Antara Kredit, Bunga, Denda, Pinalti, Bagi Hasil, dan Praktik Rentenir

ARTIKEL HUKUM
Terdapat beragam wajah modus “penyelundupan” hukum terkait pinjam-meminjam sejumlah dana, baik itu yang dikemas dengan sebutan kredit, pembiayaan, pengakuan hutang, dan berbagai istilah lainnya, dimana tujuan utamanya ialah demi mengambil keuntungan dengan peminjaman sejumlah dana demikian oleh sang kreditornya. Yang membedakan ialah ragam kewajarannya, apakah tingkat bunga yang dibebankan adalah wajar atau tidaknya dari nilai kepatutan.
Bahkan, dalam tren teraktual, kalangan debitor memakai kemasan yang diselubungi dengan istilah yang cukup mengecoh, yakni “investasi”, seolah kreditor yang dipinjam serta dihimpun dananya sekadar sedang melakukan langkah “investasi” semata, sehingga dengan senang hati bahkan berlomba-lomba menawarkan dananya untuk di-“tanam”. Menghimpun dana dari publik (umum), dengan kemasan judul “investasi”, tidak lain ialah guna mengecoh otoritas dibidang moneter yang selama ini mewajibkan kegiatan usaha yang menghimpun dari publik agar memiliki izin usaha penghimpunan dana dengan ancaman pemidanaan penjara sesuai Undang-Undang tentang Perbankan ketika dilakukan tanpa izin.
Mari kita kupas satu per satu, sesuai praktik yang kerap terjadi di lapangan, disertai berbagai modus “penyelundupan” hukum yang selama ini merebak di masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kita mulai dengan memahami frasa “bunga” atas suatu fasilitas kredit, pembiayaan, dan istilah lainnya. Yang disebut dan dimaksud dengan “bunga” (“interest”) ialah sesuatu yang sifatnya tetap wajib dibayarkan oleh pihak peminjam dana / debitor, secara rutin, dimana beban resiko usaha yang dimiliki sang debitor bukan atau tidak menjadi urusan dari pihak kreditor (akan kita bandingkan / sandingkan dengan terminologi “bagi hasil usaha” dalam bahasan selanjutnya). Kedua, terjadi cicilan terhadap angsuran atau menunggaknya debitor terhadap angsuran yang rutin dibayarkan oleh sang debitor, tetap memberikan hak kepada kreditornya untuk menarik / membebani “bunga”.
Karenanya, bukanlah “alasan pemaaf” ketika sang debitor terancam bangkrut, mengalami kerugiaan saat memutar modal usaha, mengalami force majeure seperti merosotnya nilai riil mata uang Rupiah terhadap valuta asing (valas), masuknya berbagai kompetitor ke pasar yang sama mengakibatkan share market terdepresiasi, anjloknya nilai saham ketika sang debitor yang menjadi emiten di pasar modal, dan satu atau lain sebab lainnya. Mengingat seluruh resiko dan beban kerugian ditanggung oleh sang debitor, maka phak kreditor tetap berhak memungut serta menagihkan sejumlah “bunga” atas fasilitas kredit modal kerja yang disalurkan olehnya, apapun alasan sang debitor.
Kini, kita akan membahas “penyelundupan” hukum terkait “denda”. Pemerintah, lewat regulasi otoritas dibidang keuangan maupun praktik peradilan, telah lama melarang praktik-praktik rentenir ataupun yang menyerupai praktik-praktik rentenir (“lintah darat”). Definisi dari rentenir, ialah kreditor yang meminjamkan sejumlah dana, dengan tuntutan “imbal balik” yang mana tingginya sangat tidak proporsioal, diluar ambang batas kewajaran, melampaui kepatutan “bunga” kredit yang biasanya hanya sekitar 6% (enam persen) per tahun namun oleh pihak rentenir dibuat menjadi sangat tinggi berkali-kali lipat sehingga seolah memang sudah dirancang sejak semula (“by design”) sang debitornya akan gagal bayar, gagal mencicil, serta gagal melunasi.
