ARTIKEL HUKUM
Secara sosio-psikologis, seseorang individu atau pribadi manusia sangat mudah dikendalikan serta diatur menggunakan mekanisme apa yang populer disebut dengan isitlah “reward and punishment” maupun lewat “asosiasi antara perilaku dan ganjaran” (lihat kasus “anjing Pavlov”), atau yang bila diartikan secara politis menjadi “insentif dan dis-insentif”. Bahasan dalam kesempatan ini akan membahas perihal instrumen hukum yang tidak lagi asing di telinga para pelaku usaha, yakni perjanjian “nominee”.
Beragam cara, rupa, serta modus praktik-praktik “penyelendupan” hukum, yang bilamana dibiarkan terjadi dan meraja-lela tanpa suatu penjeraan berarti oleh otoritas negara lewat aparatur penegak hukumnya serta praktik di ruang peradilan yang tegas disamping efektif menjerakan, maka praktik-praktik “penyelundupan” hukum serupa akan selalu menjadi momok yang berulang-ulang disamping menjadi semacam “preseden” tidak sehat itu sendiri, seolah hendak mengecoh, mempertawai, dan membodohi rakyat serta republik ini.
Wibawa hukum, dengan demikian, dipertaruhkan oleh sikap tegas peradilan. Sebagai contoh sederhana, konon, dikabarkan kalangan pelaku tindak pidana korupsi tidak jera dan tidak takut akan ancaman pemidanaan berupa sanksi vonis penjara, namun akan sangat merasa keberatan ketika dibebankan sanksi tambahan berupa “dimiskinkan” sebagai “dis-insentif” akibat perilaku korupsi maupun kolusi.
Adalah pembenaran diri yang tidak sedikit penulis jumpai pada berbagai cara berpikir kalangan masyarakat (terutama kalangan intelek, usahawan), yang berasumsi bahwa dirinya mampu mengecoh hukum, memperdaya hukum, berlindung dibalik “celah” hukum, mengeksploitasi hukum, serta mempermainkan hukum, maka bermain secara “cerdik sekalipun curang demikian” hal demikian itu akan menjadi “insentif” dimana aparatur penegak hukum justru akan memberikan “reward” berupa pembebasan beban pajak, pembebasan atas ancaman sanksi hukuman, dan lain sebagainya. “Spirit” atau semangat dibalik penegakan hukum, bukanlah perihal siapa yang curang dan siapa yang cerdas-licik yang akan menang dan dilindungi, namun lebih kepada siapa yang beritikad baik dan siapa yang memiliki niat buruk untuk diberi ganjaran setimpal sesuai perbuatan dan niat hatinya.
Bayangkan, apa jadinya bila terdapat pelaku praktik perjanjian “nominee”, alias perjanjian yang bersifat “sembunyi-sembunyi” dengan membuat rekayasa dengan maksud untuk mengecoh aparatur penegak hukum, dimana salah satu pihak didudukkan sebagai “boneka” semata dimana sang “beneficial owner” menjadi tampak terselubung, tidak tampak di permukaan, tidak kasat-mata, serta menjadi pengendali “di balik layar” yang sukar untuk dideteksi keberadaannya.
Itulah latar-belakang konstruksinya, mengapa perjanjian “nominee” disebut juga sebagai “perjanjian boneka”, penuh rekayasa, tipu-muslihat, niat yang tidak baik, karena memang salah satu pihak yang ditampilkan dalam berbagai perbuatan hukum diluar permukaan hanya tampil satu pihak, yakni sang “boneka” yang dikendalikan dari “balik layar” oleh seorang pemodal yang mengambil keuntungan pribadi lewat aksi “pinjam nama” maupun praktik-praktik “pinjam bendera” dalam kasus-kasus tender pengadaaan barang dan jasa yang sangat lazim terjadi agar dari tampak permukaan seolah terjadi persaingan antar pelaku usaha yang sejatinya “kompetisi fiktif”.
