resiko penularan lintas batas kian besar tidak terbendung penyebarannya.
Pemerintah Indonesia sendiri pun membuat konferensi pers yang cukup ambigu dan simpang-siur kebenarannya, semisal agar warga yang positif dinyatakan mengindap infeksi (terinfeksi) COVID-19 agar melakukan isolasi diri di rumah sendiri. Pertanyaan dari penulis, bagaimana mungkin, pasien yang telah positif terinfeksi, mengisolasi diri di rumah bersama anggota keluarga lainnya yang besar kemungkinan terpapar dan beresiko tinggi bagi anggota keluarga lainnya yang sudah berusia lanjut, sementara tenaga kesehatan medik yang memakai alat pelindung diri lengkap saja masih berpotensi dan banyak dikabarkan tertular bahkan dikabarkan meninggal dunia akibat terpapar COVID-19 dari pasien yang ditangani olehnya?
Pemerintah memberi contoh kepada publik dengan menyemprotkan cairan disinfektan ke tubuh manusia (banyak bahan disinfektan bukan diperuntukkan untuk makhluk hidup, namun untuk benda mati) sehingga kemudian ditiru oleh warga masyarakat dengan bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan manusia bila terhirup, terkena kulit (beresiko menimbulkan kanker), terlebih terkena mata. Begiupula hand sanitiser, yang pastilah mengandung H2O2 (hidrogen peroksida) yang bersifat keras dan berbahaya bagi manusia, terlebih bila termakan lewat tangan yang menyentuh makanan, sehingga bukan menjadi pengganti sabun pencuci tangan dan bukan peruntukkan untuk kegiatan makan. Kebijakan kontra-produktif kedua dari pemerintah Indonesia, warga yang merasa curiga dirinya juga terjangkit namun tidak menunjukkan gejala terinfeksi secara cukup berarti namun patut dicurigai karena pernah melancong ke negara-negara beresiko tinggi, agar memeriksakan dirinya ke rumah sakit yang oleh pemerintah dikhususkan sebagai lokalisasi atau pemusatan pasien terdampak COVID-19.
Sementara kita ketahui, pusatnya penularan Virus Corona justru lebih banyak dan lebih berisiko tinggi di rumah sakit, terutama di rumah sakit pemusatan pasien COVID-19, dimana bisa jadi warga yang datang dari semula “negatif” sepulangnya memeriksakan diri dari rumah sakit justru menjadi “positif” terpapar COVID-19 dari pasien atau pengunjung lainnya karena pengunjung yang terduga mengidap menjadi terpusat pada rumah sakit tersebut.
Sebaliknya, di Kroasia, warga yang positif COVID-19 dilarang ke rumah sakit untuk minta diisolasi, terlebih ke Puskesmas yang tidak diperuntukkan untuk penanganan pasien dengan COVID-19, namun cukup menghubungi pemerintah untuk dijemput dan diantar ke rumah sakit lokalisir khusus, oleh sebab mereka sadar betul bahwa rumah sakit adalah pusatnya penularan. Uniknya, nomor hotline (call center) yang disediakan pemerintah di Indonesia agar dapat dihubungi masyarakat untuk meminta informasi terkait COVID-19 ataupun bagi pasien yang membutuhkan evakuasi serta isolasi secara segera, sukar untuk dapat dihubungi oleh penduduk sehingga terkesan hanya sekadar sebagai “gimmick” agar pemerintah dinilai sebagai menyediakan nomor kontak untuk dapat sewaktu-waktu dihubungi masyarakat yang membutuhkan.
Pemerintah selalu mengumbar pencitraan seolah siap melayani, dengan menyerukan agar masyarakat melapor jika ada terduga pengidap COVID-19, namun pemerintah tidak menjanjikan akan menindak-lanjuti laporan, juga tidak ada jaminan pemerintah akan mengangkat telepon warga yang mencoba menghubungi, karena memang sejak awal pemerintah tidak menjanjikan selain hanya sekadar mencantumkan nomor kontak pemerintah yang dapat dihubungi masyarakat. Begitu pun ketika pemerintah merahasiakan penduduk manakah yang terpapar, sehingga masyarakat umum menjadi kesukaran dalam “to detect and to protect” karena tidak mengetahui dimana saja area lokal terdampaknya untuk dapat dihindari.
