Apakah Dimaafkan adalah Hak, dan Apakah Memaafkan adalah Kewajiban? Perihal Meminta Maaf dan Alasan Pemaaf

ARTIKEL HUKUM
Budaya (Tidak) Tahu Diri dan Malu, Krisis Watak (Mentalitas) Bangsa
Beberapa waktu lampau, penulis menyaksikan sebuah film drama Korea Selatan, namun bukanlah plot atau alur ceritanya yang akan kita bahas bersama. Yang menarik perhatian penulis dari kisah drama sederhana tersebut, digambarkan sekelompok pria melakukan gosip yang tercela terhadap orang lain. Disaat bersamaan, pihak yang digosipkan ternyata mendengarnya langsung, mengakibatkan sekelompok pria tersebut ditegur oleh orang yang digosipkan.
Alih-alih menunjukkan sikap defensip dan represif-agresif, seperti dugaan awal penulis, sekelompok pria tersebut secara kompak hanya menunjukkan respons berupa ekspresi diam tanpa mencoba membantah ataupun berdebat, tampak tulus menampilkan sikap tubuh penuh penyesalan dan mengakui telah bersalah dengan tidak mencoba mencari-cari alibi, seketika menunjukkan rasa bersalah dengan membungkukkan kepala untuk meminta maaf. Jangan katakan “itu hanya film”, karena sama artinya Anda tidak menghargai citarasa seni sang penulis skrip film drama dimaksud, sekalipun memang kenyataan di Korea Selatan masyarakatnya tidaklah demikian sebagaimana digambarkan dalam kisah film fiksi tersebut.
Terbersit imajinasi pada benak penulis, apa yang akan terjadi, bila seandainya adegan kisah drama demikian nyata terjadi di Indonesia dimana para pelakunya ialah orang Indonesia, apakah hal serupa berupa respons yang elegan demikian adalah niscaya serta mungkin terjadi? Rasanya, sejauh ingatan penulis, hampir tidak pernah penulis secara nyata mengalaminya di negeri bernama Republik Indonesia ini, dimana pelaku yang melakukan perbuatan tercela seketika mengakui kesalahannya, meminta maaf tanpa banyak mencari pembenaran diri, bahkan yang sering terjadi ialah respons berupa aksi arogansi yang justru bersikap menantang dengan cara sengaja memperparah ulah”-nya, mencemooh pihak penegur, lebih galak yang ditegur ketimbang yang menegur, korban dituntut untuk bersabar menyerupai sebongkah mayat yang bisu, mendebat, mencoba memutar-balik fakta, “maling teriak maling”, aksi otot-otot lengan ditampilkan ketika perdebatan intelektual menemui kekalahan, melecehkan penegur atau korbannya (alias melakukan kesalahan baru untuk menutupi kesalahan sebelumnya, sangat menyerupai “penyakit dusta”), dan bahkan tidak jarang menganiaya dan mengeroyoki korbannya yang mencoba dan telah memberanikan diri untuk menegur perilaku buruk pelakunya.
Baik hal-hal remeh-temeh hingga hal-hal besar, penulis tidak pernah menemui fakta realita lapangan dimana penduduk dari Bangsa Indonesia bersedia secara besar hati dan berbesar jiwa mengakui kesalahannya tanpa mencari-cari pembenaran diri terlebih mencoba berdebat dan mengecoh / membohongi korbannya (seolahnya korbannya “tuli” atau sudah “buta” tidak dapat mendengar dan melihat / membaca), jika perlu berkelit dengan berbagai cara memutar-balik dari “yang salah menjadi yang benar dan yang benar menjadi yang salah”, melakukan aksi putar-balik moralitas menyerupai “maling teriak maling” dimana yang salah yang justru lebih galak dan lebih “beringas” ketimbang korbannya, aksi-aksi menyerupai debitor yang menggugat kreditornya sendiri sekalipun terlebih dahulu wanprestasi “menunggak”, menggugat pihak lain sekalipun dirinya sendiri yang lebih patut digugat dan dimintakan pertanggung-jawaban, mempidana orang-orang yang sejatinya menjadi korbannya guna membungkam, turut mencela orang yang di-bully secara sosial ketimbang mencela pihak-pihak yang melakukan bullying, menyalah-gunakan keadaan “yang kuat memakan yang lemah”, mengharap bebas dari jerat hukum sekalipun melakukan kejahatan besar seperti korupsi, dan berbagai respons atau tanggapan tidak etis lainnya yang pada esensinya ialah memperkeruh apa yang sudah keruh, memperkusut apa yang telah kusut. Jika sudah demikian, maka apanya lagi yang perlu dimusyawarahkan untuk mencapai mufakat bila sedari awal sudah menampilkan sikap-sifat “mau menang sendiri”?
“Level kesadaran sosial”-nya baru sebatas itu masyarakat kita, merupakan terminologi yang cukup menarik yang pernah penulis dengar sebagaimana diuraikan seorang pembicara beberapa waktu lampau, dimana masyarakat kita serba menyepelekan segala sesuatunya, bersikap reaktif, lebih sibuk mencari pembenaran diri dan alibi, melakukan perlawanan alih-alih melakukan introspeksi dan perbaikan diri maupun memulihkan keadaan korbannya, bersikap mudah melepaskan dan melempar tanggung-jawab, sukar untuk dituntut bahkan dalam tataran moril, dan hanya pandai “manis di mulut” (gimmick) serta sesumbar “akan mengganti rugi”.
