Kekuatan Bukanlah sebuah Dosa, Namun Penyalahgunaan terhadap Kekuasaan yang Menjadi Sumber Petaka

ARTIKEL HUKUM
Siapa yang akan menyangka, antara jenius, idealis, dan seorang psikopat, hanya selisih tipis. Artikel singkat ini akan membahas betapa mengerikannya godaan dibalik “penyalah-gunaan” kekuasaan. Bukanlah kekuatan dan kekuasaan yang mengerikan, namun godaan untuk menyalah-gunakannya yang paling menakutkan dan dapat membawa petaka bagi banyak orang dan bagi dirinya sendiri. Kekuatan ataupun kekuasaan apa pun wujudn dan derajatnya, baik kekuatan dari segi fisik, dari segi kuantitas orang, dari segi politis, dari segi etnik mayoritas, dari segi ekonomi (uang), dan dari berbagai segi lainnya.
Beberapa waktu lampau, kalangan penggemar anime maupun “manga” tentunya pernah menyaksikan atau membaca sebuah komik termasyur asal Jepang berjudul “DEAD NOTE” yang sangat laris serta sempat populer di pasaran dan memiliki banyak penggemar karena keunikan penokohan di dalamnya. Secara singkat, kisah bermula dari seorang pemuda idealis yang ingin memberantas penjahat dan kejahatan yang tidak tersentuh oleh hukum. Ketika dirinya secara kebetulan menemukan buku “ajaib” yang mampu merenggut nyawa seseorang yang namanya ditulis manual oleh pemegang buku ke dalam kertas di dalamnya, maka orang yang dituliskan namanya tersebut akan meninggal secara seketika tanpa sebab.
Mulanya, idealisme sang pemuda akhirnya menemukan sarananya dan mulai terobsesi untuk menjadi eksekutor terhadap orang-orang yang menurutnya “lebih baik mati saja”. Tanpa disadari olehnya, obsesi dan kebiasaan barunya membunuh orang lewat sarana buku “sakti mematikan” di tangannya tersebut, menjelma menjadi manusia yang mengerikan, haus darah, dan psikopat. Terjadilah pertarungan sengit antara dua tokoh yang sama-sama jenius, adu strategi terjadi antara sang psikopat dan seseorang yang “eksentrik” yang pada gilirannya juga tidak luput menjadi korban kegilaan sang “psikopat”.
Buku “ajaib” dalam kisah di atas, menyimbolkan kekuatan dan kekuasaan atas hidup orang lain. Sementara pemegang buku tersebut dapat kita sebut sebagai pelaku penyalah-gunaan. Bukan buku “ajaib” itu sendiri yang merupakan “dosa” atau “jahat”, namun pemegangnya tidak mampu mengontrol godaan dari dalam dirinya untuk menyalah-gunakannya kekuatan buku yang ada di tangannya. Mungkin kita pada akhirnya akan memandang rendah sang tokoh utama dalam kisah tersebut, sebagai orang “gila”, “pembunuh”, memiliki “obsesi diluar kendali”, dan lain sebagainya.
Tampak miris sekaligus ironis, pemuda baik-baik yang penuh idealisme dalam hidupnya, menjelma “psikopat” mengerikan “haus darah”. Namun ketika penulis mencoba merenungkan lebih jauh makna implisit dari kisah di atas, penulis menemukan sebuah kejutan yang lebih mengejutkan sanubari penulis. Kisah tersebut, penulis saksikan satu dekade yang lampau, namun hingga kini kesan dibaliknya masih terus melekat di benak penulis. Terbayangkan oleh penulis, bila seandainya memiliki buku dengan “keajaiban” serupa di tangan penulis, apakah tidak mustahil sikap idealisme dan berbagai kecerdasan milik penulis, dapat menjelma seorang “psikopat” yang tidak lebih baik daripada kondisi sang tokoh “penuh obsesi gila” dalam kisah dimaksud?
Mulanya kita yakin bahwa diri kita bukanlah seorang “psikopat haus darah”, bahwa kita seorang “idealis”, bahwa kita “humanis”, bahwa kita “beradab”, bahwa kita anti “kejahatan”, bahwa kita “berbeda dari orang-orang jahat yang ingin kita berantas”, bahwa kita “percaya tentang diri kita sendiri”. Namun, menyerah dan tunduk pada godaan, ternyata dapat mengubah seseorang yang “idealis” menjelma menjadi seorang “psikopat”.
