Ciri-Ciri sebuah Bangsa yang PAYAH dan ANEH (Tapi NYATA)

ARTIKEL HUKUM
Bangsa Indonesia sejatinya bukanlah tidak bisa diperbaiki, namun para aktor bangsa dan rakyatnya tidak ada kemauan untuk berubah guna perbaikan diri. Padahal, konon, Bangsa Indonesia mengaklaim sebagai bangsa yang “agamais”. Apakah menjadi bangsa yang “agamais”, harus menampilkan corak ragam wajah yang anti-kritik dan anti terhadap protes sosial demikian? Apakah bangsa “agamais” berkonotasi dengan anti kritik dan anti celaan? Hukum rimba yang berlaku di Indonesia : Yang salah lebih GALAK ketimbang korbannya. Apakah dapat merasa nyaman, hidup di tengah-tengah bangsa dengan hukum rimba semacam itu? Agamais di kulit luar (penampilan dan klaim), namun seberingas binatang liar di hati dan pikirannya.
Hipotesis demikian akan menemukan justifikasinya ketika kita membuat perbandingan dengan masyarakat lokal di Jerman, negara sekular, yang mana budaya masyarakatnya sangatlah terbuka secara frontal dan terbuka (bahkan konon, tanpa sungkan-sungkan dan tanpa takut-takut), tidak “anti-kritik” bahkan ada kewajiban untuk terbuka menyatakan pendapat dan ada pula kewajiban sosial masyarakat di sana untuk berani menerima kritik serta celaan dari orang lain. Jika demikian faktanya, mengapa negara “agamais” kalah dalam soal keterbukaan diri terhadap bangsa “sekular”?
Kondisinya akan kontras bertolak-belakang dengan budaya masyarakat lokal di Thailand, yang notabene tidak kalah “agamais”-nya dengan populasi masyarakat di Indonesia. Yang membuat perbedaan besar antara masyarakat di Indonesia dan penduduk lokal Thailand, ialah warga Thailand memiliki kehidupan spirituil bukan lewat atribut makanan (apa yang dimakan, namun apa yang diucapkan serta sikap perilaku), atribut busana, ataupun atribut acara ritual, akan tetapi lebih kepada penekanan terhadap kewaspadaan terhadap perilaku diri mereka sendiri di keseharian, alih-alih mengomentari dan menghakimi bangsa ataupun orang lain. Seperti kejadian wabah COVID-18 Corona Virus yang menjadi pandemi di China pada awal tahun 2020, tiada warga di Thailand yang mengutuk China RRC sebagai sedang menerima “azab” atau menyebutnya sebagai bangsa “kafir” karena “k0mun!s”.
Di Indonesia, pola atau budaya yang dapat mudah kita jumpai dan alami langsung (penulis sebut sebagai pola atau budaya, oleh sebab bukan hanya terjadi oleh “oknum” segelintir atau sejumlah warga, namun lebih menyerupai watak komunal cerminan bangsa ini sendiri), ialah gambaran seperti pihak korban hanya boleh diam seribu bahasa layaknya seonggok “mayat” yang terbujur kaku disakiti seperti apapun (belum tewas menjadi mayat saja sudah dituntut untuk bungkam seperti sebongkah mayat) oleh pelaku yang berperilaku tercela, bahkan ketika sang korban melawan dan meronta atau bahkan berontak terhadap pelakunya, maka sang korban akan disebut sebagai “tidak sopan”, bahkan dihakimi oleh masyarakat lainnya dengan stigma sebagai “tukang ribut”. Rupanya, Bangsa Indonesia cukup terbiasa membuat “bullying jalanan” dan seolah menjadi menu sehari-hari.
Dari segi edukasi pendidikan formal, para pelakunya tersebut tergolong berpendidikan formil maupun non-formil, bahkan sebagian di antaranya pernah mengenyam bangku pendidikan tinggi. Apa yang penulis uraikan dan sebutkan, bukanlah mitos ataupun dugaan, namun fakta realita empirik yang penulis alami, lihat, dengar, serta alami langsung—terutama sebagai “korban” yang sudah cukup “kenyang” dikorbankan atau di-“tumbalkan” oleh para pelaku yang tidak lain sesama anak bangsa sendiri.
Penulis tidak sedang membenturkan perihal ras ataupun etnik, karena sebagai seseorang berketurunan Tioanghua, penulis pun tidak jarang menghadapi upaya penganiayaan serta modus-modus penipuan oleh sesama Tionghua di Tanah Air. Penulis bahkan pernah mengalami, bekerja selama 200 jam kerja dengan modal pribadi, tanpa dibayar sepeser pun oleh seorang pengusaha Tionghua yang mampu menyewa kantor di gedung perkantoran di Jakarta. Sekalipun perjanjiannya akan dibayarkan dengan perhitungan jam kerja tertentu dan sangat kecil nominalnya, itupun masih juga tidak dibayarkan sepeser pun, dan seolah tanpa memiliki rasa malu, masih menuntut dilayani. Kejadian ulah pengusaha Tionghua di Tanah Air semacam itu, sudah cukup “kenyang” penulis alami sendiri.
