ARTIKEL HUKUM
Saat ulasan “satiris” ini ditulis, yakni pada akhir Bulan Maret 2020, Indonesia sedang memasuki momentum pandemik Corona Virus tipe COVID-19, alias bulan pertama tatkala pemerintah Negara Indonesia barulah mengakui bahwa negaranya telah “disusupi” (seolah-olah tengah “kecolongan” meski World Health Organization [WHO] telah menduga bahwa Indonesia bukanlah pengecualian dan tidak kebal dari pandemi global ini, entah akibat terlampau “percaya diri” ataukah akibat hasil “kerja santai” sekalipun pandemik COVID-19 telah melanda Eropa dan daratan China sejak Desember 2019 dan seolah tidak belajar dari pengalaman pandemi Virus Cacar yang sempat melanda Indonesia beberapa dekade lampau), rakyat menjerit karena ekonominya terpuruk tidak dapat menafkahi keluarganya akibat tiada pemasukan sehingga terancam bangkrut serta paling tidak kelaparan “perut menjerit” (demikianlah bahasa rakyat, ketika mengutaran ekspresi kekecewaannya).
Kondisi aktual kemasyarakatan di atas, barulah gambaran bulan pertama tatkala Indonesia mulai mengakui turut terpapar pandemik (atau mungkin tidak lagi mampu menutup-nutupi dan membendung keterbukaan informasi) dengan angka mortalitas (tingkat perbandingan antara prevalensi pertumbuhan pasien terjangkit berbanding tingkat kematian pasien terinfeksi) maupun jumlah pasien terinfeksi Corona Virus yang membengkak hari demi hari yang dinilai oleh sebagian penggiat dan kalangan medis bahwa patut diduga bahwa jumlah realnya berkali-kali lipat dari yang diketahui maupun yang dilaporkan pemerintah kepada media pers, menjadi pertanyaan yang mengerikan untuk kita pertanyakan : bagaimanakah kondisi rakyat republik ini yang mulanya begitu percaya diri karena merasa telah “mengantungi” Tuhan pada kantung sakunya, beberapa bulan kemudian tatkala pakar ekonomi menilai imbasnya dapat mencapai satu tahun untuk dapat pulih seperti sedia kala, bila pandemik tidak segera kunjung tertangani? Satu tahun dalam kondisi “perut menjerit kelaparan”, apakah negara kita betul-betul perduli dan menaruh perhatian?
Tidak ada wujud nyata bahwa Negara Indonesia benar-benar hadir dan eksis bagi rakyatnya ketika rakyatnya sedang mengalami kesukaran dari segi ekonomi maupun dari segi keselamatan fisik menghadapi imbas wabah pandemik global ini (jangankan menghadapi bangsa asing terlebih “musuh tidak terlihat”, pemerintah senyatanya tidak pernah hadir ketika terjadi pelanggaran hukum oleh satu warga terhadap warga lainnya, dimana warga yang menjadi korban perilaku ilegal warga lainnya dibiarkan berjuang seorang diri), rakyat dibiarkan saja “megap-megap” dan “menggelepar-gelepar” seorang diri bagai seekor ikan yang kehabisan nafas dan hampir tewas karena “kehausan” air.
Sekalipun otoritas pemerintahan Indonesia memiliki banyak pemangku jabatan penting (top executive) berlatar belakang ekonom maupun negarawan serat praktisi kedokteran, dan sekalipun memiliki waktu guna mempersiapkan diri selama beberapa bulan untuk mengantisipasi “the worst case” yang mungkin terjadi lengkap dengan segala simulasi dan prosedur yang dirancang dalam skala “maximum alert” belajar dari pengalaman berbagai belahan dunia yang telah membuktikan bahwa tiada satupun negara, ras, ataupun agama yang luput dari serangan lawan mematikan yang tidak kasat-mata ini, namun mengapa seolah kebijakan yang ditempuh pemerintah Indonesia demikian “lamban” dan seolah sedang “berspekulasi” dengan nasib rakyatnya sendiri?