Kata kunci guna mengidentifikasi seorang rentenir, terletak pada definisi di atas dengan menggaris-bawahi klausa “imbal balik yang sangat tidak proporsional”. “Imbal balik”, memiliki wajah atau nama lainnya berupa bunga, denda, bagi hasil, dan isitlah lain sebagainya yang sejatinya adalah sinonim dengan “bunga”. Pada gilirannya, yang disasar oleh sang rentenir biasanya ialah berusaha “memutihkan” perilaku ilegalnya dengan membuat “pemutihan” atas bunga rentenirnya, yakni modus “Akta Pengakuan Hutang”, sehingga seolah-olah seluruh bunga-bunga rentenir tersebut yang selama bertahun-tahun tertunggak oleh sang debitor, akan dianggap sebagai bagian dari pokok hutang dalam “Akta Pengakuan Hutang” yang saat kini dibentuk olehnya. Seorang debitor yang tidak paham hukum, tentunya akan mudah terjatuh dan terjebak dalam jebakan yang dimainkan dengan sangat apik oleh mereka yang berprofesei sebagai “rentenir kerah putih yang canggih” ini.
“Penyelundupan” hukum berupa “pemutihan” bunga rentenir demikian, menjadi tampak terselubung serta sukar dikenali ketika kita hanya membaca “Akta Pengakuan Hutang” baik berwujud “akta dibawah-tangan” maupun “akta otentik”. Kita sebagai pihak ketiga, maupun Majelis Hakim di persidangan, hanya akan membaca seluruh total pokok hutang disertai seluruh total bunga rentenir sebagai satu buah nominal yang dinamakan sebagai pokok hutang tunggal dalam “Akta Pengakuan Hutang” demikian. Itulah yang biasanya disasar oleh kalangan “lintah darah” yang mengambil / memetik keuntungan secara tidak patut dengan “mencekik” kalangan lain yang lebih lemah daya tawar maupun posisi ekonominya.
Sebagaimana namanya, “rentenir”, tidak memiliki kode etik profesi selain memain “hukum rimba” dengan mencoba “mengakali hukum”—namun gaibnya kemudian mencoba mengharap ditegakkannya hukum ketika debitornya terus-menerus menunggak dan wanprestasi. Sang rentenir merasa bebas, semetara praktik legal lembaga keuangan ataupun lembaga pembiayaan, diawasi dan wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan serta diancam norma-norma hukum dalam Undang-Undang Perbankan maupun Lembaga Pembiayaan dimana konsumennya dilindungi oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.
Barulah, ketika sang debitor mengutarakan fakta yang sebenarnya, bahwa nilai hutang dalam “Akta Pengakuan Hutang” tersebut bukanlah hutang-piutang murni, namun adalah hasil penyatuan antara pokok hutang disertai total seluruh tunggakan bunga rentenir yang sebelumnya terjadi sebelum dibentuk “Akta Pengakuan Hutang”. Namanya juga “pengakuan” hutang, sehingga sejatinya ada atau terdapat causa lain yang mendahuluinya atau sebelumnya telah dibentuk oleh para pihak.
Praktik peradilan telah menyatakan, bahwa “Akta Pengakuan Hutang” demikian, bukanlah “causa yang sahih”, sehingga masih dapat dibantah oleh pihak debitornya, sekalipun itu adalah “akta otentik”, mengingat kalangan hakim telah mafhum bahwasannya “Akta Pengakuan Hutang” kerap disalah-gunakan guna melegalkan apa yang sejatinya ilegal (“pemutihan” terselubung). Karenanya, tidak selamanya kaum “rentenir” dapat berlindung dibalik instrumen yang tidak diakui kemutlakannya bernama “Akta Pengakuan Hutang” demikian.
Hal kedua yang biasanya disasar oleh kalangan rentenir, ialah sebuah praktik yang dikenal dalam terminologi hukum terutama norma hukum bentukan preseden, ialah sebagai “milik beding” yang ilegal dan dilarang oleh hukum. “Milik beding” bermakna, ketika sang debitor gagal membayar, mencicil, dan melunasi (wanprestasi), maka sang kreditor berhak untuk mengambil-alih ataupun menjual objek agunan milik sang debitor, secara “main hakim sendiri” tanpa diikat dengan instrumen legal seperti Fidusia maupun Hak Tanggungan, dengan harga jual yang ditentukan sepihak oleh sang kreditor, bahkan dijual kepada diri sang kreditor itu sendiri dengan harga yang diluar kewajaran. Ibarat meminjamkan ikan teri, namun memakan ikan paus satu-satunya milik sang debitor.
Kini kita beralih pada isu hukum yang paling “sensual” dalam ranah pinjam-meminjam sejumlah dana, yakni perihal “denda”. Di luar negeri, sistem perbankan mereka hanya mengenal istilah “bunga”. Entah bagaimana, dan yang menjadi minat paling utama perbankan asing menancapkan akar-akar korporasinya di Indonesia, yakni disamping pembebanan berupa “bunga”, pihak debitornya dibebani pula apa yang oleh kalangan perbankan di Indonesia disebut sebagai “denda”, “pinalti”, dan lain sebagainya. Sehingga terdapat tiga komponen yang sejatinya memaksa sang debitor untuk terjebak dan terjerumus gagal bayar, yakni : “bunga”, “denda”, dan “pinalti”—dimana sang debitor tetap dibebani “bunga” sekalipun dibebani juga “denda” dan “pinalti” ketika menunggal cicilan.