Bila preman “pribumi” berjubah baju yang lusuh berbau keringat, maka preman etnik keturunan Tionghua memakai jubah mafia ala triad-gengster yang sangat menakutkan karena “berdarah dingin”. Penulis bahkan dapat menyebutkan sejumlah nama pengusaha-pengusaha besar maupun skala kecil beretnik Tionghua yang pada praktiknya lebih dapat disebut sebagai kepala gembong mafia di Indonesia, baik di Jakarta maupun di Surabaya, yang notabene para otak pelakunya ialah seseorang beretnik Tionghua, yang notabene preman-preman ber-“kulit hitam” hanya sekadar menjadi “buruh kasar” (baca : tukang pukul) para otak mafia ber-“kulit putih” tersebut.
Mari kita “test case”, secara langsung di keseharian kita di Indonesia. Kita semua tentunya sepakat, orang-orang yang meng-“geber” gas sepeda motornya yang diperlengkapi knalpot “racing” yang sangat berisik, di lingkungan perumahan, adalah orang “tidak waras”. Namun, cobalah Anda selaku warga yang merasa tergangggu oleh orang-orang “tidak waras” tersebut, mencoba menegur sang pengendara agar tidak lagi mengganggu dan menimbulkan “polusi suara” di lingkungan pemukiman warga yang membutuhkan ketenangan dan berhak untuk beristirahat dengan tenang tanpa gangguan. Beranikah Anda? Mengapa Anda tidak berani? Karena Anda tahu betul, atau mungkin pernah mengalami, yang Anda tegur justru akan dan pastinya lebih BERINGAS ketimbang Anda. Selamat datang di Indonesia. Fenomena demikian bukan hanya terjadi satu atau dua tahun belakangan ini, namun sudah sejak dahulu kala, dan tendensinya semakin akut kian hari.
Korban, di Indonesia, uniknya dituntut untuk harus bersikap bungkam dan diam “seribu bahasa” layaknya sebongkah mayat yang hanya bisa diam saja diperlakukan seburuk dan sejahat apapun oleh pelakunya. Ketika sang korban melakukan protes dan teguran, sang pelaku justru mempertontonkan sikap arogansi serta tidak jarang justru menantang korbannya—karenanya, seperti yang selalu penulis sebutkan, bahwa ketika kita berjumpa orang-orang yang sudah lanjut usia dan tampak sepuh serba ringkih dan lemah, belum tentu ketika dirinya masih muda dan sehat-kuat akan bersikap “sok lemah” seperti ketika dirinya sudah tidak lagi dapat atau mampu untuk menyalah-gunakan otot-otot di lengannya. Ketika strategi memasang wajah “beringas” tidak lagi efektif, dan otot-otot di lengan tangannya mulai menciut dimakan umur, maka strategi para “preman berbau tanah” tersebut ialah memasang wajah “ringkih” seolah “innocent” yang pastinya akan mengecoh Anda.
Ketika sang korban menjadi “murka”, ternyata sang pelakunya justru bersikap lebih GALAK serta lebih BERINGAS menakutkan daripada korbannya. Yang terlebih ironis, bahkan oleh sesama warga tetangga lainnya, sikap korban yang berontak dan meronta dipandang sebagai sikap “tidak sopan”, seolah-olah pelakunya bersikap “lebih sopan” dan “sudah sopan”. Bukankah itu adalah stigma serta penghakiman yang salah alamat? Bukankah ironis, untuk mengalamatkan stigma saja bisa demikian “buta” oleh para warga kita di republik yang telah merdeka dari penjajahan hampir satu abad lamanya ini meski semakin lama tampaknya semakin terjajah oleh bangsa kita sendiri ini? Uraian penulis bukanlah apatis, namun realistis—serta mohon untuk tidak dicampur-adukkan.
Di Indonesia, uniknya (meski tidak logis), manusia yang menjadi korban dituntut menyerupai standart sebongkah batu atau sebongkah mayat, bisu dan bungkam saja diperlakukan seburuk apapun. Karenanya, di indonesia, hanya sebongkah “mayat” yang berkualifikasi untuk disebut sebagai “sopan”. Entah bagaimana dan mengapa, itulah “mind set” rata-rata masyarakat urban sekelas kota metropolitan seperti Jakarta di Indonesia. aneh, gaib, namun NYATA, sebagaimana dapat kita jumpai dan saksikan atau bahkan alami sendiri dalam praktik di keseharian Anda, baik di kantor, sekolah, tempat ibadah, lingkungan pemukiman, di jalan umum, dan lain sebagainya.
