Tunjukkan Itikad Baik untuk Menghindari Konflik yang Tidak Perlu, Hindari Potensi Bibit Konflik yang Seolah Dicari-Cari atau bahkan Dibuat-Buat Lewat Sikap Arogansi

ARTIKEL HUKUM
Dalam pengamatan penulis secara pribadi, sebagian besar konflik sosial-kemasyarakatan, baik yang berujung pada sengketa hukum perdata maupun pidana, terjadi akibat salah satu pihak yang bersengketa mempertontonkan sikap arogansi milik mereka, baik arogansi kekuatan ekonomi, arogansi kekuatan politis, arogansi kekuatan sosiologis, arogansi kekuatan fisik, dan jenis-jenis arogansi lainnya.
Sebagai contoh sederhana, tiada seorang pun yang akan senang ditipu atau dirugikan, dan semua orang tahu akan prinsip sederhana ini, namun tetap saja tidak sedikit kita jumpai aksi-aksi perilaku kejahatan primitif semacam penipuan dan pencurian ataupun penganiayaan dan pengrusakan. Percaya atau tidak, tidak sedikit penulis jumpai dan dapati fenomena sosial yang juga dapat kita jumpai di keseharian, yakni adanya “mind set” pada sebagian orang pelaku kejahatan bahwasannya mereka berpikir dan berasumsi bahwa orang lain akan merasa senang disakiti dan diperlakukan secara buruk olehnya—suatu “cara berpikir (yang) sakit” berupa “akal (yang) sakit” milik “orang (yang) sakit”. Sekalipun, mereka tergolong berpendidikan cukup tinggi. Ternyata, faktor pendidikan formal tidak pernah memiliki korelasi yang memadai dengan tingkat sensitifitas moralitas seseorang.
Untuk memudahkan pemahaman, untuk secara singkat saja penulis berikan contoh sederhana betapa itikad baik lewat etika berkomunikasi-sosial menjadi tumpuan utama untuk menghindari benih-benih percikan konflik sosial yang tidak perlu. Kita tidak perlu menunggu ditegur agar tidak mengganggu warga setempat dengan melakukan alih-fungsi lingkungan penghunian / area perumahan padat penduduk dengan kondisi jalan umum yang sempit menjelma tempat usaha selain “home industri” yang mengundang kegaduhan, parkir liar, hingga polusi suara, polusi udara, polusi air, dan lain sebagainya.
Contoh lainnya ialah ketika kita hendak merubuhkan bangunan rumah untuk dibangun kembali berupa rumah baru, sementara kondisi rumah pada sisi temboknya bersisian atau berpapasan langsung dengan kediaman milik tetangga—idealnya, perlu disusun regulasi oleh pemerintah agar pemilik rumah wajib membangun rumah dengan sekat ruang kosong antar bangunan yang saling memisahkan antar rumah, sehingga tidak menjadikan tembok rumah milik orang lain sebagai tembok rumah sendiri yang tentunya bisa mengancam kerusakan properti milik tetangga ketika melakukan renovasi maupun pemaluan yang berdampak getaran pemicu retakan maupun keselamatan dan keutuhan kabel dan pipa air yang tertanam dalam tembok milik rumah tetangga.
Pada prinsipnya, menggunakan tembok rumah tetangga sebagai tembok untuk membangun rumah milik sendiri, itu artinya “menyerobot” tanah milik tetangga. Bangunlah tembok rumah sendiri di atas tanah milik sendiri, jangan serakah dengan mengantas-namakan tanah tetangga lebih luas dari tanah milik sendiri—seperti kata pepatah “iri hati tanda tidak mampu”, semestinya merasa malu untuk dipertontonkan secara demikian vulgar mempertunjukkan betapa dirinya gagal mengontrol “libido-birahi” keserakahannya seolah tidak mampu hidup tanpa mengganggu dan merugikan orang lain yang menjadi tetangga yang bersangkutan.
Bahkan pernah terjadi, tanpa merasa malu (bahkan tampak bangga) seorang tetangga dari kediaman penulis membangun konstruksi tiang pancang pagar kediamannya dengan menyerobot hingga menjorok jauh ke dalam bidang tanah milik penulis dengan melewati tembok pembatas rumah. Jika sudah demikian, maka siapa yang sejatinya mengundang konflik?
