Akar Sengketa Hukum, Bukan Disebabkan oleh Objeknya, namun Selalu Diakibatkan Perbuatan Subjeknya

ARTIKEL HUKUM
Apa itu sengketa hukum, serta apa yang menjadi faktor penyebab sengketa dibidang hukum? Sekalipun pertanyaan demikian sejatinya memasuki tataran ilmu sosiologi dan ranah falsafah hukum, namun dalam bahasan singkat ini akan kita kupas bersama dalam bahasa yang sederhana agar mudah dicerna serta contoh ilustrasi konkret relevannya yang mungkin juga dapat dengan mudah dijumpai pada keseharian para pembaca yang budiman.
Pernahkah suatu ketika Anda mengalami, ketika sehabis mengepel lantai pada lantai halaman rumah kita, kita mungkin berpikir hendak mencuci atau membilas kaki kita dengan air bekas mengepel di dalam ember kain pel. Kita berpikir (secara malas) dan berasumsi bahwa kita sedang “mencuci” kaki agar lebih bersih dengan air bekas air pel tersebut, namun sejatinya kita sedang “mengotori” kaki yang sudah kotor menjadi lebih kotor karena kini dipenuhi bakteri dan virus dari hewan-hewan melata seperti bekas kotoran tikus, kecoak, dan sebagainya.
Ibarat kita juga pernah menyaksikan bagaimana seseorang “mandi” menggunakan air sungai yang bewarna hitam keruh, mengira dirinya sedang “mencuci” tubuh, namun alih-alih membersihkan tubuh, dirinya menambah banyak masuknya kuman penyakit dari luar tubuh ke dalam tubuh. Itulah akar penyakit utama manusia, yakni ketidak-sempurnaan daya kemampuan maupun kemauan berpikir seseorang manusia yang terlampau “malas” untuk berpikir sekalipun organ otak di kepala kita merupakan sumber daya demikian canggih hasil evolusi manusia selama jutaan milenium, yakni tidak lain tidak bukan ialah sifat “irasional”—yang dalam terminologi Buddhisme disebut sebagai “kebodohan batin” (moha).
Rata-rata kejahatan yang pernah dan akan terjadi, terutama mulai dari tataran benih bibit-bibit niat jahat para pelakunya, bila kita telisik secara ilmu kriminologi maupun psikologi, selalu dimulai dari cara berpikir “irasional” pelakunya. Tidak ada penjahat yang rasional, semisal penjahat yang memiliki kepandaian seperti programming untuk bisa secara kreatif mencari keuntungan dengan cara-cara kerja yang benar, namun justru menjadi “pandai menipu” lewat aksi “cyber crime”.
Para pelaku tindak pidana asusila terhadap anak dibawah umur, sekalipun telah mengetahui adanya ancaman sanksi pidana di-“kebiri” bagi pelakunya, tetap saja berani melanggar sebagaimana pemberitaan serupa yang terus berulang-kali diberitakan terjadi oleh pelaku yang berbeda dan sekalipun tergolong terdidik dari segi pendidikan formal, dimana secara tidak rasional merasa tidak takut akan ancaman sanksinya.
Karenanya, menjadi ironis ketika hukum negara harus menghadapi para pelaku kejahatan yang tidak dapat diajak berpikir secara rasional, oleh sebab ancaman dihukum mati sekalipun ternyata tidak membuat jera para koruptor maupun para bandar obat-obatan terlarang. Meski, dalam sudut pandang lainnya, tampaknya memang menjadi cukup rasional bagi seseorang untuk meremehkan penegakan hukum di Indonesia karena telah terbentuk citra kerap terjadinya “tebang pilih” serta implementasinya “separuh hati” oleh aparatur penegak hukumnya. Musuh terbesar dari hukum negara, terutama hukum pidana, bukanlah ketidak-tahuan masyarakat tentang aturan hukum yang mengaturnya, namun lebih kepada sifat irasional rakyat yang diaturnya.