Tidak mengherankan, praktik jahat, kejahatan, tindakan-tindakan tercela serta ilegal, tumbuh subur bak “cendawan di musim penghujan”, karena para penjahat dan kriminalnya seolah dipelihara oleh negara (lewat pengabaian dan penelantaran para aparatur penegak hukumnya terhadap jeritan korban, alias negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakatnya) dan oleh warga masyarakat kita sendiri (lewat men-stigma “tidak sopan” bagi korban yang “menjerit” ketika tersakiti).
Jika tidak percaya, maka silahkan mencobanya sendiri, ketika mendapati ada penghisap bakaran tembakau yang membuat polusi udara lewat asap bakaran tembakau yang dikonsumsi oleh sang pecandu, dan mengganggu pernafasan ataupun membuat Anda menjadi beresiko terkena penyakit sebagai “penghisap bakaran tembakau (secara) pasif”, tidak perlu sampai meminta pertanggung-jawaban jika Anda sampai terjangkit kanker paru-paru, cukup tegur sang pelaku agar tidak menghisap bakaran tembakau di tempat Anda berada karena mengganggu Anda. Apakah respon yang akan Anda dapati? Bukan hanya satu atau dua kali terjadi, para pelakunya justru menantang dan bersikap arogan, dengan sengaja memperkeruh situasi karena “birahi” dirinya kita tentang sehingga menimbulkan sikap kemarahan justru datang dari diri si pelakunya.
Terlebih jika secara rasional kita meminta agar dirinya sendiri yang menghirup seluruh asap tersebut dengan mengurung diri di sebuah kamar terkunci seorang diri sehingga polusi udara hanya dihirup oleh dirinya sendiri, meminta secara baik-baik agar berhenti menimbulkan polusi udara karena mengganggu pernafasan kita saja, berbuntut pada tatapan mata tajam seolah hendak mengajak “perang dingin” atau bahkan disengajakan seolah-olah dirinya “tuli”, ataukah bangsa kita ini adalah bangsa (yang) sudah “tuli”. Entahlah, mana pun itu, tidak penting, yang terpenting ialah bangsa ini tidak menghargai eksistensi warganegara lainnya yang saling berbagi ruang gerak, saling berbagi ruang nafas, dan saling berbagi sumber daya.
Sama halnya, ketika Anda merupakan seorang warga pemukiman di sebuah daerah perumahan padat penduduk, Anda dan keluarga Anda telah tinggal menetap selama hampir separuh abad lamanya di tempat tinggal Anda tersebut, secara seketika para pendatang berupa seorang pengusaha dan anak buah karyawannya, mengalih-fungsikan wilayah pemukiman sebagai tempat usaha yang menimbulkan baik polusi sosial, polusi suara, polusi udara, polusi air, hingga berbagai aksi parkir liar dan sampah-sampah berserakan sehingga jelas-jelas mengganggu ketenangan hidup warga pemukim atas fungsi pemukiman yang merupakan tempat dengan fungsi untuk beristirahat serta bebas dari segala jenis gangguan kegiatan usaha.
Cobalah Anda selaku warga setempat, melakukan teguran serta protes atas aksi usaha ilegal demikian kepada pelaku usaha ilegal tersebut. Alih-alih menyadari kesalahannya dan meminta maaf, dirinya justu meminta bantuan aparatur Ketua Rukun Tetangga korup maupun Kelurahan setempat untuk membela aksi ilegalnya, dimana pihak aparatur dan pejabat Rukun Tetangga maupun Kelurahan setempat justru menjadi “beking” dari sang pelaku usaha guna merepresi warga setempat yang melakukan keberatan atas alih-fungsi wilayah pemukiman demikian. Memang aneh namun nyata republik satu ini, pihak Kelurahan dan Ketua Rukun Tetangga justru lebih memihak pendatang berupa pelaku usaha ilegal yang mengorbankan kepentingan warga pemukim yang telah bermukim selama 40 tahun lamanya. Seolah, hukum di negeri ini tidak berlaku dan tumpul menghadapi kaum-kaum korup, pengusahanya gemar menyuap dan pejabat negaranya korup maka saling bersimbiosis, jadilah negeri dengan wajah semacam Negara Indonesia. Penulis tidak terbiasa memilih bahasa yang berbunga-bunga, namun lugas apa-adanya, sekalipun terdengar sarkastik di telinga Anda yang mungkin sudah lebih terbiasa dengan sopan-santun omong kosong, namun kejujuran adalah kejujuran, dan fakta adalah fakta.