Suatu bangsa dimana rakyatnya mau dan dapat ditegur baik oleh sesama warga ataupun oleh pemerintahnya, disebut sebagai “bangsa (yang) partisipatif”—disebut demikian karena jiwa semangat bangsanya ialah saling berkolektif diri, saling menjadikan satu, tidak ada paradigma antara “saya berhadapan / melawan mereka” (YOU Versus ME, Not US), namun menggunakan pendekatan jiwa semangat “kita bersama adalah satu-kesatuan” karenanya mendapat teguran dan ditegur oleh warga lainnya tanpa bersikap reaktif ataupun menampilkan watak arogansi, ialah bentuk kohesi sosial menjelma ketahanan negara dari degradasi moral bangsanya oleh budaya asing yang belum tentu positif untuk diakulturasi.
Kontras dengan itu, ketika suatu bangsa dimana rakyatnya bersifat defensif, anti kritik, membalas celaan serta teguran dengan mempertontonkan arogansi bak premanisme, tidak pernah bersedia mengakui kesalahan terlebih mempertunjukkan rasa penyesalan dan sikap tanggung-jawab, bersikap “mau menang sendiri” apapun kelakuannya dan seburuk apapun perbuatannya, kebiasaan “putar-balik fakta” ala “maling teriak maling”, mental “mendadak lupa” untuk bertanggung-jawab lewat aksi berkelit demi berkelit, menjadikan “bersikap lebih galak daripada korbannya atau terhadap yang menegur” sebagai cara atau jalan pintas untuk menyelesaikan masalah, mengandalkan kekuatan otot dan kekerasan sebagai solusi dangkal yang tidak kreatif, menyalah-gunakan keadaan dengan semudah menggunakan apa yang disebut mental “mentang-mentang”, bahkan mental “over percaya diri” dimana pelakunya meyakini bahwa dirinya akan tetap memasuki alam surga seburuk apapun perilaku mereka di dunia manusia semata karena telah diberi “cap” sebagai “bangsa agamais”.
“Tanggung jawab diri” serta “ketahanan diri”, miskinnya dua elemen esensial demikian dalam wajah sosial-kemasyarakatan kita, mengakibatkan konflik-konflik sosial bukan tidak terjadi, namun sifatnya ialah “pengelabuan diri” dimana korbannya menjadi “takut” untuk mengkritik, “takut” untuk menegur, “takut” untuk meminta pertanggung-jawaban, serta “takut” untuk bersuara—sehingga semuanya tampak berjalan senyap tanpa buih-buih konflik yang tampak di permukaannya. Korban, hanya bisa bungkam karena tuntutan sosial “tidak logis” masyarakat kita bahwasannya “bersuara kritis” seolah adalah “tidak sopan”, sekalipun itu adalah jeritan seorang korban.
Seseorang pribadi tanpa “tanggung jawab diri”, mengakibatkan dirinya tidak akan dapat diandalkan dalam konteks “tanggung jawab sosial”. Entah bagaimana kehidupan di bangsa ini dapat terus berlangsung dan berjalan sepanjang puluhan tahun ini, apakah Anda benar-benar merasa nyaman, hidup ditengah-tengah suatu bangsa dimana bangsa tempat Anda hidup dan berkegiatan saat kini selalu mengandalkan aksi-aksi respons ala bangsa belum beradab (alias biadab) seperti “lebih galak yang ditegur ketimbang yang menegur”, “melakukan perbuatan jahat baru (dengan melecehkan pihak yang menegur mereka) alih-alih seketika meminta maaf dan memperbaiki keadaan”, “putar-balik fakta ala maling teriak maling”,
Sebetulnya apakah yang “dikejar” atau “diperjuangkan” oleh pelakunya dari aksi merespons teguran atau kritik dengan sikap arogansi demikian? Adalah “harga diri semu” dimana dengan sengaja menutupi kesalahan atau perilaku tercelanya dengan membuat takut (mengintimidasi ataupun melecehkan) pihak yang menegur ataupun para korbannya sehingga tiada lagi yang berani memberi teguran seolah dirinya kini telah “benar” karena tiada lagi teguran ataupun kritik yang dialamatkan kepadanya, keyakinan rapuh bahwa dirinya selalu benar dan orang lain selalu pasti salah, keserakahan yang terlampau “serakah” seolah orang lain dibawah derajat dan harkat-martabat dirinya sehingga merasa berhak berbuat dan berperilaku apapun sekalipun merugikan warganegara lainnya, kesenangan “tidak sehat” berupa membuat tidak berdaya dan melecehkan pribadi lainnya, maupun asumsi-asumsi irasional lainnya. Tidak mendapat teguran, bukan berarti tiada kesalahan yang pernah kita buat, itulah yang disebut sebagai “self introspection”, introspeksi diri secara mandiri—terlebih bila yang bersangkutan kerap “lebih galak daripada korbannya”.