Mungkin, menurut hipotesis pribadi yang penulis kemukakan sebagai teori alternatifnya ialah, untuk konteks Indonesia pada khususnya, yang irasional ialah para aparatur penegak hukumnya, sementara para penjahatnya telah sangat rasional karena menyadari dan mengetahui bahwa hukum di Indonesia bersifat “korup” (dapat dibeli serta dinegosiasi-transaksional) serta memahami betul dan memanfaatkan dengan baik fenomena realita bahwasannya penegakan hukum di republik ini bersifat “separuh hati”—sehingga menjadi berkebalikan sekaligus bertolak-bekalang dari hipotesis sebelumnya. Bagaimana menurut pendapat Anda, siapakah yang sejatinya lebih rasional dan yang lebih irasional.
Pada sudut pandang lainnya, negara lewat otoritas pemerintah serat aparatur penegak hukumnya juga perlu melindungi masyarakat dari sikap irasional yang “menjangkiti” rakyatnya yang mana dapat merugikan atau menyakiti diri rakyat itu sendiri. Sungguh, sifat dan sikap irasional menyerupai “virus” yang jauh lebih berbahaya, dan hingga kini belum ditemukan vaksin untuk mengatasinya selain kesadaran pribadi masing-masing penduduknya. Akan tetapi, diatas kesemua itu, akan tetap lebih berbahaya bila yang lebih bersikap irasional justru ialah otoritas negara kita itu sendiri, lewat hadirnya Undang-Undang yang korup, putusan yang korup, penegakan hukum yang “separuh hati” lewat aksi pengabaian dan penelantaran terhadap aduan / keluhan / laporan warga.
Semisal, mengapa negara perlu melarang warganegaranya untuk membeli dan mengonsumsi obat-obatan terlarang? Negara ketika melarang, berupa “larangan”, artinya membatasi kebebasan warganya—demi apakah, jika bukan demi menyelamatkan rakyatnya dari sifat irasional sang rakyat yang dapat mencelakai, merugikan, serta merusak dirinya sendiri. Sifat irasional, sejatinya bukan hanya musuh hukum negara, namun juga musuh utama segenap bangsa beradab. Karenanya, tidak mengherankan bila kita sepakat bahwa “menyakiti diri sendiri bukanlah hak”.
Kini, kita masuk pada akar atau faktor kedua pencetus kejahatan (faktor kriminogen). Sebagai contoh, katakanlah terdapat dua subjek yang terlibat, yakni seorang gadis bertubuh “seksi” (fakta empirik menunjukkan, faktor busana yang “terbuka” tidak menjadi pemicu utama terbitnya niat jahat pelaku kejahatan asusila, karena banyak diantara kalangan wanita berbusana serba tertutup yang justru menjadi korban tindak pidana asusila seperti yang kerap dilaporakn terjadi di Timur-Tengah maupun di Indonesia), dan seseorang pria yang kemudian melakukan tindak pidana asusila kepada sang gadis.
Sang pelaku, mendalilkan bahwa sang gadis atau sang korban-lah yang menjadi pemicu utamanya, menggoda dirinya lewat keberadaan tubuhnya yang “molek-aduhai” sehingga bangkit nafsunya untuk melakukan persetubuhan lewat pemaksaan dan ilegal demikian. Itulah yang tepatnya disebut dengan, “pembenaran diri”—yang bermakna, sesuatu dalil yang sejatinya tidak relevan dan tidak memiliki kaitan, dijadikan sebagai alibi untuk menjustifikasi ketidak-mampuan diri pelakunya itu sendiri untuk mengontrol dan mengendalikan diri.
“Pembenaran diri” atau “self justification”, selalu berkelindan dengan cara berpikir “picik-curang” yang hendak mengandalkan cara-cara atau jalan pintas “serba instan” untuk mencapai sesuatu tujuan yang dikehendaki oleh pelakunya. Sebagai contoh, untuk bisa melakukan “hubungan intim” layaknya suami-istri, dibutuhkan kerja keras dan komitmen jangka panjang, dimulai dari masa PDKT (berpacaran), dilanjutkan pada proses pertunangan, resepsi pernikahan, hingga memberi nafkah sang istri dan anak-anaknya hasil persetubuhan mereka selaku suami-istri.