Perjanjian “nominee” jamak dan masif terjadi dalam praktik korporasi, sebagaimana tidak jarang penulis jumpai bahkan untuk sekadar pelaku usaha kelas menengah, terutama mudahnya pendirian berbagai badan hukum bernama Perseroan Terbatas menjelma Grub Usaha yang transparan dinyatakan sebagai induk (holding) dan anak usaha, dan banyak pula diantaranya yang bersifat tidak transparan dengan maksud untuk menyembunyikan jati-dirinya guna satu atau lain kepentingan, yang biasanya digunakan sebagai alat atau instrumen untuk mengecoh aparatur penegak hukum. Karenanya, perjanjian “nominee” yang canggih selalu bersifat sarat akan instrumen hukum yang kompleks dan sukar untuk dapat kita deteksi secara mudah, karena membutuhkan investigasi yang rumit untuk dapat tersingkap karena terselubung berbagai tabir yang dikamuflase berbagai instrumen hukum yang legal (hanya saja di-“salah-gunakan”).
Sebaliknya, mereka yang bersikap terang-benderang, berbisnis dan berusaha dengan legal, sahih, atau sesuai aturan hukum, tidak pernah merasa membutuhkan praktik “penyelundupan” hukum apapun, dan tampil “apa adanya” dengan jati-dirinya sendiri. Tiada yang perlu disembunyikan, terlebih sembunyi-sembunyi melakukan manuver bisnis. Itulah postulat paling utamanya, yakni seluruh praktik perjanjian “nominee” ataupun praktik-praktik “nominee” lainnya, selalu bersifat bertentangan dengan kepentingan hukum, kepentingan umum, serta kepentingan publik. Bila bisa terang-benderang, mengapa juga harus sembunyi-sembunyi lewat berbagai tabir instrumen hukum yang kompleks serta tidak transparan? Itulah logika berpikir paling tipikal dibalik cara berpikir para pelaku praktik “nominee”.
Sebagai contoh yang dapat dengan mudah kita jumpai dalam praktik di lapangan, yakni dimilikinya saham oleh seseorang, ternyata pemegang saham pada sebuah perseroan tersebut sebelumnya telah diikat oleh perjanjian “nominee” oleh orang lain atau pihak lain, dimana orang lain tersebut ternyata adalah pemilik dari perseroan dimaksud, sehingga perseroan tampak seperti memiliki dua pemegang saham, akan tetapi senyatanya hanya dimiliki oleh seorang “beneficial owner” selaku pemilik sekaligus pengendali secara langsung maupun secara tidak langsung (“di balik layar”).
Karenanya, dapat pula mulai kita pahami, bahwasannya otoritas penegak hukum mulai menyusun regulasi perihal “beneficial owner” yang wajib diungkap kepada otoritas negara, sebagai bagian dari asas transparansi, tidak lain karena kian maraknya praktik-praktik “nominee” yang menyalah-gunakan instrumen hukum bernama pendirian berbagai Perseroan Terbatas yang hanya dijadikan sebagai perusahaan-perusahaan “boneka”, sebagai “shell company” guna menampung dana “transfer pricing” (profit shifting), dan lain sebagainya. Alhasil, aparatur penegak hukum kerap-kali merasa telah “kecolongan” dan “ditertawakan”.
Contoh kedua yang ditengarai lebih kerap terjadi dalam praktik di lapangan hukum pertanahan nasional, ialah praktik perjanjian “nominee” antara seorang warga negara asing (WNA) terhadap warga lokal, dimana warga lokal hanya “dipinjam / disewa saja nama atau identitas kependudukannya” untuk dicantum sebagai pemilik hak atas tanah berwujud “data yuridis” dalam sebuah sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan oleh otoritas dibidang pertanahan.
Hukum jelas melarang pihak asing menguasai hak atas tanah berupa sertifikat “hak milik murni”, atau Perseroan Terbatas non-persero dilarang memiliki sertifikat hak milik, namun kesemua itu “diakali” oleh segelintir pihak yang “nakal” dengan praktik perjanjian “nominee”, dimana pihak warga lokal yang dipinjam namanya diikat dengan suatu perjanjian berwujud “akta dibawah tangan” (tentu saja), bahwasannya sang warga lokal yang dipinjam namanya tersebut mengakui dan menyatakan bahwa objek tanah dimaksud ialah milik sang pemodal sekalipun tercantum atas nama sang warga lokal.
Dengan demikian, perjanjian “nominee” selalu bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum. Karena, bila tidak bertentangan dengan hukum, mengapa juga masih mengikat perjanjian secara “sembunyi-sembunyi”, bahkan menggunakan mekanisme berupa konstruksi perjanjian “boneka” semacam contoh-contoh di atas secara tidak jujur dan tidak transparan yang menjadi syarat dari tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance)?