Sesekali lihat dan tengoklah langsung gaya arsitektur dan tata ruang di Bangkok, Thailand, dimana warga pemilik rumah membangun rumah dengan sekat pemisah antar rumah dengan tetangga yang saling berbatasan. Tujuannya sangat logis, yakni untuk menghargai privasi tetangga, menghindari perembetan api yang disebabkan oleh bencana alam seperti kebakaran maupun retakan akibat amblasan permukaan tanah ataupun gempa bumi yang merembet ikut mengguncang kediaman tetangga, tidak menimbulkan polusi suara bagi tetangga yang berbatasan saat menghidupkan jet-pump, tidak mengganggu atau membuat gaduh ketenangan hidup tetangga ketika melakukan renovasi atau merubuhkan rumah guna membangun yang baru, tidak merusak struktur properti milik tetangga seperti keretakan maupun terkenanya kabel listrik dan jaringan pipa yang tertanam pada tembok rumah milik tetangga, dan berbagai pertimbangan rasional logis lainnya.
Di Indonesia, kebakaran menjadi hal yang “lumrah” terjadi karena memang tata ruang dan tata desain bangunan masyarakat kita tergolong “konyol” (lebih tepatnya dilatar-belakangi mental “serakah” atas setiap jengkal ruang tanah untuk di-okupasi dan dikuasai tanpa menyisakan sekat ruang kosong antar tembok bangunan yang saling bertetangga baik di sisi samping maupun sisi belakang), dimana tembok rumah saling berbatasan bahkan menjadi satu kesatuan antara rumah milik sendiri dan properti milik orang lain yang bertetangga. Konflik-konflik yang terjadi akibat renovasi maupun perubuhan bangunan, kerap terjadi di lingkungan kita, karena memang model rumahnya ialah demikian “serakah” (dan “bodoh”) semacam itu. Bila ingin segera seketika dapat mengetahui mental atau watak karakter suatu bangsa, cerminan paling jitu dan akurat ialah kondisi budaya masyarakat pada lalu-lintas jalan umum serta arsitektur pemukimannya.
Sebagai sekadar contoh empirik yang relevan, kediaman milik penulis untuk itu juga sengaja sejak semula dirancang serta dibangun dengan menyisakan sekat ruang kosong selebar sekian kaki jaraknya dari rumah tetangga, demi pertimbangan sebagaimana diurai di atas. Namun yang kemudian terjadi ialah, diserobotnya tanah milik keluarga penulis oleh tetangga yang “serakah” dan tentunya, “tidak kenal malu” serta “tidak takut hukum karma”.
Jumlah hari selama sekian tahun keluarga tersebut menyerobot hingga saat kini, selama itu jugalah mereka telah merugikan hak-hak kediaman keluarga penulis karena memakan apa yang bukan menjadi hak mereka, dan semua itu tercatat dalam Hukum Karma yang akan bekerja secara otomatis bahkan hingga tahap eksekusi oleh “algojo karma” tanpa perlu penulis ajukan gugatan maupun tuntutan kepada “hakim karma”. Memahami cara kerja “Hukum Karma”, akan membuat kita sadar sepenuhnya bahwa tiada apapun yang betul-betul dapat kita curangi dalam hidup ini—siapa juga yang mengatakan bahwa Hukum Karma tidak dapat dipahami cara kerjanya, silahkan rujuk Abidhamma Pitaka yang merupakan salah satu “Pitaka” dalam Tripitaka.
Kini, penulis akan memberikan kontoh konkret betapa etika komunikasi dan etiket bersosialisasi sangat diperlukan untuk meredam benih-benih konflik laten, maupun konflik lateral, tidak terkecuali konflik diametral, yang sejatinya tidak perlu diciptakan serta tidak perlu “dicari-cari” karena dapat dihindari potensinya dari sejak semula lewat “kepekaan” terhadap faktor psikologis orang lain. Sebagai contoh, sekonyong-konyong tetangga Anda memborbardir tembok rumah Anda, mengejutkan penghuni rumah atas suara dentuman dan borbardir palu yang bertubi-tubi menghantam serta menggetarkan dinding dan properti rumah Anda. Tiba-tiba mengejutkan seperti demikian, itukah yang disebut kesopanan? Itu adalah wujud AROGANSI, tidak kurang dari itu.