Ketika seorang warga merasa sangat terganggu oleh ulah para pendatang berupa pengusaha ilegal dan para karyawannya demikian, melakukan protes secara sekeras-kerasnya karena aksi protes secara teguran halus, teguran lisan hingga teguran tertulis tidak membuahkan hasil, yang kemudian ditampilkan ialah respons berupa aksi-aksi premanisme oleh sang pelaku usaha dengan melakukan intimidasi, teror, perusakan properti, hingga penganiayaan terhadap warga pemukim setempat yang telah tinggal di kediamannya ini selama empat puluh tahun lamanya, dan bertahun-tahun sang pengusaha ilegal melakukan aksi-aksi layaknya “raja jalanan” dengan menjadikan halaman rumah warga sebagai lahan parkir liar, bahkan juga menjadikan jalan umum sebagai lahan parkir oleh sang pelaku usaha yang tanahnya demikian luas namun tidak menyediakan tempat parkir demi kepentingan usaha dan para kurir-kurir yang dipanggil maupun tamu-tamunya yang diundang oleh sang pelaku usaha. Sementara itu, negara, seolah tidak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat, bahkan sebaliknya, menjadi “beking” dari sang pelaku usaha ilegal. Apakah ada, diantara Anda, yang masih meminta agar penulis “cinta Tanah Air”? Bila otoritas negara kita sendiri lebih cinta pada “uang suap / sogokan”, maka bukankah konyol bila “hari gini belum bayar pajak?”.
Cobalah bila Anda memiliki tetangga yang suka membakar sampah maupun membakar masakan dengan menggunakan arang maupun kayu di wilayah pemukiman padat penduduk di perkotaan, sehingga menimbulkan polusi udara yang menyeruak dan mengganggu para tetangga karena polusi udara bersifat lintas batas tanpa sekat ruang yang mengakibatkan cemaran udara mengganggu kesehatan warga setempat hingga bermil-mil radius jauhnya angin bertiup, lalu Anda tegur atas kelakuannya, meminta agar bersikap toleran terhadap warga yang saling bertetangga, dan minta agar dihentikan karena mengganggu Anda.
Apakah yang akan Anda dapatkan? Asumsi berupa harapan Anda akan berbuah pahit. Simpati ataukah justru sikap arogansi “ala preman” berupa menampilkan otot-otot dan sikap “ala preman” dalam arti harafiah? Penulis adalah saksi hidup, betapa menegur urusan sepele seperti tetangga yang membakar sampah sembarangan, berujung pada dirusaknya properti kediaman penulis serta dianiayaanya penulis maupun keluarga penulis oleh para pelakunya yang merasa “marah” dan “tidak senang” jika ditegur, sesalah apapun perilaku mereka karena telah mengganggu warga lainnya.
Di Indonesia, fenomena yang lebih kerap ditampilkan ialah wajah-wajah “manusia yang sudah putus urat malunya”. Itu barulah sekilas contoh ilustrasi fenomena sosial di wilayah pemukiman yang amat “sepele” akar masalahnya (namun jangan pernah menyepelekan derita korban) dan sederhana, belum lagi kita membicarakan cerminan budaya suatu bangsa pada kondisi lalu-lintas serta perilaku para pengendara di jalan raya, yang tentunya jauh lebih mengerikan lagi sebagaimana pernah penulis alami sendiri, mulai dari hampir ditabraknya penulis yang sedang berjalan di atas Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) oleh pengendara bermotor roda dua yang melajukan motornya dengan cara mengebut di atas JPO (luar biasa, gilanya, akibat obsesi yang tidak terwujud), dimaki oleh pengendara bermotor roda dua di trotoar karena dianggap menghalangi jalan mereka, di-klakson berulang kali oleh pengendara roda empat meski pengendara tersebut memakan jalan selebar hampir dua meter dan justru akan bersikap sabar ketika menemui separuh ruas jalan di depannya ternyata terparkir kendaraan bermotor lainnya (seolah makhluk hidup tidak lebih penting ketimbang “kuda besi” yang terparkir di pinggir jalan), dan berbagai kegilaan lainnya oleh ulah para “Pak Ogah”, tukang parkir, hingga rakyat kelas jelata yang menjual daging ayam di pasar-pasar tradisional yang diberikan pewarna tekstil dan bahan pengawet yang berbahaya untuk kesehatan konsumennya. Negeri ini, rusak dan busuk (jika tidak dapat disebut “bobrok” luar dan dalamnya).
Maka, yang menjadi pertanyaan, bila rakyat jelata kelas bawah saja perilakunya demikian “mengerikan” dan tidak bersahabat, tidak manusiawi, sangat tercela, amat korup, tidak bertanggung-jawab, jauh dari kata “beradab”, maka bagaimana dengan sikap serta “alam batin” dari para pelaku “intelek” seperti para pejabat negara dan para Aparatur Sipil Negara-nya? Anda akan pesimis hidup di negeri bernama Indonesia ini, bila seluruh fenomena sosial di republik ini penulis paparkan satu per satu tanpa memakai “bahasa diplomatis (yang diperhalus)”.