Namun, seorang pemerkosa sejatinya adalah seorang “curang (yang) pemalas”, tidak ingin repot-repot bertunangan, tidak ingin repot-repot mengeluarkan modal untuk berpacaran, dan tidak ingin repot-repot bertanggung-jawab atas hasil perbuatannya layaknya komitmen serta konsekuensi dibalik ikatan suami-istri yang sah dan legal. Itulah makna dibalik kata “pemerkosaan” oleh seorang “pemerkosa”.
Penulis secara pribadi, sudah cukup kenyang “diperkosa” oleh ribuan pihak yang menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis, yang meminta dilayani tanpa bersedia membayar tarif layanan jasa konsultasi seputar hukum SEPERAK PUN, dimana para pelakunya tidak ingin repot-repot mempelajari sendiri ilmu hukum dan ingin semudah / se-instan memainkan handphone di jemari tangan mereka untuk memperkosa profesi seorang konsultan yang sudah jelas mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab seputar hukum. Korban “perkosaan” manakah, yang akan berdiam diri dilecehkan sebagaimana demikian? Pemerkosa mana juga yang akan bersedia repot-repot membayar tarif profesi korbannya?
Karenanya, dapat juga kita sebutkan, bahwa semua penjahat pada dasariahnya ialah orang yang serba “curang” dan serba “mau instan” alias “jalan pintas”, mencoba mencurangi proses yang semestinya ditempuh serta tidak bersedia berjirih-payah untuk mendapatkan atau untuk meraih sesuatu, namun menggunakan “jalan pintas” berupa tipu-daya, perampasan, pemaksaan, pengelabuan, penyalah-gunaan, dengan berbagai modus terselubung maupun secara vulgar dengan maksud semata untuk memakan atau mengorbankan pihak lainnya demi kepentingan pribadi pelakunya.
Kini kita masuk pada akar atau faktor ketiga pencetus kejahatan, yang akan penulis jelaskan lewat contoh ilustrasi nyata yang dialami oleh keluarga penulis pribadi. Nenek dan kakek dari penulis, yang telah almarhum meninggalkan warisan berupa sebuah rumah yang dari sejak lahir hingga tumbuh dewasa ditempati oleh ibu dari penulis dan beberapa orang saudara laki-lakinya. Namun, semenjak kakek dan nenek dari penulis meninggal dunia, kemudian para ahli waris lainnya secara sepihak tanpa restu ahli warisnya seketika menguasai objek rumah warisan, dengan menempatinya tanpa memberikan kesempatan bagi ibu dari penulis untuk datang maupun untuk tinggal di rumah tersebut—seolah-olah ibu dari penulis diusir keluar dari dalam rumahnya sendiri.
Sekalipun nenek dan kakek dari penulis telah memberikan wasiat secara “lisan” bahwa rumah tersebut kelak akan diberikan kepada ibu dari penulis, namun oleh salah seorang ahli waris lainnya sertifikat tanah justru digadaikan kepada pihak lain secara ilegal, dan ditempati maupun dikuasai secara “bermonopoli” oleh anak-cucunya tanpa seizin dan tanpa restu dari ibu dari penulis yang merupakan salah satu ahli warisnya.
Bukan hanya serakah atas harta warisan milik bersama ahli waris, ahli waris yang menguasai sepihak objek warisan tersebut bahkan membawa mati berbagai tumpukan menggunung hutang dari pihak ketiga yang menerima jaminan hutang berupa sertifikat rumah warisan dimaksud, sehingga seolah dirinya memang adalah seorang “perampok”, merampok harta milik ahli waris lainnya serta merampok hutang yang dipercayakan oleh kreditornya tanpa dilunasi akan tetapi disaat bersamaan memiliki pola atau gaya hidup yang jauh lebih “glamour” ketimbang korban-korban yang dirampok olehnya. Itulah gambaran, betapa mengerikannya akibat dikuasai oleh “keserakahan”, tidak mengenal kata puas dan menjadi “putus urat malunya”, bahkan tidak takut membawa mati karma buruk maupun tumpukan hutang yang tidak terbayarkan.