Ternyata, tetangga Anda sedang berniat merubuhkan bangunan rumahnya untuk mendirikan bangunan rumah baru. Sang tetangga beralasan tidak merasa perlu memberi-tahukan tetangga atas rencananya juga tidak meminta izin dari tetangga, semata karena alasan itu tanah miliknya sendiri. Itulah wujud gambaran nyata sikap arogansi yang dipertontonkan, seolah suara gaduh demikian tidak merupakan polusi suara yang mengganggu ketenteraman hidup tetangga (kepentingan dan hak-hak dari tetangga menjadi terganggu, karenanya juga tetangga termasuk “stakeholder”, alias selalu menjadi urusan milik tetangga pula), terlebih getaran yang dapat merembet dan merusak properti milik tetangga mengingat semula rumah yang dirubuhkan tersebut dibangun dengan memakai tembok rumah properti Anda yang terlebih dahulu dibangun sebelum keberadaan tetangga lainnya sekalipun sejak semula dahulu kala telah ditegur agar pemilik tanah membangun tembok pembatas rumahnya sendiri di atas tanah miliknya sendiri.
Alhasil, tetangga merasa dilecehkan, tidak dihormati, diperlakukan secara lalim, diganggu ketenangan hidupnya, merasa terancam keselamatan propertinya. Sikap arogansi kedua yang dipertunjukkan oleh pemilik rumah yang merubuhkan bangunan rumah untuk mendirikan bangunan baru, sekalipun tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) maupun ataupun restu dari tetangga yang berbatasan (ataupun setidaknya sepengetahuan dari tetangga yang berbatasan agar dapat mempersiapkan mental), bahkan lewat tukang-tukang bangunan yang disewanya lebih menyerupai preman-preman “tukang pukul” mengintimidasi tetangga pemilik rumah dengan segala sikap arogansi dan penyerobotan tanah.
Tak lama berselang, beberapa waktu berlalu, tukang-tukang bangunan tersebut mengerjakan proyek merubuhkan gedung bangunan dan membangun bangunan rumah baru masih di lingkungan perumahan yang sama, ternyata tampilan sikapnya tidak ubahnya sikap semula, yakni arogansi yang berbuntut protes serupa dari warga yang rumahnya berbatasan. Dengan kata lain, yang sebenarnya paling bermasalah adalah siapakah, pemilik tanah ataukah tetangga?
Cerminan paling utama yang dapat penulis tarik dan simpulkan, bukanlah semata sikap “premanisme” tukang-tukang bangunan yang arogan demikian, namun pihak-pihak yang telah menyewa mereka untuk menggarap properti miliknya secara sewenang-wenang dan menyalah-gunakan tanah miliknya untuk “meneror” dan mengganggu warga yang berbatasan, apapun alasannya. Itulah sebabnya, kini dapat kita pahami mengapa secara falsafah ilmu hukum pertanahan nasional, hak atas tanah tergolong hak dengan “fungsi sosial”, bukan hak mutlak yang bersifat liberalisme-indivualisme yang tidak diakui pada stelsel hukum agraria di Indonesia.
Kejadian demikian terang mencerinkan sikap pihak “majikan” pemilik rumah yang menyewa dan menyuruh kerja para tukang-tukang bangunan demikian, tanpa membekali mereka “wejangan” (pesan) agar menghormati warga setempat dengan tidak membiarkan sampah puing bangunan berserakan di depan rumah, dengan menghormati dan menghargai tetangga pemilik rumah yang berbatasan, agar tidak membangun properti dengan menyerobot tanah milik warga yang berbatasan (bahkan pernah terjadi dan penulis alami sendiri, pemilik tanah yang justru memerintahkan tukang bangunan untuk menyerobot tanah milik tetangganya), dan untuk bersikap “humanis” terhadap tetangga yang telah berpuluh-puluh tahun tinggal menetap di wilayah perumahan tersebut terlebih ketika terdapat protes atau keluhan dari warga tetangga, serta agar memberikan perhatian terhadap warga yang saling bertetangga—bukan menampilkan sikap “tabrak lari” para tukang banguann pendatang demikian, alias merubuhkan, merusak, lalu kabur atau menampilkan otot-otot dan alat-alat tukang mereka untuk menakut-nakuti warga setempat setelah itu melarikan diri tanpa bertanggung-jawab seolah berprinsip selama dirinya untung maka tidak perduli bila warga lain dirugikan.