Bayangkan, musuh “tidak kasat-mata” bernama Virus Corona ini menggempur negara Tiongkok maupun Eropa tanpa peringatan dan tanpa toleransi apapun, secara mematikan dan menyebar dalam kecepatan penuh dalam senyap menginfeksi ratusan ribu rakyatnya dengan vektor yakni penulasan antar manusia dimana sesama manusia sebagai medium yang sukar dideteksi, namun gerak cepat pemerintah Tiongkok ternyata mampu meredam dampaknya serta mampu menenangkan kepanikan faktor ekonomi rakyatnya yang terpukul hebat secara meluas. Itulah perbedaan utama, pemerintahan RRC di Tiongkok dan pemerintahan kita di Indonesia.
Tidak terbayangkan, jika Virus Corona pertama kali muncul dan ditemukan mewabah di Indonesia. Mungkin pemerintah kita akan lebih panik-reaktif ketimbang rakyatnya, dan hanya mampu menampilkan wajah dengan mental “korban” alih-alih melindungi dan hadir bagi rakyatnya. Pemerintah, seolah hendak bermain-main dengan keselamatan rakyatnya sendiri, dimana rakyatnya juga sama “bodoh”-nya dengan menyebutkan secara mengutuk bahwasannya COVID-19 adalah “azab” bagi China semata karena berbeda keyakinan dengan mayoritas penduduk Indonesia.
Justru, wabah Virus Corona menjadikan negara Tiongkok mampu menampilkan kedigdayaannya terhadap dunia, membuktikan betapa sudah terujinya kesiapan pemerintah Tiongkok untuk senantiasa sigap dan hadir melindungi rakyatnya, dan betapa geliat ekonomi dunia mengandalkan serta bertopang pada kestabilan ekonomi di Tiongkok, tanpa terkecuali.
Stimulus yang digelontorkan pemerintah Indonesia, hanya diperuntukkan bagi pelaku usaha sektor formal, sementara sebagian besar pelaku usaha di Indonesia berlatar-belakang informal dan pekerja mandiri yang tidak mendapat “jatah” stimulus pemerintah, bahkan subsidi / bantuan yang pemerintah salurkan tidak pernah tepat sasaran dan menimbulkan rasa ketidak-adilan serta kecemburuan sosial yang kian menjadi-jadi karena melukai perasaan kaum yang lebih lemah kondisi ekonominya, dimana yang benar-benar membutuhkan karena berlatar-belakang ekonomi lemah justru hanya menjadi penonton bagaimana “kue” subsidi justru dinikmati oleh kalangan berpunya. Dari fakta-fakta empirik demikian, terlihat jelas betapa negara ini dikelola secara tidak profesional dan korup yang benar-benar merusak sendi-sendi kenegaraan sehingga pada gilirannya hanya mengorbankan kepentingan rakyat paling terkecil dari “rantai piramida makanan”.
Lagi dan lagi, pemerintah hanya pandai mengumbar pencitraan, dengan menyatakan agar seluruh departemen dan instansi pemerintahan menekan pengeluaran yang tidak perlu. Artinya, ternyata selama ini instansi pemerintahan kita pada praktiknya banyak mengeluarkan biaya-biaya untuk hal-hal yang sejatinya tidak perlu? Bukankah yang menganggarkan alokasi dana “jatah” bagi masing-masing instansi pemerintah ialah pihak Menteri Keuangan yang notabene anggota kabinet sang Kepala Pemerintah? Itulah pengakuan pemerintah (secara tidak langsung), bahwa bahwasannya negara ini telah “salah kelola”, salah kelola yang diwariskan dari generasi kepala pemerintahan satu ke kepala pemerintahan berikutnya.
Mata uang Rupiah berbanding valuta asing (valas), anjlok hingga mencapai nilai psikologis Rp. 16.000 per 1 USD. Dengan kata lain, belum ada perbaikan nyata antara kondisi kejatuhan Orde Baru dan era “euforia pesta demokrasi super mahal” yang sejatinya telah cukup berumur ini (meski ternyata buah manisnya lebih banyak dinikmati segelintir elit politik). Jangan jadikan PDB (product domestic brutto) sebagai indikator kekayaan suatu negara, karena PDB bukanlah nilai real kekayaan negara, namun menjadikan nilai valas masih lebih relevan untuk menilai kesehatan ekonomi suatu negara.