Karena perjanjian “nominee” selalu bersifat melawan hukum, karenanya perjanjian “nominee” selalu dikategorikan sebagai “causa yang tidak sahih”—karena ia tergolong sebagai “causa yang tidak sahih”, maka dengan sendirinya tidak terpenuhi “unsur objektif syarat sah perjanjian” vide Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengakibatkan perjanjian “nominee” batal demi hukum sejak semula ia dibentuk oleh sang pemodal dan sang “boneka”. Bila fakta hukum tersebut dirasakan belum cukup menakutkan, maka bahasan berikut akan membuka mata pelaku praktik “nominee” untuk lebih mampu mengontrol “nafsu” melakukan praktik-praktik serupa dikemudian hari.
Lantas, apa yang menjadi resiko praktik perjanjian “nominee” demikian, serta siapakah juga yang paling dirugikan, dan yang menanggung beban kerugian yang dapat ditimpakan oleh hukum? Sekali lagi, hukum negara wajib memberikan “penjeraan” bagi pelaku praktik “penyelundupan” hukum, demi tegaknya wibawa hukum agar memberi “efek jera” (detterent effect) yang efektif bagi pelaku maupun bagi masyarakat umum, agar patuh dan taat terhadap hukum, tanpa lagi mencoba “bermain-main” dengan norma imperatif hukum. Hukum, bukanlah ajang “iseng-iseng berhadiah”, itulah yang kerap penulis utarakan dan edukasikan kepada klien. Selalu terdapat konsekuensi logis maupun konsekuensi yuridis dibalik setiap langkah hukum yang melanggar “causa yang sahih” sebagai harga mahal yang harus dibayarkan pada muaranya.
Jawaban dari isu hukum tersebut di atas, sangatlah mudah untuk dijawab, dan sangat logis bila konsekuensi yuridisnya ialah bahwa yang eksis semata ialah sosok sang warga lokal yang tercantum namanya dalam sertifikat hak atas tanah, sementara perjanjian “nominee” antara sang pemodal dan pihak warga lokal tersebut “demi hukum” dianggap tidak pernah ada (alias tidak pernah eksis) karena batal sejak semula (null and void) akibat melanggar “causa yang sahih syarat sah perjanjian”.
Konsekuensi logis lanjutannya, sang warga lokal yang namanya tercantum dalam sertifikat hak atas tanah berhak secara bebas untuk menghibahkan ataupun mengalihkan hak berupa menjual objek tanah tersebut kepada pihak ketiga, tanpa perlu izin dari pihak pemodal (dalam perjanjian “nominee”) serta harga jual-beli menjadi sepenuhnya hak atau milik pihak sang warga lokal—dimana sang pemodal (dalam perjanjian “nominee”) patut dan layak diganjar hukuman “merugi” berupa tidak dapat menggugat sang warga lokal karena memang sejak semula perjanjian “nominee” dimaksud dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah eksis, dimana sekalipun dianggap tetap eksis tetap saja tidak dapat di-eksekusi mengingat asas hukum acara perdata kita tidak dapat membenarkan pengadilan mengeksekusi sesuatu “causa yang bertentangan dengan hukum”.
Karenanya, untuk “memberangus” praktik-praktik “nominee”, hukum patut memberikan “reward” berupa keuntungan bagi seseorang individu yang “dipinjam” namanya dan disaat bersamaan memberikan “punishment” berupa “dis-insentif” berupa tidak diakuinya sang “pemodal” maupun tidak diakuinya eksistensi perjanjian “nominee” demikian sehingga tidak memiliki daya ikat secara hukum ataupun daya keberlakukan untuk dieksekusi. Hukum lewat ruang peradilan yang justru memberikan “reward” kepada sang “boneka”, otomatis adalah sebagai “punishment” itu sendiri bagi pelaku praktik “nominee”.
Guna menghadirkan “efek jera” derajat kedua, sekalipun secara hukum materiil disebutkan bahwa dibatalkannya suatu perjanjian mengakibatkan dana “sewa / pinjam nama” dalam perjanjian “nominee” tersebut wajib dikembalikan oleh sang warga lokal yang dipinjam namanya kepada sang pemodal, maka bila sang pemodal kemudian menggugat sang warga lokal karena menjual objek tanah yang dimodali oleh sang pemodal kepada pihak ketiga, maka hukum lewat Majelis Hakim di pengadilan wajib tidak mengabulkan satu butir pun tuntutan dalam surat gugatan sang pemodal kepada sang warga, serta tidak juga mengabulkan tuntutan agar dikembalikan dana “sewa nama”—sebagai hukuman atau “dis-insentif” bagi pelaku praktik “penyelundupan” hukum yang memiliki itikad buruk hendak melecehkan serta mengecoh dan membodohi hukum.