Alhasil, tanpa adanya himbauan demikian dari pemilik rumah, warga yang bertetangga menjadi merasa was-was setiap harinya, merasa terganggu, tidak dihargai, tidak diperhatikan, merasa terancam, merasa dilecehkan sebagai sesama tetangga, dan telah dirampas ketenangan hidupnya dari segala kegaduhan yang ditimbulkan demi kepentingan sang pemilik tanah yang hendak membangun rumah baru. Entah kegilaan apa lagi setelah hari ini, itulah teror yang dirasakan secara logis dan rasional.
Benih-benih konflik sosial demikian, terjadi akibat arogansi pemilik tanah yang bersimbiosis dengan para tukang bangunan yang lebih menyerupai preman-preman berseragam “kuli” bangunan yang menyatakan “tidak butuh IMB untuk membangun rumah baru” (namanya juga preman, tentu tidak bersekolah namun bicaranya besar dan arogan). Seperti biasa, pelaku kejahatan lebih “galak” dan lebih “beringas”, bahkan lebih “sok tahu” daripada korbannya. Justru karena itulah, mereka hanya bisa menjadi “kuli”, bau tubuh mereka sebusuk isi pikiran dan ucapan mereka, “semurni” dan “se-setril” apapun makanan yang masuk ke dalam mulut mereka.
Mari kita bayangkan kejadian yang sebaliknya, dan penulis alami sendiri secara kontras dengan kejadian sebelumnya ketika pemilik rumah yang baru dibangun tersebut kemudian dijual kepada pihak ketiga, lalu pihak ketiga tersebut melakukan rombak-ulang atas rumah baru yang dibelinya tersebut dengan memakai jasa tukang bangunan lain yang (beruntunglah) cukup sopan dan tampak berbudaya juga beradab (sehingga dapat terbuka kesempatan untuk berkomunikasi) bukan sekadar menampilkan otot yang “bodoh”.
Sang tukang bangunan dengan sopan mengetuk pagar kediaman rumah penulis, meminta restu untuk merombak ulang bangunan baru yang ternyata “asal jadi” dan “asal dibangun” yang baru dibeli oleh majikannya. Dirinya membuat kami selaku pemilik rumah yang bertetangga, merasa tenang, dihargai, dan diperhatikan, akhirnya terjalin komunikasi yang baik demi kebaikan bersama tanpa saling merugikan dan tanpa saling mengganggu, dilandasi sikap saling pengertian (bahwa tetangga berhak atas ketenangan dan keselamatan atas propertinya serta pemilik tanah sedang butuh merombak bangunan rumahnya untuk bertempat tinggal), bahkan kami menjadi saling mendukung satu sama lain demi kelancaran proses pengerjaan tersebut.
Sang tukang secara terbuka (open baik menyerupai “open house” maupun “open” dalam komunikasi) menyampaikan kondisi bangunan yang hendak dirombak olehnya, memperhatikan dan mengkomunikasikan kendala yang mungkin muncul, mendiskusikan pemecahan dan solusi bersama sehingga tercipta konsensus bersama harus seperti apa perlakuan akan dilakukan terhadap properti yang bersinggungan antar rumah tanpa membuat keputusan sepihak atas “zona sensitif” seperti persinggungan antar rumah yang berbatasan terutama pada area tembok pembatas bangunan, persatuan atap pada bagian tembok guna menghindari rembesan, perihal bila terjadi kerusakan properti milik tetangga akibat proses pengerjaan, serta menginformasikan apa yang akan mereka kerjakan dan lakukan, bahkan mengundang kami untuk meninjau langsung dengan masuk ke dalam properti yang akan dikerjakan olehnya sehingga kami selaku tetangga mengetahui betul akan seperti apa perlakuan tembok perbatasan rumah kami diperlakukan (suatu harapan yang tidak berlebihan dari seroang tetangga berbatasan), sehingga semua proses ini menjadi sangat transparan dan terbuka, tanpa kesan ditutup-tutupi, dan tanpa kesan arogansi pelecehan yang mana seolah pemilik tanah membuat keputusan sepihak secara sewenang-wenang dengan “menzolimi” tetangga yang berbatasan rumah—seolah-olah punya kemampuan ekonomi kuat untuk menyewa tukang bangunan membuatnya menyerupai “bos” triad atau mafia gengster yang kuat dan perkasa menguasai lingkungan ini untuk mengintimidasi dan menindas warga setempat yang bertetangga.