Kita mungkin selama ini berpikir dan ber-“asumsi”, selama kita tidak mengganggu dan merugikan warganegara lainnya, maka kita pun berhak menuntut agar diri kita dihormati serta dihargai hak-hak serta harkat dan martabatnya dengan tidak diganggu dan juga tidak dirugikan oleh orang lain. Penulis menyebut “asumsi”, bila keyakinan kita tersebut ternyata tidak sesuai atau bahkan ternyata berbenturan dengan kenyataan, alias tidak sejalan dengan realita. Namun, masyarakat di Indonesia memiliki “psikologi sosial” yang serba penuh anomali sifatnya, yakni warga yang menjadi korban dituntut hanya boleh “diam membisu seribu bahasa” ketika diperlakukan secara merendahkan dan tidak adil sewenang-wenang tidak patut. Bukankah contoh demikian, juga termasuk sebagai harassment atau bullying itu sendiri?
Di Thailand, orang-orang yang memiliki niat jahat, orang-orang jahat tersebutlah yang akan merasa takut ketika akan berbuat kejahatan seperti merugikan ataupun menyakiti orang lain—mengingat, mereka memahami betul konsepsi serta konsekuensi dibalik cara kerja Hukum Karma yang PASTI akan berbuah dan diwarisi oleh pelakunya sendiri, tanpa dapat berkelit terlebih bersikap “curang” melakukan aksi “cuci tangan” atau bersembunyi melarikan diri dari “akusala kamma” hasil perbuatannya sendiri—namun jangan samakan dengan Hukum (di) Negara kita yang serba tidak pasti dan “corrupt”. Dalam bahasa Buddhisme, disebut dengan istilah “hiri” dan “ottapa”, yakni “malu” dan “takut” untuk berbuat jahat, sebagai bagian dari “Buddhism Morality”.
Sebaliknya, kontras dengan itu, di Indonesia kita selaku warga-lah yang justru harus merasa takut dan cemas karena terancam menjadi korban para pelaku kejahatan “tidak waras” demikian. Alih-alih merasa malu bertindak “tidak waras” sampai harus ditegur oleh warga ataupun oleh orang lain yang mana sejatinya sebagai orang dewasa dapat berpikir sendiri bahwa perilakunya dapat atau telah mengganggug ketenangan hidup orang lain, bahkan sampai harus diberi teguran, para pelaku “tidak waras” di negeri ini seolah merasa “bangga”—kebanggaan yang tidak sehat secara mental dan psikologis kejiwaan, karena kesenangan merugikan atau mengganggu orang lain jelas dianggap sebagai suatu hiburan bagi si pelaku dan dibanggakan oleh pelakunya. Apakah Bangsa Indonesia dengan demikian, belum layak menyandang gelar sebagai “bangsa psikopat”, dimana kegilaan dipertontonkan secara vulgar di depan publik?
Di Indonesia, entah mengapa serta bagaimana, orang-orang baik seolah tidak bisa dibiarkan tanpa diganggu, dan selalu saja dijadikan sebagai “mangsa empuk” oleh sesama bangsanya sendiri. Ibarat buah-buahan yang tumbuh di pinggir jalan, seolah adalah “dosa” dan ada yang “salah” bila tidak dipetik dan di-“curi” oleh tangan-tangan jahil mereka yang “kegatalan”. Siapakah yang bersalah, buah yang tampak ranum nikmat menggoda untuk dipetik, ataukah di pemilik “tangan jahil”? Ibarat bunga liar yang tumbuh liar di kebun, seolah adalah “dosa” dan ada yang “salah” bila dibiarkan tumbuh mekar sempurna tanpa diganggu dan tanpa dipetik. Bahkan, pelakunya akan memaki tumbuhan itu karena tangannya tertusuk duri ketika hendak memetik bunga dari tumbuhan tersebut. Bila mampu bersuara, tentunya sang bunga akan berjerit: “Apa salah saya?
Orang-orang baik, sebagaimana sering penulis kemukakan, semestinya dijaga, lestarikan, dijadikan teladan, dihormati, serta dihargai. Tidak mudah hidup sebagai orang baik-baik di negeri bernama Indonesia ini. Entah mengapa dan bagaimana, di Indonesia, orang-orang baik bernasib sama seperti satwa liar yang sesekali tampak di perkotaan, seketika akan diburu oleh warga dan untuk ditangkap dan dikurung, atau bahkan dimakan—dan sudah kerap penulis lihat dengan mata-kepala sendiri, satwa-satwa mungil lucu menggemaskan seperti sepasang tupai melompat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lain di wilayah pemukiman tempat penulis bertempat tinggal di Jakarta, tak lama kemudian ternyata sudah terkurung di dalam sebuah sangkar milik salah seorang warga.
Sama seperti keberadaan website hukum ini yang penulis dirikan dan bangun dengan pengorbanan yang tidak terhitung lagi dari segi waktu, energi, serta biaya, namun alih-alih berterimakasih, ribuan pihak justru menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis guna “membalas air susu dengan PERKOSAAN” terhadap profesi penulis. Mengapa para penduduk bangsa ini, entah laki-laki ataupun wanita, tidak mampu membendung dan mengontrol “libido nasfu birahi” dalam dirinya sendiri, sehingga tidak merugikan dan mengoborbankan hak-hak dan kepentingan pihak lainnya? Sesukar itukah, hidup saling menghargai dan saling menghormati tanpa saling merugikan dan tanpa saling menyakiti?