Ketika sang debitor menunggak cicilan atau angsuran rutin bulanan, maka bukan hanya sang debitor dibebani sejumlah “bunga” kredit, namun juga “denda”, serta “pinalti” yang jumlahnya ditetapkan sesuka hati sang kreditor. Maka, ketika elemen-elemen seperti “bunga”, “denda”, dan “pinalti” kita satukan, berdasarkan pengamatan penulis saat memberikan konseling hukum kepada berbagai kalangan debitor yang bahkan debitor dari perbankan “plat merah”, ternyata nilai tagihan tunggakan totalnya menyerupai dan tidak dapat dibedakan dengan praktik RENTENIR.
Menjadi tidak mengherankan, bila seluruh kalangan perbankan yang bermain di Indonesia, serba makmur dan kian menjelma korporasi raksasa, tidak lain tidak bukan ialah berkat hasil usaha kotor yang menyerupai “rentenir” tersebut di atas. Tidak sedikit kalangan mantan pegiatan perbankan, ketika tidak lagi berkecimpung di dunia perbankan, mengakui kepada penulis bahwasannya seluruh perbankan di Indonesia memiliki wajah tidak ubahnya dengan karakteristik tipikal dari seorang rentenir. Disaat bersamaan, sang pemilik perbankan, menjadikan dana murah dari para nasabahnya untuk mendanai (dana segar murah) berbagai usaha-usaha pribadi. Sukat kita jumpai perbankan maupun Bank Perkreditan Rakyat yang bangkrut usahanya, mengingat praktik usahanya sangat menyerupai rentenir, yang bahkan secara istimewa dilegalkan oleh hukum. Hanya rentenir “ketinggalan zaman” yang masih menjadi rentenir konvensional.
Itulah kabar sekaligus fakta yang paling mengejutkan dan menyentak kesadaran penulis, dan juga ternyata terjadi pada praktik perbankan lainnya, bahwasannya berbagai perbankan di Indonesia baik itu perbankan swasta nasional, perbankan swasta asing, maupun perbankan “plat merah” Badan Usaha Milik Negara maupun Daerah, praktik usaha mereka tidak ubahnya dengan “rentenir kerah putih yang dilegalkan”.
Itulah sebabnya, kini banyak perseroan yang memilih untuk mencari dana segar dengan “go publik” dengan listing perusahaannya di pasar modal, atau menerbitkan obligasi korporasi dan instrumen-instrumen keuangan seperti Medium Term Note (MTN) alih-alih meminjam modal usaha di perbankan, karena mereka mulai menyadari betapa “konyol”-nya terminologi-terminologi kalangan perbankan, yang membuat jasa keuangan kian dijauhi para usahawan yang mulai melirik instrumen keuangan lain seperti obligasi dan MTN demi terhindar dari jeratan “rentenir yang dilegalkan” demikian.
Karenanya pula, hanya kalangan rentenir bodoh yang masih memakai cara-cara konvensional dengan mencantumkan nilai bunga yang tinggi dalam suatu perjanjian hutang-piutang. Sebagaimana riset yang penulis lakukan dan telaah, memang tidak pernah lagi saat kini dijumpai sengketa terkait rentenir di persidangan. Namun, disaat bersamaan, sengketa perdata terkait praktik “rentenir terselubung” yang mengatas-namakan jumlah total tunggakan akibat denda, pinalti, serta tunggakan “bagi hasil”, atau istilah lainnya, justru kian mendominasi perkara perdata terkait pinjam-meminjam uang di ruang peradilan. Isinya sama, namun berganti kulit dan kemasan. “Bunga tinggi” yang turut berevolusi menjadi “bagi hasil”, “denda”, dan “pinalti”.