Begitupula ketika seorang klien dari penulis dalam sesi konsultasi mengajukan pertanyaan perihal adanya rencana bahwa namanya akan dipinjam sebagai pemegang saham pada suatu korporasi, dimana dirinya ditawarkan sejumlah keuntungan atau jabatan bila bersedia dipinjam namanya untuk dicantum dalam daftar pemegang saham namun disaat bersamaan diikat pula dengan perjanjian “nominee” dengan pihak “beneficial owner” yang hendak mengecoh pengawasan oleh otoritas Komisi Pengawas Persaingan Usaha karena dirinya berencana hendak melakukan praktik monopoli usaha dengan membuat kompetitor “semu” yang tujuan utama sang “beneficial owner” ialah untuk mematikan kompetitornya, maka yang menjadi rekomendasi dari penulis ialah ambil kesempatan tawaran tersebut, mengingat yang dirugikan pada gilirannya ialah pihak “penyewa nama” dengan sewaktu-waktu sang “boneka” memiliki hak suara untuk menghadiri kuorum Rapat Umum Pemegang Saham serta melakukan “voting” (pemungutan suara) guna menentukan kebijakan jalannya perseroan, dengan sewaktu-waktu melakukan pembangkangan dengan melawan perintah maupun melenceng dari kepentingan semula sang “beneficial owner” ketika sang “beneficial owner” menampilkan gelagat hendak “menyingkirkan” dirinya bila dirasakan tidak lagi dibutuhkan.
Selanjutnya, bagaimana bila klien dari penulis sebaliknya ialah dari pihak “beneficial owner” yang hendak melakukan praktik perjanjian “nominee”? Prinsipnya, seorang profesi Konsultan Hukum tidak dibenarkan menyesatkan klien dengan rekomendasi yang “manis di awal namun pahit di penghujung”. Iming-iming berupa harapan semu yang sekalipun terdengar manis di telinga untuk menyenangkan hati klien, pada gilirannya dapat menjadi bumerang.
Karena itulah, selalu secara terbuka penulis utarakan kepada klien mana pun yang berkehendak melakukan praktik perjanjian “nominee” demikian, bahwa terdapat resiko yang “tidak perlu” diambil lewat praktik-praktik “penyelundupan” hukum semacam perjanjian “nominee”, karena bisa jadi (tidak tertutup kemungkinan) sang “boneka” memakai jasa konsultasi kepada Konsultan Hukum lain, dimana besar kemungkinan Konsultan Hukum yang disewa sang “boneka” juga memberikan opini hukum yang serupa dengan yang penulis utarakan dalam bahasan di atas.
Bila opini hukum serta rekomendasi telah penulis paparkan secara lugas dan utuh, namun klien tetap bersikukuh pada pendirian rencananya semula, maka itu menjadi keputusan pribadi sang klien serta resiko yang sepenuhnya ditanggung oleh sang klien itu sendiri. Kewajiban moril-etik serta kewajiban profesi seorang Konsultan Hukum, hanya sebatas dipaparkannya secara lugas dan gamblang opini hukum serta rekomendasi serta prediksi “worst case” yang mungkin dapat terjadi, dimana yang mengambil keputusan pada gilirannya bukanlah seorang Konsultan Hukum, namun pribadi sang klien itu sendiri, lengkap dengan seluruh konsekuensi yuridis pendampingnya.
Hidup adalah persoalan pilihan, “bermain” secara jujur dan transparan atau secara “sembunyi-sembunyi” yang pada gilirannya menjadi “tersembunyikan”, seolah seseorang tidak mampu meraih prestasi dengan berbisnis secara jujur dan legal. Karenanya, hukum perlu mengumandangkan secara tegas, bahwasannya tiada gunanya mencoba “mencurangi” hukum, karena tiada yang betul-betul dapat “dicurangi” dalam hukum—sekalipunitu hanyalah sebentuk harapan yang paling ideal, “utopia” praktik ruang peradilan di Tanah Air.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.