Alih-alih dibiarkan dan dihargai untuk hidup bebas tanpa diganggu dan tanpa dieksploitasi, orang-orang baik disamakan perlakuannya terhadap satwa-satwa tidak berdaya tersebut,seolah-olah adalah “dosa” dan ada yang “salah” bila tidak dieksploitasi serta di-“makan”. Terdapat putar-balik logika massal di sini, yang kemudian menjadi kebiasaan komunal dan menjelma budaya sosial masyarakat Bangsa Indonesia, dari semula “mencuri adalah dosa”, menjadi “bila buah-buahan dan satwa liar tidak dicuri maka adalah dosa”. Itulah sebabnya, penulis selalu mengilustrasikan nasib orang-orang baik yang sudah “langka”, masih juga dieksploitasi oleh warga-warga lainnya alih-alih dirawat dan dilestarikan agar tidak “punah”, dengan sebutan dijadikan sebagai “mangsa empuk”.
Kontras dengan apa yang akan kasat-mata tampak oleh kita ketika menyentuh lebih dekat dengan budaya sosial kemasyarakatan di Thailand, baik masyarakat urban maupun rural-nya, dimana seperti yang telah penulis tegaskan di awal uraian ini, bahwa kehidupan spiritual masyarakat Thailand bukan menjadikan ritual maupun busana sebagai topangan utama, namun lewat perilaku sehari-hari yang menjalankan Dhamma sebagaimana diajarkan oleh Sang Buddha agar para muridnya menjalankan Dhamma sebagai wujud bhakti menghormat pada jasa-jasa Sang Buddha dalam membabarkan Dhamma bagi semesta makhluk hidup, dimana untuk itu para umat-Nya menjalankan praktik latihan keseharian yang bernama “Ovada Patimokkha”, suatu esensi paling utama sekaligus paling mendasar dari Buddhisme dan Dhamma. Mereka yang pernah menyentuh tanah Thailand dan berinteraksi dengan kehidupan maupun budaya warga lokal Thailand, akan menyadari betul relevansi apa yang telah penulis uraikan tersebut di atas.
Sekadar sebagai perbandingan, Sang Buddha tidak mengajarkan agar para siswa-Nya mengandalkan ritual, namun praktik Dhamma secara nyata di keseharian—karena, sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha, ritual tidak akan pernah dapat mensucikan diri pelaku ritual, namun lewat praktik latihan nyata. Adapun yang dimaksud dengan “Ovada Patimokkha” ialah sebuah istilah dari Bahasa Pali yang bersumber dari Dhammapada syair 183—185, dengan kutipan syair sebagai berikut:
Sabbapāpassa akaraa
Kusalassa upasampadā
Sacittapariyodapana
Eta buddhāna sāsana.

Khantī parama tapo titikkhā
Nibbāa parama vadanti buddhā
Na hi pabbajito parūpaghātī
Samao hoti para vihehayanto.

Anūpavādo anūpaghāto, pātimokkhe ca savaro
Mattaññutā ca bhattasmi, pantañca sayanāsana
Adhicitte ca āyogo, eta buddhāna sāsana.
Yang bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia:
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
senantiasa mengembangkan kebajikan
dan membersihkan batin;
inilah ajaran Para Buddha.

Kesabaran adalah praktek bertapa yang paling tinggi.
‘Nibbana adalah tertinggi’, begitulah sabda Para Buddha.
Dia yang masih menyakiti orang lain
sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).

Tidak menghina, tidak menyakiti, mengendalikan diri sesuai peraturan,
memiliki sikap madya dalam hal makan, berdiam di tempat yang sunyi
serta giat mengembangkan batin nan luhur; inilah Ajaran Para Buddha.”
Sebagaimana kita lihat sendiri esensi dari Buddhisme di atas, tiada satu pun ajaran Buddhistik untuk melakukan praktik latihan lewat ritual, namun lewat praktik nyata kehidupan. Tidak mengherankan, bila para siswa Sang Buddha disebut sebagai “mereka yang sedang berlatih”, bukan “mereka yang sedang melakukan ritual”. Karenanya, terdapat tiga elemen berdasarkan tingkatan dalam Ovada Patimokkha sebelum kita mampu ke tahap level “mensucikan hati dan pikiran”, yakni pertama-tama dimulai dalam tahap hierakhi tingkatan level dengan sistematika sebagai berikut:
- Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
- senantiasa mengembangkan kebajikan,
- dan membersihkan batin.