Beredar juga kabar berita, bahwa pemerintah memperlakukan pasien penderita COVID-19 secara diskriminatif, dimana pasien yang “miskin” ditelantarkan hingga berjam-jam lamanya tanpa penangangan medis memadai sehingga berujung pada meninggal dunianya sang warga yang terjangkit tanpa penanganan yang serius oleh pemerintah, sekalipun jumlah warga penderita COVID-19 masih tergolong minim di Indonesia (saat ulasan ini disusun, penderita COVID-19 di Indonesia “masih” tercatat seribu orang penderita). Bahkan pemerintah seolah “mati kutu”, dengan “panik” membuka pendaftaran bagi “relawan” tenaga medis dan non-medis.
Sekadar perbandingan, kontras dengan yang penanganan medis pasien COVID-19 di China, dimana jumlah penderita dalam hitungan bulan dan secara mendadak melonjak hingga berjumlah puluhan ribu pasien, bahkan pemerintah RRC secara sigap dan berdaya membangun rumah sakit sementara untuk menampung dan menangani pasien COVID-19, dimana terbukti juga penanganan medis di China berjalan secara serius sehingga jumlah pasien yang pulih dalam proses kesembuhan dapat efektif dioptimalkan.
Namun bukanlah kesemua itu yang hendak kita bahas dalam kesempatan ini. Menjadi pertanyaan besar bagi penulis untuk direnungkan secara mendalam oleh kita bersama, mengapa masyarakat di Indonesia sangat buruk soal “kepatuhan”, terlebih untuk taat terhadap hukum (terlebih perihal “kesadaran pribadi”)? Ketika mendapat himbauan (baru sekadar “himbauan”, belum masuk pada tahap “perintah” sekalipun berjudul “Maklumat Kepala POLRI”) untuk tidak “kumpul-kumpul”, seketika itu juga kebijakan pemerintah dibenturkan seolah-olah melanggar hak asasi manusia tentang kebebasan untuk berkumpul dan berserikat, melanggar hak asasi manusia perihal kebebasan untuk bersosialisasi, untuk beribadah, untuk bekerja mencari nafkah, dan lain sebagainya yang pada esensinya ialah tidak “kompak” serta tidak kooperatif terhadap kebijakan pemerintah yang tentunya pastilah tidak bermaksud buruk terhadap rakyatnya sendiri—selain rakyatnya sendiri yang terlampau “negative thinking” kepada pemerintah dan negaranya sendiri.
Kesadaran warga di Kroasai, sangat bagus karena tertib dan “patuh” lewat kesadaran pribadi masing-masing warga sekalipun kondisi tidak memungkinkan untuk diawasi langsung oleh pemerintahnya karena secara kebetulan juga sedang dilanda gempa bumi. Namun kesadaran yang sama tampaknya belum membudaya di Indonesia, bahkan kalangan Sarjana Hukum di Indonesia lebih kerap melanggar hukum ketimbang patuh pada hukum yang diketahui dan dipelajari olehnya (fakta yang ironis, tentunya). Himbauan pemerintah, pada gilirannya menjadi sekadar “angin lalu” yang sama sekali tidak dihiraukan dan diberikan perhatian, terlebih mengharap untuk bersikap “kompak” dan “kooperatif” dengan patuh.
Ketika pemerintah bersikap tegas seperti yang terjadi di RRC Tiongkok / China, Thailand, dan Vietnam, masyarakat kita lagi-lagi lebih pandai berkelit dan mencari-cari justifikasi diri, bahwa RRC dan Vietnam adalah negara K0munis, sementara Indonesia ialah negara demokrasi. Dalam uraian ini, penulis akan membuktikan, bahwasannya persepsi demikian adalah “menjungkir-balikkan” fakta perihal tatanan hukum negara demokratis sekalipun. Pembentukan hukum maupun tata kelola pemerintahan, memang wajib berjalan secara demokratis (dalam artian transparan, akuntabel, serta partisipatif), namun faktor penegakan hukum wajib bersifat k0munis. Mari kita buktikan bersama lewat uraian berikut di bawah ini.
“Norma hukum”, disebut demikian, karena berbeda karakternya dengan “norma sosial” maupun norma-norma lainnya seperti norma moril maupun norma agama, dimana norma hukum bersifat preskriptif, dimana sifatnya ialah imperatif yang dapat ditegakkan kepatuhannya oleh otoritas negara secara “top to down”, terdapat “daya paksa” disini dalam penerapannya—dimana faktor “suka atau tidak suka” dari warga yang diaturnya tidak lagi menjadi relevan untuk disinggung. Karenanya, karakteristik paling utama dari norma hukum ialah, mensyaratkan adanya sebentuk derajat paling minimum dari “kepatuhan” dengan simbolisasi istilah “ought to” (seharusnya, wajib untuk, harus, keharusan, dsb).