Bagaimana mungkin, pemerintah suatu negara berhutang dengan mengatas-namakan kekayaan milik rakyatnya? Ibarat pemerintah yang berhutang, namun agunan milik Anda selaku rakyat yang dijadikan jaminan atau agunan pelunasan hutang, sekalipun tanpa seizin Anda selaku pemiliknya. Bila pemerintahan Orde Baru berupaya “membuat senang” rakyatnya lewat “hutang luar negeri”, maka adakah perbedaan wajah model pemerintahan RI kontemporer? Ibarat Orde yang lama, namun dengan kemasan baru yang disertai cap “hasil produk demokrasi” guna menggembirakan rakyat kita yang sejatinya hanya diposisikan sebagai “penggembira” kepentingan elit politik belaka.
Faktor kedua, adakah perbaikan jumlah hutang Negara Republik Indonesia bila kita bandingkan dengan kondisi yang menjadi penyebab kejatuhan Orde Baru, apakah kian membengkak atau sebaliknya? Sekali lagi, PDB bukanlah nilai real kekayaan pemerintah Indonesia—bagaimana mungkin, properti atau aset kekayaan milik rakyatnya dianggap sebagai jaminan hutang pemerintah Indonesia terhadap kreditor lokal maupun kreditor asing dari Republik Indonesia? Masih ingatkah kita, alasan kejatuhan Orde Lama dan adakah perbedaannya dengan kondisi saat kini?
Jika pemerintah Indonesia hendak “bangkrut” (bankrupt), maka silahkan pailitkan pejabat negara yang pernah menjabat, namun jangan seret serta kekayaan milik rakyat sebagai jaminan hutang seolah-olah sedang diagunkan secara terselubung oleh pemerintah yang mendalilkan kesehatan ekonomi suatu negara ialah dengan rumusan “hutang dibandingkan dengan PDB” (debt to PDB ratio), bukan “hutang negara terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.
Menjadi pertanyaan utama yang suka atau tidak suka perlu kita ajukan bagi pemangku jabatan negeri ini, yakni : Buat apa selama ini kita selaku rakyat dipaksa membayar pajak penghasilan, pajak tanah (Pajak Bumi dan Bangunan maupun Bea Perolehan Hak Atas Tanah), pajak pertambahan nilai (karenanya pula, semua konsumen produk yang dijajakan di pasar swalayan adalah merupakan pembayar pajak, tanpa terkecuali), di-“peras” secara terselubung lewat pembebanan iuran dan retribusi “program (milik) pemerintah” yang diberi cap “gotong-royong”, namun ketika tatkala rakyat menjerit dan menderita terpukul tingkat ekonominya akibat wabah pandemik global, otoritas negara seolah tidak mampu berkontribusi nyata berdasarkan prinsip bertimbal-balik (asas resiprositas) menopang dan menolong rakyat yang kesusahan?
Jangankan mengharap akan menolong rakyat, ketika keadaan negara berjalan normal saja, yang terjadi pada realita lapangan ialah pengabaian dan penelantaran aduan / komplain / laporan warga selaku korban ataupun atas layanan publik, berbagai aksi pungutan liar dan pemerasan “oknum” berjemaah berbagai instansi pemerintahan, serta berbagai aksi tidak terpuji aparatur dan pejabat negara seperti aksi korupsi, yang terjadi selama sekian puluh tahun republik ini berdiri dan berjalan. Maka, harapan atau kepercayaan apakah yang dapat ditaruh dan diberikan oleh rakyat ketika bangsa kemudian dilanda krisis serta ancaman “musuh tidak terlihat” semacam pandemik wabah yang mampu mengguncang ekonomi negara raksasa sebesar China?
Berpuluh-puluh tahun negara telah menarik pajak serta retribusi, namun untuk baru satu bulan berjalan dari pukulan ekonomi wabah yang menjangkiti negeri, negara seolah tidak mampu SEBALIKNYA menghidupi rakyatnya? Maka untuk apa pula rakyat menghidupi negara? Seseorang yang memahami prinsip “gemar menabung dengan hidup berhemat”, tahu betul bahwa satu atau dua bulan terpukul keadaan ekonomi makro maupun mikro, tidak berdampak dahsyat bahkan sampai mengancam kebangkrutan. Namun, negara kita yang selama ini menarik pajak dan retribusi dari rakyatnya, untuk satu atau dua bulan menghidup rakyatnya pun, tidak mampu dan tidak sanggup? Lalu, untuk apa negara ini dihidupi oleh rakyatnya? Bukankah itu adalah ironi dari republik yang sudah hampir genap satu abad merdeka dan mandiri ini?