Jangankan diharapkan mampu “senantiasa mengembangkan kebajikan” berupa perbuatan-perbuatan menanam benih karma baik (“kamma”, Bahasa Pali untuk “perbuatan”, namun seringkali digunakan istilah “karma” dalam Bahasa Indonesia dan acapkali disalah-artikan sebagai “vipaka” alias buah “kamma”. Dengan demikian, karma adalah istilah yang merujuk pada perbuatan atau verba, kata kerja, bukan kata benda), “tidak melakukan segala bentuk kejahatan”-pun tampaknya Bangsa Indonesia belum memenuhi kualifikasi, maka bagaimana mungkin lewat praktik ritual kita mengharap memasuki atau melompat menuju level tertinggi bagi kaum “lokuttara” bernama “membersihkan batin”? Setidaknya, dalam Buddhisme, “by pass” demikian telah diberi vonis “MUSTAHIL”. Karena itulah, seorang calon Buddha (seorang Bodhisatta), menanam “parami” selama berkalpa-kalpa tumimbal lahir sebelum kemudian akumulasinya matang dan membuahkan “jalan” bagi benih ke-Buddha-an pada kelahiran berikutnya.
Lebih-lebih, bagaimana mungkin mengharap mencapai “kesucian”, bila masih juga terjerumus dan gagal total dalam “tidak menghina, tidak menyakiti, mengendalikan diri sesuai peraturan”? Mengingat kriterianya begitu ketat dan tinggi, tidak mengherankan bila disebut-sebut bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan dan kualifikasi untuk menjadi murid Sang Buddha, hanya “orang-orang pilihan dan terpilih”.
Mari kita ulangi sebagai ringkasannya, apa yang membuat Bangsa Thailand, demikian berbeda dengan wajah Bangsa Indonesia, dengan membuat “check list” berikut:
- Jangan berbuat kejahatan,
- Perbuatlah kebajikan,
- Sucikan pikiran
- Ia yang menyakiti makhluk lain bukanlah seorang yang meninggalkan keduniawian,
- Ia yang melukai makhluk lain bukan seorang pertapa,
- Tidak menghina,
- Tidak mencelakai,
- Mengendalikan diri sesuai dengan peraturan,
Syair-syair tersebut kemudian dikenal dalam Buddhisme dengan istilah sebagai Ovada Patimokkha, yang artinya “nasehat tentang peraturan”. Menurut Vinaya Pitaka, selama 20 tahun pertama setelah mencapai tingkat pencerahan sempurna, Sang Buddha tidak menetapkan vinaya / aturan bagi Sangha (perkumpulan para bhikkhu dan bhikkhuni), namun hanya menggunakan Ovada Patimokkha sebagai pedoman dasar bagi kehidupan kebhikkhuan.
Setelah banyak orang masuk Sangha sehingga jumlah anggota Sangha kian bertambah, pelanggaran demi pelanggaran mulai terjadi, hingga kemudian semakin banyak terjadi, yang membuat Sang Buddha menetapkan peraturan kebhikkhuan satu per satu untuk menghadapi kasus per kasus pelanggaran terhadap “moralitas” yang mulai terjadi. Akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu, jumlah peraturan ini semakin banyak dan ada 227 poin aturan (yang dikenal sebagai 227 sila dalam Vinaya bagi para bhikkhu saat ini).
Makna dari kisah tersebut, negara kita tidak pernah membutuhkan aturan hukum yang rumit dan berliku menyerupai “rimba belantara”, sepanjang warganegara atau penduduknya memiliki kualitas dalam tataran moralitas (morality), yakni semata cukup berpedoman pada Ovada Patimokkha. Bukankah ironis, negara yang membutuhkan jutaan peraturan perundang-undangan untuk mengatur perilaku warganya yang gemar melanggar norma moralitas?
Sebagai penutup, Robert T. Kiyosaki dalam bukunya yang termasyur berjudul “RICH DAD, POOR DAD”, memaparkan bahwa sang “ayah yang miskin” mengatakan bahwa “uang adalah sumber kejahatan”, sementara sang “ayah yang kaya” mengatakan bahwa “tidak memiliki uang ialah pencetus kejahatan”—tampaknya Robert T. Kiyosaki akan berubah pemikiran bila dirinya pernah hidup dan bertempat tinggal di Indonesia, dan dapat dipastikan akan merevisi pendapatnya dengan menyatakan bahwa persis seperti sabda Sang Buddha, bahwa bukanlah uang ataupun kekurangan uang yang menjadi sumber kejahatan, namun adalah “keserakahan” yang merupakan sumber kejahatan yang membuat, bahkan, orang-orang kaya masih juga merampok nasi dari piring-piring yang orang yang lebih miskin darinya dan tidak pernah terpuaskan.