Bila norma hukum yang bersifat imperatif “ought to” ternyata tumpul menghadapi dalil-dalil seperti “toleransi”, “kompromi”, “melanggar hak asasi manusia” (secara membuta), kemauan publik yang tidak ingin ditertibkan, tidak kompaknya masyarakat kita, lemahnya tingkat kesadaran publik, itikad buruk aparatur pemerintahan dan penegak hukumnya, tidak kooperatifnya rakyatnya terhadap kepentingan umum yang hendak diperjuangkan oleh pemerintah, bahkan terjadi pembiaran oleh negara terhadap praktik-praktik ilegal maupun pelanggaran hukum, bentuk-bentuk pengabaian dan penelantaran terhadap aduan ataupun komplain warga, sikap-sikap “acuh tidak acuh” otoritas negara terhadap kehidupan warganya, sikap “tutup mata” pemerintah terhadap berbagai pelanggaran oleh warganya, hingga “transaksional” terhadap pemodal kuat yang mampu menyuap (memberi gratifikasi) aparatur penegak hukum, maka norma hukum “ought to” menjadi sekadar “gimmick” alias “macan ompong” slogan belaka. Wibawa hukum, dipertaruhkan akibat tidak konsistennya penegakan hukum yang parsial pemberlakuannya, yang pada gilirannya negara seolah memelihara dan melestarikan “preman-preman” pelaku pelanggaran hukum.
Penerapan / penegakan norma hukum yang paling efektif (sekalipun pembentukannya secara demokratis), ialah wajib menggunakan pendekatan perspektif k0munisme, sehingga rakyatnya senantiasa patuh serta taat tanpa berani untuk bermain-main terlebih mencoba menantang hukum. Tata kelola pemerintahan maupun pembentukan hukum, memang wajib secara demokratis. Namun perihal soal penegakan hukum, suka tidak suka, memang harus menggunakan langkah / pendekatan k0munistik, agar tidak ada lagi warga-warga yang merugikan kepentingan ataupun hak-hak warga lain, seperti pelaku usaha ilegal yang dibiarkan selama bertahun-tahun mengalih-fungsikan lingkungan pemukiman padat penduduk menjadi tempat usaha berskala besar yang menimbulkan akibat dirugikannya / terganggunya kedamaian hidup warga setempat atas fungsi pemukimannya (bahkan merasa terancam di rumahnya sendiri yang semestinya menjadi tempat perlindungan paling aman bebas dari segala jenis gangguan bagi warga penghuninya), sekalipun warga telah mengajukan komplain dan laporan kepada pemerintah, dimana bahkan para aparatur serta pejabat Kelurahan setempat justru menjadi “pelindung” dari sang pelaku usaha ilegal dengan turut mengintimidasi sang warga yang dirugikan oleh praktik-praktik ilegal demikian.
Penegakan hukum dengan pendekatan k0munistik bersifat sangat tegas, efektif, dan tajam, sehingga rakyat maupun aparaturnya patuh terhadap hukum dan disiplin dalam menegakkan hukum tanpa mentolerir segala bentuk penyimpangan hukum apapun, serta tanpa pembiaran atas terjadinya pelanggaran hukum sekecil apapun di tengah-tengah komunitas warganya dengan maksud untuk melindungi warganya sehingga negara benar-benar hadir di tengah-tengah rakyatnya yang merasa diperhatikan serta dilindungi.
Dengan demikian, hukum dikondisikan oleh pemerintah lewat aparatur penegak hukumnya yang penuh ketegasan, menjadi demikian sakral, dihormati, berwibawa, memiliki “bobot” di mata rakyat, tidak dilecehkan dan diremehkan sebagai “macan ompong” oleh rakyat yang sukar sekali untuk dapat ditertibkan agar mau patuh dan taat terhadap hukum, dimana rakyat sadar betul bahwa mencoba bermain-main dan mencoba menantang hukum terlebih “membeli” hukum, adalah suatu kesia-siaan (bahkan dapat menjadi bumerang bagi sang pelanggar) dimana hukum akan tegak setegak-tegaknya tanpa “tebang pilih”, tanpa pembiaran, tanpa pengabaian, tanpa kolusi, tanpa penelantaran terhadap hak-hak dan kerugian warga atas perilaku pelanggar hukum, serta terciptanya “social order” atau ketertiban masyarakat dan sosial yang paling ideal—pastilah hanya para pelanggar hukum yang tidak sependapat dengan argumentasi penulis sebagaimana tertuang di atas.