Ketika kita berbuat kesalahan dan memutuskan untuk meminta maaf, maka sikap penuh penyesalan dan rasa bersalah disamping pengakuan kesalahan kita dengan meminta maaf, memang membuat posisi kita menjadi rentan dipersalahkan, dimarahi, serta dimintakan pertanggung-jawaban. Bahkan, resiko terbesarnya ialah permintaan maaf kita tidak diterima dan tidak dimaafkan oleh korban kita. Akan tetapi, itulah resiko melakukan perbuatan buruk dan salah. Kita tidak dapat menuntut terlampau banyak “bermain api namun tidak ingin dan menolak terbakar”.
Ketika kita meminta maaf kepada orang lain karena melakukan kesalahan, sejatinya kita sedang meminta maaf serta disaat bersamaan mendidik diri kita sendiri. Apa jadinya, bila kita terbiasa bersikap defensif dan “lebih galak daripada pihak yang memberi teguran”, maka dapat dipastikan dirinya tidak akan pernah mampu menegur dirinya sendiri—dimana sekalipun suara hatinya mencoba memberikan teguran atas perilakunya, yang terjadi kemudian ialah “perang batin” internal diri sang pelaku, yang lagi-lagi dapat dipastikan suara hati-nuraninya akan menciut akibat ketakutan oleh si “galak” yang merasa “nothing and never wrong with me” atau semacam “I can do no wrong”, sampai akhirnya suara hati nuraninya sama sekali meredup sebelum kemudian “mati”.
Perbuatan keliru yang selalu berulang terjadi, maka wajar bila korbannya merasa tidak lagi perlu memberi maaf, karena pelakunya telah “memboroskan” kemurahan hati dan kebaikan orang lain, bahkan tidak jarang menjadi bumerang dan kontraproduktif bagi si pemberi maaf. Begitupula perbuatan buruk atau jahat berupa pelanggaran yang dilakukan secara disengaja, semisal pihak-pihak yang telah menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis dengan maksud hanya untuk “memperkosa” profesi penulis (bersikap eksploitatif karena menuntut dilayani sesuai profesi penulis dalam mencari nafkah, namun tanpa bersedia membayar tarif layanan jasa SEPERAK PUN), sekalipun adalah mustahil dirinya mampu menemukan dan mendapatkan nomor kontak profesi kerja penulis tanpa mengetahui dan menyadari bahwa penulis adalah seorang Konsultan Hukum yang menjual jasa tanya-jawab seputar hukum, maka adalah wajar bila penulis menolak permintaan maaf dari para pelanggarnya.
Adalah tuntutan yang terlampau serakah, mengharap semudah itu melakukan pelanggaran, lantas semudah juga hendak “cuci tangan” dengan semudah melontarkan permintaan maaf—sangat tidak mendidik begitu mudahnya memaafkan pelakunya, itulah fungsi penjeraan, bagi pelakunya itu pada khususnya dan bagi masyarakat umum pada umumnya. Permintaan maaf bukanlah cara sakti untuk “cuci tangan” dan “cuci dosa”. Bila semudah itu permintaan maaf menjadi “alasan pemaaf” penghapus kesalahan, maka seluruh penjara kita akan kosong dari narapidana penghuninya.
Meminta maaf bukanlah bentuk pertanggung-jawaban dari pelakunya atas kesalahan yang pernah diperbuat olehnya, namun hanya perihal pernyataan mengakui telah bersalah serta menyesalinya serta komitmen untuk tidak lagi melakukannya. Meminta maaf bukanlah cara efektif untuk berkelit dari tanggung-jawab, dan bukan diartikan tidak perlu bertanggung-jawab bila benar-benar dimaafkan oleh korbannya. Meminta maaf namun kemudian lari dari tanggung-jawab, adalah jenis permintaan maaf “omong kosong” ala pengecut. Tiada sikap tanggung-jawab maka tiada permintaan maaf yang layak diberikan maaf.
Pernah terjadi, bahkan sering terjadi, pihak yang meminta maaf pada penulis justru bersikap “marah” terhadap penulis karena tidak penulis berikan maaf, karena pelakunya melanggar secara disengaja dengan tingkat yang sangat melecehkan terhadap profesi penulis yang sedang mencari nafkah (antara “hidup dan mati”, itulah esensi hak atas nafkah) namun “disuruh makan mati BATU dan disaat bersamaan meminta dilayani”.
Meminta maaf, artinya dari akar kata “meminta” (sinonim “permohonan” atau “memohon”) sebuah “maaf”. Karenanya, “maaf” bukanlah hak, namun “memohon” agar diberikan “maaf”, adalah hak. Akan tetapi, “maaf” itu sendiri bersifat fakultatif, dapat diberikan dan juga tidak, menjadi hak dari pihak yang “dimohonkan maaf” untuk menentukan. Sehingga, menjadi mengherankan ketika yang meminta maaf bersikap “murka” ketika sang korban tidak bersedia memafaatkan (cara membaca : tidak memberikan maaf yang dimohonkan).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.