Penulis tidak memungkiri bahwa ada potensi kegilaan serupa seperti seorang “psikopat” bila sampai memiliki kesaktian demikian, dapat merenggut nyawa dan hidup orang-orang jahat cukup dengan semudah menjentikkan satu jemari tangan. Penulis menyadari betul potensi tersebut sekalipun saat ini tidak terlihat, tidak tampak kasat-mata, tidak muncul ataupun menonjol, dan tidak menunjukkan gelagat di permukaan, namun potensi tersebut tetap ada dan sifatnya laten dalam diri kita masing-masing terutama ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri perilaku jahat yang tidak tersentuh oleh aparatur penegak hukum kita yang tidak kalah korupnya—bukan hanya penokohan dalam kisah fiksi dimaksud maupun dalam diri penulis seorang diri. Ia hanya butuh pemicu dan sarana untuk bangkit dan muncul ke permukaan lewat sarana seperti kekuatan dan kekuasaan, dimana semakin absolut kekuataan di tangan kita, maka makin absolut juga “kegilaan” kita untuk mewujud pada gilirannya. Itulah sebabnya, kisah fiksi tersebut menjadi fenomenal, karena menyentil kegilaan dalam diri seorang anak manusia manapun.
Menyadari akan hal tersebut, kita mulai perlu menaruh waspada terhadap perbuatan dan isi pikiran diri kita sendiri, dan mulai menyadari bahaya laten dibalik godaan untuk menyalah-gunakan kekuatan dan kekuasaan—namun sekali lagi, bukan kekuatan ataupun kekuasaan itu sendiri yang paling menakutkan, karena sifat dari kekuatan ataupun kekuasaan sejatinya netral saja dan tidak memiliki nilai layaknya selembar uang ataupun pisau yang “benda mati” dan tidak memiliki jiwa ataupun untuk menentukan kehendaknya sendiri, namun kita selaku pemegangnya yang memberikannya suatu nilai tertentu lewat cara penggunaannya, apakah untuk hal-hal baik ataukah untuk sebaliknya. Disebut “baik” sekalipun, sejatinya sangat bias, “baik untuk siapa dan dari kacamata siapakah?”
Niat awalnya, mungkin saja baik, seperti niat awal penokohan pada kisah di atas, maupun pada niat awal di benak penulis, untuk memberantas kejahatan agar bersih dunia ini dari orang-orang jahat—suatu niat yang sejatinya serupa dengan idealisme awal dari sang pemuda tokoh fiksi tersebut yang pada akhirnya menjelma “psikopat”. Ternyata, niat awal tetap tunduk pada hukum perubahan, dan dapat berubah, bukan tidak mungkin berubah, namun niscaya untuk berubah seiring waktu dan seiring cara penggunaan kekuatan yang ada di tangan kita (idealism is a subject to change).
Contoh, semula berpraktik dalam dunia hukum, penulis memiliki idealisme untuk membela kaum “proletar” di Tanah Air. Namun, seiring berjalannya waktu penulis mendapati banyaknya pelecehan kalangan buruh maupun pekerja yang menyuruh penulis agar “mati makan BATU namun menuntut agar dilayani”, pada gilirannya membuat penulis berganti haluan 180 derajat menjadi penentang keras kaum buruh di Tanah Air. Dapat kita lihat, waktu serta perjalanan dan pengalaman hidup seseorang individu, dapat merubah idealisme awal menjadi sebaliknya, dengan sangat kontras.
Jika sudah seperti itu, siapakah yang paling patut dipersalahkan? Dalam tokoh fiksi di atas, sang pemuda idealis merasa kecewa atas sikap kepolisian yang seolah melindungi penjahat dengan mencoba menghentikan ulah sang pemuda yang kian “terobsesi” membantai penjahat ini, sampai akhirnya berbalik menjadi penentang sekaligus musuh paling penuh kebencian terhadap kepolisian bahkan dikisahkan mencoba memcoba membunuh ayahnya sendiri yang seorang kepala kepolisian.