Untuk membuat / mengkondisikan agar setiap warganya kooperatif serta patuh / taat terhadap hukum, tidak ada cara lain selain memperlihatkan apa itu hukum lewat penegakannya yang tegas dan keras dalam derajat paling maksimum bila diperlukan. Jangan campur-aduk antara hukum dan demokrasi ataupun konsepsi perihal hak asasi manusia, seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya, bahwa proses pembentukan hukum dan tata kelola pemerintahan wajib secara demokratis, namun faktor penegakan hukum, sesuai falsafah norma hukum yang bersifat “imperatif-preskriptif” (ought to), karenanya tidak dapat dibenturkan antara hukum serta penegakannya dengan hak asasi manusia ataupun konsep demokratis—sejatinya, kesemuanya adalah satu produk yang sama dalam satu paket tanpa dapat saling dipisahkan.
Sebagai contoh, narapidana pelanggar hukum pidana dapat dipidana penjara, sekaligus jelas bahwa penjara artinya “menyandera / merampas kebebasan fisik” seseorang warga, sementara hak asasi manusia menyatakan bahwa kebebasan untuk tidak disandera, adalah hak asasi manusia. Mengapa, para penggiat dan aktivitis hak asasi manusia, tidak pernah berorasi menentang keberadaan berbagai lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan menuntut pemerintah untuk membubarkan serta merobohkan Lapas-Lapas tersebut?
Justru, Lapas adalah monumen simbolisasi penegakan hukum secara k0munistik—singkat kata, dalam falsafah k0munistik, tiada negosiasi dan tiada maaf bagi pelaku pelanggaran, sehingga rakyat yang diatur olehnya menjadi taat dan patuh, serta tumbuh kesadaran dalam benak setiap insan rakyatnya untuk senantiasa bersikap hormat disamping kooperatif terhadap kebijakan negara yakni dengan cara senantiasa bersikap patuh terhadap hukum. Anda, selaku rakyat-lah, yang terlampau “negative thinking” terhadap negara Anda sendiri, bila meragukan itikad pemerintah dalam memberlakukan kebijakan tegas menyoal “physical distancing” maupun “karantina wilayah”—negara sama sekali tidak memiliki niat buruk terhadap rakyatnya sendiri dalam menyikapi ancaman yang paling urgen untuk ditangani oleh segenap rakyat secara bahu-membahu ini.
Yang tidak banyak disadari (terlebih diakui) kalangan Sarjana Hukum kita, bahwasannya sejatinya filosofi dibalik keberlakuan norma hukum, tidak lain tidak bukan ialah meminjam falsafah k0munistik—sifatnya WAJIB ditaati, kepatuhan sebagai prasyarat mutlak, imperatif dengan semboyan “seharusnya” (ought to) yang bersifat preskriptif, bukan sekadar himbauan terlebih “deskriptif” layaknya ilmu sosiologi. Itulah sebabnya, terdapat jurang pemisah yang sangat lebar antara ilmu hukum (terkait norma preskriptif) dan ilmu sosiologi (terkait fenomena sosial, deskriptif).
Bahasa “kasar”-nya, pemimpin negara wajib seseorang yang demokratis sekaligus humanis. Namun, algojo yang melakukan eksekusi mati haruslah seorang “pembunuh” (algojo mana yang tidak ditugaskan dan bertugas untuk membunuh?). Sama halnya, parlemen selaku Lembaga Legislatif saat menyusun norma hukum haruslah demokratis dalam artian bersikap terbuka terhadap aspirasi publik serta transparan dalam proses merumuskan legislasi, namun penerapannya oleh aparatur penegak hukum wajib secara k0munistik, sehingga hukum benar-benar ditegakkan sebagai hukum yang imperatif dan preskriptif, bukan sekadar menjadi “macan ompong” serta untuk dijadikan bahan “tertawaan” seolah hukum adalah lelucon untuk “ditantang”.