Dengan berbagai dalih, upaya, dan tipu-daya, para ahli waris lainnya hanya memberikan janji-janji palsu bahwa dirinya akan bersikap “adil”, bersikap “transparan”, bersikap “bertanggung-jawab”, dan segala iming-iming lainnya yang tidak pernah direalisasikan selain mengulur waktu. Jangankan mengajak duduk untuk berunding, para ahli waris lainnya bersikap tertutup dan defensif ketika mulai menyinggung isu perihal rumah peninggalan almarhum pewaris.
Sama seperti gugatan debitor “nakal” terhadap kreditornya, dilandasi oleh asumsi sesat yang “dibakar” oleh provokasi kaum pengacara di Tanah Air, seolah gugatan dapat menghapus hutang yang tetap saja harus dibayarkan, apapun isi amar putusan Majelis Hakim di pengadilan. Dugatan demikian, dilandasi asumsi “curang”, seolah sebuah gugatan dapat menghapus bersih sejarah dirinya pernah berhutang serta fakta bahwa dirinya menunggak—sifat “irasional” berpadu dengan “keserakahan”, sempurna, sempurna jahatnya.
Jangankan secara adil memberi kompensasi berupa “legitieme portie” yang merupakan hak bagian warisan ibu dari penulis dalam bentuk ganti-rugi nominal uang bila tidak diberikan hak untuk menempati objek rumah warisan, yang kemudian terjadi ialah pertunjukkan arogansi dengan secara “serakah” menempati dan menguasainya, hendak diambil-alih, dikuasai, dan dimonopolir seorang diri olehnya maupun oleh sanak-keluarganya.
Berikut inilah yang paling menarik untuk kita simak. Bukan soal harga objek tanahnya, namun yang dipermasalahkan oleh ibu dari penulis ialah cara-cara dan perilaku nyata berupa cerminan sikap atau wajah keserakahannya. Objek tanahnya sendiri, sejatinya tidak bagus dari segi lokasi, karena selain tergolong kecil luas tanahnya tanpa kebun maupun pencahayaan sinar matahari, terjepit di tengah-tengah gang padat penduduk pada suatu daerah. Di mata penulis, sekalipun seluruh ahli waris menyerahkan secara sukarela pada ibu dari penulis, penulis tidak tertarik menempatinya, dan juga tidak pernah tertarik untuk merampas ataupun untuk memakan apa yang bukan menjadi hak dari penulis—memalukan, bukan untuk dibanggakan terlebih dipertontonkan, akan tetapi sifat “tercela yang patut dicela”.
Bahkan adik dari penulis pernah berkata kepada penulis, “Diminta (secara) baik-baik pun akan kita kasih.” Namun, berhubung cara-cara ahli waris lainnya sudah menyerupai “preman” penyerobot lahan yang merampas rumah tempat ibu dari penulis dilahirkan dan tumbuh besar, apakah tidak wajar bila kemudian ibu dari penulis merasa telah “dizolimi” dan “terzolimi”? Seseorang yang terlampau serakah, tidak pernah bersedia menghadapi resiko penolakan ketika mencoba “meminta”. Pernahkah Anda menyaksikan, adanya seorang pemerkosa yang meminta izin ketika hendak memerkosa korbannya? Pemerkosa mana juga yang begitu sopannya memperkenalkan diri dan begitu ramahnya meminta izin dari korbannya?
Tidak ubahnya seperti ribuan pihak yang selama ini telah menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis selaku Konsultan Hukum, jangankah hendak memperkenalkan diri, mengikuti aturan prosedur “syarat dan ketentuan” yang telah jelas tertuang dalam website profesi penulis ini pun, dilanggarnya dengan berpura-pura tidak membacanya, berpura-pura tidak mengetahui bahwa penulis mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab seputar hukum (konseling), terlebih minta izin untuk “memperkosa”. “Pemerkosa” mana juga yang bersedia membayar tarif jasa konseling hukum yang penulis jual? Mungkinkah, Anda dapat membaca website ini tanpa mengetahui bahwa penulis adalah seseorang yang berprofesi sebagai seorang Konsultan Hukum? Sikap berpura-pura bodoh, berpura-pura tidak mengetahui, ataupun berpura-pura tidak membaca, jelas amat melecehkan profesi penulis yang memiliki hak untuk bekerja secara tenang tanpa diganggu oleh para “pemerkosa” dan “pengganggu ketenangan” demikian.