Seperti yang telah jamak penulis alami sendiri, suatu pihak yang memiliki sengketa kreit bernilai 29 miliar Rupiah dan pihak lain dengan sengketa tanah senilai 15 miliar Rupiah, bahkan mencoba menghubungi penulis dengan maksud untuk meminta dilayani seputar konseling hukum tanpa bersedia membayar tarif konsultasi SEPERAK PUN, sekalipun harga tarif konsultasi hukum yang penulis terapkan tidak seberapa nilainya. Bukanlah satu atau dua kali kejadian demikian penulis alami, namun telah ribuan kali terjadi sampai-sampai penulis merasa terpaksa “menyembunyikan” nomor kontak kerja profesi penulis sekalipun di website profesi milik penulis pribadi akibat maraknya penyalah-gunaan nomor kontak kerja profesi penulis oleh para PEMERKOSA “tidak punya malu” yang bahkan “saking serakahnya masih juga merampok nasi dari orang-orang yang lebih miskin daripada mereka”. Pelaku pemerkosa tersebut, bahkan lebih galak yang ditegur ketimbang yang menegur.
Bila terdapat diantara pembaca yang membuat pendapat atau komentar “miring” seputar apa yang penulis ulas secara lugas tanpa menyertakan “bahasa diplomatis” yang diperhalus, seolah “korban wajib bungkam dan pasif-pasrah”, namun penulis uraikan secara “gamblang apa adanya” dan lalu ada yang merasa tersinggung akibat uraian FAKTA ini, kemudian membuat komentar agar penulis “hijrah saja keluar dari Indonesia”, sayangnya, penulis tidak pernah meminta komentar mereka dan tidak pernah membutuhkan komentar siapa pun untuk mendefinisikan fakta-fakta empirik lapangan yang penulis jumpai secara langsung, alami sendiri (bukan seperti komentator yang hanya menjadi penonton) dan bersentuhan dekat dengan mata-kepala sendiri. Sungguh tidak mudah, hidup di tengah-tengah Bangsa Indonesia yang anti kritik, anti teguran, dan anti introspeksi diri, terlebih-lebih mau memperbaiki diri dan mengakui kesalahan, terlebih untuk bersedia bertanggung-jawab dan dimintakan pertanggung-jawaban. Mengaku ber-Tuhan, namun tidak mencerminkan watak luhur Tuhan, akan tetapi sebaliknya dan bertolak-belakang. Jangankan Tuhanis, humanis saja tidak.
Bila penulis mampu memilih dari sejak awal akan dilahirkan di mana, dan bila tidak terlanjur hanya menguasai Bahasa Indonesia maupun telah menginvestasikan banyak waktu mempelajari hukum di Indonesia, maka tentu saja “hijrah” adalah opsi terbaik—sebagaimana terbukti, mereka yang pernah mengenyam pendidikan di luar negeri, rata-rata kemudian benar-benar tinggal dan menetap selamanya DI LUAR Indonesia serta mengabdi untuk bangsa lain, tentunya. Jangan tanyakan apa yang akan kita berikan bagi negara ini, namun tanyakan : Apa yang telah diambil dari negara ini dari kita?
Tulisan ini sekadar refleksi, agar bangsa kita tidak selalu memandang superior bangsanya sendiri dengan merendahkan harkat dan martabat bangsa lain, seolah bangsanya sendiri telah lurus, beres, dan benar—meski faktanya, masih “jauh panggang dari api”. Kini, pada gilirannya bangsa ini sendiri yang pada gilirannya harus mencicipi “azab”. Makanan boleh “makanan pilihan”, namun mengapa seolah ucapan yang terlontar dan sikap aksi perbuatan yang dikerahkan, menjadi demikian “jahat”, “buruk”, “busuk”, “kotor”, serta “evil”? Sudah saatnya bangsa ini mampu merasa malu, bukan justru merasa bangga atas sikap dungu seperti “dengan senang hati menggali lubang kuburnya sendiri”. Cobalah jika menemui seseorang yang batuk dan bersin sembarangan tanpa menerapkan etika kesehatan seperti menjauhkan diri dan menutup mulut dengan siku lengan atau mengenakan masker / sapu tangan, yang ditegur akan lebih AROGAN, GALAK, serta BERINGAS ketimbang yang menegur. Karana itulah, penulis tidak pernah lagi merasa efektif menegur perilaku buruk orang-orang Indonesia, karena sudah dapat dipastikan anti kritik, serta hanya akan berbuah kontraproduktif bagi keselamatan penulis pribadi karena pastinya lebih GALAK yang ditegur dan tidak jarang bersikap menantang. Maka biarkan saja Bangsa Indonesia menjadi bangsa terbelakang kurang beradab, bergelimang kebiadaban yang mereka bangga-banggakan seolah sebagai suatu prestasi yang sejatinya konyol dan bodoh. Akhir kata, jangan buang waktu Anda dengan mencoba menegur perilaku buruk Rakyat Indonesia, biarkan saja mereka mempertontonkan sikap hewani mereka, bangsa hewani, selalu saja otot, kekerasan, intimidasi, teror, serta pengeroyokan yang ditampilkan secara seronok, seolah otak neokorteks mereka telah termakan habis oleh otak limbik di kepala mereka, kembali ke zaman batu.