Sebagai kesimpulan, kalangan rentenir, baik itu rentenir kelas desa maupun rentenir kelas urban, telah berevolusi dan turut “melek” terminologi yang “jahat namun dilegalkan” seperti penggunaan istilah-istilah dalam dunia perbankan yang sejatinya tidak lain tidak bukan ialah “rentenir terselubung”. Singkat kata, yang murni praktik usaha fasilitas kredit yang bukan dijadikan kedok oleh kalangan rentenir, ialah total angsuran serta pokok hutang hanya sebatas nilai suku bunga kredit acuan Bank Indonesia. Diluar itu, semisal angka 3% (tiga persen) per bulan sebagai “bagi hasil usaha” dari nilai pokok hutang, yang bila dikalkulasi per tahunnya menjadi 3% x 12 bulan = 36% (tiga puluh enam persen), maka yang menjadi pertanyaan ialah : Dimana letak perbedaannya dengan praktik rentenir itu sendiri? Berani penulis jamin, kalangan debitor yang pandai mengelaborasi kata-kunci tersebut yang telah penulis kemukakan di atas, akan membuat sang kreditor (rentenir) “mati kutu” dan akan dipandang rendah oleh Majelis Hakim di persidangan.
Bila memang sistemnya ialah kesepakatan “bagi hasil”, maka artinya ia tidaklah menjadi istrumen yuridis yang pasti lagi sifatnya, dalam artian karakteristiknya menjadi menjelma menjadi serba “menggantung” atau “bersyarat”. Antara terminologi “bagi hasil” dan “bunga”, memiliki karakter serta fungsi yang berlainan. Bila “bunga”, kembali pada definisi di atas yang sebelumnya telah kita bahas bersama, sifatnya ialah pasti dan rutin, dimana beban resiko usaha semata dipikul oleh pihak debitor. Sebaliknya, dalam terminologi “bagi hasil”, maka dapat terjadi kemungkinan usaha sang debitor mengalami keuntungan, atau bahkan sebaliknya, mengalami kerugian.
Karena ada “bagi hasil / untung usaha”, maka ada pula “bagi rugi usaha”, dimana menjadi wajar bila ternyata perputaran modal usaha dari dana pinjaman demikian ternyata mengalami kerugian sehingga terjadi gagal bayar, maka “bagi hasil” apa yang hendak diharapkan oleh sang kreditor? Dirinya bahkan tidak layak menyandang gelar / status sebagai kreditor, namun sebagai “pemodal” yang memikul pula resiko usaha “patungan” demikian (satu pihak sebagai “direktur” atau “manajer”, dan pihak rentenir selaku pemilik modalnya, sangat menyerupai analogi sebuah badan usaha seperti CV).
Kita kembali kepada perihak “denda” dan “pinalti”. Pertanyaan utama yang dapat kita kemukakan kepada Majelis Hakim di persidangan ialah, bila sudah diatur perihal “bunga” kredit, maka untuk apa lagi pengaturan perihal “denda” dan “pinalti”? Katakanlah, sang debitor menunggak bertahun-tahun atas angsuran atau cicilan kredit, maka total bunga tertunggak berdasarkan Akta Kredit biasanya telah diatur “bunga berbunga”, dalam artian total akumulasi bunga tertunggak turut dibebani bunga pada angsuran berjalan. Sehingga, dimana letak korelasi atau relevansinya antara meminjam kredit dan “denda” ataupun “pinalti”, bila terhadap sang debitor telah dibebani “bunga”, “bunga berbunga”, maupun “total bunga tertunggak”?
Pernah terjadi, dalam satu satu putusan Mahkamah Agung RI dalam tingkat kasasi atas suatu sengketa antara sebuah lembaga pembiayaan leasing kepada konsumennya, Mahkamah Agung RI secara tegas membuat pernyataan dalam pertimbangan hukumnya bahwa sang perusahaan leasing tidak dapat membebani “bunga” kepada konsumennya, terlebih “total bunga tertunggak”, karena “bunga” pembiayaan telah sebelumnya sejak semula dikalkulasi menjadi nilai nominal angsuran bulanan “sewa-guna usaha” yang harus dibayar rutin oleh sang konsumen setiap bulannya, dimana bila tuntutan sang perusahaan leasing untuk membebani pula konsumennya dengan “bunga” disamping “angsuran bulanan”, maka yang terjadi kemudian ialah “bunga berganda” dan oleh Mahkamah Agung RI telah dinyatakan bahwa praktik demikian adalah melanggar Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang telah mengatur bahwa kesepakatan tidak boleh melanggar kepatutan maupun ketertiban umum.
Sama halnya, tidak terkecuali dengan Kredit Pemilikan Rumah dari perbankan, menurut Anda, apakah nilai angsuran bulanan yang diwajibkan oleh sang perbankan, belum mengandung unsur bunga? Jika terjadi tunggakan cicilan, berhak atau tidak berhak kalangan perbankan masih juga membebani “bunga” disamping total tunggakan cicilan kepada debitornya? Kini, menjadi sangat jelas jawabannya, serta tegas bahwa debitor KPR tidak dapat dibebani “bunga” atas fasilitas KPR, selain hanya dapat menagih total angsuran tertunggak.