Akan jauh lebih elok, bila objek rumah warisan dijual dengan harga sesuai kesepakatan seluruh ahli waris, dimana harga jual-beli dibagikan secara merata kepada seluruh ahli waris sehingga semuanya merasa diperlakukan secara adil sesuai haknya. Kecuali terdapat ahli waris yang merasa ingin menempati, maka dapat menawarkan ganti-rugi sejumlah hak waris ahli waris lainnya yang rela melepaskan.
Namun, bagi seseorang pelaku yang dimotori oleh keserakahan dirinya sendiri, cara adil dan lurus sesuai aturan hukum bukanlah opsi yang akan mereka pilih, namun selalu cara-cara curang dan cara-cara “serakah” itu sendiri—lagi, secara irasional mereka berpikir dan berasumsi bahwa mereka dapat lari dari “hukum karma”, bahkan mengharap dapat masuk ke surga setelah ajal menjelang. Bila itu sampai terjadi, pihak pertama yang akan penulis gugat bukanlah ahli waris serakah tersebut, namun TUHAN.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan, “objek sengketa” ialah sebatas “isu luar”, dimana yang sejatinya menjadi “isu dalamnya” atau masalah sentralnya ialah metafisika perihal “faktor psikologis”, yakni perasaan diperlakukan tidak adil, tertipu, dicuri secara “perampasan eksplisit maupun terselubung” layaknya preman yang menyerobot lahan, perasaan terlecehkan karena diperlakukan tidak patut sekalipun ibu dari penulis juga memiliki hak atas objek warisan sebagai salah satu ahli waris, dicurangi, dirampok, sehingga menjadi tidak rela mengalah bagi orang-orang curang jahat serakah. Berdana kepada orang yang baik secara moral bibit-bebet-bobotnya, bukan berdana kepada orang-orang serakah yang tidak bermoral (itu buang-buang uang, namanya, selain “konyol” sendiri). Bahasa sederhananya, kejahatan yang ditampilkan ialah terlampau “seronok” dan terlampau “vulgar” di mata kami, yang mengundang kemarahan pihak ibu dari penulis.
Sehingga, kita tidak pernah dapat menghakimi orang lain dengan menyebutkan bahwa “itu hanya masalah kecil sepele”. Tidak ada masalah kecil dan tidak ada masalah “sepele”. Kita bukanlah mereka yang bersengketa sehingga kita tidak mengetahui kondisi dan latar belakang utuh kehidupan orang lain yang bergelut dalam perjuangannya, situasi, kondisi, penyulit, serta masalah yang dihadapinya, karena kita hanya seorang penonton dari luar dengan kacamata pengalaman hidup kita pribadi, bukan orang yang didudukkan dan dipojokkan atau disudutkan sebagai seorang korban yang mengalami langsung dan paling mengetahui seluruh fakta realita utuhnya.
Sebagai contoh sekaligus sebagai penutup bahasan kita, sengketa “sepele” karena kehilangan boneka lusuh. Bagi dan di mata kita sebagai “orang luar” (outsider), itu mungkin hanyalah sebuah boneka tua usang yang tiada memiliki harga dan hanya cocok menempati “tong sampah”—namun bisa jadi tidak demikian bagi si pemilik boneka yang menilai itu tiada harganya karena memiliki nilai sejarah kenangan memorial-nostalgia baginya. Kita sebagai “orang luar”, tidak tahu-menahu dan tidak tahu seluruh pengalaman utuh sang pemilik boneka, karenanya kita tidak boleh serta tidak pernah berhak bersikap “sok tahu”.