Itu semua dapat terjadi karena negara tercinta kita ini telah “salah kelola”, dimana ketika tidak terjadi musibah maupun keadaan genting yang berdampak massal terhadap ekonomi maupun kesehatan masyarakat, negara dikelola secara “kerja santai”. Akan tetapi ketika musibah benar-benar terjadi, negara seolah gagal mengantisipasi, saling lempar tanggung-jawab, bermain mental “korban”, mengamking-hitamkan pihak swasta, kebijakan “kebakaran jenggot”, serta bersikap kekanakan yang seolah jusru meminta ditopang dan dihibur oleh rakyatnya alih-alih melindungi dan menjaga baik-baik rakyatnya yang selama ini membayar dan dibebani berbagai pungutan maupun pajak—terlebih besaran “pungutan liar” oleh penyelenggara negara yang nilainya jauh lebih besar lagi dan melukai perasaan rakyat sipil yang tidak berdaya seolah dieksploitasi tanpa dapat melakukan perlawanan secara berarti selama bertahun-tahun.
Seperti apakah itu “salah kelola”? Jangankan berbicara hal besar seperti mengelola negara dimana rakyat jelatanya tidak kalah korup dengan pejabat negaranya (bahkan pedagang ayam potong di pasar tradisional mengancam kesehatan konsumennya dengan menjual daging ayam berpengawet mayat hingga memberikan pewarna tekstil, dimana perilaku pengusaha besarnya lebih mengerikan lagi, kartel harga dan monopoli usaha), penulis memiliki pengalaman nyata bahwa transparansi dan akuntabilitas tidak terjadi pada tataran paling mikro seperti pengelolaan keuangan RT / RW oleh pengurus Ketua Rukun Tetangga maupun Rukun Warganya.
Sebagai gambaran, RW pada lingkungan kediaman domisili penulis memiliki sebidang luas tanah milik pemerintah daerah (Pemda) dalam saat hamparan yang berdiri sebuah gedung “balai warga”, taman, lapangan yang dalam momen-momen tertentu disewakan bagi kepentingan resepsi pernikahan warga, serta berbagai lapak / kios permanen yang karena posisinya strategis tepat di pinggir jalan raya maka disewakan oleh pengurus RW kepada berbagai pelaku usaha seperti kios kuliner maupun pembuatan plat nomor kendaraan dan lain sebagainya yang dimasukkan ke kas RW (sekalipun itu sejatinya ilegal, menyewakan aset properti milik Pemda). Kondisi demikian telah berlangsung puluhan tahun lamanya secara terang-terangan.
Namun, selama hampir empat puluh tahun lamanya praktik demikian berlangsung di atas lahan yang dikelola pihak RW, pihak pengurus RW maupun RT tetap saja mengklaim bahwa pihak RW kekurangan dana dan membutuhkan biaya untuk membangun gedung “balai warga” yang telah bobrok dimakan umur (klaim mereka meski diragukan warga) dan meminta dana sumbangan dari warga penghuni lingkungan perumahan disamping pungutan rutin iuran bulanan pemeliharaan lingkungan dimana para aparaturnya seperti petugas keamanan dan petugas kebersihan lebih banyak “makan gaji buta”.
Perilaku pengurus RT dan RW yang meminta sumbangan dari warga, tanpa rasa malu meski sudah puluhan tahun berbagai lapak-lapak komersiel disewakan oleh pengelola RW kepada pelaku usaha, dengan klaim belum juga mampu mengumpulkan dana guna revonasi gedung “balai warga”, maka sebagai tanggapannya penulis menanggapi berupa “sentilan” secara halus saja, bahwasannya permintaan dan klaim demikian sangatlah ganjil dan tidak logis, mengingat seorang pemilik rumah sewaan saja mampu merenovasi rumahnya dari uang sewa yang dibayarkan oleh seorang penyewa rumah, maka bagaimana mungkin penyewaan berbagai bidang tanah kepada berbagai pelaku usaha dan pelapak maupun untuk kepentingan resepsi pernikahan yang memakai lapangan diatas bidang tanah milik Pemda tempat berdirinya “balai warga”, dan sudah berlangsung puluhan tahun lamanya, disamping pungutan iuran bulanan dari warga, belum juga mencukupi biaya renovasi gedung “balai warga”?