Namun, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada cara berpikir kita ketika kita telah tenggalam jauh ke dalam dasar lumpur penyalah-gunaan kekuatan dan kekuasaan yang kita miliki. Bisa jadi kita semakin tergila-gila pada obsesi “gila” kita, tidak menyadari bahwa kita mulai dikuasai oleh kegilaan, mengira bahwa semua ini adalah idealisme yang agung sebagaimana idealisme kita sedari sejak semula, dan meyakini bahwa kita telah berada dan tetap berada pada jalur yang benar—dengan mengubah definisi yang mereka yakini tentang apa itu “kebenaran”, tentunya. Mereka yang tidak menyadari kegilaannya, karena telah melebur menjadi satu dengan kegilaan itu yang kian menguasai cara berpikirnya, maka pada saat itulah kita menjelma menjadi seorang “psikopat”, disadari ataupun tanpa kita sadari.
Apakah Anda yakin, bahwa Anda tidak akan terperosok pada kesalahan serupa, dengan kesalahan besar yang dilakukan oleh sang penokohan fiksi di atas? Jangan terlampau cepat menyimpulkan dengan memberikan jawaban penuh keyakinan bahwa Anda berbeda dari kami semua, bahwa Anda imun dari “kegilaan” laten yang menyerupai bibit yang berhibernasi dalam diri kita, bahwa Anda seorang “idealis” tulen yang tidak mampu diprovokasi oleh godaan apapun, bahwa Anda seseorang yang luhur dan tidak mungkin menyalah-gunakan, bahwa Anda lebih besar dan lebih kuat daripada daya tarik kekuatan dan kekuasaan itu, bahwa Anda akan mempu mengontrol diri Anda dan tidak tenggelam ke dalam daya hisap kekuatan dan kekuasaan yang Anda pegang. Anda terlampau percaya diri, bila Anda memiliki asumsi demikian. Bisakah Anda menyebutkan, apa yang dimaksud dengan idealisme dan bersikap idealis? Bahkan Adolf Hitler pun merasa dirinya seorang idealis, hendak membersihkan suatu “etnik terbelakang” dari dunianya (etnic cleansing).
Apa yang diungkapkan oleh Lord Acton, selalu aktual serta kian relevan hingga saat kini, yakni : “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Perlu kita ketahui, saat Lord Acton membuat pernyataan demikian, kondisi situasi dunia masih cukup sederhana, dimana pemusatan kekuatan ekonomi masih terbatas. Bandingkan dengan kondisi saat kini, ketika kesenjangan ekonomi kian lebar, pemusatan kekuatan modal dan kekayaan kian timpang, mengakibatkan daya tawar yang satu terhadap yang lainnya kian tidak berbanding lurus. Akibatnya, postulat oleh Lord Acton kian menjurut pada kebenaran yang terbukti bersifat mutlak tak lagi dapat terbantahkan untuk konteks kekinian.
Kekuatan, begitu mengerikan daya godaannya untuk disalah-gunakan, maka bagaimana dengan kekuatan ataupun kekuasaan yang bersifat absolut seperti yang mudah dapat kita jumpai dengan mata-kepala kita sendiri di Indonesia, seperti “kebal hukum”, memiliki “a license to doing illegal things”, mampu “menewaskan” dalam senyap tanpa jejak, kekuasaan monopolistik seperti kewenangan mempidana ataupun sebaliknya untuk menelantarkan / mengabaikan aduan warga korban dan menggunakan senjata api, bahkan memiliki kekuasaan berupa ekonomi (uang) di tengah-tengah budaya bangsa dengan aparatur yang mudah disuap sehingga penegakan hukumnya serba “separuh hati” serta “tebang pilih”, terlebih “hukum yang dapat dibeli” dan “transaksionil”?
Sebagai penutup, penulis akan berikan ilustrasi nyata secara sederhana yang pernah penulis alami, tentang betapa pihak yang berkuasa akan mudah melakukan penyalah-gunaan tanpa memikirkan perasaan korban yang dikorbankan olehnya. Keluarga penulis mendapat kiriman paket barang seberat kurang dari satu kilogram dari luar negeri via pos. Bukanlah lama pengiriman yang tertahan di pabean Indonesia tanpa notifikasi apapun, yang kami keluhkan. Namun ketika petugas dari PT. POS Indonesia tiba di kediaman penulis, alangkah terkejutnya penulis mendapati tagihan “biaya kirim” (bukan biaya bea cukai) yang dibebankan oleh PT. POS terhadap penerima paket, dengan tarif ongkos kirim berkali-kali lipat dari tarif ongkos kirim normal, dengan disertai kuitansi yang sangat tidak meyakinkan dan dicantum dalam tulisan tangan.
