ARTIKEL HUKUM
Apa jadinya bila kulit tubuh kita, tidak mampu merasakan rasa sakit? Karena merasa sakit, seringkali banyak diantara kita yang mengkonsumsi obat-obatan pereda rasa sakit ataupun nyeri dan menganggapnya sebagai “obat sakti” tanpa mau mengetahui bahaya baru yang mengancam dibaliknya secara laten. Apakah rasa sakit, adalah musuh ataukah teman? Tanpa indera tubuh yang dapat merasakan panas, sakit, perih terluka, ataupun nyeri, mungkin sudah akan banyak anggota tubuh kita yang hilang akibat tidak menyadari sedang atau telah tertusuk paku hingga terinfeksi.
Dalam Buddhisme, hal yang baik terdapat dalam apa yang disebut sebagai “kutub moderat”—karenanya, filosofi Buddhisme seringkali disebut juga dengan julukan “ajaran Jalan Tengah”, agar para siswa-Nya tidak terperangkap dalam salah satu sudut atau kutub ekstrim. Tanpa rasa sakit, sejatinya itu sama berbahayanya alias tidak kalah berbahayanya dengan merasakan rasa sakit secara ekstrim yang luar biasa menyakitkan dan bisa merampas nyawa korban jiwa, bila rasa sakit itu tidak segera ditangani secara profesional untuk diredakan.
Untuk itu Sang Buddha mengibaratkan bagaikan senar sebuah dawai, terlampau kendur maka suaranya sumbang. Sebaliknya, senar dawai yang disetel secara terlampau kencang, akan menghasilkan suara yang kasar dan tidak proporsional. Kini kita masuk pada topik utama bahasan kita, yakni apakah sesuatu yang bisa jadi kita anggap sebagai sebuah kelemahan, bisa jadi ada unsur baiknya dikemudian hari dibalik segala kekurangan atau kelemahan itu.
Sederhananya, sama seperti seseorang yang akibat tidak mampu membeli kendaraan bermotor, harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Alhasil, dirinya sehat berolah-raga. Sebaliknya, mereka yang dimanjakan oleh kendaraan bermotor, kerap ditemukan mengalami penyakit “khas” orang-orang dari kalangan latar-belakang “berpunya” seperti diabetes, kolesterol, dan berbagai penyukar maupun komplikasi lainnya yang sebelumnya tidak pernah dikenal oleh nenek-moyang kita di zaman dimana semua serba “konvensional”. Gaya hidup orang “kampung” (rural), bahkan konon disebut-sebut sebagai lebih sehat ketimbang gaya hidup masyarakat urban-perkotaan.
Saat ulasan ini disusun, sedang marak pemberitaan pembobolan rekening tabungan milik seorang nasabah. Pembobolan terjadi, akibat terlampau canggihnya sistem perbankan kita yang mana semua transasksi dapat dilakukan secara digital, tidak lagi manual yang dianggap tidak lagi populer dan sudah ketinggalan zaman di era digitalisasi ini. Kelewat canggihnya sistem perbankan kita, sampai-sampai justru memudahkan modus kejahatan menyelinap masuk untuk memainkan aksi modus kejahatan yang canggih.
Modus-modus kejahatan baru terus lahir dan bertumbuh, seiring kemajuan teknologi maupun perkembangan zaman yang kian pesat. Saat perangkat telepon genggam belum dikenal, disaat era digitalisasi belum dikenal, hampir tidak pernah diberitakan kejahatan bernama “cyber crime” maupun “cyber bullying”. Justru, setelah kecanggihan teknologi komunikasi berkembang pesat diperkenalkan ke tengah-tengah masyarakat kita, kedua jenis kejahatan tersebut justru seolah kian terbendung lagi mendapatkan momentumnya untuk secara deras mendera kita, tanpa terkecuali.
Bila yang sebelumnya, niat-niat jahat orang-orang jahat dibendung oleh berbagai keterbatasan serta kesulitan teknis untuk mewujudkan rencana dan niat jahatnya, kini niat jahat mereka seolah mendapat momentum sempurna dengan menyalah-gunakan sarana maupun prasarana kecanggihan teknologi itu sendiri. Adanya niat jahat, tanpa adanya kesempatan yang terbuka lebar baginya untuk beraksi, maka peluang terjadinya kejahatan akan minim untuk dapat menjadi kenyataan.