Bagi penulis pribadi, rumah warisan sebagaimana ilustrasi sebelumnya memang tiada makna artinya, karena penulis tidak dilahirkan di rumah tersebut dan tidak pernah tumbuh besar di tempat tersebut. Namun, bagi ibu dari penulis yang lahir dan tumbuh besar di rumah tersebut, tentu kenangan tersendiri pengalamannya menjadi esensi tidak ternilai harganya seperti nilai berupa harga nostalgia yang berlaku personal bagi ibu dari penulis.
Menurut Anda, siapakah pelaku kejahatan yang paling “sok tahu” di republik ini? Jawabannya akan sangat mengejutkan Anda, bahwa ternyata ada yang namanya “state actor crime”, yakni mereka yang duduk dibangku hakim pada lembaga Mahkamah Konstitusi RI. Betapa tidak, segala bidang hukum diputus oleh kesembilang Hakim Konstitusi, mulai dari masalah pajak, hak cipta, masalah importasi ternak, hukum tata negara, hukum tentang politik seperti pemilihan umum, pidana, perdata, pidana khusus, perdata kepailitan, pertanahan, perbankan, lembaga pembiayaan, dan berbagai bidang hukum yang menyerupai “rimba belantara”, dimana saat kini mustahil terdapat seorang Sarjana Hukum yang menguasai seluruh bidang hukum tanpa terspesialisasi pada bidang hukum spesifik tertentu.
Pertanyaan sederhananya, mungkinkah seorang hakim yang belum tentu memahami secara mendalam dan menyeluruh atas seluk-beluk bidang hukum spesifik tertentu yang dimohonkan uji materiil oleh seorang warga, dapat memutus secara adil dan benar? “Adil”, mungkin sang hakim memang tidak korup serta tidak berkolusi dengan jabatan wewenangnya dalam memutus. Namun, bisa jadi dirinya tidak kompeten dibidang hukum yang dimohonkan uji materiil tersebut, akan tetapi seorang hakim tidak dibolehkan untuk memutus “abstain”, dan tetap saja nilai suara diamnya diartikan sebagai memihak pada suara mayoritas hakim pemutus, sekalipun suara hakim minoritas bisa jadi telah “benar” dalam memutus karena memang kompetens dibidang hukum tersebut.
Menyadari kelemahan sistem peradilan semacam itu, lantas masih berani mengajukan / mencalonkan diri sebagai seorang hakim, dan disaat bersamaan berani menerima jabatan sebagai seorang hakim, maka sama artinya hendak mengumandankan pada dunia dengan demikian pongahnya, bahwa seolah dirinya paham dan menguasai seluruh bidang hukum di Tanah Air ini yang kian menyerupai “hutan rimba belantara hukum”. Itulah, kebohongan sekaligus dusta dan kejahatan terbesar di republik ini, yakni membohongi dirinya sendiri, membodohi rakyat, sekaligus melahirkan putusan yang dapat dipastikan “sesat” dan “menyesatkan”.
Mampukah Anda membantah fakta yang penulis kemukakan ini? Bukankah menjadi betapa mengerikannya, hidup di tengah republik yang kian rentan dan ringkih ini akibat jalannya arah bandul hukum ditentukan di tangan sembilan orang Hakim Konstitusi yang menjelma “diktator” yang “otoriter” sekalipun dirinya sejatinya pastilah tidak benar-benar paham mana “ought to” yang semestinya diberlakukan sebagai “hukum positif” dan mana yang norma hukum yang “benar” untuk diputuskan.
Jika sudah demikian, menjadi kian biaslah makna “hukum yang adil” di republik ini. Bagi yang tidak takut “dosa”, silahkan mendaftar dan mencalonkan diri sebagai seorang Hakim Konstitusi. Adil atau tidaknya, tidak lagi relevan. Pertanyaan utamanya, mampukah dan mungkin niscayakah, Anda memutus secara “benar”? Itulah pertanyaan utamanya sekaligus dilematika utamanya. “Belantara” aturan-aturan hukum kita, tidak sama dengan dua dekade lampau saat konsepsi tentang Mahkamah Konstitusi diperkenalkan oleh dunia internasional.