Tidak ada pilihan lain selain harus membayarnya, menyerupai sedang “dirampok” oleh negara. Tiada pilihan opsi lain bagi penerima paket untuk memilih jasa kurir selain PT. POS Badan Usaha Milik Negara ini, karena pabean menyalurkan paket kiriman melalui PT. POS secara MONOPOLISTIK. Merasa sebagai rakyat sipil yang di-“peras” dan di-“rampok” oleh negaranya sendiri lewat aksi monopolistik demikian yang menutup hak dari warganya untuk menentukan pilihan opsi kurir, maka penulis mengutarakan niat kepada keluarga penulis agar sejak itulah pentingnya mulai melakukan kebijakan “pembalasan dendam” berupa boikot terhadap jasa PT. POS sehingga sejak kami lebih memilih mengirim paket via jasa perusahaan kurir swasta lainnya yang lebih menekankan penyediaan jasa dengan pendekatan MERITOKRASI lewat kompetisi usaha yang sehat (fairness) sehingga secara bersimbiosis lebih menguntungkan pengguna jasa maupun sang pelaku usaha ekspedisi.
Tanpa mau menyadari adanya semangat “retributif” dari rakyat, penyelenggara negara lewat berbagai aksi monopolistiknya membuat posisi rakyat serba “terjepit”, “serba-salah”, serta rendah “daya tawar”-nya. Akibatnya, masif dan secara berjemaah terjadi penyalah-gunaan wewenang pada berbagai instansi pemerintahan ketika melakukan “pelayanan publik” yang lebih menyerupai “minta dilayani oleh publik” lewat aksi pungutan liar dan pemerasan terselubung lainnya.
Pada gilirannya, terdapat efek fenomena sosial berupa mental khalayak ramai untuk melakukan aksi “kick back” berupa rendahnya penghargaan rakyat terhadap otoritas negara, tergila-gila mendapatkan subsidi dari negara yang dinilainya sebagai “pembalasan dendam” dengan membangkrutkan / mempailitkan negaranya sendiri, skeptisnya rakyat banyak maupun publik terhadap penyelenggara negara, serta rendahnya rasa saling memiliki antara rakyat terhadap negaranya, disamping rendahnya penghormatan rakyat terhadap aparatur sipil negaranya. Pada gilirannya, kesadaran warga untuk membayar pajak atau untuk bersama membangun bangsa, terpecah-pecah menjadi untuk kepentingan praktis kalangan segmental ataupun politikus atau untuk saling mencari keuntungan pribadi secara sendiri-sendiri. Tiadanya kekompakan di negeri ini, selain untuk perihal isu ras dan agama (isu-isu sentimentil).
Tiada kohesi sosial yang dapat diharapkan untuk tercipta dan terlembagakan disini, karena pemerintah memposisikan dirinya sebagai raja dan rakyat sebagai hambanya (yang lebih rendah posisinya) yang harus mengabdi pada sang raja lewat aksi berbagai upeti liar sehingga seolah terdapat perbedaan derajat, hierarkhir kekuasaan (pamer kekuasaan), dan harkat-martabat antara penguasa negara dan rakyatnya.
Pada gilirannya, terbentuklah budaya pragmatis, dimana rakyat secara parsial melakukan aksi menguntungkan diri sendiri seperti menimbun barang dan kebutuhan pokok sehingga menimbulkan gejolak harga maupun kepanikan publik, aksi “kerja santai” otoritas negara, aksi lempar tanggung-jawab antar pemangku kepentingan, dan aksi-aksi pencitraan politis seolah pemerintah telah berkinerja baik dan patut mendapat penghargaan. Dengan demikian, kata “kesadaran untuk patuh terhadap hukum”, tidak akan pernah tercipta di benak sanubari rakyatnya.