Semisal larangan berjualan di sepanjang trotoar jalan, dimana pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan secara “liar” ialah memang dalam dalam rangka “mencari nafkah untuk keluarganya” (hak untuk bekerja dan mencari nafkah ialah hak asasi manusia). Namun, bukan artinya hukum negara kalah dan tunduk pada konsep-konsep yang dapat dan kerap disalah-gunakan oleh warganya yang tidak patuh terhadap hukum. Karenanya, otoritas negara lewat aparatur pemerintah daerahnya wajib secara tegas dan konsisten penuh komitmen untuk menerjunkan satu regu untuk menertibkan praktik-praktik berjualan secara ilegal demikian, apapun alasannya karena sudah tegas dilarang oleh norma hukum yang bersifat imperatif (yang disebut terakhir itulah makna paling esensial falsafah dibalik konsep penegakan hukum secara k0munistik).
Norma hukum yang paling ideal, yakni penegakan hukum secara k0munistik, tidak membiarkan norma hukum yang bersifat “ought to” (das solen, preskriptif) menyerah atau untuk tunduk pada sekadar turun derajat menjadi “is” (das sein, deskriptif, yang bermakna bisa jadi penegakannya tidak berjalan secara efektif, atau “macan ompong” dalam praktik realitanya di lapangan, alias penegakan hukum yang “separuh hati” tidak konsisten serta tiada disertai komitmen).
Bila “das sein” ialah “peristiwa konkret yang terjadi di lapangan”, maka dalam perspektif konsepsi penegakan hukum secara k0munistik, “das sein” harus dan wajib dibuat menjadi identik dengan “das sollen”, hukum sebagaimana “seharusnya norma yang mengaturnya” (ought to), dimana itulah yang kemudian menjadi tugas serta kewajiban setiap aparatur penegak hukum maupun pemerintahan dari pusat hingga daerah. Yang menarik dari konsep ini, tiada satupun pejabat negara ataupun aparatur pemerintah dari pusat hingga di daerah, yang dapat bermain-main dengan norma hukum, dan ada semangat desakan untuk turut menegakkan tanpa terkecuali secara tegas, konsisten, penuh komitmen, serta tanpa kenal kompromi.
Karenanya, jangan pernah mengharap dapat “mencuri-curi” dengan melakukan kegiatan ilegal seperti kegiatan usaha ilegal di sudut-sudut pemukiman yang dibiarkan tanpa ditindak oleh pemerintah daerahnya. Sehingga, paga gilirannya setiap warga dan rakyat yang terlindungi, karena negara dengan demikian benar-benar “hadir di tengah-tengah rakyatnya” lewat penegakan hukum yang imperatif dan efektif menyentuh hingga sudut-sudut hingga kolong pemukiman warga, tanpa terkecuali. Itulah sebabnya, hidup sebagai warga di negara-negara yang menggunakan pendekatan penegakan hukum secara “k0munistik”, masih jauh lebih aman daripada di Indonesia, dimana kita selaku warga di Indonesia merasa seolah “berjuang, berlindung, dan mencoba bertahan seorang diri” dari para pelaku pelanggar hukum yang seolah tidak tersentuh (imun) oleh hukum karena negara tidak benar-benar pernah hadir di tengah-tengah masyarakatnya.
Cobalah kita lihat fakta empirik dikeseharian lingkungan pemukiman kita, pelaku usaha ilegal marak “tanpa tersentuh oleh hukum” (bahkan dilindungi oleh aparatur dan pejabat Pemerintah Daerah, sekalipun jelas-jelas melanggar Peraturan Daerah, dan sekalipun merugikan hak-hak warga pemukim), tidak terkecuali aksi-aksi premanisme, penganiayaan, vandalisme, pemerasan, pencurian, negara (bukan hanya “seolah”) benar-benar tidak pernah hadir di tengah masyarakat. Warga yang menjadi korbannya, mencoba melaporkan sekalipun, tiada jaminan ditindak-lanjuti, justru mendapatkan ketidak-adilan baru berupa ditelantarkan serta diabaikan [“hukum sebagai PHP” (pemberi harapan palsu)]—artinya, merugi dua kali, menjadi korban oleh warga lainnya lalu kemudian harus pula mencicipi menjadi korban penelantaran oleh negara. Di negara-negara dengan sistem penegakan hukum yang k0munistik, kesemua gambaran seperti yang terjadi di Indonesia, tidak akan kita jumpai.
Sebagai contoh, sekaligus yang akan membuat para pembaca merasa terkejut, Amerika Serikat lewat sejumlah polisi di berbagai Negara Bagiannya, menerapkan sistem penegakan hukum secara k0munistik, sekalipun negaranya mengklaim sebagai “negara simbol kiblat demokrasi dunia”. Mengapa? Karena penegakan hukumnya efektif dan tidak membiarkan “das sein” menjadi berbeda atau bahkan kontras bertolak-belakang dengan “das soleh”. Negara lewat supremasi daya paksanya melakukan penegakan hukum secara tegak setegak-tegaknya. Pada gilirannya, wargalah yang merasa terlindungi dan benar-benar terlindungi.