Tiada satu orang pun sarjana hukum dibidang perdata memahami seluruh seluk-beluk keperdataan, maupun sarjana hukum pidana, tanpa terkecuali sarjana hukum bidang lainnya. Semuanya kini “mengerucut”, dan kian terspesialisasi secara spesifik (“spesialis”). Sebaliknya, seorang “generalis” semacam Hakim Konstitusi, hanya memutus dalam level tataran “kulit”, namun dampaknya, merusak konstruksi hukum “luar dan dalam”.
Ibarat menyerahkan vonis ke tangan “dokter umum”, alih-alih mencari rujukan penanganan medis kepada “dokter spesialis”—maka konsep perihal nasib bandul hukum republik ini ke tangan sembilan orang Hakim Konstitusi, sama artinya melanggar prinsip ilmiah yang paling mendasar, bahkan ketika seseorang tidak kompeten menangani, maka wajib merujuk, bukan bersikap “sok tahu”, dimana seluruh nasib rakyat sebagai taruhannya.
Tulisan ini sekaligus sebagai tantangan terbuka dari penulis untuk membuktikan, bahwa eksistensi Mahkamah Konstitusi RI hanya akan menjadi monumen simbolisasi kian keroposnya sendi-sendi paling esensial dalam ilmu hukum, sebagaimana terbukti kian tahun kian terbit putusan kontroversial. Mari kita tunggu dan saksikan pembuktiannya, sistem norma hukum kita yang kompleks akan porak-poranda dengan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi RI kita berikutnya. Berani bertaruh?
Sebenarnya sudah terbukti sejak lama, bahwa berbagai putusan Mahkamah Konstitusi RI dewasa ini saling bertumpang-tindih (overlaping) dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi RI sebelumnya, dimana konsistensi tidak lagi pernah menjadi wajah putusan Mahkamah Konstitusi RI. Segalanya menjadi bersifat penuh spekulasi dengan “selera” hakim yang menduduki kursi jabatan, ganti hakim ganti “selera”.
Yang paling ekstrim, ialah uji materiil terhadap importasi hewan ternak, dari putusan Mahkamah Konstitusi RI terdahulu “maximum security” menjelma “relative security” dalam putusan berikutnya, dimana kemudian Hakim Konstitusi Patrialis Akbar tertangkap-tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena menjual-belikan putusan kepada suatu pengusaha importir hewan ternak. Itulah bukti, bila memang kedelapan Hakim Konstitusi lainnya tidak terlibat kolusi dengan sang Hakim Konstitusi “korup”, maka dapat disimpulkan bahwa hanya seorang Patrialis Akbar seorang diri yang memutus, karena Hakim Konstitusi lainnya “bodoh” dibidang aturan importasi hewan dan ternak, sehingga hanya mengikuti Patrialis Akbar yang “seorang diri” memutus? Jangan katakan bahwa penulis bersikap “tendensius”, bila Anda tidak mampu menawarkan kemungkinan lainnya.
Systematic corruption, itulah yang terjadi, ketika hakim-hakim lainnya hanya menjadi seorang “latah” yang menyerupai “penggembira” (menjadi aktor bintang film dadakan yang diliput oleh media pers saat duduk di bangku megah kehakiman), “pengikut” (follower mem-beo) putusan Hakim Konstitusi lainnya akan tetapi turut menanda-tangani putusan sebagai pemberi suara. Namun mengapa juga harus menjadi “hakim beo” yang hanya sekadar pandai “membeo” pada putusan dan suara Patrialis Akbar? Itulah, korupsi yang terlembagakan sekaligus korupsi yang dilegalkan, dalam bentuk gedung megah “menara gading” dengan simbol Pancasila dan Konstitusi sebagai “alibi” yang dimasukkan ke dalam kantung saku para hakimnya sebagai “kantung ajaib” yang “sakti”. Hakim yang irasional akan terjerumus ke dalam keserakahan dengan memutus apa yang tidak dipahami olehnya secara benar dan akurat, ujungnya selalu ialah pembenaran diri, yakni justifikasi bahwasannya ius curia novit (hakim dianggap tahu hukumnya).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.