Bukanlah tidak mungkin sebagaimana memang pernah terjadi, seorang debitor yang merasa baru menyadari telah terjebak oleh praktik rentenir yang mengatas-namakan “denda” maupun “bagi hasil”, justru secara proaktif menggugat kreditornya, ketika mendapati total tagihan tunggakan yang diluar kewajaran nominal “bunga” yang ternyata membengkak akibat elemen tambahan seperti “denda” maupun “bagi hasil”, dimana kemudian gugatan sang debitor dikabulkan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri dengan menyatakan bahwa kewajiban sang debitor ialah sebatas pokok hutang tertunggak serta bunga dengan angka kewajaran ialah sebatas 6% per tahun, tanpa unsur beban tambahan lainnya yang dibenarkan karena dinyatakan melanggar “causa yang sahih” sehingga dibatalkan keabsahan beban-beban dari “denda” maupun “bagi hasil” demikian, dimana hanya sebatas kedua elemen itulah (“pokok hutang” dan “bunga”) yang dapat ditagihkan oleh kreditornya kepada sang debitor.
Dalam penilaian pribadi penulis, kreditor yang menjelma menyerupai praktik rentenir itu sendirilah, yang sejatinya mendorong terjadinya wanprestasi oleh pihak debitornya itu sendiri. Betapa tidak, siapa yang akan sanggup, katakanlah, dibebani “bunga” dengan istilah apapun itu seperti “denda” ataupun “bagi hasil”, yang mencapai angka 3% per bulan, sama artinya mencekik dan mendorong debitornya untuk memilih “melarikan diri” dan itulah yang tepatnya penulis kerap berikan julukan sebagai “wanprestasi by design” oleh sang kreditor itu sendiri.
Jika sudah terjadi seperti demikian, maka siapakah yang paling patut dipersalahkan? Kreditor yang baik dan memang berniat menolong peminjam dana, tidak pernah “by design” menjerumuskan debitornya ke arah lembah “kredit macet”. Itulah sebabnya, penulis selalu menghimbau sanak-keluarga pribadi penulis, untuk tidak pernah bersentuhan dengan pinjam-meminjam dana atau kredit atau istilah sejenis lainnya. Himpun dana modal usaha dari kegiatan menyisihkan sebagian dari penghasilan bulanan, cara ini jauh lebih ideal ketimbang terjerat jeratan penuh jebakan kalangan “rentenir pasar” maupun “rentenir kerah putih”. Cara kedua, berhutang kepada diri kita sendiri. Bukan soal berhutang atau tidak berhutang untuk modal usaha, namun tanyakanlah : BERHUTANG KEPADA SIAPA. Sekali Anda salah menentukan kepada siapa Anda berhutang, vonis mati untuk diri Anda sendiri, itulah yang tidak pernah diajarkan oleh entrepreneur mana pun. Ketiga, jangan jadikan aset sebagai aset utama Anda, namun jadikan diri Anda sebagai aset paling utama dari diri Anda sendiri, itulah yang tidak pernah diajarkan oleh bangku pendidikan formil mana pun.
Easy come, easy going. Menjadi pengusaha atau usahawan, tidak identik dengan “modal dari berhutang”, agar tidak terjemurus menjelma “raja hutang”. Apakah sang rentenir akan bermurah hati pada sang debitornya? Bahkan kalangan perbankan yang sudah berwujud korporasi raksasa, masih lapar dan haus mempailitkan debitornya, terlebih rentenir konvensional? Ketika seluruh kalangan usahawan, terutama usahawan start-up menyadari prinsip tersebut, maka perlahan namun pasti profesi rentenir akan mati secara sendirinya, tidak terkecuali para perbankan serakah. Sebagai penutup, Mahkamah Agung RI pernah memutuskan perkara gugatan wanprestasi yang diajukan oleh seorang kreditor, namun sekalipun gugatan dikabulkan sebagian dengan menyatakan Tergugat adalah betul telah wanprestasi, akan tetapi tuntutan berupa uang bagi hasil bulanan senilai 36% per tahun ditolak dan hanya dikabulkan sebesar 6% per tahun. Artinya, Mahkamah Agung RI tidak mementingkan apapun istilahnya, imbal hasil telah dikunci pada angka kepatutan pada nilai 6% per tahun, tidak lebih dari itu, sekalipun memang preseden demikian belum cukup konsisten dipraktikkan oleh kalangan Hakim Agung Mahkamah Agung RI.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.