Tidak sedikit kalangan menilai, lebih baik dunia ini “dimusnahkan” saja, karena kian hari meski berbagai kumandang dan ceramah keagamaan tumbuh subur di dunia ini, kalangan “agamais” maupun atribut agama meraja-lela, dan berbagai pendidikan formal telah menjadi menu sehari-hari, namun peradaban manusia justru kian rusak, kian merosot / terdegradasi aksi-aksi “munafik”, dan kian menjauh dari sifat-sifat “humanis” terlebih “Tuhanis”.
Apatisme demikian, bukanlah hal yang keliru, karena hanya merupakan respons wajar yang lumrah sifatnya terhadap realita dunia yang memang terjadi dan membuat kita kian merasa “muak” menghadapi segala kekotoran dan kejahatan perilaku manusia yang menyalah-gunakan kelahirannya sebagai seorang manusia yang justru lebih berperilaku menyerupai seorang “hewanis”. Kita harus “separuh gila” hidup di tengah bangsa yang “gila”. Jangan mencoba-coba masuk sebagai seekor “kelinci” jinak ke dalam sarang komunitas “serigala” yang buas dan pemangsa.
Anda, tidak terkecuali penulis pun, memiliki apatisme yang sama terhadap perwujudan apatisme di atas, dalam derajat yang kecil ataupun yang ektrim. Apa yang akan terjadi, bila “buku kematian” benar-benar jatuh ke tangan kita, bisa jadi dunia ini di-“kiamat”-kan secara kita percepat terjadinya. Akhir kata, bukan sang “buku kematian” yang paling menakutkan dan mengerikan. Ia netral saja sifatnya, dan kitalah yang memberikannya pengartian serta fungsi sebagai operator / penggunanya.
Yang paling mengerikan, ialah sifat / karakter manusia, yang mudah gagal menghadapi godaan untuk menyalah-gunakan keberadaannya sebagai seorang manusia yang memiliki kepandaian dan kemampuan untuk berbuat sesuatu. Buktinya, tanpa sang “buku kematian” sekalipun, dunia ini memang sudah lama cukup “berantakan” dan “porak-poranda” tingkat keberadabannya. Kegilaan apa lagi, yang belum pernah dipertunjukkan oleh makhluk dari spesies bernama “homo sapiens” ini ketika menyalah-gunakan tubuh dan otak cerdas manusianya?
Faktanya, penyalah-gunaan oleh rakyat jelata telah bergeser derajat dan modusnya menjadi semudah menyalah-gunakan perangkat digital bernama handphone di tangan mereka. Betapa tidak, sebagai contoh gambaran nyata, ketika penulis mencantumkan nomor kontak kerja profesi penulis pada website profesi penulis ini untuk tujuan pekerjaan sebagai penyedia jasa konsultasi seputar hukum, ribuan pihak seketika itu juga merasa berhak menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis tersebut, disimbiosiskan dengan penyalah-gunaan terhadap handphone di tangan mereka, dan jadilah aksi “pemerkosaan” terhadap profesi penulis.
Jangankan memberikan rakyat jelata kita semacam buku “ajaib” yang luar biasa kuatnya karena dapat mematikan, terhadap perangkat digital genggam di tangan mereka pun rakyat kita gagal untuk membendung “libido birahinya” untuk tidak menyalah-gunakannya sebagai sarana modus-modus penipuan maupun untuk memperkosa profesi seorang Konsultan Hukum. Itulah cerminan nyata, betapa dangkalnya kesadaran dan kontrol diri masyarakat kita.
Memberikan akses terhadap kekuatan dan kekuasaan luar biasa untuk dapat diraih oleh tangan-tangan Rakyat Indonesia, sama artinya menjadi bencana bagi peradaban dan bagi semesta ini. Bila kita tidak siap dan tidak sanggup untuk menaklukkan diri kita sendiri, kekuatan dalam derajat dan wujud apapun dapat membuat kita merusak orang lain ataupun membuat derita orang lain. Itulah kebenarannya, dan jangan pernah “over estimated” diri kita sendiri, karena sekali lagi, kekuatan dan kekuasaan sangat menggoda untuk “disalah-gunakan” sampai akhirnya perlahan demi perlahan kita menjelma “biadab”, “hewanis”, “evil”, atau bahkan “psikopat”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.