Namun, ketika kecanggihan teknologi justru memberi ruang lebar bagi aksi-aksi dan niat jahat untuk turut menyusup masuk serta menjadi “pemain” di dalamnya, maka itulah wadah yang memperkuat dan mempercepat kejadian berbagai tindak pidana kejahatan. Pada sudut pandang itulah, kecanggihan teknologi menjadi tampak demikian mengerikan, menakutkan, sekaligus kutukan yang mana menyerupai kisah drama picisan “dicinta namun juga dibenci”.
Ilustrasi sederhana berikut mungkin dapat memberi gambaran konkret sekaligus sebagai tips guna menghindari kejahatan perbankan serupa di kemudian hari. Kemudahan menarik dana dalam rekening tabungan di era modern ini, baik dengan sistem tarikan tunai lewat Anjungan Tunai Mandiri (mesin ATM), transaksi menggunakan sistem online banking, serta berbagai kemudahan lainnya dimana otentikasi disimbolikkan oleh sebuah kode password, kode pin, ataupun kartu debet, dan alat sejenisnya, maka reduksionisme menuju simbol-simbolisme demikian menjadi pemudah bagi nasabah sekaligus sebagai celah pintu masuk kejahatan yang juga dipermudah aksesnya.
Pada era modern ini, setiap orang seolah direduksi menjadi sebatas nomor NIK (nomor induk kependudukan), kartu KTP (kartu tanda penduduk), kartu ATM, kode pin, kode password, dan lain sebagainya. Ketika data-data pribadi dan privasi demikian berhasil dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab, sama artinya duplikasi atau replikasi representasi seseorang nasabah dapat dilakukan semudah membalik telapak-tangan atau semudah menekan tombol “CTRL + C (dari kata ‘copy’)” dan “CTRL + P (dari kata ‘paste’)”.
Bila seorang nasabah harus tampil secara manual tatap-muka pada kantor sebuah perbankan, maka untuk duplikasi tubuh fisiknya dibutuhkan upaya sukar seperti “cloning”, maka reduksionisme cukup semudah menggandakan data-data personal seorang warga atau nasabah. Lihatlah, bahkan teknologi “cloning” masih kalah canggih-efektif-efisien dengan kejahatan intelektual dalam upaya pembobolan terhadap sistem perbankan.
Sebagai cerminan serupa, ialah sistem yang rumit dan demikian canggih maupun super kompleks seperti “pasar modal” (stock exchange), dimana kenal pula istilah-istilah kejahatan oleh pelaku “white collar crime” semacam “insider trading” yang tidak kasat-mata dimana pelakunya justru memanfaatkan betul kompleksitas sistem “pasar modal” sebagai tempatnya berlindung sehingga sukar tersentuh oleh hukum. Sebuah instrumen keuangan, semakin canggi dan semakin tinggi kompleksitasnya, maka semakin nyaman bagi para pelaku kejahatan untuk bermain dan membuat dominasi penguasaan serta pengendalian dari latar-belakang secara demikian terselubung, sehingga sukar untuk dikenali.
Kini, mari kita sekadar perbandingkan kembali dengan istrumen perbankan klasik bernama “deposito”. Sejatinya, deposito ialah fitur layanan perbankan yang sangat “primitif”, namun terbukti paling aman sebagai tempat menyimpan harta kekayaan disamping pada “safety deposit box”. Bagi nasabah yang kerap memanfaatkan layanan jasa keuangan seperti deposito, tahu betul bahwa dana deposito akan dikeluarkan dari rekening nasabah, dan untuk kemudian dibukukan pada keuangan perbankan secara tercatat, dimana pihak deposan diberikan bukti deposito berupa satu lembar kertas tanda bukti deposito yang diberi nama “bilyet giro”.
“Bilyet giro” itulah yang wajib dibawa oleh sang deposan itu sendiri secara langsung ke kantor tempat membuka deposito, pada pukul / jam serta hari kerja, tanpa dapat diwakilkan, serta menada-tangani slip permohonan secara manual ketika hendak mencairkan dana depositonya. Banyak kalangan yang menilai, bahwa sistem deposito demikian sangat kaku, serta banyak kelemahannya karena “tidak canggih” disamping orthodoks sifatnya.