Itulah contoh nyata “salah kelola” dalam lingkup mikro terkecil di negeri ini, yakni keuangan dan pengelolaan kas RW / RT oleh pengurusnya baik oleh Ketua, Bendahara, maupun sekretarisnya. Ketika penulis menantang agar keuangan RW sebaiknya diaudit, pihak Ketua RT yang meminta dana sumbangan tersebut tidak berani menanggapi, karena sudah rahasia umum “sama-sama sudah tahu” bahwa klaim “tidak mampu” demikian adalah “konyol” adanya dan layak ditertawakan seolah warga telah demikian bodohnya sehingga akan terjebak dalam klaim yang “semua sudah sama-sama tahu tidak benar”.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bukan hanya Kepala Negara kita yang dipilih secara langsung secara demokratis oleh rakyat Indonesia, namun juga seorang Ketua RT hingga Ketua RW, dipilih langsung juga oleh warga setiap periode lima tahunan di lingkungan pemukiman penulis berdomisili. Namun, yang tidak pernah penulis habis pikir dan merasakan sangat tidak logis, mengapa sekalipun pejabat seperti Kepala Negara hingga Ketua RT dan Ketua RW silih-berganti memangku jabatan serta dipilih dari tengah-tengah warga dan rakyat kita sendiri, tidak kunjung ada perbaikan terhadap wajah akuntabilitas serta transparansi pengelolaan, terutama pertanggung-jawaban atas pemasukan dan pengeluaran keuangan.
Apakah karena tidak ingin, rakyat atau warga mengetahui telah terjadinya “salah urus” dan “salah kelola” terhadap republik ini maupun terhadap warganya? Ataukah memang sejauh itu saja cerminan umum watak bangsa kita, sehingga siapapun calon yang terpilih sebagai pemimpin, tetap saja kita akan menemukan fakta bahwasannya tiada perubahan berarti selain mewarisi tongkat estafet sifat ketertutupan serupa. Tidak perlu audit, dengan akal sehat saja, kita sudah mengetahui adanya “bau amis” serta “persangkaan / petunjuk” adanya kolusi oleh aparatur pengurus / pemimpin komunitas kita.
Memang menjadi cukup apatis melihat negeri ini, seolah siapa pun yang menjabat sebagai kepala suatu negara, sebagai ketua suatu komunitas warga ataupun organisasi tidak terkecuali badan hukum nirlaba seperti yayasan, tiada perubahan berarti selain segala klaim keberhasilan dan prestasi yang “selangit” disamping janji-janji kampanye yang tidak pernah kunjung terealisasi—meski gaibnya, sekalipun rakyat / warga mengetahui dan menyadari bahwa janji-janji kampanye dalam kampanye sebelumnya tidak pernah terwujud, namun sang pemimpin kembali terpilih oleh rakyat / warga dalam pemilihan langsung periode berikutnya.
Mungkin, karena rakyat yang memilih dan akan dipimpin oleh sang pemimpin, sama korupnya—karena semua “sudah sama-sama tahu”. Sesukar itukah, bangsa ini hidup secara jujur, transparan, dan akuntabel sekalipun tanpa diawasi dan tanpa diaudit pihak luar? Bukankah ironis, bangsa yang membutuhkan pengawas, auditor, maupun lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi?
Akhir kata, penulis memohon maaf atas kejujuran penulis yang menggambarkan kondisi nyata aktual di Indonesia, tanpa bumbu-bumbu “penyedap”, pahit namun itulah kenyataannya. Jika kita mendambakan untuk hidup tenang di Indonesia, maka bersiaplah untuk menelan pil pahit (setiap harinya), si vis pacem para bellum. Kapankah, warisan budaya “salah kelola” dan “salah urus” ini kita putus mata rantainya agar tidak kita turunkan kepada generasi muda penerus kita?
Bukanlah persoalan tidak mampu, namun tiadanya kemauan, itulah akar penyebab yang penulis terangai bila kita hendak berkata jujur menaggapi realita yang bersentuhan dengan kita dikeseharian pada lingkup komunitas terkecil sekalipun. Karena dalam ketidak-jujuran, akan ada segelintir pihak berkuasa yang diuntungkan dan pihak lain yang dijadikan inang / tumbal / korbannya. Dengan kata lain, adanya kepentingan politis yang terlibat, yang membuat mata rantai warisan budaya ini sulit untuk terputus.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.