Sebagai bukti hipotesis yang penulis ajukan, ketika menghadapi seorang pelanggar yang merugikan atau mengganggu hak-hak kita, kita dapat melontarkan ancaman seperti berikut ini di Amerika Serikat: “Akan saya laporkan kepada polisi, bila Anda tidak menghentikan kegiatan yang mengganggu ketenangan hidup saya di rumah saya sendiri!” Di Amerika Serikat, tiada satu pun rakyatnya yang meremehkan ketika warga lain mengancam akan menghubungi / menelepon polisi. Mereka mencari mati, jika mencoba menantang dan meremehkan hukum.
Mengapa? Karena penegakan hukumnya memang konsisten dan penuh komitmen. Jangan coba-coba melanggar, itulah yang coba dikomunikasikan dan disampaikan lewat penegakan hukum oleh aparatur penegak hukumnya yang efektif serta imperatif TANPA KENAL KOMPROMI, secara KONSISTEN. Bandingkan betapa kontras dengan yang terjadi di Indonesia, “Akan saya laporkan pada pemerintah atas kegiatan usaha ilegal Anda dan akan saya laporkan pada polisi atas penganiayaan yang Anda lakukan kepada keluarga saya!”
Para pembaca akan terkejut, pelaku pelanggar di Indonesia justu akan menanggapi ancaman kita dengan menantang-balik sembari tersenyum melecehkan, “Silahkan, ayo laporkan! Siapa takut? Laporkan saya ke polisi dan pemerintah, jika Anda tidak berani melaporkan saya seperti ancaman Anda tadi, Anda yang pengecut! Untuk apa saya menurut pada Anda, ini negeri dengan hukum rimba, siapa yang punya uang ia yang berkuasa. Saya bebas sesuka hati saya di republik ini, karena saya tahu bahwa Anda tidak benar-benar diperhatikan dan tidak benar-benar dilindungi oleh hukum negara Anda yang menyerupai ‘banci’ korup.” Penulis rasa ia ada benarnya, karena memang sesuai faktanya, dan lebih “tahu tentang hukum” daripada Sarjana Hukum mana pun di Indonesia.
Penulis mampu mempertanggung-jawabkan argumentasi yang penulis bangun sebagaimana ulasan secara lugas di atas, karenanya menjadi tidak salah, bila strategi penerapan norma hukum yang paling efektif di Republik Indonesia ialah penerapan dan penegakannya secara k0munistik, sekalipun otoritas negara terkesan otoriter (karena ada sebentuk “spirit” rasa berkewajiban bagi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk konsisten menegakkan hukum secara TANPA KOMPROMI), demi terciptanya “social order”, yang pada gilirannya menjadi soko guru pilar berdirinya kepastian hukum serta keadilan karena warga merasa benar-benar diperhatikan dan tunduk pada aturan yang sama tanpa diskriminasi.
Tanpa kepastian hukum, maka tiada mungkin tercipta keadilan bagi masyarakat, karena hukum akan menjadi demikian “tebang pilih”, transaksionil, penuh korupsi, terbuka bagi aksi kolusi, serta tidak dapat diandalkan oleh rakyat selain hanya untuk menghamba pada segelintir pihak pemodal kuat dan pemegang kekuasaan. Hanya seorang / para pelanggar hukum, yang tidak akan sependapat dengan argumentasi penulis yang sudah paling ideal demikian, sekalipun penulis merasa ragu dan cukup pesimis adanya “political will” pemerintah kita maupun itikad rakyat kita itu sendiri.
Mungkin itulah, yang disebut dengan ironi terbentur pada asas “lain ladang lain belalang”. Maka, biarlah wacana ini menjadi sekadar utopia, impian belaka, yang entah kapan akan benar-benar terwujud demi terciptanya penegakan hukum yang benar-benar pasti dan tegak. Penulis selalu memimpikan hukum benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat kita, masuk hingga lingkungan pemukiman terdalam dari penduduk, agar aturan hukum tidak hanya sekadar menjadi “kegenitan” legislator, sekadar menjadi “hukum di atas kertas” layaknya nasib berbagai Peraturan Daerah, norma hukum (de jure) yang menjelma “himbauan” (secara de facto).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.