Apa yang kemudian timbul dari benak kami, selaku warga yang bertetangga, terhadap sikap-sikap terbuka dan membuka diri atas “ruang dialog” demikian oleh para tukang pendatang demikian? Tidak sedikit pun timbul niat kami bersama untuk berkonflik, bahkan kami menjadi merasa tenang, karena tahu bahwa hak-hak dan keselamatan maupun kepentingan kami diperhatikan (tidak diabaikan dan tetap dihormati, itulah yang terpenting), tidak harus menebak-nebak apa “ulah” selanjutnya dari pemilik tanah dan tukang bangunan “preman” yang disewanya, tidak merasa diteror, tidak merasa tidak berdaya diintimidasi, tidak merasa tidak dihargai sebagai tetangga yang berbatasan, merasa tenang karena mereka telah menyatakan akan bertanggung-jawab bila terjadi kerusakan pada properti rumah milik tetangga yang berbatasan, dan menyadari atau mengetahui bahwa pemilik tanah tersebut mudah untuk dihubungi serta terbuka untuk komunikasi (lebih ideal lagi bila pemilik tanah memberikan nomor kontak seluler untuk lebih memudahkan komunikasi bila sewaktu-waktu dibutuhkan komunikasi dan diskusi bersama untuk menemukan solusi terbaik bagi kepentingan bersama).
Sebagaimana dapat Anda lihat sendiri, benih-benih konflik sosial dapat diredam hingga derajat paling minimum (di-mitigasi), bila tiada sikap-sikap arogansi yang ditampilkan kepada warga lainnya. Arogansi sikap berupa arogansi mempertunjukkan sikap sewenang-wenang dengan menyalah-gunakan kekuatan posisi ekonominya, kekuatan posisi politisnya, kekuatan posisi sosialnya, dan kekuatan posisi fisik tubuhnya ataupun kekuatan-kekuatan lainnya, selalu dapat dipastikan akan menimbulkan konflik laten—yang setidaknya akan diberi ganjaran “doa” berupa “kutukan” dari warga lain yang merasa terganggu dan dirugikan.
Sebagai pesan penutup, jangan pernah sepelekan “sumpah-serapah” orang lain yang kita sakiti maupun rugikan, baik secara disengaja maupun terjadi akibat perbuatan lalai kita. Sekali lagi, jangan pernah sepelekan “doa buruk” alias “kutukan” dari warganegara lainnya, karena dari pengalaman pribadi penulis mengamati realita empirik, satu buah “kutukan” dari satu orang warga, sudah terlampau banyak, karena benar-benar dapat terjadi, terutama “doa-kutukan” dari seseorang yang “terzolimi”.
Bencana dapat kapan saja dan terjadi tanpa diduga, juga tanpa harus jatuh atau datang dari tangan langsung para korban yang melakukan / memberikan “doa kutukan”. Percaya ataupun tidak, tiada satu pun yang luput dari ikatan dan pengaturan norma Hukum Karma. Bila Hukum Negara bersifat korup, memihak yang kuat, sehingga pelaku yang kuat mendapat “imun”, kebal dari Hukum Negara (karena itu pula kita tidak perlu merasa heran bila fakta realitanya bila seluruh kriminal dijejali ke dalam sel-sel di penjara, maka membangun dua kali lipat dari jumlah kapasitas Lembaga Pemasyarakatan yang ada pun belum cukup untuk menampung seluruh kriminil yang lebih banyak bebas tanpa pernah tersentuh oleh hukum), maka Hukum Karma lebih cenderung memihak yang lemah serta tanpa dapat “disuap” oleh segala cara apapun, termasuk oleh ritual-ritual—dan itulah kabar baiknya, Hukum Karma bersifat imparsial dan lebih memihak korban.
Dimana bila merujuk Abidhamma Pitaka, sebelum melakukan kejahatan merasa merasa senang atas niat jahatnya, melakukan kejahatan dengan senang hati tanpa rasa sungkan, malu, ataupun takut akan akibatnya, dan setelah melakukan kejahatan tidak pernah menyesali perbuatannya, maka miliaran kali lipat buah Karma Buruk akan berbuah pada pelakunya di kemudian hari, cepat ataupun lambat, hanya persoalan waktu, sekalipun dalam kehidupan sekarang ini pelakunya tampak baik-baik saja.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.