Namun, “kelemahan” dan “kekolotan” itulah yang justru paling benar-benar mampu mengamankan dana milik nasabah, dimana pihak yang beritikad buruk sukar menyusun modus untuk “membobol” sebuah instrumen “kuno” bernama deposito dimana kecanggihan teknologi tidak “laku” terhadap hal-hal “kuno”—dan jikalau pun ada yang tetap berani “membobol”, maka mudah untuk mengungkap serta menjerat pelakunya disamping proses pembuktiannya dalam sidang gugatan perdata yang diajukan oleh nasabah deposan sangat mudah dibuktikan karena memang sistem deposito tidak membutuhan kompleksitas apapun untuk prosesnya dan sepanjang asli “bilyet giro” masih di tangan deposan maka sudah merupakan bukti yang cukup untuk menuntut pertanggung-jawaban pihak perbankan.
Ada kalanya, kelebihan justru menjadi hal yang merugikan. Sebagai contoh, buah “karma baik” yang diidam-idamkan dan didamba-dambakan oleh banyak pihak, ternyata memiliki sisi buruknya juga—bukan melulu sisi baik adanya. Sang Buddha mengibaratkan buah “karma baik” seperti sebuah sarana jalan bebas hambatan dengan karpet merah digelar terbuka lebar bagi kita, menjelma “jalan tol menuju surga” ataupun “jalan tol menuju neraka” terutama ketika bersimbiosis dengan postulat yang termasyur dari Lord Acton, “Power tends to corrupt. Absolute power, corrupt absolutely”.
Karena itu, mengingat ancaman bahaya dibalik sebuah “karma”, entah itu “karma baik” maupun “karma buruk”, Sang Buddha tidak pernah mengajarkan para siswa-Nya untuk melekat dan menjadikan “karma baik” sebagai tujuan utama terlebih untuk dilekati. Banyak orang melakukan kejahatan, akibat tergoda untuk menyalah-gunakan kecerdasan yang mereka para pelakunya miliki, akibat tergoda menyalah-gunakan kekayaan ekonomi yang mereka miliki, akibat tergoda menyalah-gunakan kekuatan politis yang mereka miliki, maupun akibat tergoda menyalah-gunakan kekuatan fisik yang bersangkutan miliki.
Tidak mengherankan pula bila kemudian Sang Buddha memilih untuk memutus seluruh jalinan “karma baik” yang Beliau tanam selama masih hidup sebagai seorang Boddhisatta selama ber-kalpa-kalpa siklus lahir-hidup-mati yang tidak terhitung banyaknya sebelum kemudian terlahir kembali saat kini sebagai seorang Buddha—alih-alih menikmati seluruh buah “karma baik” yang ditanam oleh Sang Buddha pada kehidupan sebelumnya. “Kamma” maupun “parami”, hanya sekadar sebagai sarana, menurut Sang Buddha.
Orang-orang kuat yang melakukan kejahatan besar (kejahatan, semakin besar derajat kejahatannya, maka dapat dipastikan semakin kuat pula kemampuan politis, fisik, atau ekonomi dari pelakunya), mencelakai dirinya sendiri yakni menggali lubang kuburnya sendiri, akibat buah “karma baik” dirinya yang kini dipetik sehingga memiliki segala sumber daya serta memudahkan dirinya untuk berhasil dalam seluruh niat serta upaya kejahatan yang dilakukan olehnya.
Sebaliknya, semakin kecil dan semakin malang hidup seseorang yang sedang memetik buah “karma buruk”, tentu amatlah sukar baginya untuk melakukan kejahatan besar seperti kejahatan “Mega Korupsi e-KTP” yang melibatkan aktor intelektual secara sistematis dan berjemaah, namun hanya mampu sebatas menjadi “maling ayam”—dan itu pun dapat dipastikan akan menemui kegagalan. Penjahat yang gagal melakukan kejahatannya, ialah penjahat yang paling beruntung. Karenanya, mereka yang selalu diliputi buah “karma baik”, akan selalu berhasil dengan segala niatnya, baik niat baik maupun niat jahat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.